SEMUA orang, renta-muda, besar-kecil, memanggilnya Ompi. Hatinya akan kecil bila dipanggil lain. Dan semua orang tak hendak mengecilkan hati orang bau tanah itu.
Di waktu mudanya Ompi menjadi klerk di kantor Residen. Maka sempatlah ia menghimpun harta yg lumayan banyaknya. Semenjak istrinya meninggal dua belas tahun berselang, perhatiannya tertumpah pada anak tunggalnya, laki-laki.
Mula-mula si anak dinamainya Edward. Tapi lantaran raja Inggris itu turun takhta lantaran wanita, ditukarnya nama Edward jadi Ismail. Sesuai dgn nama kerajaan Mesir yg pertama. Tatkala tersiar pula kabar, bahwa ada seorang Ismail terhukum lantaran maling & membunuh, Ompi naik pitam. Nama anaknya seolah ikut tercemar.
Dan ia merasa terhina. Dan pada suatu hari yg terpilih berdasarkan kepercayaan orang tua-bau tanah, yakni tatkala bulan sedang mengambang naik, Ompi mengadakan kenduri.
Maka jadilah Ismail menjadi Indra Budiman. Namun si anak ketagihan dgn nama yg dicarinya sendiri, Eddy.
Ompi jadi jengkel. Tapi karena sayang sama anak, ia terima pula nama itu, asal ditambah di belakangnya dgn Indra Budiman itu. Tak beralih lagi. Namun dlm hati Ompi masih mengangankan suatu tambahan nama lagi di wajah nama anaknya yg sekarang. Calon dr nama tambahan itu berbagai. Dan salah satunya harus diraih tanpa peduli kekayaan akan punah. Tapi itu tak dapat dicapai dgn kenduri saja. Masa & keadaanlah yg memilih. Ompi percaya, masa itu niscaya akan datang.
Dan ia menunggu dgn hati yg disabar-sabarkan. Pada suatu hari yg gilang-gemilang, angan-angannya pasti menjadi kenyataan. ia yakin itu, bahwa Indra Budimannya akan mendapat nama embel-embel dokter di tampang namanya kini. Atau salah satu titel yg mentereng lainnya. Tatkala Ompi mulai mengangankan nama embel-embel itu, diambilnya kertas & potlot. Ditulisnya nama anaknya, dr. Indra Budiman. Dan Ompi merasa bahagia sekali. Ia yakinkan pada para tetangganya akan cita-citanya yg niscaya tercapai itu.
“Ah, gue lebih merasa berduka cita lagi lantaran belum sanggup menghindarkan kemalangan ini. Coba kalau anakku, Indra Budiman, sudah jadi dokter, si mati ini akan niscaya dapat tertolong,” katanya bila ada orang meninggal sehabis usang menderita sakit.
Dan kalau Ompi melihat ada orang membuat rumah, kemudian ia berkata, “Ah sayang. Rumah-rumah orang kita masih kuno arsitekturnya. Coba kalau anakku, Indra Budiman, sudah menjadi insinyur, pastilah ia akan menolong mereka membuat rumah yg lebih indah.”
Semenjak Indra Budiman berangkat ke Jakarta, Ompi bertambah percaya, bahwa setahun demi setahun segala cita-citanya tercapai niscaya. Dan benarlah. Ternyata setiap semester Indra Budiman mengirim rapor sekolahnya dgn angka-angka yg baik sekali. Dan setiap tahun ia naik kelas. Hanya dlm tempo dua tahun, Indra Budiman menamatkan pelajarannya di SMA seraya mengantungi ijazah yg berangka baik.
Ketika Ompi membaca surat anaknya yg memberitakan kemajuannya itu, air mata Ompi berlinang kegembiraan. “Ah, Anakku,” katanya pada diri sendiri, “Aku bangga, Anakku. Baik kau-sekalian jadi dokter. Karena orang lebih banyak memerlukanmu. Dengan begitu kau disegani orang. Oooo, perkara uang? Mengapa tiga ribu, lima ribu akan kukirim, Anakku. Mengapa tidak?”
