Apalah Nama | Cerpen Sori Siregar


Oleh: Sori Siregar


Rekan-rekan sekerjanya menyebut namanya Syahbudin Tip. Syahbudin tak keberatan dgn nama barunya itu. Bahkan, ia lebih menyukai nama Syahbudin Tip ketimbang Syahbudin Geming, namanya yg bahu-membahu.

Rekan-rekannya memberi nama tersebut bukan tanpa argumentasi. Di restoran daerah mereka melakukan pekerjaan , cuma Syahbudin yg paling sering menerima tip dr para hadirin. Dalam soal tip ini, Syahbudin-lah yg paling beruntung kalau dibandingkan dgn teman-temannya. Mungkin, keberuntungan itu diperolehnya alasannya para pengunjung restoran terharu melihat parasnya yg memelas itu. Sejak lahir wajahnya memang seperti itu.

Karena hanya Syahbudin yg menerima sebagian besar tip dr konsumen, pengelola restoran membuat peraturan agar tip yg diterima setiap petugas dimasukkan ke kotak beling yg tersedia di samping kasir. Setiap hari, pada dikala restoran akan ditutup semua uang tip tersebut akan dibagi rata dgn semua petugas restoran. Langkah ini dianggap paling adil untuk setiap karyawan.

Syahbudin merasa dirugikan oleh peraturan itu. Ia berpendapat, rezeki setiap orang berlawanan, alasannya adalah itu tak dapat disamaratakan. Dengan adanya peraturan itu, tip yg dibawa Syahbudin pulang menjadi jauh menyusut ketimbang sebelumnya. Karena merasa diperlakukan tak adil, ia berhenti bekerja di kedai makanan itu & pindah ke restoran lain.

Di kedai makanan gres tempatnya bekerja ternyata nasibnya lebih buruk. Ia sama sekali tak pernah mendapatkan tip dr hadirin, begitu juga sobat-temannya. Karena itu ia bertanya pada seorang rekan sekerjanya apakah di restoran tersebut tak boleh menerima tip dr konsumen.

”Bukan tak boleh,” ujar temannya. ”Yang dibayar konsumen pada kedai makanan sudah termasuk 15% tax and service atau pajak & pelayanan. Karena itu jarang sekali konsumen menunjukkan tip lagi pada pramusaji . Kalaupun ada yg meninggalkan tip di piring pembayaran, paling-paling jumlahnya ratusan rupiah dlm bentuk duit logam.”

Mendengar klarifikasi tersebut Syahbudin melongo. Bagaimana dgn kedai makanan tempatnya bekerja sebelum di tempat baru ini? Mungkin pajak & pelayanan tak termasuk yg harus dibayar pelanggan, sehingga mereka masih mampu bermurah hati menunjukkan tip pada pramusaji kedai makanan.

Sadar bahwa dgn mengandalkan gaji saja, ia tak akan dapat menyanggupi keperluan keluarganya Syahbudin kembali berpikir, ia harus mencari pekerjaan lain agar anaknya, Kadir, yg sudah duduk di kelas 4 SD tetap mampu bersekolah & semoga anaknya kedua tetap dapat memperoleh masakan bergizi & susu formula tambahan. Kebetulan dlm keadaan resah mirip itu, pamannya mengajukan pertanyaan kepadanya apakah ia berani mengurus sebuah hotel kecil.

  Buron | Cerpen Adam Yudhistira

”Losmen?” Syahbudin mengajukan pertanyaan.

”Bisa pula dikatakan begitu,” sahut pamannya. ”Tapi orang sekarang lebih senang menyebutnya hotel kelas Melati. Nah, yg ditawarkan kepadamu ini yaitu hotel Melati Satu. Kalau kau sukses, kelas hotelmu akan naik menjadi Melati Dua. Jika kualitas hotelmu semakin baik, kelasnya akan naik menjadi Melati Tiga. Begitulah seterusnya, sehingga bukan tak mungkin hotelmu akan menjadi hotel berbintang Satu, Dua atau Tiga, bahkan mungkin Empat atau Lima.”

”Hotel ini milik paman sendiri?”

”Bukan, milik mertuaku. Pemilik usang menjualnya alasannya ingin mengalihkan usahanya ke bisnis lain.”

