Al-Qur’An Dan Qira’At (Pemahaman, Perbedaan, Pokok Bahasan, Urgensi, Dan Acuan-Contohnya)

BAB I
PENDAHULUAN
A.           Latar Belakang.
Al-Qur’an   merupakan  wahyu   Allah   SWT yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW lewat malaikat jibril yang ditujukan kepada ummat insan. Ini ialah pesan dari Allah kepada insan. Karena itu, al-Qur’an menjadi sungguh urgen bagi kita. Untuk berpegang teguh pada pesan tersebut, yang  dibutuhkan  pertama  kali  pasti  mengerti  kandungannya. Untuk tujuan itulah, maka kandungan al-Qur’an tersebut mesti dipelajari dengan mendalam. Kenyataannya, banyak orang sudah menghabiskan banyak hidupnya untuk mengkaji al-Qur’an; membaca dan  merefleksikannya  dalam  rangka  membangun  faktor  fisik  dan spirit mereka. Mereka juga sudah memperoleh makna dan implikasi baru untuk kepentingan mereka sendiri.
beberapa  pengetahun  yang  secara  spesifik mengenai pembahasan tersebut, yang berhubungan dengan message tadi yakni juga diperlukan untuk secara penuh mengetahui makna dan implikasinya. Meski, beberapa bab dari pengetahuan spesifik ini bisa diambil dari al-Qur’an itu sendiri, namun bab lain dari pengetahuan  tersebut  cuma  bisa  ditemukan  melalui  kajian  dan research yang mendalam.
Seorang Muslim sejak dini dituntut mengaplikasikan, bukan hanya pesan dari Allah (al-Qur’an), namun juga setting dan framework (kerangka  kerja)-nya.  Karena  itu,  pendekatan  yang  sebaiknya dikerjakan   kepada   al-Qur’an,   bisa   dideskripsikan   lewat   tiga tahapan:
Pertama, mendapatkan pesan al-Qur’an sehabis mendengar atau membacanya Kedua, memahami pesan al-Qur’an, sehabis mencerminkan dan mengkaji maknanya. Ketiga, mengaplikasikan pesan al-Qur’an selaku sumber esensial bagi kehidupan masyarakat dengan menertibkan kehidupan eksklusif, penduduk dan negara sesuai dengan message tersebut.
Disiplin  ilmu yang  disebut  Ulum  al-Qur’an ini  pada alhasil   memang   mampu   dipakai   selaku    suatu   cara   untuk merealisasikan tahapan kedua di atas; memahami message al-Qur’an, setelah memahami setting dan realitasnya.
Al-Qur’an sebagai wahyu yang kuasa diturunkan tidak terlepas dari aspek qira’at, sebab pemahaman Quran itu sendiri secara lughat (bahasa) memiliki arti ‘bacaan’ atau “yang dibaca”. Qira’at Alquran disampaikan dan diajarkan oleh Rasulullah SAW terhadap para sahabat. Kemudian teman meneruskan terhadap para tabi’in. Demikian seterusnya dari generasi ke generasi.
Namun, dalam perjalanan sejarahnya, qira’at pernah disangsikan keberadaannya dan diduga tidak bersumber dari Nabi SAW. Sehubungan dengan hal tersebut, maka para ulama andal qira’at terdorong untuk meneliti dan memilih banyak sekali model qira’at yang berkembang pada abad itu. Berbagai versi qira’at Alquran tersebut ada yang berhubungan dengan lafadz dan dialek kebahasaan. Perbedaan yang berhubungan dengan lafadz; bisa menimbulkan perbedaan makna sedangkan dialek tidak. Ada juga versi qira’at yang berkaitan dengan ayat-ayat aturan yang berlainan dengan versi qira’at sebagaimana terbaca dalam mushaf yang dimiliki kaum muslimin kini.
Dari uraian tersebut diatas maka sungguh penting bagi kami untuk membicarakan pemahaman al-Qur’an, Qira’at dan pembahasan-pembahasan yang terkait serta urgensi dari pada keduanya dan juga teladan-teladan qira’at yang bisa diterima maupun tidak.