Dan sejak itu Ompi kurang punya ketabahan oleh kelambatan jalan hari. Seperti kandidat pengantin yg sedang menunggu hari perkawinan. Tapi siapa saja tahu, bahkan tak menjadi belakang layar lagi bahwa cita-cita Ompi hanyalah akan menjadi mimpi semata. Namun orang harus bagaimana mengatakannya, kalau orang tua itu tak hendak percaya. Malah ia menghujat & menuduh semua insan iri hati akan kemajuan yg diraih anaknya. Dan segera ia mengirim uang lebih banyak, tanpa menimbang-nimbang segala jadinya. Dan itu hanya semata untuk menantang omongan yg membusukkan nama baik anaknya.
“Sekarang kau diomongi orang-orang yg bacin mulut, Anakku. Tapi ayah memahami, kalau mereka memfitnahmu itu karena mereka iri pada hidupmu yg mentereng. Cepat-cepatlah kau jadi dokter, biar kita sumpal lisan mereka yg jahat itu,” tulisnya dlm sepucuk surat.
Dan akhirnya orang jadi kasihan pada Ompi. Tak seorang pun lagi membicarakan Indra Budiman padanya. Malah sebaliknya kini, siapa pun seolah setuju saja untuk memuji-muji.
“Ooo, anak Ompi itu. Bukan main beliau. Kalau tak ke sekolah, tentu menghafal di rumah,” kata seseorang yg baru pulang dr Jakarta menjawab tanya Ompi.
“Ke sekolah? Kenapa ke sekolah dia?” Ompi merasa tersinggung. “Kalau studen tak menghafal, tahu? Tapi studi. Tidak ke sekolah. Tapi kuliah.”
“O, ya, ya, Ompi. Itulah yg kumaksud.”
“Aku sudah kira Indra Budiman, anakku anak baik. Ia pasti sukses. Aku gembira sekali. Ah, kau datanglah ke rumahku makan siang. Aku potong ayam.”
Dan oleh perantau pulang yang lain dikatakan pada Ompi. “Siapa yg tak kenal beliau. Indra Budiman. Seluruh Jakarta kenal. Seluruh gadis mengharap cintanya.”
Lalu Ompi geleng-geleng kepala dgn senyumnya. “Bukan main. Bukan main. Indra Budiman anakku itu. Ia memang anak tampan. Perempuan mana yg tak tergila-gila kepadanya. Ha ha ha. Ah, datanglah kau ke rumahku nanti. Ada oleh-oleh buatmu.”
Kemudian kalau Ompi ketemu gadis bagus yg di kenalnya, ditegurnya: “Hai, kaukenal anakku, studen dokter itu, bukan? Nanti kalau ia pulang, gue perkenalkan padamu. Biar kau dipinangnya. Ha ha ha.”
Si gadis pastinya merah mukanya, karena merasa tersinggung. Tapi menurut Ompi, paras merah itu lantaran malu tersipu. Dan ia jadi tambah gembira.
Akan namun tatkala Ompi tahu gue bakal kawin, ia mampu wangsit baru. ia pun merasa pula, bahwa Indra Budiman sudah layak ditunangkan. Dan pada sangkanya, tentu Indra Budiman akan gembira & bertambah bersungguh-sungguh belajar, sebagai imbangan budi baik ayahnya yg tak pernah melalaikan segala keperluan anaknya. Dan diharapkannya pula kedatangan orang-orang meminang Indra Budimannya. Karena di kampung kami pihak perempuanlah yg datang meminang.
Sudah tentu harapan Ompi tinggal harapan saja. Tapi Ompi tak mau mengetahui. Sikap keangkuhannya gampang tersinggung. Dan bencinya bukan kepalang pada orang-orang bau tanah yg mempunyai anak gadis elok. Bahkan bukan kepalang meradangnya Ompi, bila ia tahu orang-orang mengawinkan anak gadisnya yg anggun tanpa mempedulikan Indra Budiman lebih dahulu.
Tak masuk logika, orang-orang tak menginginkan anaknya, si calon dokter itu. Lama-lama rasa dendamnya pada mereka bagai membara. “Awaslah nanti. Kalau Indra Budimanku sudah menjadi dokter, akan kuludahi mukamu semua. Sombong.”