Ini sungguh-sungguh menantang, pikir Syahbudin. Kalau saja ia dahulu jadi melanjutkan pendidikannya ke Jurusan Manajemen di Akademi Perhotelan, niscaya proposal ini akan segera ditangkapnya. Sayangnya, pendidikan Syahbudin hanya hingga SMIP, Sekolah Menengah Industri Pariwisata. Tapi, kenapa tidak, pikirnya. Tiga tahun di SMIP sudah membuatnya banyak tahu perihal perhotelan. Apalagi kelasnya hanya hotel Melati Satu. Karena itu, tanpa menanti lebih usang ia segera menyambut usulan pamannya.

”Saya berani, Paman.”

”Sungguh?”

”Sungguh!”

”Oke. Besok jumpai Paman di kantor.”

Mengelola hotel kelas Melati Satu ternyata menggembirakan Syahbudin. Ia merasa martabatnya terangkat, selain kerjanya lebih ringan. Ia tak perlu lagi membungkuk-bungkuk menghadapi pelanggan. Ia cuma perlu menyapa mereka dgn ramah. Karena jumlah kamarnya hanya 20 & ongkosnya murah, hotelnya selalu sarat dgn penghuni.

Setiap hari ia hadir di kantornya yaitu suatu ruangan berukuran 3 x 3 meter. Sebuah kamar lain berskala berskala 4 x 4 meter dihuni petugas house keeping, room service, & laundry. Semua nama penggalan tersebut tertulis dlm bahasa Inggris & nomor teleponnya ditulis di stiker di rak kawasan telepon di sebelah ranjang setiap kamar. Tugas resepsionis, cuilan reservasi & kasir dipegang seorang petugas yg duduk di ruang penerimaan tamu. Tiga karyawan yang lain melakukan pekerjaan di coffee shop yg menyediakan sarapan pagi gratis pada para tamu, di samping menyediakan makan siang & makan malam yg tak gratis Ditambah dgn satpam tiga orang, jumlah seluruh karyawan hotel cuma 13 orang termasuk Syahbudin Tip.

Walaupun Angsana (itulah nama hotel itu) hanya sebuah hotel kecil kelas Melati Satu, setiap tamu mampu memakai kartu kredit tatkala melaksanakan pembayaran. Bahkan, di mata Syahbudin, tamu yg membayar ongkos hotelnya dgn kartu kredit jauh lebih terhormat ketimbang tamu yg mengeluarkan uang dgn duit tunai.

  Berlindung di Bawah Payung yang Robek | Cerpen Ahmadun Yosi Herfanda

Sebagai manajer hotel Syahbudin nyaris setiap ketika membuka telinganya lebar-lebar untuk mendapat informasi yg mungkin ada gunanya untuk kepentingan hotelnya.

Dari seorang pengusaha yg lebih senang tinggal di hotel kelas Melati dibandingkan dengan di hotel berbintang lima, ia mengetahui bahwa di Amerika, pengurus apartemen tak ingin menyewakan apartemennya pada orang yg tak memiliki kartu kredit. Tanpa kartu kredit seseorang mampu dianggap tak bankable. Dari pengusaha itu pulalah ia mengenal kata Inggris terakhir ini.

Sebelum meninggalkan hotelnya usahawan tersebut menunjukkan stiker logo kartu kredit Carte Blanche pada Syahbudin. Menurut si pengusaha, kartu kredit yg satu ini sangat prestisius—kata ini pula gres pertama kali didengar Syahbudin—alasannya adalah hanya orang-orang kaya yg memilikinya di Amerika. Kelasnya, kira-kira samalah dgn kartu kredit platinum yg kini banyak dimiliki orang Indonesia. Karena itu, untuk memperlihatkan bahwa hotelnya bukan hotel asal-asalan, Syahbudin melekatkan stiker logo tersebut di beling counter resepsionis, sehingga setiap tamu mampu melihatnya.

”Ada orang yg menggunakan kartu itu di sini?” seorang tamu yg gres keluar dr coffee shop, bertanya pada resepsionis.

”Belum, Pak,” sahut resepsionis.

Tamu yg dahulu kuliah di Amerika & pernah melihat kartu itu tetapi belum pernah memilikinya menggelengkan kepalanya. Akal sehatnya tak dapat menerima bahwa pemilik kartu Carte Blanche mau menginap di hotel Melati Satu seperti itu.