B.            Rumusan Masalah
1.             Bagaimana pengertian al-qur’an secara Umum?
2.             Bagaiman Pengertian qiro’at secara Umum?
C.           Tujuan duduk perkara
1.             Untuk Mengetahui pengertian al-qur’an secara Umum
2.             Untuk Mengetahui Pengertian qiro’at secara Umum


BAB II
PEMBAHAASAN
A.           Tinjauan Al-qur’an Secara Umum
1.             Pengertian Al-Qur’an
Secara etimologi, lafadz al-Qur’an berasal dari fi’il Qara`a yang memiliki arti menghimpun dan mengumpulkan, dan qira`ah bermakna menghimpun karakter-karakter dan kata-kata satu dengan lainnya dalam sebuah ucapan yang tersusun rapih. Qur`an pada awalnya seperti qira`ah , yakni masdar (infinitif) dari kata qara` qira`atan, qur`anan. Sebagaimana dalam firman Allah SWT :
¨bÎ) $uZøŠn=tã ¼çmyè÷Hsd ¼çmtR#uäöè%ur ÇÊÐÈ   #sŒÎ*sù çm»tRù&ts% ôìÎ7¨?$$sù ¼çmtR#uäöè% ÇÊÑÈ  
Artinya:
Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya dan membacanya. Apabila Kami telah akhir membacakannya maka ikutilah bacaannya itu`. (Al- Qiyamah :17-18).
Lafal Qur`anah disini mempunyai arti qiraatuhu (bacaannya/cara membacanya). Kaprikornus kata itu ialah masdar menurut wazan (tashrif, konjungsi)`fu`lan` dengan vokal `u` mirip `gufran` dan `syukran`. Kita dapat mengatakan qara`tuhu , qur`an, qira`atan wa qur`anan, artinya sama saja, suatu bacaan.[1]
Di samping dalam pemahaman mashdar dengan pemahaman bacaan atau cara membacanya, Qur’an juga mampu diketahui dalam pemahaman maf’ûl, dengan pengertian yang dibaca (maqrû’). Dalam hal ini apa yang dibaca (maqru’) diberi nama bacaan (qur’an) atau penamaan maf’ûl dengan mashdar.
Menurut  sebagian  ulama  seperti  Imam  Syafi’i,  sebagaimana dikutip as-Suyuthi, Qur ’an yaitu ism ‘alam ghairu musytaq (nama sesuatu yang tidak ada asal katanya), merupakan nama khusus untuk firman Allah yang diturunkan terhadap Nabi Muhammad SAW, mirip halnya Taurat dan Bibel yang juga tidak ada asal katanya. Jika Qur’an berasal dari kata qara-a bermakna setiap yang dibaca dapat dinamai Qur’an.[2]
Sedangkan berdasarkan terminologi, al-Qur’an yaitu:
القرآن هو كلام الله المعجز المنزل على محمد عليه السلام المنقول بالتواتر المتعبد بتلاوته 
Artinya:
Al-Qur’an adalah kalam Allah yang berupa mukjizat, diturunkan kepada Muhammad saw. dan dinukil kepada kita secara mutawatir, serta dinilai beribadah ketika membacanya.[3]
Batasan:  kalam  Allah  yang  berupa  mukjizat  sudah  menafikan  selain kalam Allah, mirip kata-kata manusia, jin, malaikat, nabi atau rasul. Karena itu, hadits Qudsi ataupun hadits Nabawi tidak tergolong di dalamnya. Batasan: diturunkan terhadap Muhammad saw yakni tidak tergolong yang diturunkan terhadap nabi-nabi sebelumnya mirip taurat, injil dan lainnya. Sedangkan (bittawatur) artinya menafikan riyawat ahad, syadz, dan yang lain, seperti bacaan Ibnu Mas’ud terhadap firman Allah SWT:
 `yJsù óO©9 ô‰Ågs† ãP$u‹ÅÁsù ÏpsW»n=rO 5Q$­ƒr&   الاية
Artinya:
Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kafaratnya puasa selama tiga hari (Q.s. al-Maidah: 89)
   yang dia tambahkan dengan: mutatabi’ain (berturut-turut) [4], ataupun bacaan terhadap firman Allah SWT:
 ä͑$¡¡9$#ur èps%͑$¡¡9$#ur (#þqãèsÜø%$$sù $yJßgtƒÏ‰÷ƒr& الاية
Artinya:
Laki-laki yang mencuri dan wanita yang mencuri, potonglah tangan keduanya (Q.s. al-Maidah: 38)
yang mengganti aydiyahuma (tangan-tangan keduanya) dengan aymanahuma (bab tangan atau kaki kanan keduanya).[5] Makara penggantian atau penambahan atau yang sejenis dari bacaan tersebut tidak pantas disebut al-Qur’an, bahkan disebut hadits nabawipun dilarang alasannya bacaan tersebut dinisbatkan terhadap pembacanya. Maka, ia tidak lebih dari sekedar tafsir atau pandangan bagi orang menetapkannya. Mengenai batasan terakhir (al-muta’abbad bi tilawatihi) dinilai ibadah saat membacanya, mengecualikan bacaan hadis ahad dan hadis-hadis qudsi meski beliau dinisbatkan terhadap Allah.
