close

Arwah Titisan | Cerpen Destya Tika Ananta

Hawa sejuk di perkebunan Glenmore Banyuwangi begitu menyenangkan. Sungguh membuatku betah. Burung berkicau sembari berlompatan riang di reranting pohon. Embun pagi di atas dedaunan memunculkan warna gemerlap. Memantulkan sinar mentari yg pancarannya begitu menyilaukan mata. Hangatnya sinar sang surya begitu terasa dikala menyentuh kulit, meski gue telah mengenakan jaket jatah dr Dinas Kesehatan, yg kudapat tatkala gue dilantik menjadi seorang bidan. Sebagai bentuk dedikasi terhadap penduduk desa, khususnya di desa yg tertinggal.

Hari ini gue berjanji temu dgn temanku sesama bidan, Nih Luh Padmi. Aku akan mengunjungi klinik bersalinnya di Desa Olehsari pada hari Minggu. Aku sangat kagum pada sahabatku itu. Sebab, ia sudah sukses mendirikan suatu klinik di sebuah desa dgn segala kemampuan dana & tenaga meski dlm keadaan & suasana yg tak mudah.

Hari yg gue tunggu pun tiba. Setelah sarapan dgn nasi urap, gue pun berkemas. Kujinjing sebuah tas ransel berisi pakaian & bekal secukupnya. Aku secepatnya berangkat menuju Desa Olehsari. Untuk menuju jalan raya, gue menggunakan jasa ojek selaku kendaraan pertama. Ojek merupakan satu-satunya fasilitas transportasi biasa di desaku. Sebab, hingga dikala ini belum ada sarana transportasi resmi yg beroperasi di desaku. Jika tak ada ojek, acap kali gue menumpang kendaraan bak terbuka yg oleh penduduk digunakan untuk memuat sayur-sayuran hasil panen menuju pasar subuh di kota.

Perjalanan dr desa kawasan tinggalku & bertugas menuju jalan raya ditempuh selama 1 jam. Sebenarnya jarak antara desa ke jalan raya hanya 3 kilometer. Namun, kondisi jalan desa yg tak baik & kurang rata menjadi hambatan yg belum dapat diatasi hingga saat ini. Yah, jalan di desaku berbentukjalan makadam yakni suatu jalan yg terdiri dr tanah & tatakan kerikil kali yg tak rata. Jika trend kemarau, jalannya berdebu. Sedangkan pada trend hujan mirip kini ini, jalan begitu licin sehingga pengendara mesti berhati-hati kalau sedang melintas.

Satu jam pun berlalu. Aku tiba di jalan raya. Setelah membayar tukang ojek, gue pribadi menuju seberang jalan untuk menanti bus yg menuju kota Banyuwangi. Tak usang kemudian bus yg gue tunggu tiba. Aku segera naik & duduk di dingklik bus yg kosong. Kebetulan bangku yg kosong yaitu bangku yg paling depan tepatnya di belakang kursi sopir. Pandanganku begitu leluasa. Aku bisa menyaksikan kepingan depan saat bus berlangsung, begitu pula cuilan samping, utamanya penggalan kanan jalan. Aku nikmati perjalananku dgn perasaan yg nyaman. Tatkala gue sedang asyik menikmati perjalanan, tiba-tiba gue dikejutkan oleh bunyi kondektur.

  Nelayan Pensiun | Cerpen M. Amin Mustika Muda

“Ke mana, Bu?”

“Eh, eee… Banyuwangi.”

“Banyuwangi mana?”

“Karangente.”

“Sepuluh ribu, Bu.”

Aku segera mengeluarkan dompet, kuraih duit sepuluh ribuan & langsung kuserahkan pada kondektur. Aku pun mendapatkan lembaran karcis yg sudah diberi tanda coretan pada nama kota yg akan gue tuju. Segera kumasukkan sobekan karcis ke dlm saku bajuku. Aku pun kembali menikmati perjalanan dgn santai sambil menyimak musik dr ponselku memakai headset.

Bus yg gue tumpangi pun tiba di Terminal Brawijaya yg lazim disebut penduduk Banyuwangi dgn nama Terminal Karangente. Aku segera turun dr bus & di pintu keluar telah menunggu Ni Luh Padmi, sahabatku. Ni Luh menyambutku dgn besar hati. ia secepatnya mengajakku masuk ke dlm mobilnya yg terparkir di pool transportasi kota.

“Bagaimana perjalananmu, Sekar?” Ni Luh Padmi membuka percakapan.

“Agak capek sih, namun mengasyikkan juga.”

“Tapi nggak repot, kan?”

“Ya nggak sih.”

