Antara Menulis dan Kyai Jawa yang Menipu Setan

Menulis & membaca yakni dua hal yg tak terpisahkan. Seperti dua segi mata duit. Tatkala menulis orang butuh membaca untuk memperkaya bahasa & ilmu pengetahuan. Tatkala membaca orang butuh menulis untuk supaya pengetahuannya tak terhenti begitu saja, tak mandeg. Sayangnya, orang yg suka membaca belum tentu tekun menulis. Sementara orang yg menulis ditentukan ia akan tekun membaca & produktif menulis. Nah, menyinggung kalimat terakhir, bagaimana biar produktif menulis sebagai upaya pentransferan ilmu?

Ada dua ulama besar di Jawa. Keduanya suka menulis. Bedanya, yg  satu sungguh produktif menulis & yg satu kurang begitu produktif menulis.  Yang satu ini bapaknya Gus Mus (Mustofa Bisri) yakni Kyai Bisri Mustofa, seorang ulama di Jawa Tengah yg sungguh produktif.  Ia punya tafsir Al-Ibriz, punya buku syi’ir-syi’ir bahasa Jawa berbagai. ia punya sahabat satu angkatan, dulu satu pesantren namanya Kyai Ali Ma’sum—yang punya pesantren di Krapyak Jogjakarta.

Suatu saat, mereka berdua berbincang-bincang.

Kyai Ali Ma’ sum: Kang, sampeyan kok mampu produktif (menulis) itu gimana? Dulu kayaknya di pesantren, pinteran saya lho dibanding sampeyan. Ushul Fiqih pinter aku, tafsir pinter saya, lho sampeyan kok produktif, banyak tulisannya.  Gimana ceritanya?

Kyai Bisri: Ini alasannya ananda salah niat. Mbok kayak aku. Karena ananda itu kalau nulis niatnya senantiasa lillahi ta’ala. Kalau karena Allah, setan itu menarik hati. Ngantuk-ngantuk, males-males, risikonya nggak jadi. Karena diberat-beratin sama setan.

Kyai Ali Ma’ sum: Kok ngono, Kang?

Kyai Bisri: Kalau aku nulis niatnya nawaitu lil qodhil. Niat menulis alasannya untuk kendhil  (periuk) supaya mampu mengepul.  Lha karena nulis aku bukan karena Allah, setan itu menolong. Ayo nulis biar dapat mengepul. Gitu, Kang! Tapi begitu tulisan telah jadi. Kemudian naskah sudah saya edit lengkap, tatkala mau ke penerbit, setan saya tipu. Niat aku ubah, aku mempublikasikan tulisan aku niatkan alasannya adalah Allah. Setan pun kecewa, mau gagal pula percuma karya telah jadi.

  Kisah Cinta Sejati dari Pernikahan Ali Dengan Fathimah

Itulah dialog dua ulama besar. Yang kita baca dr dialog tersebut yaitu kesejukan niat. Kyai Bisri Mustofa tak salah juga. Kita menulis diniatkan untuk mencari nafkah itu tak salah. Boleh.  Mau nulis, lalu tulisannya banyak dibaca, banyak uang untuk menolong sesama itu dibolehkan. Murni sebab Allah tentu bagus, tetapi ini levelnya khowasul khowas (utamanya khusus) jika marhalah penulis sudah sungguh tinggi. Wallahua’lam. [Paramuda/Wargamasyarakat]