MESIN pemotong meraung-raung di belakang rumah. Tetangga sedang memotong rimbunan rumput liar. Bau rumput yg diiris menguar. Aku tak bisa menerangkan baunya itu. Bukan wangi seperti bau wewangian. Bukan busuk seperti wangi bangkai.
Aku sering mendapatkan wangi yg tak bernama. Bau hujan. Bau tanah kering. Bau kayu tua. Bau buku. Kau pula yaitu sebuah amis. Kau menyerupai bau rumput yg dipotong itu. Bau yg membuatku secara tiba-tiba sedih. Tidak. Bau rumput itu tak mengirimkan sesuatu yg ngilu. Namun, gue tetap ingin menangis karena gue teringat pada baumu.
Jadi apa nama baumu itu?
“Aku ingin mati,” katamu satu ahad sebelum kau ditemukan membeku dgn gaun tidur putih tipis berpola dedaunan—foto gaun tidur itu sempat kau pamerkan kepadaku tatkala kau baru membelinya dr suatu butik—di ranjangmu.
“Aku ingin mati,” katamu beberapa kali. Dan kamu memang hasilnya mati. Aku tak tahu bagaimana perasaanmu dikala berada di ranjang itu & kamu pelan-pelan membaringkan tubuhmu. Kau telentang, membenahi tangan di kedua segi tubuhmu, perlahan memejamkan mata, hingga kamu memasuki detik-detik kematianmu.
Aku sama sekali tak tahu apa dadamu terlonjak keras pada saat malaikat mencabut rohmu. Tidakkah ia—malaikat itu—melakukannya terlalu keras? Apa kau menggumamkan sesuatu? Apa kau berteriak & ketakutan? Apa kamu masih berkata untuk terakhir kali, “Aku ingin mati.” Siapa yg kau ingat tatkala itu? Apa kau menangis? Mungkin tidak. Aku tahu kau sudah lama berhenti menangis.
“Apa air mata bisa habis?” tanyaku saat kamu bilang hidupmu terlalu kering & kau bahkan tak lagi bisa mengeluarkan beberapa butir air mata.
Seingatku, dr kecil gue terlampau banyak menangis. Teman-temanku jahil semua. Mereka memecahkan balonku. Aku menangis. Mereka menarik rambutku. Aku menangis. “Kau ini punya air berbagai, jangan-jangan kamu anak lautan ya?” tanya salah satu dr mereka sambil terkekeh-kekeh. Aku belum pernah menyaksikan lautan. Aku mengangguk begitu saja. “Ya, gue anak lautan.”
“Kalau kau anak lautan bermakna kamu yang dibuat dr air. Ih, menakutkan,” timpal yg yang lain. Aku kembali menangis karena gue tak pernah menduga kalau gue ini yang dibuat dr air & itu menyeramkan. Dan air mataku tak henti-henti mengalir. Ibuku yg sudah mati & fotonya kutempel di dinding kamar, berkata, “Mereka cuma sekumpulan anak nakal. Jangan didengarkan. Mereka sengaja mau menyakitimu.”
Aku memang sering mengadu pada ibuku pada waktu itu & gue sungguh percaya kepadanya. Orang yg sudah mati mana mungkin berbohong, karena hal itu tak akan berkhasiat baginya, pikirku.
Akan namun, kali itu, ibuku ternyata salah tentang mereka. Bertahun-tahun sehabis itu, gue mencari lautan & gue masuk ke dalamnya & gue merasa memperoleh diriku yg seutuhnya. Aku pun berkembang menjadi lautan dgn ombak & karangnya, pasir & hewan-hewan bahari, rumput & ikan-ikan, bahtera-perahu nelayan mengapung & kapal-kapal besar berlayar menuju samudera luas. “Kau terus berpikir menjadi lautan?” tanyamu sebelum kau hingga pada hari-hari yg membuatmu ingin mati & ingin mati saja.
“Ya,” jawabku malu lantaran mungkin kau menilai gue ini anak kecil. Pipiku yg gelap mungkin bertambah gelap.
Kau tak menyampaikan apa pun. Kau memang tak banyak bicara. Temanmu sedikit sekali. Mungkin hanya ada lima di dunia ini. Aku salah satunya. Saat pertama kali bertemu, kamu berumur 35, gue 25. Kau bilang, “Waktu seusiamu, gue merasa bisa menjadi apa saja, termasuk mengubah diri menjadi bermacam-macam hewan atau benda-benda. Tapi kemudian gue menentukan menjadi malam.”
“Kau menentukan menjadi apa?” tanyaku kurang yakin.
“Malam. Malam yg gelap,” katamu.
Lalu kau mati. Lalu gue tak pernah lagi mendengar suaramu & yg tertinggal hanya kenangan ihwal baumu yg gue tak tahu namanya itu.
