ANGIN memang tak pernah bisa bersahabat. Ia terbatuk. Kesedihan telah mengambil semua daya hidup, namun sorot matanya masih menyiratkan ketegasan. Ia kancingkan baju hangat hingga ke leher untuk sekadar menghemat gigil.
Angin terlalu dingin, tetapi ia harus mendapatkan, hanya anginlah yg kerap menenteng masa kemudian kembali hadir. Walau cuma kesedihanlah yg kerap menemui. Setelah angin menghempaskan & merenggut kebahagiaannya.
DESEMBER, empat belas tahun lalu. Usiaku menginjak empat puluh delapan tahun. Tapi angin tak mengenal usia, bila ia bermetamorfosis angin puting-beliung & memporak-porandakan impian.
“Ini!” ia mengangsurkan kertas kepadaku. Kemudian mulutnya terkunci. Matanya memancarkan kekalutan, memandangku. Kertas itu kuterima.
Sebuah telegram. Kabar tiba dr desa yg jauh dr tempatku duduk, menciptakan dadaku sesak, menahan tangis, bahkan terasa tak mampu untuk menarik nafas.
Kabar itu menumbangkanku, hingga alhasil berhari-hari gue terkapar di tempat tidur, setelah mab*k, tak sadarkan diri. Aku mengutuk keberadaanku yg jauh dr desa, tatkala peristiwa itu terjadi, tak bisa membantu mereka, hingga mereka pergi untuk selamanya.
Sejak itu, setiap mataku terpejam, Zulaikha, terus menguasai tidurku. Tangisku tak buncah. Aku pria. Tak boleh lemah. Kubuat tangisan menjadi batu dlm dada.
Kau tersenyum sambil menuntun tiga anak bersayap. Keteduhan jadi misteri dlm matamu. Hanya tersenyum, kemudian menghilang. Dadaku sesak.
Kau menemuiku lagi. Saat gue tak tahu, apakah gue sudah terpejam atau belum. Zulaikha, kamu memangku bayi bersayap, menyusuinya. Aku ingin menangis, tetapi gue pria. Dua anak bersayap di sisimu cuma tersenyum. Dadaku sakit.
Kalian datang kembali. Kali ini, gue sudah betul-betul pulas. “Zulaikha,” desisku lemah. Kau berdiri sangat jauh, gue tak dapat meraihmu. Tanganmu terlihat berpengaruh memeluk tiga anak bersayap. Kalian tersenyum, melambai.
Berhari-hari, kamu datang menemuiku, Zulaikha, bersama tiga anak bersayap. Tersenyum, kemudian menghilang. Dadaku pecah. Aku muntah darah.
MASIH Desember, empat belas tahun yg lalu, sebulan berselang setelah datangnya telegram dr Bulik Tisah. Telegram yg kini tergeletak di atas ranjang, yg tak sempat gue bereskan sebelum gue pergi.
Aku pulang…
Aku berlangsung melawan angin, menyusuri jalan berkerikil, gemeretak terinjak boot. Di sepanjang jalan, pohon-pohon tampakmerana alasannya patah tersapu angin kencang, menciptakan mataku sakit. Desa sepi. Satu, dua, orang yg tak kukenal lewat berselisih jalan denganku. Desa ini seperti desa baru. Begitu abnormal.
Kakiku berhenti di depan rumah yg hancur. Rumahku. Tak ada si Mbok, yg selalu mengkonde rambutnya, sesudah menggunakan minyak kletik & bersenandung macaphat.
Tak ada Paklik Dikun, yg kakinya pincang, bekas kena tembak tatkala berjuang mempertahankan kemerdekaan di Yogyakarta, & wajahnya rusak terbakar, hingga ia malu untuk kawin. Yang ada hanya puing bekas rumah. Aku cuma bisa menghela nafas. Aku pria, kata mbokku lelaki tak boleh menangis.
Kuputar tubuhku, menyaksikan sekelilingku. Tak ada sanak tersisa, hanya beberapa orang yg tak kukenal. Mata mereka memandangku sekilas kemudian pergi bergegas. Aku, orang yg terasing, bukan orang yg pulang.
Kulanjutkan perjalananku ke ujung desa. Dadaku lebih nyeri. Angin pun kini terasa lebih acuh taacuh menusuk.
“Zulaikha, gue pulang,” gumamku dikala berada di ujung desa. Di depan rumah terakhir yg berdekatan dgn pematang sawah. Kulihat rumah kami tinggal separuh. Apakah gue pantas menangis kini? tanyaku dlm hati.
Tak ada harapan untuk mencari kuburmu. Aku tak mampu untuk melihatmu bila sudah bersalin rupa menjadi gundukan tanah. Bukan gue tak ingin, mencari belum dewasa kita, bukan! Dari telegram yg dikirim Bulik Tisah, kau & bawah umur menghilang. Kalian tak ditemukan, setelah angin ribut menyapu habis seluruh desa.
