Asal Permintaan Hakekat (Bagian, Asal-Undangan, Dan Hakekat Wawasan)

BAB I
PENDAHULUAN
A.           Latar Belakang.
Manusia yakni makhluk rasional (hayawan natiq).[1] sehingga mereka mampu merumuskan makna-makna yang melibatkan evaluasi, pembedaan dan penjelasan yang pastinya dengan pengetahuan dan akal yang mereka fungsikan.
Pengetahuan merupakan sumber realitas atas perkiraan dasar insan. Tanpa pengetahuan manusia tidak dapat membedakan hal-hal yang bisa ditangkap dengan panca indera. maka istilah “wawasan” itu cukup luas artinya, Istilah ini menandakan bahwa insan sadar akan barang-barang di sekitarnya; adanya insan di dunia ini lain dari pada adanya sebuah barang mati. Dan kata“pengetahuan” tidak cuma meliputi wawasan ilmiah, melainkan pula pengalaman langsung, menyaksikan dan mendengar, perasaan dan intuisi, prasangka dan suasana jiwa.[2]
Pengetahuan merupakan pokok kajian dalam ilmu filsafat. Dalam filsafat pengetahuan tergolong dalam kajian “epistimologi” dengan akar kata episteme (wawasan) dan logos (kata/ pembicaraan/ ilmu) yaitu cabang filsafat yang berhubungan dengan asal, sifat, aksara dan jenis pengetahuan. Topik ini tergolong salah satu yang paling kerap diperdebatkan dan dibahas dalam bidang filsafat, contohnya ihwal apa itu wawasan, bagaimana komponen-unsurnya, asal-usulnya, serta jenis kebenaran suatu pengetahuan itu sendiri.
Epistemologi atau Teori Pengetahuan yang berafiliasi dengan hakikat dari ilmu wawasan, pengandaian-pengandaian, dasar-dasarnya serta pertanggung balasan atas pernyataan perihal wawasan yang dimiliki oleh setiap insan ialah kajian yang sungguh mendalam dan menarik untuk diperbincangkan dikalangan akademisi.
Banyak orang mengartikan wawasan dan ilmu wawasan itu sama, hal tersebut memang tidak salah semuanya namun perlu ditinjau menurut kaidah keilmuan biar mampu memahami bantu-membantu. Sebagaimana analogi yang telah dipaparkan, bahwa ilmu wawasan yaitu tahapan atau bagian dari wawasan. Sehingga mampu diketahui bahwa pengetahuan berlainan dengan ilmu. Lebih tepatnya ilmu yakni bab dari pengetahuan. Kata ilmu ialah terjemahan dari kata “science”, yang secara etimologis berasal dari kata latin “scinre”, artinya “to know”. Namun, pemahaman science ini sering salah diartikan, dan direduksi berhubungan dengan ilmu alam semata padahal tidak demikian. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ilmu merupakan wawasan perihal suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode tertentu, yang dapat dipakai untuk mengambarkan tanda-tanda tertentu di bidang (wawasan) itu. Pendapat lain menunjukan bahwa ilmu ialah pengetahuan yang membuatkan dan melakukan hukum-aturan mainnya dengan penuh tanggung jawab dan kesungguhannya. Melalui pendapat tersebut dipahami bahwa ilmu ialah pengembangan dari wawasan yang mempunyai hukum tertentu dan dapat diuji kebenarannya karena berkaitan dengan penafsiran sebuah hal yang pada umumnya berlaku secara biasa .
Maka, untuk mengetahui identitas wawasan itu sendiri penulis berupaya merumuskan masalah yang berkenaan dengan asal-usul dan hakiikat pengetahuan selaku berikut:
B.            Rumusan Masalah
1.             Apa unsur-unsur wawasan ?
2.             Bagaimana asal-usul wawasan ?
3.             Apa saja jenis-jenis kebenaran pengetahuan?
C.           Tujuan dilema
1.             Untuk Mengetahui bagian-bagian wawasan.
2.             Untuk Mengetahui asal-usul pengetahuan.
3.             Untuk Mengetahui jenis-jenis kebenaran pengetahuan
BAB II
PEMBAHAASAN
A.           Unsur-Unsur Pengetahuan
Ada tiga bagian dalam tahu/pengetahuan, adalah subyek yang mengetahui (knowing subject), obyek yang diketahui (known object), dan kegiatan pengetahuan itu sendiri (knowing activity). Berikut klarifikasi wacana ketiga bagian tersebut.
1.             knowing subject
Di atas disebutkan bahwa gejala tahu dan pengetahuan terdapat pada makhluk hidup. Tumbuhan dan hewan, makluk hidup yang tingkatannya di bawah insan, dalam arti tertentu tahu (memiliki pengetahuan). Tapi, wawasan yang bekerjsama hanya dimiliki insan. Mengapa? Sebab, acara mengenali senantiasa mengandaikan rasio, dan, kita tahu, hanya manusia memiliki rasio.
Karena kesanggupan rasio terbatas, maka wawasan insan pun terbatas, dan berkembang sepotong demi sepotong sebelum mencapai pengetahuan yang sempurna. Louis Leahy menunjuk tiga syarat yang dipenuhi subyek semoga mampu tercipta wawasan, yang tepat, ialah keterbukaan, kemampuan menyambut, dan interioritas.Subyek mesti terbuka supaya bisa menangkap eksistensi dan kodrat obyek yang dimengerti. Batu, contohnya, tak dapaYanenjadi subyek wawasan alasannya tidak mempunyai keterbukaan. Kemampuan menyambut memungkinkan obyek tinggal dalam diri subyek dalam rupa gambar, kenangan, atau inspirasi.
Kembali kita terhadap definisi wacana wawasan sebagai kemanunggalan subyek-obyek.Interioritas memungkinkan subyek semakin banyak dan baik mengetahui. Itu mirip daya tampung, makin besar daya tampungnya kian banyak pula yang diperolehnya. Ketiga bagian tersebut ialah dimensi supramaterial atau imaterialitas dari subyek. Artinya, alasannya adalah dalam acara pengetahuan subyek menanggulangi batasan jasmaniahnya, maka dia harus memiliki immaterialitas. Disini berlaku prinsip: imaterialitas yang dinikmati suatu pengada ialah akar dan ukuran dari pengetahuan yang dikuasainya. Dan pasti subyek yang mengetahui itu mesti berkesadaran. Artinya, dia harus mempunyai pengetahuan akan acara clan dirinya, pada saat dia mengetahui sebuah lainnya dari dirinya tersebut.
2.             knowing Object
Ini menyangkut apa yang ada dan yang mungkin ada. Seperti diterangkan di atas, manusia bertanya ihwal segala hal, yang konkrit maupun abstrak, yang dahulu, kini, maupun yang akan tiba. Pendeknya, yang ada clan yang mungkin ada. Jadi, dengan rasionya manusia mampu mengetahui perihal wangsit-wangsit abstrak mirip kebaikan, kejahatan, keindahan, nilai etika, bahkan ihwal Tuhan dan keabadian.
Obyek yang diketahui mesti menghipnotis subyek. Pertanyaannya: apa yang menimbulkan, misalnya, bahwa pohon diketahui sebagai pohon (dan bukan selaku insan)? Obyek itu hams mempunyai eidos, kata Yunani yang mempunyai arti bentuk. Eidos (juga morphe) bermakna aspek dari suatu benda, clan komponen yang menstruktur benda itu dari dalam sehingga A adalah A (bukan B). Lewat eidos itulah suatu benda bukan saja menerima kodrat, tetapi juga dapat dikenali maksud clan maksudnya [3]
Kegiatan Mengetahui Ini merupakan proses psikologis yang sangat rumit. Tetapi, yang terperinci, unsur ini seakanakan berada di antara S dan O. Kegiatan inilah yang menandai gejala persatuan (union) antara S dan O.
3.             knowing Activity