“Sekar, ada banyak hal yg mungkin tak akan ananda yakin bila kuceritakan padamu.”

“Memangnya ada apa, Ni?”

“Pengalamanku selama menjadi bidan di Desa Olehsari kadang mendobrak kokohnya tembok tradisi, teori, & keilmuan kita.”

“Maksudmu? masih ada suasana mistik di sana?”

“Entahlah, gue sendiri resah & kekurangan kata untuk bercerita. Kau ingat dgn Ayu kan? Gadis yg pernah kuceritakan dahulu. Ia sering kerasukan arwah.”

“Ayu, bayi titisan Nyi Semi, penari gandrung itu maksudmu? Sudah nyaris sebelas tahun berlalu. Tapi, gue masih mengingatnya.”

Menjelang tengah hari, kami tiba di Kecamatan Glagah menuju Desa Olehsari. Patung penari Gandrung acapkali terlihat di sepanjang perjalanan. Pengaruh Kerajaan Blambangan begitu kental. Bahasa Osing yg terdengar selama perjalanan sangat berkesan bagiku. Tanpa terasa, sehabis aneka macam dialog menguar di sepanjang jalan, gue pun tiba di klinik milik Ni Luh Padmi.

*****

Malam ini angin acuh taacuh berembus kencang, meniup kain gorden putih di jendela klinik bersalin milik Ni Luh Padmi. Kain gorden melambai-lambai mengikuti embusan angin. Hawa hambar begitu terasa menusuk tulang-tulangku. Saat gue sedang menikmati suasana malam, tiba-tiba terdengar suara gaduh di luar.

“Bu Bidan! Tolong, Bu Bidan!”

“Ada apa, Mak Ida?” Tampak Ni Luh Padmi bergegas menuju sumber bunyi.

“Ayu kumat lagi! Badannya kejang dr tadi sore, hanya sebentar saja siuman.” Mak Ida & suaminya membopong Ayu Laksmi, putri mereka. Wajah Ayu terlihat pucat pasi. Mulutnya terkunci rapat.

“Ayu harus menginap di klinik semalam, Mak Ida. Saya khawatir Ayu sesak napas.” Mak Ida & suaminya mengangguk. Aku pun menolong Ni Luh merawat Ayu.

  15 Hari Bulan | Cerpen Hasan Al Banna

Purnama penuh, menghiasi langit malam Desa Olehsari. Sayup-sayup kudengar suara gamelan gong, saron, kluncing, & gendang bertabuhan berirama. Seiring dgn makin terangnya cahaya bulan, suara gamelan kian terperinci mengalun. Terdengar pula suara panjak penyorak penari menyela di antara alunan gamelan. Seketika kurasakan bulu kudukku meremang. Sesaat kemudian terdengar bunyi halus memanggilku menuju kamar daerah Ayu dirawat. Mak Ida & suaminya telah lelap tidur di sebuah bale kayu di depan kamar Ayu.

Sesampainya di kamar Ayu, gue sungguh kagetdgn panorama yg ada di hadapanku. Ya, Tuhan! Hampir gue tak percaya dgn penglihatanku. Perlahan-lahan, sesosok makhluk berbusana penari gandrung lengkap dgn omproknya keluar dr tubuh Ayu. Rambutnya yg panjang berhias bunga beraneka warna yg menebar aroma gaib. Aku cuma bisa terkesima menyaksikan pemandangan itu. Roh itu sungguh-sungguh berwujud fisik seorang perempuan di hadapanku. Ya, ia yakni Nyi Semi, arwah sang penari gandrung yg senantiasa diceritakan Ni Luh Padmi kepadaku.

Nyi Semi mendekat ke arahku. Tangannya terus menggerak-gerakkan kipas sambil meliuk-liukkan badan & kepalanya mengikuti irama alunan gendang. Rasa penasaran & takut berkecamuk dlm diriku. Aroma pandan & bunga kenanga begitu semerbak. Berbaur dgn asap dupa yg menyanggupi ruangan. Seakan-akan gue terhipnotis mengikuti Nyi Semi untuk bergerak & menari. Sementara dlm batas kesadaran yg lain gue melihat Ayu Laksmi tertidur pulas.

Semakin usang, gerakan menari Nyi Semi semakin cepat. Aku diayun dgn selendangnya. Tubuhku terasa ringan seperti kapas terbang. Di balik kibasan selendangnya, ku lihat bibir Nyi Semi menyungging senyum.

“Nyi Semi, bolehkah saya bertanya?” kataku menjajal berkomunikasi dlm bahasa batin.

“Anak boleh mengajukan pertanyaan. Mau tanya apa kau?” Suara perempuan itu parau. Mata Nyi Semi berganti merah. Ia menatapku dgn pandangan yg tajam.