Kepada Indra Budiman tak dikatakannya kemarahannya itu. Malah sebaliknya. Dikatakannya, banyak sudah orang yg punya gadis cantik datang meminang. Tapi semua telah ditolak. Karena menurut keyakinannya, Indra Budimannya lebih mementingkan studi ketimbang perempuan. Apalagi seorang studen dokter tentu takkan mau dgn gadis kampungan yg udik lagi.
“Pilihlah saja gadis di Jakarta, Anakku. Gadis yg sederajat dgn titelmu kelak,” epilog suratnya.
Celakanya Indra Budiman yg selama ini menduga bahwa tak mungkin ia dimaui oleh orang kampungnya, lantas jadi membalik pikirannya. Ia jadi sangat percaya, bahwa sudah banyak orang yg tiba melamarnya. Tak teringat olehnya, bahwa bohongnya pada ayahnya selama ini sudah dimengerti oleh orang kampungnya. Lupa ia bahwa semua mata orang kampungnya yg tinggal di Jakarta senantiasa saja mempercermin hidupnya yg bejat.
Sejak itu berubahlah letak panggung sandiwara. Jika dulu si anak yg berbohong, si ayah yg percaya, maka kini si ayah yg membohongi, si anak yg percaya. Lalu si anak mengharapkan pada ayahnya supaya dikirimi foto-foto gadis yg dicalonkan.
Untuk menunjukan kebenaran suratnya, Ompi mengirimkan foto gadis yg kebetulan ada padanya. Tidak peduli ia, apa foto itu gambar dr gadis yg sudah kawin atau bertunangan. Bahkan pula tak peduli ia apa gadis itu sudah meninggal. Ia kirim terus dgn harapan gampang-mudahan anaknya tak berkenan. Dan alangkah gembiranya Ompi, andaikata tak ada suatu pun dr foto-foto itu yg berkenan di hati anaknya.
Di samping itu ia sadar juga, bahwa kepalsuan sandiwaranya sudah tentu akan selsai pula pada suatu masa. Anaknya niscaya lama-usang tahu & dgn begitu akan muncul kesulitan lain yg tak gampang diselesaikan.
Tapi rupanya Tuhan mencintai ayah yg sayang pada anaknya. Persis tatkala Ompi kehabisan foto para gadis itu, dgn tiba-tiba saja surat Indra Budiman tak datang lagi.
Antara rusuh & lega, Ompi gelisah pula menanti surat dr anaknya. Layaknya macan lapar yg terkurung menunggu orang memperlihatkan daging. Pasai ia menanti, dikiriminya surat. Ditunggunya beberapa hari. Tapi tak datang tanggapan. Dikiriminya lagi. Ditunggunya. Juga tak terbalas. Dikirim. Ditunggu. Selalu tak berbalas. Bulan datang, bulan pergi, Ompi tinggal menunggu terus.
Pada suatu hari yg tak baik, di kala Ompi sudah mulai frustasi, datanglah Pak Pos dgn di tangannya segenggam surat. Maka darah Ompi kencang berdebar. Gemetar lantaran ia bahagia. Tetapi alangkah remuknya hati orang bau tanah itu, lantaran ternyata pengirim surat itu cuma mengantarkan semua surat-suratnya yg dikembalikan.
Ia tak percaya bahwa surat-suratnya itu kembali. Ia mirip merasa berkhayal & tubuhnya serasa seringan kapas yg terbang di tiup angin. Dibalik-baliknya surat itu berulang kali. Lalu dibukanya & dibacanya satu persatu. Dan tahulah ia, bahwa semuanya memang surat untuk anaknya yg ia kirimkan dahulu. Tapi ia tak meyakininya dgn benar-benar. Malah ia coba meyakinkan dirinya sendiri, bahwa ia sedang berkhayal. Dan berdoalah ia pada Tuhan, agar apa yg terjadi yakni memang mimpi.