Zulaikha, apakah kau menghukumku? Karena kau & ibumu, menganggapku tak sanggup berada di dekatmu, & memenuhi kebutuhanmu & bawah umur kita? Aku sudah berusaha. Tapi apa yg bisa kulakukan lagi untuk tetap menyakinkanmu? Sebenarnya kita tak pernah sengsara, ibumulah yg mengira kita kekurangan. Aku seniman. Bukankah gue tetap bertanggung jawab untuk menafkahimu?
Maafkan aku, mungkin paham yg kuanut tak pernah bisa membuat gue pulang & akibatnya menjauhkanku darimu. Tapi kita tak boleh menyalahkan keadaan. Tatkala gue dibuang lima tahun yg kemudian, cuma Bulik Tisahlah yg gue kabari. Semata-mata kulakukan, semoga kau & bawah umur merasa kondusif.
Diujung desa ini gue lunglai, terduduk di atas rerumputan. Pandanganku menyapu hingga jauh. Air mataku tak pecah juga. Yang kulakukan hanya bisa menahan air mata, namun tak pernah bisa membuatmu bergembira hingga simpulan hidupmu.
Angin semakin membuatku menggigil & meninggalkan titik-titik air di kulit. Aku menengadah, langit kelabu.
Kusadari gue terlalu munafik! Tak seperti awan-awan di atas sana yg lebih jujur saat ingin menumpahkan airnya. Aku iri.
Gerimis mulai menderas. Angin pun berubah kencang. Orang-orang berlarian sambil berteriak. Seorang di antaranya menyuruhku untuk menepi & berteduh. Aku hanya menatap seluruhnya, tanpa bereaksi.
Zulaikha, kubiarkan hujan membasahi badan, mewakili seluruh tangisan. Gemuruh guntur, kilatan petir, tak seberapa dibanding dgn apa yg kurasakan di dlm dada. Badai ini meluluhlantakanku.
Ditengah hujan, sekelebatan kau tiba dgn wajah tersenyum, menghampiriku sambil menuntun tiga anak bersayap. Tubuhmu basah kuyup sama sepertiku, sayap ketiga anak itu pun ikut kuyup. Senyummu menikamku.
AKU terbangun di ruangan bercat biru, dgn jendela menghadap halaman. Di depan pintu masuk, berdiri seorang perempuan tua berbadan gemuk memegang mangkuk.
“Johan, kau sudah bangkit tha?” ia mendekat. Aku tak membalas pertanyaannya. Kupandangi wanita itu lekat-lekat. Bulik Tisah? Sejak kapan gue berada di rumahnya? Aku terbatuk.
Bulik Tisah membuka tutup gelas, & menunjukkan gelas berisi air hangat kepadaku. Dalam satu tegukan, isi gelas itu tandas, mengusir kerontang di tenggorokanku.
“Kau diantar orang. Tak kukenal. Kau mab*k! Katanya, kamu terkapar di jalanan. Untung di saku jaketmu ada sobekan alamatku. Kalau tidak, entahlah.” Bulik Tisah mengambil handuk kecil dr dlm mangkuk, mengganti kompresanku.
Entah sudah berapa usang gue tertidur. Kurasakan saat ini kepalaku sungguh berat. Zulaikha, astaga! Bukankah kemarin kita masih menikmati hujan?
Aku tak berani untuk menanyakan keberadaanmu pada Bulik Tisah. Aku takut mendengar, bila kalian memang sudah tiada, pulang ke rumah Tuhan di nirwana.
Tuhan? Tiba-tiba gue rindu rumah Tuhan. Aku masih memiliki Tuhan.
DESEMBER, empat belas tahun yg lalu sudah terlewati. Angin berhembus pelan. Langit senja sedikit demi sedikit mulai menyimpan matahari di balik bukit.
Tubuhnya lesu, tenggelam dlm jaket. Segenap kesedihan, ditumpahkan lewat tiupan seruling. Setelah itu, ia tersenyum tipis lalu menembang, selirik machaphat terdengar begitu mengiris.
“Aku harus menangis, Zulaikha. Harus!” gumamnya nyaris tak terdengar. “Sekarang gue tak peduli, walau gue laki-laki.”
LUBANG di depanku sudah tertutup tepat. Pencarianku selsai di sini, Bapak. Di depan tanah merah, daerah terakhirmu berumah. Aku bersyukur telah memperoleh & mendengar ceritamu sepeninggal kami. Tapi gue tidak punya keberanian mengatakan siapa saya.
Sebenarnya, badai keadaanlah yg membuat Ibu pergi, jauh sebelum bencana alam itu terjadi. Ibu menambatkan kehidupan pada lelaki opsi nenek & melarang kami mencarimu, meski kami rindu.
Angin berhembus. Air mata bergulir, gue boleh menangis, bukan alasannya gue wanita, tapi alasannya gue manusia. (*)