“Mengapa Nyi menggunakan raga Ayu untuk kembali?”

“Aku mengharapkan Ayu menjadi Seblang. Ia akan sembuh & berumur panjang sepertiku.”

“Mengapa harus Ayu, Nyi? Kami hidup dlm alam yg berlawanan denganmu.”

“Memang, tetapi gue sungguh menghendaki beliau.”

“Apa Nyi Semi tak kasihan dgn Ayu? Anak sekecil itu mesti menderita karena keinginanmu, Nyi?”

“Sudahlah, Nak. Aku tidak ingin berdebat denganmu. Waktuku tak banyak. Izinkan gue akan menenteng Ayu sekarang pula sebelum masa cendekia baliknya tiba.”

Tiba-tiba Nyi Semi menyanyikan tembang Lukinto, suatu lagu ratapan kesedihan. Dari aneka macam arah berlawanan, lima sosok bagus penari seblang tiba. Mereka mengelilingiku. Aku takut. Aku mencoba berpikir, apakah ini positif? Ataukah ini suatu halusinasi saja? Kucubit tanganku, terasa sakit. Ini positif. Aku tak berhalusinasi. Mereka terus menari meliukkan tubuhnya & menyanyi tembang seblang Lukinto dgn raut muka penuh murung. Entah mengapa, hatiku mirip ikut tersayat & pilu mendengarnya.

  Cerpen: Lestarikan Budaya Dalam Balutan Pakaian

“Hentikan Nyi Semi! Apa maksudmu dgn semua ini!” Teriakku parau. Segenap kesadaranku berdiri.

“Hai, Anak. Rupanya hanya ananda yg mampu melihat & merasakan kehadiranku. Dengar, gue akan pergi dr tubuh Ayu, namun dgn satu syarat.” jawabnya dgn bunyi melengking tinggi.

“Katakan, apa maumu Nyi Semi? Asalkan ananda lepaskan Ayu dr dampak kekuatanmu.”

“Seperti yg diucapkan oleh ibuku, Mak Midhah dgn nazarnya, maka ananda harus mengucapkan ini untuk Ayu Laksmi. Kadhung sira waras, sun dadekaken seblang, kadhung sing yo sing,” ujar Nyi Semi sambil terus mengipasi tubuh Ayu.

“Mengapa Nyi Semi menghendaki Ayu untuk menjadi Seblang?”

“Karena warisan budaya leluhurku sudah tergeser dgn musik & tradisi ajaib. Sementara budaya seblang kian tersingkir & terlewatkan. Jangan salahkan gue kalau mesti kembali ke alam kalian.” Suara Nyi Semi terdengar menggelegar.

Aku mundur beberapa langkah. Tubuhku terasa panas. Peluh bercucuran. Nyi Semi terus menerus mengipasi tubuh Ayu. Kulihat para penari seblang mengitari badan Ayu. Dari dlm kabut asap dupa, kusaksikan roh Ayu keluar dr tubuhnya.

“Tidaaaak!!! Jangan bawa Ayu. ia milik kami Nyi Semi! Jangan sakiti beliau!” Aku berteriak marah.

Nyi Semi tak peduli. Ia terus membubung bareng roh Ayu diiringi kelima penari seblang itu. Aku berusaha untuk terus menghalangi Nyi Semi. Kurasakan rohku melesat terbang menyambar Ayu. Tubuh kasarku terguncang & terempas ke lantai terkena sabetan selendang merah Nyi Semi. Tulang punggungku seperti remuk rasanya. Akhirnya, gue sukses merebut Ayu dr mereka. Suhu tubuhku menjadi sungguh panas. Hidungku mengeluarkan darah segar. Aku berteriak sekencang-kencangnya menghalau Nyi Semi…

Tiba-tiba gue merasa ada yg menepuk pipiku. Ternyata Ni Luh menepuk-nepuk pipiku.

“Sekar! Sekar! Kamu berimajinasi ?” Ni Luh menatapku dgn wajah khawatir. Tangannya mengusap peluh yg membasahi tubuhku.

Mimpikah saya? Tapi gue benar-benar merasakannya. Sumpah gue tak berimajinasi . Arwah Nyi Semi memang datang tadi. Dan itu terasa sangat konkret sekali. Aku galau menyaksikan sekeliling kamar. Kulihat Ayu masih terbaring lemah, belum siuman. Aku berpikir, apakah mesti kukatakan pada orang tua Ayu ihwal undangan Nyi Semi? Apakah gue salah jikalau tak mengatakannya. Apakah mereka yakin jika harus kukatakan. Aku sungguh ragu-ragu. (*)