Analisis Politik Luar Negeri
Sifat politik luar negeri yakni interdisipliner, yaitu dalam mengungkapkan pengusutan sesuatu memerlukan aneka macam pertolongan dari berbagai disiplin ilmu. Dalam menganalisis politik luar negeri, setidaknya ada 3 (tiga) fasilitas, adalah:
1. Mampu mengerti dan menerapkan banyak sekali rancangan, teori dan metode pada suatu pengkajian yang konkret;
2. Diorientasikan pada setengah negara untuk memudahkan;
3. Membuat formulasi/rumusan/berbagi sebuah perkembangan baru tentang pelaksanaan politik luar negeri.
Ray Maghroori dan Bennet Ramberg dalam bukunya Globalism versus Realism: International Relations third debate, mengemukakan bahwa sejak akhir Perang Dunia I, terdapat dua debat yang intensif dalam ihwal dan pertumbuhan ilmu serta metodologi hub. Internasional, ialah:
1. Antara para penganut fatwa-pemikiran besar “Realis” dan “Idealis”; dan
2. antara kaum “Tradisionalis” dengan kaum “behavioralis”.
Pada pertumbuhan selanjutnya, meningkat debat yang ketiga, ialah antara mereka yang meyakini “state centric” dengan para “globalist” yang memusatkan perhatiannya pada interdepedensi atau saling ketergantungan dari para pelaku relasi internasional.
Berkaitan dengan kebijakan luar negeri AS, para pengamat baik dari dalam maupun luar AS menatap bahwa kebijakan luar negeri AS sering membingungkan dan ruwet. Berbagai keputusan sering diambil terkesan terburu-buru. Proses menemukan cara yang tepat untuk mempengaruhi pengerjaan undang-undang diantara sekian banyak orang yang terlibat di nilai kurang membuat puas untuk menghasilkan undang-undang secara maksimal.
Tak ada perspektif tunggal yang mampu menerangkan arti dasar kebijakan mancanegara AS. Beberapa faktor yang menyulitkan formulasi kebijakan mancanegara AS yakni:
Pertama, adanya bab penduduk AS yang lebih pro-isolasi dan sering kurang mengetahui permasalahan.
Kedua, meningkatnya dampak dan pelembagaan golongan-golongan dengan kepentingan khusus dan think tanks untuk problem-dilema kebijakan mancanegara AS yang ikut menentukan perdebatan perihal kebijakan.
Ketiga, aneka macam birokrasi yang saling berebut dampak yang mengakibatkan yurisdiksi yang tumpang tindih atas sebuah informasi.
Keempat, media AS juga ikut berperan dalam mengeksploitasi dan mempolarisasi gosip tentang kebijakan luar negeri.
Kelima, kongres juga semakin berperan dalam penentuan kebijakan mancanegara yang menimbulkan pandangan bahwa keputusan-keputusan yang diambil dalam memilih kebijakan mancanegara yaitu untuk pertimbangan-usulanpolitik di dalam negeri.
Ada dua hal yang hendak diungkap dalam analisis politik mancanegara (inti Analisis Politik Luar Negeri), yakni:
I. Berusaha mengetahui inti politik luar negeri suatu negara.
Kita harus mengetahui falsafah dan ideologi suatu bangsa, juga mengetahui konsensus nasional.
– Ideologi berkaitan dengan metode pemerintahan suatu negara. Contoh: Kapitalis-Liberalis, atau Sosialis-Komunis.
– Falsafah diperoleh dari religi sebuah negara atau pengelolaan sebuah negara.
– Konsensus nasional adalah kesatuan pandang suatu bangsa dalam pergaulan internasional.
II. Proses Perumusan, penentuan dan pelaksanaan politik luar negeri.
Kita mempelajari faktor-faktor tangible (bersifat kasatmata, mampu dilihat, mampu diperkirakan) yang mampu dianalisis secara pasti, serta Faktor-faktor intangible (bersifat tidak positif, tidak terlihat, sulit diperkirakan) yang terasa pengaruhnya namun sulit untuk dikaji sehingga membutuhkan skill tertentu. Contoh: pada dikala pemerintahan Megawati, adalah benar ketika dia melakukan suatu politik mancanegara tertentu (bersifat tangible) namun saat memilih kebijakan Megawati juga dipengaruhi baik oleh aspek keluarga dan juga dari DPR/MPR (bersifat intangible).
Level of Analysis dalam International Relationship:
1. International System: Global maupun Regional;
2. Group of States;
3. States;
4. Group/golongan-kalangan, yang ruang lingkupnya lebih besar;
5. Individuals, sungguh besar lengan berkuasa dalam suatu acara.
Level of Analysis menurut K.J. Holsti:
1. International System;
2. States;
3. Individials.
Beberapa kendala/kekurangan diplomasi (terutama negara berkembang mirip Indonesia) secara umum mampu dibagi menjadi 2 (dua) faktor, adalah :
1. Faktor yang bersifat internal;
2. Faktor yang bersifat eksternal.
Kita mesti mengamati (policy makers focus) lima langkah dalam perumusan kebijakan:
I. Kita menandai semua orang/forum mana saja yang terlibat dalam masalah mancanegara.
a. Governmental Agencies:
Kepala Negara (Presiden, Raja PM, Kaisar);
Departemen-departemen, forum-forum pemerintah yang terkait dalam permasalahan luar negeri: Deplu, Dephankam, Depkeh, Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Dep Informasi dan Komunikasi, dll;
Lembaga negara lainnya: Lembaga legislatif, forum yudikatif.
b. Non-Governmental Agencies :
Partai Politik, kalangan kepentingan, LSM, yang berupaya untuk mengubah kebijakan-kebijakan yang tidak mampu menampung aspirasi rakyat.
I. Kesiapan Politis, mencakup :
Diukur dari kemampuan sebuah negara untuk menciptakan sebuah perjanjian dengan negara-negara tetangganya. Yang di maksudkan selain untuk menggalang kerjasama juga untuk mencegah dan bahkan mengisolasi lawan-musuh memiliki peluang;
Diukur dari kesanggupan untuk mendayagunakan situasi atau kecenderungan internasional untuk menunjang atau memberi legitimasi (utamanya untuk persoalan-duduk perkara kontroversial bagi kebijakan-kebijakan Polugrinya);
Kemampuan untuk membuat sebuah kerangka kebijakan yang mencakup berbagai kemungkinan, unsur penunjang, hambatan dan sekaligus kesempatan;
Kemampuan menghindarkan, melalui banyak sekali perundingan/perundingan, bentrokan-bentrokan secara secara eksklusif dengan kepentingan negara lain khususnya dengan kepentingan negara-negara besar yang mampu memungkinkan hadirnya pertentangan terbuka (perang);
Kemampuan untuk menggalang/berinisiatif wadah keselamatan kolektif.