IA tak suka diberi nama Lonely. Rasanya, dunia ini bertambah sepi sejak ia mulai menimbang-nimbang namanya itu. Orang-orang dlm kehidupannya terlalu sibuk. Bapak mesti segera ke kantor. Kakak ada rapat di komunitas. Adik ingin jalan-jalan. Ibu ada janji dgn sahabat di restoran untuk permasalahan bisnis. Papa pulang & pergi ke kantor lagi. Adik mau makan nasi goreng di luar. Kakak mau sate di warung Y karena rasanya yummy sekali. Adik ingin jalan-jalan ke pantai. Kakak mau nonton pertunjukan seni. Di tamat pekan Bapak & Ibu mesti menghadiri ijab kabul A, B, C. Ah, masih ada pernikahan D di luar kota.
“Lonely, cepatlah! Kau ikut tidak?”
Lonely tak suka terburu-buru. Ia sedang memperhatikan bercak putih di kukunya.
“Lonely, kita telat!”
Lonely melihat seekor kelelawar menggantung di cabang pohon seri dr jendela kamarnya. Kelelawar yg berwarna malam. Bagaimana kelelawar bisa tiba di tengah kota yg sesak oleh bangunan ini? Lonely tak habis pikir.
“Kau sedang apa sih, Lonely? Huh, kok, lama sekali!”
Lonely kembali mengamati kukunya. Bercak putih itu seperti sebuah noda yg lahir dr rasa sepi. Aku sepi sekali, desah Lonely murung. Suara-suara yg memanggil namanya hilang. Lonely bangkit, melongokkan kepalanya keluar. Ia tak mendapatkan dunia masa kanak-kanaknya yg riuh itu & saat itu juga ia sudah berdiri dgn sepasang kaki yg panjang—kaki wanita cukup umur berumur 25 tahun.
Ia pikir kakinya itu akan bisa membawanya ke kawasan yg ramai oleh bunyi lain, bunyi yg tak terburu-buru, & sungguh banyak warna, yg tak memungkinkannya merasa sendirian, yg membuatnya melewatkan keinginannya berubah menjadi malam. Aku akan menggenggam semuanya! Aku akan bergembira selamanya! Lonely tersenyum semringah. Ia memoles kukunya dgn cat warna merah. Kuku-kukunya saat itu juga menjadi buah stroberi yg masak sempurna. Mata Lonely terbuka karena takjub. “Rasa sepi sama sekali tak boleh pergi bersamaku,” katanya saat tak lagi menemukan noda putih di kuku yg mengganggu perasaannya. Lonely menutup jendela cepat-cepat & kelelawar itu masih menggantung di sana dgn warnanya yg kian hitam.
Lonely berlangsung. Terus berjalan. Ia sudah melalui seluruh kawasan keramaian di kota. Namun, tak ada daerah yg tak membuatnya merasa sepi. Kenapa gue berjulukan Lonely? protesnya dlm hati. Malam begitu cepat tiba. Ia merasa tidak mau kembali. Ia berjalan lagi. Ia masuk ke dlm pub yg memutar musik ingar-bingar & pada umumnya orang di dalamnya dilahirkan dgn hati sepi. Ia tak bisa bertahan lama. Ia meninggalkan pub itu & berada di pesta sekelompok anak muda yg gagal membahagiakan diri sendiri & berencana membuat keributan di kota menjelang pagi. Ia menelepon pacarnya, tapi cepat ditutupnya kembali, lantaran ia tahu laki-laki itu bahkan mesti menelan berbutir-butir pil untuk berdiri di depan orang lain tanpa rasa hampa.
Ia tegak di tepi jalan. Orang-orang berlalu lalang, tapi tak seorang pun melihatnya. Di kota ini, mata tak lagi dipakai untuk melihat orang lain. Ia sudah usang tahu itu. Dari kecil ia sudah mengerti mata bapaknya lebih senang menekuri kertas-kertas peran kantor yg dibawa pulang ke rumah ketimbang menatap ia yg berdiri dgn baju tidur & sebuah bantal.
“Kembali ke kamar & tidur lagi sana, Lonely,” kata bapaknya tanpa memandang kepadanya.
“Lonely, ini sudah malam, cepat tidur ya,” kata ibunya sambil membuat coretan-coretan pada bundalan kertas di depannya.