Masalah yang sering diperdebatkan oleh para filsuf ialah apakah tahu/wawasan itu sama dengan pengalaman? Dengan kata lain, apakah mengetahui sesuatu sama dengan mengalami sesuatu? Reuben Abel, dalam bukunya Man is the Measure menyampaikan bahwa tahu dan pengalaman tidak sama. Filsuf Bertrand Russell membedakan tahu lewat pertemuan langsung (knowledge by acquaintance) dan tahu lewat deskripsi (knowledge by description). Yang pertama bersifat pribadi. Bambang, misalnya, menyampaikan bahwa dia tahu/kenal si Budi atau si Vina, kenal candi Borobudur atau Lembang, kenal rendang atau nasi gudeg Yogya. Russell menyamakannya dengan seorang pencinta anjing yang mengenal baik anjingnya. Pengenalan seperti ini punya tingkatan, tetapi tidak pernah imitasi. Saya bisa menyampaikan bahwa bintang film dalam sinteron itu ialah teman kelasku Vicky. Kalaupun itu tidak benar, maka yang tidak benar itu pernyataanku, bukan pengetahuanku. Pengetahuan jenis inilah yang dimitiki antara seorang kekasih kepada orang atau sesuatu yang dicintainya, guru terhadap muridnya, dokter terhadap pasiennya. Martin Buber, contohnya, berkata impulsif bahwa ia mengenal Tuhan melalui konferensi eksklusif.
Pengetahuan melalui deskripsi yakni pengetahuan ilmiah. Artinya, aku tahu bahwa yang itu memang begitu. Atau, merupakan deskripsi atas fakta, dan alasannya itu harus ditampilkan dalam bentuk proposisi atau kalimat-kalimat. Tapi tahu bahwa (knowing that), mesti dibedakan dari tahu bagaimana (knowing how). Si Eva dapat tahu bagaimana berenang, bagaimana mengikat dasi, tanpa perlu melukiskan dengan tapat bagaimana berenang atau mengikat dasi. Ini berlaku, misalnya, pada hal-hal menyangkut kemampuan dan kerajinan, merasakan anggur atau memecahkan teka-teki.
Michael Polanyi menyampaikan bahwa tahu bagaimana duduk sepadan di atas sepeda belum tentu bermakna bahwa tahu bahwa “untuk suatu sudut ketidakseimbangan, lekukan setiap belokan secara berbanding terbalik dengan kwadrat kecepatan”. Pengalaman (experience) yaitu sebuah yang menyangkut segalanya yang kita kerjakan atau apa saja yang terjadi pada kita. la menyangkut sensasi, emosi, rasa sakit, pengalaman estetik dan pengalaman gaib. Pengalaman tak dapat disamakan dengan wawasan proposisional. Pengetahuan tidak berfungsi meniru pengalaman, tetapi memerihkannya (deskripsi). Pengetahuan tidak berfungsi mereproduksi apa yang terjadi, namun menjelaskannya. Tahu apa itu murka (knowing what anger is), misalnya, tidak sama dengan menjadi murka (being angry). Menikmati anggur tidak sama dengan tahu komposisi anggur. Kehidupan lebih luas yang acap kali tidak cukup dilukiskan dengan kata-kata. Oleh alasannya itu J.L.Austin menyampaikan fakta lebih kaya dari kata-kata (fact is richer than diction).
Meskipun demikian, pengalaman dan wawasan bukan saling berkompetisi. Pengalaman mampu menjadi insentif untuk menemukan wawasan, atau menjadi bukti untuk pengetahuan tertentu, atau menjadi obyek pengetahuan. Tetapi pengalaman bukan pengetahuan itu sendiri. Kita jangan mencampurkan deskripsi dengan apa yang dideskripsikan, klarifikasi dengan apa yang dijelaskan, pengetahuan dengan pengalaman. Dokter laki-laki tidak ipso facto tahu lebih sedikit perihal menstruasi dan kelahiran dibanding rekannya yang wanita. Makara, pengalaman dan pengetahuan eksklusif (knowledge by acquantance) ialah bagian yang sangat penting bagi pengetahuan deskriptif, tapi tidak pernah mengambil alih, atau menjadi rival, wawasan deskriptif.
Sampai hari ini masih belum ada komitmen di golongan para filsuf perihal apakah pengetahuan mesti bersifat proposisional (diungkapkan dalam kalimat). Ada dua kubu yang berlawanan. Kubu pertama menyampaikan pengetahuan mesti proposisional, dan kubu kedua yang beropini bahwa wawasan tidak harus proposisional. Mereka yang masuk kubu pertama antara lain Rudolf Carnap (ilmu pada prinsipnya mampu menyampaikan semua yang mampu dibilang), Hans Reichenbach (apa yang kita tahu mampu dikatakan, dan apa yang tak mampu dibilang tak mampu dikenali), dan Wittgenstein awal (apa saja yang dapat dikatakan dapat dibilang dengan jelas). Scdangkan yang mewakili kubu kedua antara lain Polanyi (kita tahu lebih banyak dibandingkan dengan yang mampu kita katakan). Termasuk kubu ini yakni mereka yang menyampaikan bahwa pengetahuan sebenamya mampu dimiliki oleh semua tingkatan makluk hidup. Kaprikornus, bagi mereka ini, seorang bayi pun bisa tahu bahwa api panas. Anjing tahu dan mampu membedakan kapan dia digiling dan kapan ditendang. Tumbuhan tahu mana bagian atas mana bagian bawah.
Paradigma untuk wawasan proposisional yakni Saya tahu bahwa p(I know that p), di mana p yaitu suatu kalimat, yakni statemen yang benar atau salah. Misalnya Hari ini hari Kamis, atau Habibie menggantikan Soeharto sebagai presiden RI. Analisis terhadap kalimat saya tahu bahwa p menunjukkan bahwa mesti dipenuhi empat patokan:
a.              Bahwa p yaitu benar. Oleh karenanya bila saya katakan “Saya tahu bahwa 2 + 2= 5” niscaya Anda mengatakan: “Anda tidak tahu, sebab tidak benar”. Itulah sebabnya Plato mengatakan bahwa “hanya apa yang benar dapat dikenali”.
b.             Bahwa aku percaya bahwa p. Keyakinan (belief) ialah sikap atau tindakan logika. Keyakinan itu bukan pengetahuan, tapi syarat untuk pengetahuan. Kaprikornus, saya mampu menyampaikan: “saya percaya bahwa p, namun aku tidak tahu”. Sebaliknya, aku tak mampu berkata: “saya tahu bahwa p, tapi saya tidak percaya”. Keyakinan adalah kriteria wajib (necessary condition) bagi wawasan, namun bukannya syarat yang cukup (sufficient condition). Orang mampu yakin sepenuh hati tanpa tahu, namun orang tak da pat tahu tanpa yakin.
c.              Bahwa aku punya alasan, atau bukti yang cukup, bagi keyakinanku bahwa p. Keyakinan saya harus dibuktikan. Ini untuk membedakan pengetahuan dari lucky guess atau astrologi. Kalau saya katakan bahwa path Lebaran tahun 1999, orang yang mu dik dari Jakarta mencapai dua juta orang, Anda akan minta bukti, atau bertanya lagi dari mana saya mendapatkan angka tersebut. Makara, bukti yang cukup belum otomatis membuat orang tahu. Misalnya, dikala seorang selesai membaca cerita detektif yang seru, ia berkata spontan: mustinya saya tahu! Atau sehabis penyebab kanker ditemu kan, para jago yang menyadari bahwa mereka telah sakit kepala mencarinya bertahun tahun, berkata bahwa mereka memang gres tahu. Jadi, bukti yakni standar yang wajib bagi pengetahuan, bukan tolok ukur yang cukup.
Dalam kaitan dengan ini, sering timbul perdebatan perihal apakah mungkin ada pengetahuan tanpa disadari. Dengan perkataan lain, biar saya tahu bahwa p, apakah aku harus tahu bahwa saya tahu? Apakah Anda tahu sepatu mana yang selalu pertama Anda pakai? Kiri atau kanan? Atau lagu apa yang diperdengarkan radio ketika Anda membaca koran? Dalam psikoanalisa, Freud memperlihatkan bahwa pengetahuan tanpa disadari itu mungkin saja.
d.             Bahwa aku tidak punya bukti lain yang dapat menentang keyakinanku. Saya, contohnya mengatakan “aku tahu bahwa sekarang pukul 12.00” karena jarum jamku memang memperlihatkan bahwa kini pukul 12.00.[4]
B.            Asal Usul Pengetahuan.
1.             Empirisme
Metode Empiris dan observasi empiris, Konsep sentral dalam ilmu pengetahuan dan tata cara ilmiah yaitu bahwa semua bukti harus empiris, atau berbasis empiris, adalah, bergantung pada bukti-bukti yang diamati oleh indera. Hal ini dibedakan dari penggunaan filosofis empirisme oleh penggunaan kata sifat “empiris” atau adverbia yang “empiris”. Empiris yang digunakan bersama dengan baik alam dan ilmu-ilmu sosial , dan mengacu pada penggunaan kerja hipotesis yang dapat diuji memakai pengamatan atau percobaan. Dalam arti kata, laporan ilmiah untuk tunduk dan berasal dari pengalaman kami atau observasi. [5]