Dari balik dinding kaca coffee shop Syahbudin menyaksikan percakapan resepsionis & tamu tersebut, walaupun ia tak mendengar apa yg mereka bicarakan. Sebenarnya, Syahbudin sudah mengamati tamu itu sejak berada di coffee shop tatkala ia mengkonsumsi sarapan pagi. Syahbudin terkejut tatkala melihat tamu itu meninggalkan selembar uang kertas di mejanya pada dikala ia bangkit dr kursinya & melangkah keluar.

Lembaran lima ribu rupiah itu diambil Syahbudin Tip. Sebelumnya, tak pernah seorang tamu pun meninggalkan tip seperti itu sesudah sarapan pagi, karena sarapan pagi itu diberikan gratis seperti di hotel-hotel lainnya. Pada dikala itulah Syahbudin Tip kembali berpikir wacana tip yg dapat diperoleh dr para tamu. Ia sadar petugas room service langsung bermasalah dgn tamu hotel, selain laundry yg diantarkan petugas sehabis tamu kembali ke kamarnya. Bahkan, petugas house keeping pun mampu memperoleh tip jika berjumpa dgn tamu yg kamarnya dibersihkan.

  Benih Padi Terakhir Cerpen Abdul Rahim

Syahbudin yg tetap menggunakan kata-kata Inggris untuk bagian-belahan yg mendukung operasi hotelnya merasa harapannya untuk menghimpun tip & membaginya setiap hari untuk karyawan hotel bukanlah hal yg tidak mungkin. Bahkan, kelas hotelnya pun mungkin secepatnya akan berkembangmenjadi Hotel Melati Dua, alasannya ia memberikan pelayanan yg memuaskan pada semua tamunya.

Ia merasa senang karena akan dapat menunjukkan aksesori pendapatan pada karyawannya. Rasa bahagia tersebut tak bertahan usang. Syahbudin Tip ternyata malang. Harapannya untuk berbuat baik mirip itu buyar, sebab tak seorang pun dr karyawannya mengaku pernah menerima tip. Dan Syahbudin tak mungkin memaksa mereka untuk mengaku telah mendapatkan tip, alasannya adalah buktinya tak ada.

Tetapi Syahbudin yakin, banyak tamunya yg memperlihatkan tip, baik tatkala sarapan pagi, makan siang atau makan malam. Juga pada petugas room service, laundry & room service. Ia yakin, kedua pelayan coffee shop sering mendapatkan tip tatkala melayani tamu, sedangkan kasir mendapat serpihan pula dr tip yg diterima kedua pramusaji itu. Artinya, duit tip yg sebaiknya dicicipi semua karyawan hotel, cuma diperoleh ketiga petugas coffee shop tersebut.

Ini jelas tak adil, ujar Syahbudin dlm hati. Uang tip sebaiknya dibagi antara semua karyawan bukan hanya milik ketiga petugas coffee shop saja. Syahbudin mencari akal bagaimana biar itu dapat terwujud. Tatkala mempertimbangkan hal itulah masa kemudian Syahbudin singgah di kepalanya. Dulu ia berhenti bekerja hanya alasannya adalah merasa rezekinya dibagi dgn karyawan lain, & ia sendiri tak pernah berpikir soal adil & tak adil. Yang menimbang-nimbang hal itu justru pemilik kedai makanan.

Mengapa kini ia harus tampil menyuarakan keadilan yg dulu pernah ditolaknya? Sadar akan hal itu Syahbudin tersenyum. Itulah kepentingan, katanya pada dirinya. Bila kepentingan kita terganggu kita marah, galau, kesal & memprotes, tetapi kalau kepentingan orang lain terabaikan kita membisu saja & akal-akalan tak tahu.

Di luar keinginannya Syahbudin menertawakan dirinya sendiri, sebab ia yaitu orang yg tergolong ke dlm kelompok kepentingan mirip itu. Ah, gue harus mengganti namaku lagi, pikirnya. Kalau dahulu yg memberi kata perhiasan Tip pada namaku ialah sobat-temanku, kini gue sendirilah yg akan memberi nama suplemen itu.

Sejak itu pula, Syahbudin menyebut namanya Syahbudin Adil.

Jakarta, 15 September 2008