Semenjak itu semuanya jadi tak baik. Ia jatuh sakit, bahkan hingga mengigau. Dan oleh seleranya yg patah, Ompi bertambah menderita jua. Lahir & batin. Kini dlm hidupnya cuma satu hal yg dinantikannya. Yaitu surat. Surat dr anaknya, Indra Budimannya. Seluruh hidupnya bagai jadi meredup mirip lampu kemersikan sumbu.
Dan ia telentang di ranjangnya, enggan bergerak. Tapi matanya selalu lebar terbuka memandang langit-langit kelambu. Mata itu kian hari kian jadi besar sepertinya oleh badannya yg kian mengurus. Tapi mata yg lebar itu tiada cemerlang. Redup.
Akan tetapi setiap sore, di antara jam empat & jam lima, Ompi kelihatan seperti orang sakit yg bakal sembuh. Dan ia sanggup berdiri & melangkah ke pintu depan.
Dan cahaya matanya kembali bersinar-sinar. Karena pada jam itu biasanya Pak Pos umumnya mengantarkan surat-surat ke alamatnya masing-masing. Tapi ketika-dikala mirip itu, yg membiarkan masa senang & prospek, yaitu pula masa yg menambah dlm luka hatinya, hingga lebih meroyak. Sebab selamanya Pak Pos itu tak mampir lagi membawakan surat dr Indra Budiman. Dan kalau Pak Pos itu sudah melalui tanpa singgah, reduplah lagi mata Ompi.
Namun kemalangan itu bertambah lagi. Yaitu tatkala Ompi jatuh terduduk. Lama orang gres tahu & memapahnya ke ranjangnya di kamar. Ompi jadi lumpuh & habislah sejarah Ompi menanti di ambang pintu setiap sore. Ia kini menanti dgn telentang di ranjangnya. Sebuah beling disuruhnya supaya di pasang pada dinding yg mampu memberi pantulan ke ambang pintu depan, sehingga ia akan serta-merta dapat menyaksikan Pak Pos mengantarkan surat Indra Budiman. Dan semenjak itu, pada setiap jam empat hingga jam lima sore, matanya akan memandang ke beling itu. Hanya di waktu itu saja.
Sedangkan di waktu lain Ompi seolah tak peduli pada segalanya. Kami tak pernah lagi mengundang dokter setelah tiga kali ia tiba. Karena kedatangan dokter hanya akan memperdalam luka hatinya saja. Kehadiran dokter itu menimbulkan gundah hatinya lantaran ingat pada Indra Budiman yg bakal jadi dokter, tapi tak pernah lagi mengiriminya surat. Kedatangan seorang dokter dipandangnya selaku suatu sindiran, bahwa anaknya masih pula belum sukses menjadikan cita-citanya tercapai.
Ketika terakhir gue menemui dokter yg sudah enggan datang, dokter hanya menggelengkan kepala saja. “Aku tak mampu mengobatinya lagi. Carilah dokter lain saja. Atau bawa ia ke rumah sakit. Kalau semua tak mungkin, jangan lewati ia sendirian. Bila perlu, meski dgn resiko besar, bangunkanlah kembali mahligai angan-angannya.”
Semenjak itu, berganti-ganti orang gue menyediakan diriku selalu erat Ompi. Aku sadar, bahwa tiada prospek lagi buatnya hidup lebih lama. Itulah sebabnya tak kusampaikan kepadanya bahwa hari perkawinanku sudah berjalan. Karena gue takut gosip itu akan menambah dlm penderitaannya. Di samping itu dengan-cara kurang jelas gue elus terus peluangnya yg indah bila Indra Budiman kembali. Kukarang kisah masa lalu & angan-angan masa depan yg menggembirakan. Kuceritakan dgn hati yg kecut.
Aku pun tahu, tak ada gunanya semua. Hanya satu yg dikehendakinya. Surat dr Indra Budiman. Surat yg mengatakan bahwa ia sudah lulus & sudah mendapat titel dokternya. Kadang-kadang terniat olehku hendak menulis sendiri surat itu. Tapi gue selamanya ragu-ragu, malahan takut, kalau-kalau permainan itu akan berakibat yg lebih fatal. Maka tak pernah gue coba menulisnya.