Dalam arti kedua “empiris” dalam ilmu dan statistik mungkin identik dengan “eksperimental”. Dalam hal ini, hasil observasi empiris yakni eksperimental. Istilah semi-empiris yang kadang kala digunakan untuk menggambarkan metode teoritis yang menggunakan dasar aksioma , hukum ilmiah diresmikan, dan hasil eksperimen sebelumnya dalam rangka untuk terlibat dalam pembentukan versi beralasan dan pengusutan teoritis.[6]
Tokoh-Tokoh Empirisme
a.              Francis Bacon
b.             Thomas Hobes
c.              John Locke
d.             David Hume.[7]
2.             Rasionalisme
Rasionalisme yaitu paham yang mengajarkan bahwa sumber pengatahuan satu-satunya yang benar yaitu rasio (akal budi), Rasionalisme adalah paham filsafat yang menyampaikan bahwa nalar (resen) ialah alat terpenting dalam menemukan pengatahun dan mengetes pengatahuan. Jika empiresme menyampaikan bahwa pengatahuan diperoleh dengan alam mengalami objek empiris, maka rasionalisme mengejarkan bahwa pengatahuan di peroleh dengan cara berfikir alat dalam berfikir itu yaitu kaidah-kaidah logis atau kaidah-kaidah nalar.[8]
Pengetahuan rasional atau wawasan yang bersumber dari nalar (rasio) yakni sebuah pengetahuan yang dihasilkan dari proses mencar ilmu dan mengajar, diskusi ilmiah, pengkajian buku, pengajaran seorang guru, dan sekolah.[9]
Tokoh-Tokoh Rasionalisme
a.              Blaise Pascal
b.             Cristian Wolf
c.              Rene Descartes
d.             Baruch Spinoza
e.              G.W Leibnitz.[10]
3.             Intuisionisme
intuisi ialah suatu fasilitas untuk mengetahui secara pribadi dan saat itu juga. Unsur utama bagi wawasan yakni kemungkinan adanya suatu bentuk penghayatan langsung (intuitif), di samping pengalaman oleh indera.[11]
Secara epistemologis, pengetahuan intuitif berasal dari intuisi yang diperoleh lewat pengamatan langsung, tidak mengenai objek lahir melainkan perihal kebenaran dan hakikat sesuatu objek.[12]
Metode intuisi bekerjsama tidak mampu dibuktikan secara rasional maupun empiris. Akan tetapi, hasil dari kebenaran intuisi tersebut dapat dibuktikan secara rasional sekaligus empiris. Artinya, banyak orang yang menemukan pengetahuan yang mendalam secara intuitif yang kemudian terbukti benar. Oleh alasannya itu, Bergson menyampaikan bahwa intuisi sesungguhnya bersifat intelektual dan sekaligus supra-intelektual, dimana pengetahuan supra-intelektual tersebut akan mampu mencapai pengetahuan dan kesadaran diri pada hal-hal yang paling vital, elan vital. Sementara bagi Nietzsche intuisi merupakan inteligensi yang paling tinggi, dan bagi Maslow intuisi ialah pengalaman puncak (peak experience).[13]
Tokoh-Tokoh Intuisionisme
a.              Imanuel Kant
b.             Luitzen Egbertus Jan Brouwer
c.              Arend Heyting
d.             Sir Michael Anthony Eardly Dummett.[14]
4.             Kritisisme
Kant membedakan pengetahuan ke dalam empat bab, selaku berikut::
a.             Yang analitis a priori
b.             Yang sintetis a priori
c.             Yang analitis a posteriori
d.            Yang sintetis a posteriori.[15]
Pengetahuan a priori adalah pengetahuan yang tidak tergantung pada adanya pengalaman atau, yang ada sebelum pengalaman. Sedangkan pengetahuan a posteriori terjadi selaku akhir pengalaman. Pengetahuan yan analitis ialah hasil evaluasi dan pengetahuan sintetis ialah hasil keadaan yang mempersatukan dua hal yang lazimnya terpisah Pengetahuan yang analitis a priori adalah wawasan yang dihasilkan oleh evaluasi terhadap unsur-komponen yang a priori. Pengetahuan sintetis a priori dihasilkan oleh penyelidikan nalar terhadap bentuk-bentuk pengalamannya sendiri dan penggabungan komponen-unsur yang tidak saling bertumpu.
Misal, 7 – 2 = 5 merupakan teladan pengetahuan semacam itu. Pengetahuan sintetis a posteriori diperoleh sesudah adanya pengalaman.
Dengan filsafatnya, dia bermaksud memugar sifat obyektivitas dunia dan ilmu pengetahuan. Agar maksud tersebut terealisasi orang mesti menghindarkan diri dari sifat sepihak. Menurut Kant ilmu wawasan yakni bersyarat pada: a) bersiafat biasa dan bersifat perlu mutlak dan b) memberi pengetahuan yang gres. Kant bermaksud menyelenggarakan penelitian yang kritis kepada rasio murni dan realita.
Kant yang mengajarkan ihwal daya pengenalan mengemukakan bahwa daya pengenalan roh ialah bertingkat, dari tingkatan paling rendah observasi inderawi, menuju ke tingkat menengah akal (Verstand) dan yang tertinggi rasio atau buddhi (Vernunft).
Immanuel Kant menilai Empirisme (pengalaman) itu bersifat relative jikalau tanpa ada landasan teorinya. contohnya yakni kamu selama ini tahu air yang dimasak hingga mendidih niscaya akan panas, itu kita dapat dari pengalaman kita di rumah kita di Indonesia ini, namun lain kisah jika kita mengolah makanan air sampai mendidih di kawasan kutub yang suhunya di bawah 0̊ C, maka air itu tidak akan panas alasannya adalah terkena suhu masbodoh kawasan kutub, alasannya adalah pada teorinya suhu air malah akan menjadi hambar.
dan acuan lainnya ialah pada gravitasi, gravitasi hanya dapat di buktikan di bumi saja, tetapi tidak dapat dipraktekkan di bulan. Makara sudah terbukti bahwa pengalaman itu bersifat relatif, tidak mampu kita simpulkan atau kita iyakan begitu saja tanpa dibuktikan dengan sebuah akal dan teori. Dan oleh alasannya itu Ilmu wawasan atau Science haruslah bersifat meningkat , tidak absolute atau mutlak dan tidak bertahan usang sebab akan lewat perubahan yang mengikuti perkembangan zaman yang terus maju. (mungkin Sir Issac Newton kalau hidup kembali bakal merevisi teori Gravitasinya kembali) Pengalaman juga bersifat data-data Inderawi.
Makanya Immanuel Kant mengkritik Empirisme, data Inderawi sendiri mesti dibuktikan atau dicek dengan azas prinsipal abstrak yang dibagi menjadi 4 oleh Immanuel Kant, antara lain:
1.             Kuantitas (hitung-hitungan) mengandung kesatuan, kejamakan dan keutuhan.
2.             Kualitas (Baik dan buruk) realitas, negasi dan pembatasan.
3.             Relasi (relasi) mengandung substansi, kausalitas dan timbal balik.
4.             Modalitas mengandung kemungkinan, peneguhan dan keperluan.[16]
Data-data inderawi mesti dibuktikan dahulu dengan azas prinsipal abstrak yang dibagi menjadi 4 tadi, baru dapat diputuskan, itulah proses Kritisisme Rasionalis Jerman yang di ajarkan Immanuel Kant.
Tokoh- Tokoh Kritisisme
a.              Henry Bergson
b.             Luitzen Egbertus Jan Brouwer
c.              Arend Heyting
d.             Sir Michael Anthony Eardly Dummett.[17]
C.           Kebenaran wawasan
 Berpikir merupakan sebuah aktivitas untuk mendapatkan wawasan yang benar. Pada setiap jenis wawasan tidak sama persyaratan kebenarannya alasannya adalah sifat dan moral wawasan itu berlawanan. Pengetahuan perihal alam metafisika tentunya tidak sama dengan wawasan ihwal alam fisik. Secara lazim orang merasa bahwa tujuan pengetahuan yakni untuk mencapai kebenaran, tetapi masalahnya tidak hanya hingga di situ saja. Problem kebenaran inilah yang memacu berkembang dan berkembangnya espistemologi.
1.             Jenis-jenis kebenaran.
a.             Kebenaran Individual: Kebenaran Individual ini ialah kebenaran yang di ikuti manusia menurut pertimbangan sendiri.
