Polemik mengenai RUU Pilkada dikala ini haruslah dilihat dari nuansa akademis dan perspektif sejarah aturan ketatanegaraan Indonesia. Perubahan mendasar dalam semangat dan metode ketatanegaraan kita terkait dengan cara dan sistem pemilihan kepala kawasan lalu ditindaklanjuti tingkat regulasi yang lebih rendah. Pasca reformasi telah 2 (dua) undang-undang yang mengontrol perihal otonomi kawasan terutama berkenaan dengan pemilihan kepala kawasan yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian diganti oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.
Menurut ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, kepala daerah diseleksi oleh DPRD sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 kepala tempat dipilih secara eksklusif oleh rakyat. Apabila dicermati secara seksama terdapat dua problematika yang saling berhimpitan yaitu terkait dengan aspek kapasitas dan akseptabilitas dari kepala kawasan dari hasil penyeleksian. Dalam banyak sekali dokumen ditegaskan bahwa pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 mengenai pemilihan kepala daerah secara langsung pada dasarnya dimaksudkan untuk menuntaskan problematika tersebut. Sebab kepala daerah hasil penyeleksian oleh DPRD seringkali mempunyai dilema dalam kaitan akseptabilitas. Terkesan ada jarakyang antara kepala daerah dengan masyarakat sebab faktor cara memilihnya.Timbul stigma bahwa kepala daerah cuma mengelola anggota DPRD dan agak mengesampingkan masyarakat.
Dalam perjalanan metode pemerintahan kawasan terkini, dapat diidentifikasi bahwa apa yang dirancang dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 belum cukup. Problematika seputar pemilihan kepala tempat tidak cuma terkait dengan persoalan akseptabilitas dan kapabilitas. Masih ada problematikaproblematika lain yang sifatnya lebih kompleks sebab menyangkut tata cara dari pemerintahan daerah itu sendiri. Problematika tersebut adalah, pertama, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 memiliki kelemahan fundamental dalam daerah menempatkan otonom provinsi dengan kawasan otonom kabupaten/kota yang pada risikonya akan berujung pada bagaimana mengkonstruksikan posisi gubernur dan cara memilihnya. Untuk mencermati problematika ini kita perlu menelaah pengaturan dalam Pasal 37 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang memastikan bahwa :
(1) Gubernur yang sebab jabatannya berkedudukan juga selaku wakil Pemerintah di wilayah provinsi yang bersangkutan.
(2) Dalam kedudukannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Gubernur bertanggungjawab terhadap Presiden.
Pengaturan dalam Pasal 37 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagaimana tersebut di atas secara terang menyatakan bahwa dengan menempatkan gubernur selaku wakil Pemerintah di provinsi maka secara otomatis posisi provinsi juga bukan hanya berstatus sebagai tempat otonom saja namun juga merupakan wilayah kerja gubernur selaku wakil pemerintah.
Dalam khasanah akademik, posisi provinsi dalam tata cara pemerintahan kawasan mampu dikategorikan sebagai Unit Antara pemerintahan. Karakteristik khas dari unit antara dalam penyelenggaraan pemerintahan lebih banyak berkenaan dengan pelaksanaan acara dekonsentrasi ketimbang aktivitas desentralisasi.
Sebagai implikasinya, Unit Antara lebih berorientasi pada acara manajerial dan berkonsentrasi pada efisiensi. Selain itu, Unit Antara lebih banyak mencerminkan aspek dekonsentrasi ketimbang aspek desentralisasi. Oleh alasannya adalah itu, pada Unit Antara, atau dalam masalah Indonesia yaitu pada lingkup provinsi, aspek elektoral dalam proses pemerintahan kurang diberi tekanan. Ini artinya dengan gubernur diseleksi pribadi tidak selaras dengan posisi provinsi selaku daerah kerja gubernur selaku wakil Pemerintah (Unit Antara).
Dari uraian tersebut mampu ditarik sebuah kesimpulan bahwa pastinya mesti ada perbedaan cara pemilihan antara gubernur dengan bupati/walikota terkait tingkat elektorasi masing-masing. Dari perspektif lokal dan teoritis, wajar kalau bupati/walikota dipilih secara langsung mengenang karakteristik kabupaten/kota selaku Unit Dasar yang ialah jenjang pemerintahan yang paling erat dengan masyarakat. Kedekatan ini, pada gilirannya, akan mengakibatkan pemerintahan kawasan tersebut dibutuhkan untuk paling akuntabel, paling responsif, paling efisien dan paling efektif dalam menunjukkan pelayanan terhadap masyarakat, melakukan pembangunan tempat, dan menjamin kesinambungan efektivitas pemerintahan nasional. Adapun gubernur perlu diseleksi dengan sistem yang berlainan dengan bupati/walikota selain alasannya adalah memang tingkat elektorasi yang berlawanan, juga secara substansi alasannya posisi provinsi selaku unit antara sebagaimana diulas di atas.