Pada suatu hari terjadilah apa yg kuduga bakal terjadi. Tapi tak kuharapkan berlangsungnya. Kulihat Pak Pos memasuki halaman rumah Ompi. Hari waktu itu jam sebelas siang. Aku tahu itu pastilah bukan surat yg dibawanya. Melainkan sepucuk telegram. Dan pada telegram itu pastilah bertengger ketika-ketika kritis sekali. Tergesa-gesa gue menyongsong Pak Pos itu ke ambang pintu. Maksudku hendak membuka telegram itu untuk mengenali isinya lebih dulu. Dan jika perlu akan kuubah isinya. Agar terelakkan ketika-ketika yg seram.
Akan tetapi semua kejadian tiba dgn serba tiba-tiba. Hingga gagallah recanaku. Tak sempat gue membuka surat itu. Karena di luar segala dugaanku, Ompi yg sudah lumpuh selama ini, telah berada saja di belakangku. Sesaat tatkala gue menerima & menandatangani resi telegram itu. Gemetar kaki Ompi mendukung tubuhnya yg kisut. Tangannya berpegang pada sandaran kursi. Dan gue kehilangan kepercayaan pada pandangan mataku sendiri. Kekuatan apakah yg menyebabkan Ompi bisa berdiri & bahkan berjalan itu. Aku tak tahu.
“Bukalah. Bacakan segera isinya.” Ompi berkata seperti ia memerintah orang-orang di waktu mudanya dahulu.
Aku sobek sampul yg kuning muda itu dgn tangan yg menggigil. Sekilas saja tahulah saya, bahwa ketika yg paling kritis sudah hingga di puncaknya. Indra Budiman dikabarkan sudah meninggal.
“Telegram dr anakku? Apa katanya? Pulanglah ia menjinjing titel dokternya?” Ompi mengajukan pertanyaan dgn bunyi yg mendesis namun terburu-buru berdesakan keluar.
Tak tahulah aku, apa yg mesti kukatakan. Dan kuharapkan suatu keajaiban yg diberikan Tuhan untuk membebaskan gue dr siksa ini. Tapi keajaiban tak pula tiba. Aku mengangguk. Sedang dlm hatiku berteriak, terjadilah apa yg akan terjadi.
Ompi terduduk di kursi. Matanya cemerlang memandang. Tangannya diulurkannya kepadaku meminta telegram itu. Aku merasa ngeri memberikannya. Tapi gue tak bisa berbuat lain. Telegram itu kusodorkan ke tangannya. Telegram itu digenggamnya erat.
Lalu didekapkan ke dadanya. “Datang pula apa yg kunantikan,” katanya.
Sepi begitu menekan sehingga gue mampu mendengar denyut jantungku sendiri.
“Ah, tidak. Aku takkan membaca telegram ini. Aku takut kegembiraanku akan meledakkan hatiku. Kaubacakan buatku. Bacakan secara perlahan-lahan. Biar sepatah demi sepatah bisa menjalari segala saraf-sarafku,” kata Ompi dgn terputus-putus.
Dalam kegugupan kususun suatu taruhan jiwa & sesalam bagi selama hidupku. Akan kukarang kisah yg mengasyikkan hatinya. Tapi telegram itu tak diberikannya padaku. Masih terletak pada dekapan dadanya. Sedangkan bibirnya membariskan senyum, serta matanya menyinarkan cahaya yg cemerlang.
“Tak usah dibacakan. Takkan sanggup gue mendengarnya. Aku akan mati lemas oleh kebahagiaan yg tiba bergulung ini. Aku mau sehat. Mau besar lengan berkuasa dulu. Sehingga ledakan kegembiraan ini tak membunuhku. Panggilkan dokter. Panggilkan. Biar gue jadi segar bugar pada waktu anakku, Dokter Indra Budiman, datang. Pergilah. Panggilkan dokter,” kata Ompi dgn gembira.
Dan telegram itu dibawa ke bibirnya. Diciumnya dgn mesra. Lama diciumnya seraya matanya memicing. Selama tangannya sampai terkulai & matanya terbuka setelah kehilangan cahaya. Dan telegram itu jatuh & terkapar di pangkuannya. (*)