b.             Kebenaran Objektif: ialah kebenaran yang umumnya bersumber dari pemikiran leluhur  yang diwariskan secara turun temurun dan sudah mendarah daging dalam masyarakat.
c.             Kebenaran Hakiki: Kebenaran yang sifatnya mutlak, pasti dan tidak akan pernah mengalami pergantian, tentunya kebenaran ini bukan dari manusia, namun kebanaran ini hadirnya dari Sang Pencipta.[18]
2.             Teori-Teori Kebenaran
Dalam perkembangan anutan filsafat perbincangan perihal kebenaran telah dimulai semenjak Plato yang lalu diteruskan oleh Aristoteles. Melalui metode dialog Plato yang membangun teori pengetahuan yang cukup lengkap selaku teori wawasan yang paling permulaan. Sejak itulah teori wawasan berkembang terus untuk mendapatkan berbagai penyempurnaan sampai kini.
Ada beberapa teori wacana kebenaran yang berkembang dalam kajian filsafat ilmu. Beberapa diantaranya, antara lain sebagai berikut.
a.             Teori Kebenaran Saling Berhubungan (Coherence Theory of Truth)
Teori ini menganggap bahwa sesuatu dianggap benar kalau pernyataan itu koheren atau konsistent dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Proporsi cenderung benar kalau proposisi tersebut dalam kondisi saling bekerjasama dengan proposisi-proposisi yang lain yang benar, atau makna yang dikandungnya dalam kondisi saling bekerjasama dengan pengalaman kita. Biasanya, kita menyampaikan orang berbohong dalam banyak hal dan kita mengetahuinya dengan cara menunjukkan bahwa apa yang dikatakannya tidak sesuai dengan hal-hal lain yang telah dikatakannya atau dikerjakanya.
Bila kita menganggap bahwa “Semua insan akan mati” ialah sebuah pernyataan yang benar, maka “Si Dadang yakni seorang manusia dan dia niscaya akan mati” adalah pernyataan yang tentunya niscaya benar (mustahil salah) alasannya adalah pernyataan kedua ini konsistent dengan pernyataan pertama. Contoh kebenaran koherensi ini banyak ada dalam matematika karena matematika yaitu ilmu yang disusun atas dasar beberapa dasar pernyataan yang dianggap benar, ialah aksioma.
Plato dan Aristoteles ialah dua Filsuf Yunani yang berbagi teori koherensi berdasarkan contoh anutan yang dipergunakan Euclid dalam menyusun ilmu ukurnya. Setelah itu teori ini juga banyak dipakai para filsuf idealis.
b.             Teori Kebenaran Saling Bersesuaian (Correspondence Theory of Truth)
Bagi penganut teori kebenaran ini, suatu pernyataan dianggap benar kalau materi wawasan yang dikandung pernyataan itu berkorespondensi (berhubungan) dengan objek yang dituju oleh pernyataan tersebut. Sebuah pernyataan itu benar bila apa yang diungkapkannya ialah fakta. Jika penulis mengatakan, “Di luar hawanya hambar” maka, memang begitulah kenyataanya menurut keadaannya yang nyata. Jika ada yang mengtakan, “Ibukota Jawa Timur ialah Surabaya” Maka, pernyataan itu dianggap benar alasannya hal itu cocok dengan objek materialnya, bersifat nyata (berdasarkan fakta).
Salah satu tokoh teori ini adalah Bertrand russel (1872-1870) dan para penganut pemikiran realis yang berpandangan bahwa fakta material itu sifatnya mandiri dan tak terpengaruh oleh wangsit. Ada atau tidaknya ilham, fakta tetap ada. Kalau ilham mau benar, dia mesti sesuai dengan kenyataan yang ada.
c.              Teori Kebenaran Inherensi/Pragmatis (Inherent Theory of Truth)
Teori ini berpandangan bahwa sesuatu dianggap benar jika berguna. Artinya, kebenaran sebuah  pernyataan bersifat fungsional dalam kehidupan mudah. Ajaran pragmatisme memang memiliki banyak corak (kombinasi). Tetapi, yang menyamakan di antara mereka adalah bahwa ukuran kebenaran ditaruh dalam salah satu konsenkuensi. William James, contohnya, mengatakan, “Tuhan ada.” Benar bagi seorang yang hidupnya mengalami pergeseran alasannya percaya adanya Tuhan. Artinya, proposisi-proposisi yang menolong kita menyelenggarakan pembiasaan-penyesuaian yang membuat puas kepada pengalaman-pengalaman kita yakni benar.
Teori pragmatisme dicetuskan oleh Charles S. Pierce (1839-1914) dalam suatu makalah yang terbit pada tahun 1878 yang berjudul “How to Make Our Ideas Clear”. Teori ini lalu dikembangkan oleh beberapa filafaat yang pada umumnya yaitu orang Amerika, alasannya adalah itulah filsafaat Amerika identik dengan aliran pragmatisme ini.[19]
d.             Teori Kebenaran Berdasarkan Arti (Semantic Theory of Truth)
Yaitu proposisi itu ditinjau dari segi arti atau maknanya. Apakah proposisi yang ialah pangkal tumpunya mempunyai referen yang terang. Oleh sebab itu, teori ini memiliki peran untuk menguakkan kesahan dari proposisi dalam referensinya.
Teori kebenaran semantick dianut oleh paham filsafat analitika bahasa yang dikembangkan paska filsafat Bertrand Russell selaku tokoh pemula dari filsafat analitika Bahasa.
e.              Teori Kebenaran Sintaksis
Para penganut teori kebenaran sintaksis, berpangkal tolak pada keteraturan sintaksis atau gramatika yang digunakan oleh sebuah pernyataan atau tata bahasa yang melekatnya. Dengan demikian, suatu pernyataan  mempunyai nilai benar apabila pernyataan itu mengikuti aturan sintaksis yang baku. Atau dengan kata lain jika proposisi itu tidak mengikuti syarat atau keluar dari hal yang disyaratkan maka proposisi itu tidak memiliki arti. Teori ini meningkat diantara para filsuf analisis bahasa, utamanya yang begitu ketat terhadap pemakaian gramatika.
f.               Teori Kebenaran Nondeskripsi
Teori kebenaran nondeskripsi dikembangkan oleh penganut filsafat fungsionalisme. Karena pada dasarnya suatu statement atau pernyataan akan memiliki nilai benar yang amat tergantung tugas dan fungsi daripada pernyataan itu. Misalnya pernyataan ‘matahari ialah sumber energi’ itu telah terbukti fungsinya dalam kehidupan bahwa cahaya matahari mampu digunakan sebagai sumber energi listrik.[20]
g.             Teori Kebenaran Logis yang Berlebihan (Logical Superfluity of truth)
Teori ini dikembangkan oleh kaum positivistik yang diawali oleh Ayer. Pada dasarnya berdasarkan teori kebenaran ini, bahwa problema kebenaran cuma ialah kesemrawutan bahasa saja dan berakibat sebuah pemborosan, alasannya adalah pada dasarnya apa yang mau dibuktikan kebenarannya memiliki derajat logis yang sama yang masing-masing saling melingkupinya. Dengan demikian, bahwasanya setiap proposisi yang bersifat logik dengan memberikan bahwa
proposisi itu mempunyai isi yang sama, memperlihatkan informasi yang serupa dan siapa saja sepakat, maka apabila kita membuktikannya lagi hal yang demikian itu cuma merupakan bentuk logis yang berlebihan. Hal yang demikian itu bantu-membantu alasannya suatu pernyataan yang akan dibuktikan nilai kebenarannya bantu-membantu sudah merupakan fakta atau data yang sudah mempunyai evidensi, artinya bahwa objek wawasan itu sendiri sudah menawarkan kejelasan dalam dirinya sendiri, Misalnya suatu bulat yaitu bundar, ini sudah menawarkan kejelasan dalam pernyataan itu sendiri tidak perlu dijelaskan lagi, sebab intinya bulat adalah sebuah yang terdiri dari rangkaian titik yang jaraknya sama dari satu titik tertentu, sehingga berupa garis yang bulat
Sedangkan Menurut Michael Williams terdapat 5  persyaratan teori kebenaran yaitu:
1)             Kebenaran Koherensi: Sesuatu yang koheren dengan sesuatu lainnya memiliki arti ada kesesuaian atau keharmonisan dengan sesuatu yang mempunyai hirarki lebih tinggi, hal ini dapat berupa skema, sisitem, atau nilai. Koheren tersebut mungkin saja tetap pada dataran sensual rasional, namun mungkin pula menjangkau dataran transenden.
2)             Kebenaran Korespondensi: Berfikir benar korespondensi yaitu berfikir wacana terbuktinya sesuatu itu relevan dengan sesuatu lainnya. Korespondensi berkaitan dibuktikan adanya peristiwa sejalan atau bertentangan arah antara fakta dengan fakta yang dibutuhkan (positifisme), antara fakta dengan belief yang diyakini, yang sifatnya spesifik.
3)             Kebenaran Performatif: Ketika pedoman manusia menyatukan segalanya dalam tampilan actual dan menyatukan apapun yang ada dibaliknya, baik yang simpel, yang teoritik, maupun yang filosofik. Orang yang mengetengahkan kebenaran tampilan actual yang disebut dengan kebenaran performatif.
4)             Kebenaran Pragmatik: Perintis teori ini ialah Charles S. Pierce. Yang benar yaitu yang kasatmata, yang perorangan, dan yang spesifik, demikian James Deweylebih lanjut menyatakan bahwa kebenaran merupakan korespondensi antara wangsit denga fakta, dan arti korespondensi menurut Dewey yakni kegunaan praktis.
5)             Kebenaran Proposisi: Sesuatu kebenaran mampu diperoleh jika proposisi-proposisinya benar dalam nalar Aristoteles, proposisi benar yaitu bila sesuai dengan persyaratan formal sebuah proposisi. Proposisi ialah suatu pernyataan yang berisi banyak desain kompleks.[21]
3.             Sifat Kebenaran
a.             Kebenaran Ilmiah dari Sudut Pandang Subjektifitas
Telah dikenali kebenaran ilmiah adalah kebenaran yang ditandai oleh terpenuhinya syarat-syarat ilmiah khususnya menyangkut adanya teori yang menunjang serta sesuai dengan bukti. Kebenaran ilmiah divalidasi oleh bukti-bukti empiris adalah hasil pengukuran objektif dilapangan.
Sifat setiap ilmu yaitu diidentikkan dengan dua teori adalah “subjektifitas” dan “objektifitas”. Subjek berkaitan dengan seseorang atau eksklusif. Subjektif berhubungan erat dengan ke-saya-an.[22] Dalam hal filsafat subjektif berhubungan dalam segala hal, kesadaran manusia menjadi tolak ukur, keberadaan, makna dan validitasnya.[23]
Dari penjelasan di atas bahwa “subjektifitas” menghendaki peranan penting dari setiap langsung yang menganggap sendiri tentang kebenaran, artinya sesuatu dipandang benar bila didasarkan pada langsung atau insan yang menilai tentang sesuatu itu. Kebenaran tolak ukurnya ialah menurut subjek, namun hal semacam ini apakah berlaku bagi kebenaran ilmiah. Sedangkan kebenaran ilmiah sangat identik dengan syarat-syarat ilmiah menyangkut teori yang menunjang dan sesuai dengan bukti, yang ditunjang oleh rasio dan divalidasi dengan data empirik
Sifat rasional dan teruji bagi kebanaran ilmiah menghendaki adanya kebenaran hanya sesuatu yang mampu diakalkan (logiskan) dan mampu teruji. Berari kebenaran ilmiah sungguh menolak dengan kebenaran mutlak. Sebab kebenaran ini kaitannya dengan kebenaran yang tiba dari Tuhan bersumber dari wahyu yang mengikat. Kebenaran yang rasional dan teruji akan hanya bisa memaparkan hal-hal yang empiris.
Jika demikian di atas jawaban pertanyaan-pertanyaan tersebut jikalau dikaitkan dengan klarifikasi pengertian kebenaran ilmiah dari faktor subjektifitas belum mampu diterima sebab kebenaran ilmiah yang bermuara dari subjektifitas tidak jarang memperlihatkan bukti atau tidak sesuai dengan data empirik dan pembuktian konkret menurut dengan rasa atau langsung.
Oleh alasannya itu kebenaran yang bekerjsama dalam kajian kebenaran ilmiah adalah kebernaran yang sedikit dipengaruhi oleh bagian subjektifitas.
b.             Kebenaran Ilmiah dari Sudut Pandang Objektifitas
Kebenaran ilmiah adalah kebenaran yang ditandai oleh terpenuhinya syarat-syarat ilmiah utamanya menyangkut adanya teori yang menunjang serta sesuai dengan bukti. Kebenaran ilmiah divalidasi oleh bukti-bukti empiris ialah hasil pengukuran objektif dilapangan.
Kebenaran merupakan seperti penjelasan diawal ialah kesesuaian antara pengetahuan dengan objeknya. Objek ialah sesuatu yang ihwalnya dimengerti atau hendak diketahui. Suatu objek yang ingin diketahui mempunyai berbagai faktor yang amat susah untuk diungkapkan sedangkan yang yang lain tetap tersembunyi. Sangat terang bahwa untuk mengetahui objek secara lengkap sungguh susah.
Objek juga diartikan sebagai sesuatu yang dapat dilihat secara fisik, disentuh, diindra, sesuatu yang mampu disadari secara fisik atau mental, sebuah tujuan final dari kegiatan atau usaha, suatu hal yang menjadi persoalan pokok sebuah penyelidikan.[24]
Menurut Langeveld  dalam bukunya Muhammad In’am Esha objek wawasan dibedakan menjadi tiga:
1)             Objek empiris yaitu objek wawasan yang intinya ada dan dapat ditangkap oleh indra lahir dan indra batin.
2)             Objek ideal yaitu objek wawasan yang pada dasarnya tiada dan menjadi ada berkat logika.
3)             Objek transendental adalah objek wawasan yang pada dasarnya ada namun berada diluar jangkauan asumsi dan perasaan manusia.[25]
Kebenaran yang objektif tidak bergantung pada ada atau tidaknya wawasan subjek ihwal objek, mengingat objek pengetahuan itu beraneka ragam maka tolak ukur biar kebenaran yang menjadi syarat diterimanya wawasan berbeda, terhadap objek yang bersifat:
(1)          Empiris, ukuran kebenara yaitu bukti kenyataan (aktual).
(2)          Ideal,ukuran kebenarannya adalah hukum pikir (rasional).
(3)          Transendental, ukuran kebenaran ialah rasa yakin (superrasional).
Pengetahuan adalah jawaban subjek kepada objek yang diketahui,dengan demikian taggapan merupakan penilaian subjek terhadap objek. Oleh alasannya itu dalam  hal ini kebenaran ada dua segi:
a)             Benarnya fakta (bukti) adalah kebenaran objek (didunia luar).
b)            Benarnya Ide (tanggapan ialah kebenaran subjek (didunia dalam).[26]
Fakta bersifat objektif, sehingga fakta tidak mampu disalahkan atau dipersalahkan alasannya memang demikian adanya sekalipun negatif. Oleh karena itu ada dua kemungkinan yang terjadi yaitu faktanya benar dan tanggapan subjek benar dan faktanya benar dan balasan subjek salah. Dalam kebenaran ilmiah apakah kebenaran objektif dapat diterima? Langeveld menjawab kebenaran yang bahu-membahu tidak lepas dari adonan subjek dan objek.
Kebenaran ini beliau sebut dengan kebenaran dasar yakni ada hubungan antara subjek dan objek. Namun, hal ini juga disangkal, kebenaran dasar belum mencapai tingkat dijamin ilmiah. Lantas jikalau kebenaran sifatnya relatif apa gunanya insan berpengetahuan? untuk menjawab pertanyaan ini perlu dikenang kembali wacana teori wawasan. Teori-teori itu mampu menjadi teladan bagi kebenaran ilmiah.
Inti dari kebenaran ilmiah adalah klarifikasi tentang objek mirip apa adanya tanpa ada pengaruh sedikitpun oleh keadaan subjek. Objek diterangkan dibuktikan dengan aktual, dalam keadaannya tanpa ada manipulasi atau pergeseran tanggapan dari subjek. Jika terjadi manipulasi maka hal ini jelas keuar dari koridor arti kebenaran bahwa pengetahuan tidak cocok dengan keadaan objek, dan ini sudah terjadi kekeliruan yang jelas pengetahuan ini tidak dapat diterima