Problematika kedua dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yakni terkait dengan diskursus posisi wakil kepala kawasan. Selain terkait dengan mengenai prosedur penyeleksian kepala tempat, ketentuan dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 ini juga menjinjing suatu diskursus baru perihal posisi wakil kepala kawasan, apakah ialah posisi political appointee yang merupakan satu paket dengan kepala tempat atau jabatan administrative appointee selaku jabatan karir. Secara eksplisit suara pengaturan dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa yang diseleksi secara demokratis yakni gubernur, bupati, dan walikota. Dalam kaitan ini muncul diskusi mempesona, apakah jabatan gubernur, bupati, dan walikota itu adalah satu jabatan tunggal atau satu paket mencakup dengan wakilnya.
Apabila kita gunakan pendekatan formalistik pada apa yang tertulis dalam Pasal 18 (ayat) 4 Undang-Undang Dasar 1945, jelas ayat dimaksud memberi pesan bahwa konstitusi hanya mengamanatkan penyeleksian kepala daerah saja tanpa menyebut jabatan wakil kepala kawasan. Ini artinya Gubernur, Bupati dan Walikota yaitu nama jabatan tunggal untuk kepala daerah baik untuk tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Undang-Undang Dasar 1945 pada dasarnya bersifat litterlijk sehingga apa yang tertulis itulah yang ialah norma. Penafsiran ini sesuai dengan kenyataan bahwa Undang-Undang Dasar 1945 senantiasa menyatakan secara eksplisit posisi jabatan-jabatan yang ada dalam pemerintahan.
Sebagai contoh jabatan Wakil Presiden itu dinyatakan secara tegas, kemudian Menteri , Duta Besar, dan lainnya. Dengan demikian, pembentuk undang-undang memiliki fleksibilitas untuk menertibkan jabatan wakil kepala kawasan. Artinya, mampu saja Gubernur, Bupati dan Walikota dipilih dan memegang jabatan tanpa didampingi wakil, atau pengaturan mengenai pemilihan wakil kepala daerah dalam undang-undang dapat saja dilaksanakan berlainan dengan mekanisme penyeleksian kepala tempat. Tidak tepat bila diskursus perihal posisi wakil kepala daerah ini hanya berkutat pada penafsiran pengaturan tertulis dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945. Tentunya selain sebab alasan yang lebih mengarah pada pendekatan semantik, juga terdapat argumentasi lain yang lebih filosofis untuk melaksanakan reposisi kepada wakil kepala daerah.
Sebelumnya telah diulas bahwa dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan kawasan, posisi provinsi merupakan suatu unit antara pemerintahan sebagai kawasan kerja Gubernur selaku wakil Pemerintah. Dengan demikian mampu dikatakan bahwa gubernur merupakan alter ego Presiden yang ada di tempat tanpa ada lagi pembagian kewenangan kepada subyek lain. Ini selaras dengan pengalaman di beberapa negara yang memiliki unit antara dalam susunan dan bentuk pemerintahan daerah, tidak dikenal lagi posisi wakil wakilnya Pemerintah .
Gubernur, sebagai wakil Pemerintah, dalam pelaksanaan tugasnya dibantu oleh perangkat guna melaksanakan kewenangan yang dimilikinya. Dengan demikian pendekatan ini mampu menjadi bahan ajaran perihal posisi Wakil Gubernur selaku administrative appointee alasannya merupakan salah satu unit dari perangkat gubernur dalam melaksanakan peran dan kewenangannya. Berkaitan dengan posisi wakil bupati dan wakil walikota perlu dilihat dari pendekatan kontruksi organisasi pemerintahan yang ketika ini sedang berjalan. Apabila dilihat dari kontruksi yang ada saat ini dapat dibilang bahwa metode pemerintahan tempat di Indonesia pada tingkatan kabupaten/kota melakukan pola strong mayor system .
Hal ini dapat dilihat dari strukturorganisasi pemerintahan di kabupaten/kota yang terbagi dalam dua elemen yaitu elemen bupati/walikota selaku bagian eksekutif yang merupakan pimpinan penyelenggaraan pemerintahan di kabupaten/kota dan komponen DPRD sebagai forum yang melaksanakan pengawasan (checks and balances) pelaksanaan pemerintahan yang dilaksanakan oleh bupati/walikota. Menurut pengalaman negara lain yang melakukan strong mayor system, mirip misalnya Kota Virginia di Amerika Serikat, jabatan politik (political appointee) yang ada di tempat setingkat kabupaten/kota hanyalah jabatan mayor atau walikota tanpa didampingi oleh wakil walikota. Dalam pelaksanaan tugasnya mayor dibantu oleh perangkat administratif dibawah pimpinan petugas (officer) yang diketahui dengan istilah chief of administrative officer. Dengan demikian muncul pedoman bahwa untuk posisi wakil bupati/wakil walikota diarahkan untuk menempati posisi chief of administrative officer sehingga kontruksi pemerintahan kawasan yang telah ada menjadi selaras dengan tata cara yang dianutnya.