Lonely menghapus sebutir air mata terakhir yg jatuh di pipinya. Semua sama saja, pikir Lonely. Tak ada orang yg menyenangkan di kota ini. Tak ada tempat yg tak membuatnya merasa sepi. Ia duduk di trotoar & mulai membayangkan apa saja yg bisa ia lakukan. Ia sungguh-sungguh ingin bermetamorfosis malam saja. Ia tak tahu apakah menjadi malam akan menyenangkan baginya. Ia sudah pernah akal-akalan menjadi babi, lalu badak, kemudian cacing, lalu burung, lalu semut, kemudian meja, kemudian bolpoin bapaknya, kemudian panci di dapur, kemudian ia ingat lagi kelelawar di batang pohon seri kecil di dekat kamarnya. Kelelawar yg sehitam malam. “Aku mau menjadi malam saja agar bisa sembunyi dlm warnanya yg gelap,” katanya pelan, merasa tenteram.
Aku tiba ke rumahmu yg diselimuti rasa duka. Saat itu, gue belum mencium bau apa-apa. Suamimu meneleponku saat gue berada di lautan. Lelaki itu meninggalkan pesan & gue secepatnya membacanya saat gue selesai mencopot baju lautku yg selama ini memungkinkan gue menjelajahi duniaku yg maha dlm & luas. Ia mati. Begitu isi pesan itu. Aku membacanya sekali lagi. Ia mati.
Aku mulai mengajukan pertanyaan-tanya, dgn cara apa kamu menyelesaikan hidupmu? Apa kau minum puluhan pil atau sebotol cairan kimia seperti yg sering kau katakan kepadaku?
Ia mati. Kubaca sekali lagi.
Air mataku mulai menetes. Kau sungguh-sungguh mati. Aku tak akan lagi melihatmu. Aku tak akan lagi mendengar atau membaca pesanmu yg tiada henti itu: gue ingin mati.
Bagaimana rasanya mati? pikirku. Apa ketika mati kau membayangkan dirimu segumpal malam yg melayang sangat perlahan ke ketinggian & menentukan tak kembali lagi? Apakah kau menjinjing serta perasaanmu yg selalu merasa sepi itu? Atau kamu menjadi dirimu yg betul-betul berlawanan? Kukemasi perlengkapan lautku dgn cepat. Aku tak ingin ketinggalan. Aku ingin melihatmu terakhir kali sebelum kamu diberangkatkan ke tempat tinggalmu yg gres. Kau akan dimasukkan ke dlm tanah. Apa kamu sama sekali tak cemas? Apa kau tak keberatan bertetangga dgn begitu banyak cacing yg rakus & berusaha keras berada sedekat mungkin denganmu? Di sana pasti saja tak ada udara. Dadaku menjadi sesak memikirkanmu.
Lalu gue telah berdiri di erat peti jenazahmu yg berwarna hitam & tampak licin karena sentuhan pelitur. Kau terlihat damai sekali. Bibirmu terkatup kaku, tetapi sama sekali tak terlihat murung. Kelopak matamu kelihatan lembut, serupa dua kelopak mawar yg tertelungkup.
Suamimu berkata di belakang telingaku, “Dia mati.”
Lelaki itu pasti saja terpukul. Ia tak percaya kamu melakukannya. Kau menyimpan dgn sangat baik bagian tersepi dr hatimu. Kau tak pernah membiarkan orang lain sungguh-sungguh masuk ke dlm hidupmu selain saya. “Kenapa saya?” tanyaku waktu itu. “Karena kau anak lautan,” katamu, “dan gue ialah malam. Kita sama-sama orang yg gila.”
“Dia mati,” kata lelaki itu lagi, & kali ini lebih bergetar. “Ia begitu bahagia. Ia masih tertawa bersama belum dewasa pada pagi hari. Ia singgah ke toko buku. Ia mau menciptakan pesta ulang tahunku bulan depan. Ia berencana membuka usaha baru. Ia orang yg sangat bergairahselama gue mengenalnya.” Bahu laki-laki itu terguncang-guncang & ia berhenti bicara saat tangisnya terlepas.
Kau pernah bilang, “Suamiku laki-laki baik.” Kini gue melihat air mata lelaki yg baik hati itu berjatuhan. Aku bisa mencium anyir air matanya. Bau yg tak gue tahu namanya. Pelan-pelan gue pula mencium baumu. Bukan anyir peti jenazahmu, melainkan betul-betul baumu. Bau yg mungkin akan kuingat selamanya. Bau itu, hari ini, menguar dr batang-batang rumput yg diiris di belakang rumah persinggahanku sebelum gue kembali ke lautan.
Apa nama baumu itu? Katakanlah sesuatu semoga gue tak perlu lagi mengajukan pertanyaan-tanya. Katakanlah sesuatu agar gue berhenti berpikir ingin mencopot baju lautku & menenggelamkan diriku di lautan, alasannya adalah gue terlalu letih memikirkan baumu, yg bisa timbul di mana-mana, di kapal, pasir, bunga, keong, daun, baju, sepatu, pindang ikan, bakso, minuman bersoda, kebun sayur, & bau rumput yg diiris itu, kian segar, kian ajaib. Apa nama baumu? ***