BAB III
PENUTUP
A.           Kesimpulan
1.             Unsur-Unsur Pengetahuan: Ada tiga unsur dalam tahu/pengetahuan, ialah subyek yang mengetahui (knowing subject), obyek yang dimengerti (known object), dan kegiatan pengetahuan itu sendiri (knowing activity).
2.             Asal Usul Pengetahuan: 1) Empirisme: bergantung pada bukti-bukti yang diamati oleh indera. 2) Rasionalisme: paham filsafat yang menyampaikan bahwa nalar (resen) adalah alat paling penting dalam mendapatkan pengatahun dan mengetes pengatahuan. 3). Intuisionisme: yang diperoleh melalui observasi langsung, tidak mengenai objek lahir melainkan mengenai kebenaran dan hakikat sesuatu objek. 4). Kritisisme: Kant membedakan wawasan ke dalam empat bagian, selaku berikut: (1) Yang analitis a priori. (2) Yang sintetis a priori (3) Yang analitis a posteriori (4) Yang sintetis a posteriori
3.             Kebenaran wawasan: 1). Jenis-jenis kebenaran: (1) Kebenaran Individual ( 2). Kebenaran Objektif. ( 3). Kebenaran Hakiki 2). Teori-Teori Kebenaran: Menurut Michael Williams terdapat 5  tolok ukur teori kebenaran yakni: (1) Kebenaran Koherensi (2) Kebenaran Korespondensi (3) Kebenaran Performatif. (4). Kebenaran Pragmatik (5) Kebenaran Proposisi 3) Sifat Kebenaran  (1). Kebenaran Ilmiah dari Sudut Pandang (2). Subjektifitas Kebenaran Ilmiah dari Sudut Pandang Objektifitas


