Anak-anak lahir siap untuk BELAJAR, ketimbang untuk DIAJAR –Jeany (bukan nama sebenarnya) yaitu seorang ibu, dia adalah kenalan baik ku & satu tatkala dia minta semoga saya menolongnya menangani perkara anak gadis kecilnya yg berusia 10 tahun.
”Tolonglah, anakku ini sudah kubawa ke psikolog, namun belum pula ada tanda2 mau berubah, beliau anak yg terpelajar, IQ-nya 140. Tapi tingkah lakunya benar-benar memprihatinkan.” katanya mengeluh.
“Tempo hari, anakku itu berada di kamar terus berhari-hari, kerjanya hanya baca komik saja… Setelah gue marahi, eh! beliau sudah tak baca komik lagi, tetapi ganti nonton TV melulu berjam-jam kayak tak ada kerjaan lain.. Nanti kalau sudah dimarahi, baru ia berguru di meja makan.” kata Jeany melanjutkan keluh kesahnya.
“Aku nggak tahu apa saja yg dikerjakannya di meja makan tersebut, kerjanya hanya mencorat-coret meja, sungguh-sungguh bikin kepalaku pusing tujuh keliling.. ” dia kembali mengeluh.
“Belakangan sesudah gue marahi lagi, kini ia jadi suka berteriak-teriak histeris, suka berbohong & suka memukul adiknya. Aku lihat, anak ini memang abnormal & senantiasa bikin gue tertekan….!!!” dia kembali mengeluh senantiasa menyalahkan anakya sebagai sumber problem.
”Nah sekarang coba jawab pertanyaanku !” Potong saya. Tampaknya, bila saya tak memangkas pembicaraanya, Teman saya ini tak akan secepatnya berhenti berbicara.
“Sebenarnya, apa yg harus dilakukan anak oleh anakmu supaya bisa membuat ananda senang?” Tanya saya lagi untuk lebih menegaskan.
Pertanyaan saya menciptakan suasana menjadi sunyi, ia sepertinya sedang berpikir keras untuk menjawab pertanyaan saya. Jika tadi kelihatannya ia mau bersahabat mencurahkan isi hatinya pada saya, kini tampak raut wajahnya cemberut karena saya mengajukan pertanyaan demikian.
“Kamu sendiri saja tak tahu apa yg bekerjsama ananda inginkan” sela saya di tengah keheningan.
“itulah yg menciptakan anakmu pula menjadi resah. Kebingunganmu sudah sedemikian parahnya, sehingga anakmu menjadi frustrasi, itulah kenapa beliau mulai melakukan hal yg tak baik.”
“Tidakkah ananda bisa menyaksikan anakmu menuruti setiap perkataanmu, namun hasilnya senantiasa kaumarahi juga? Semua yg dia kerjakan, senantiasa salah di matamu!” saya coba menerangkan & menyadarkannya.
“Aku benci kehamilanku yg pertama…” Sahut kenalanku itu sambil tertunduk & terisak.
Oh…! Aku benci alasannya adalah suamiku tak ada di sampingku pada dikala ia dilahirkan, gue benci suamiku tak pernah membantuku dikala ia sering menangis di tengah malam, sakit2an, saat masih bayi gue sering begadang sendirian kebingungan, gue benci…suamiku yg tak pernah peduli pada keluarganya…oh.. gue depresi ia sering pulang larut & gila kerja..!!!”
Ternyata, ada masa lalu & problem lain yg harus didamaikan, bekerjsama anaknya sama sekali tak bermasalah kata hati kecil saya.
Kisah ibu ini hanya salah satu dr sebegitu banyak kisah mengenaskan dimana anak-anak yg tak memahami apa-apa sudah menjadi korban problem langsung orangtuanya.
Banyak belum dewasa bakir tak dapat mencapai hasil yg maksimal justru alasannya adalah ketidakmampuan diri orangtuanya berdamai dgn masalah pribadinya, bawah umur itu dipaksa untuk mencicipi kesedihan & kemarahan orangtuanya & menjalani rutinitas hidup yg ’sakit’ di dlm raga yg seharusnya sehat.
Menurut saya kedua orang tuanyalah yg bahwasanya bermasalah & lebih membutuhkan terapi.
Para orang tua yg berbahagia…
Jika ada problem dgn anak kita mari kita sadari segera apa bahwasanya yg sedang terjadi, Anak kita yg berurusan atau malah justru kitalah yg sedang memiliki masalah..?
Semoga ini dapat menjadi bahan renungan yg baik di selesai pekan.
Sharelah posting ini ke sebanyak2nya orang renta & guru sekolah jikalau dicicipi menenteng faedah & berkhasiat.