DAFTAR PUSTAKA
S.M.N. Al-Attas, 1984,  Konsep Pendidikan Islam, terj. Haidar Bagir, Bandung: Mizan, Cet. I
C. A Van Peurson 1980 Orientasi di Alam Filsafat Jakarta, PT Gramedia.
Louis Leahy 2006  kalau sains mencari makna yogyakarta pustaka filsafat
(diakses pada tangaal 20-11-2017)
Ahmad Saebani, 2009 Filsafat Ilmu, bandung;CV Pustaka Setia,
Lorens anggun. 1996 Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia.
Harun Hadiwijono. 1993 Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Cet. IX; Yogyakarta: Kanisius,
Ahmad Tafsir 2007 Filsafat Umum, bandung PT. Remaja Rasda Karya
A. Maksum. 2008 Pengantar Filsafat. Malang: Ar-Ruzzmedia
Harold H. Titus, dkk, 1984 Persoalan-Persoalan Filsafat, Jakarta: Bulan Bintang,
Ravertz, Jerome R. 2004 The Philosophy of Science. Diterjemahkan oleh Saut Pasaribu dengan judul Filsafat Ilmu, Sejarah dan Ruang Lingkup Bahasan. Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
Bambang Q-Anees dan Radea Juli A. Hambali, selanjutnya disebut Bambang, 2003 Filsafat Untuk Umum Cet. I; Jakarta: Prenada Media
Surajiyo, 2008 Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, Jakarta: PT Bumi Aksara.
Ahmad Tafsir, 1998  Filsafat Umum Cet. VI; Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
Soyomukti Nurani, 2011 Pemgantar Filsafat Umum, Depok: Ar Ruzz Media.
Louis O Kattsoff, 1996 Element Of Philosophy, diterjemahkan oleh Soejono Soemargono,Pengantar filsafat, PT. Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta
Budiono, 2005 Kamus Ilmiah Populer Internasional, PT. Karya Harapan, Surabaya:
Muhammad In’am Esha, 2010 Menuju Pemikiran Filsafat,( UIN Maliki Press, Malang:
Uyoh Sadullah, 2008 Pengantar Filsafat Pendidikan, PT. Alfabeta, Bandung
Jan Hendrik Rapar, 2000 Pengantar Filsafat, PT. Kanisius, Yogyakarta

  Desain Dasar Ilmu Pendidikan

[1]S.M.N. Al-Attas, Konsep Pendidikan Islam, terj. Haidar Bagir, (Bandung: Mizan, 1984), Cet. I, hlm.37

[2]C. A Van Peurson., Orientasi di Alam Filsafat (Jakarta., PT Gramedia., 1980), hlm 19

[3] Louis Leahy bila sains mencari makna (yogyakarta pustaka filsafat 2006 ), hal  79-80

[4]  (diakses pada tangaal 20-11-2017)

[5] Ahmad Saebani, Filsafat Ilmu, (bandung;CV Pustaka Setia, 2009), hal. 96

[6] Lorens anggun. Kamus Filsafat. (Jakarta: Gramedia. 1996). Hal. 1017-1018.

[7] Harun Hadiwijono. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Cet. IX; (Yogyakarta: Kanisius, 1993.), hal 78

[8] Ahmad Tafsir  Filsafat Umum, (bandung PT. Remaja Rasda Karya 2007), hal 89

[9]  A. Maksum. Pengantar Filsafat. (Malang: Ar-Ruzzmedia 2008), hal 69

[10] Saebani, Filsafat Ilmu…..,hal 100

[11] Harold H. Titus, dkk, Persoalan-Persoalan Filsafat, (Jakarta: Bulan Bintang,1984), hal 205

[12] Harold H. Titus, dkk, Persoalan-Persoalan Filsafat…hal 216

[13] Ravertz, Jerome R. The Philosophy of Science. Diterjemahkan oleh Saut Pasaribu dengan judul Filsafat Ilmu, Sejarah dan Ruang Lingkup Bahasan. Cet. I; (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004).hal  36

[14] Harold H. Titus, dkk, Persoalan-Persoalan Filsafat…hal 265

[15] Bambang Q-Anees dan Radea Juli A. Hambali, selanjutnya disebut Bambang, Filsafat Untuk Umum (Cet. I; Jakarta: Prenada Media, 2003), hal 190

[16]  Surajiyo, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, (Jakarta: PT Bumi Aksara. 2008)  hal 57-58

[17] Harold H. Titus, dkk, Persoalan-Persoalan Filsafat…hal 265

[18] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum (Cet. VI; Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1998), hal. 109

[19]  Soyomukti Nurani, Pemgantar Filsafat Umum, (Depok: Ar Ruzz Media. 2011 ) hal 174-176

[20] Soyomukti Nurani, Pemgantar Filsafat Umum, (Depok: Ar Ruzz Media. 2011)  hal 174-176

[21]  Louis O Kattsoff, Element Of Philosophy, diterjemahkan oleh Soejono Soemargono,Pengantar filsafat,( PT. Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta 1996), hal 77-79

[22] Budiono, Kamus Ilmiah Populer Internasional, (PT. Karya Harapan, Surabaya: 2005). Hal. 618

[23] Muhammad In’am Esha, Menuju Pemikiran Filsafat,( UIN Maliki Press, Malang: 2010). Hal. 125.

[24]  Uyoh Sadullah, Pengantar Filsafat Pendidikan, (PT. Alfabeta, Bandung: 2008). Hal. 33-37

[25] In’am Esha, Menuju Pemikiran Filsafat……, hal 129

[26] Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, (PT. Kanisius, Yogyakarta: 2000). Hal. 38