2.             Nama dan ungkapan dalam Al-Alquran
            Allah menamakan al-Quran dengan beberapa nama, diantaranya:
a.              Al-Qur`an
¨bÎ) #x‹»yd tb#uäöà)ø9$# “ωöku‰ ÓÉL¯=Ï9 š†Ïf ãPuqø%r& çŽÅe³u;ãƒur tûüÏZÏB÷sßJø9$# tûïÏ%©!$# tbqè=yJ÷ètƒ ÏM»ysÎ=»¢Á9$# ¨br& öNçlm; #\ô_r& #ZŽÎ6x. 
Artinya:
Sesungguhnya Al Quran ini memberikan isyarat kepada (jalan) yang lebih Lurus dan memberi khabar besar hati kepada orang-orang Mu’min yang melakukan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar.( al-Israa:9)
Dinamai   Al-Qur ’an,   alasannya   kitab   suci   terakhir   yang diturunkan Allah SWT ini berfungsi selaku bacaan sesuai dengan arti kata Qur ’an itu sendiri
b.             Al-Kitab
ô‰s)s9 !$uZø9t“Rr& öNä3ö‹s9Î) $Y6»tGÅ2 ÏmŠÏù öNä.ãø.ό ( Ÿxsùr& šcqè=É)÷ès?  
Artinya:
Sesungguhnya telah Kami turunkan kepada kamu sebuah kitab yang di dalamnya terdapat alasannya-sebab kemuliaan bagimu. Maka Apakah kamu tiada memahaminya? (al-Anbiyaa: 10)
Al-Kitab secara bahasa berarti al-jam’u (mengumpulkan). Menurut   as-Suyûthi,   dinamai   Al-Kitab   alasannya adalah   Al-Qur ’an menghimpun   banyak sekali  macam   ilmu,   cerita   dan   isu.[6] Menurut Muhammad Abdullah Draz, sebagaimana dikutip Manna’ al-Qathân, Al-Qur’an di samping dipelihara melalui mulut, juga dipelihara dengan tulisan. Penamaannya dengan Al-Qur ’an  dan  Al-Kitab,dua  nama  yang  paling  populer, mengisyaratkan bahwa kitab suci Al-Qur ’an haruslah dipelihara lewat dua cara secara bersama, tidak dengan salah satu saja, ialah lewat hafalan (hifzhuhu fi as-shudur) dan melalui tulisan (hifzhuhu fi as-suthur).[7]
c.               Al-Furqan
x8u‘$t6s? “Ï%©!$# tA¨“tR tb$s%öàÿø9$# 4’n?tã ¾Ínωö6tã tbqä3u‹Ï9 šúüÏJn=»yèù=Ï9 #·ƒÉ‹tR  
Artinya:
Maha suci Allah yang sudah menurunkan Al Furqaan (Al Quran) terhadap hamba-Nya, biar Dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam. (al-Furqan: 1)
Al-Furqan, mashdar dari   asal kata faraqa, dalam wazan fu’lân, mengambil bentuk shifât musyâbahah dengan arti ‘yang sangat  memisahkan’.  Dinamai  demikian  karena  Al-Qur ’an memisahkan dengan tegas antara haq dan batil, antara benar dan salah dan antara baik dan jelek.
d.             Adz-Zikr
$¯RÎ) ß`øtwU $uZø9¨“tR tø.Ïe%!$# $¯RÎ)ur ¼çms9 tbqÝàÏÿ»ptm:  
Artinya:
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur`an, dan bahu-membahu Kami benar-benar memeliharanya”.( al-Hijr :9)
Adz-Dzikr artinya ingat, mengingatkan. Dinamai Adz- Dzikr alasannya adalah di dalam kitab suci ini terdapat pelajaran dan usulan dan dongeng umat abad yang lalu.
e.              At-Tanzil
¼çm¯RÎ)ur ã@ƒÍ”\tGs9 Éb>u‘ tûüÏHs>»yèø9$#  
Artinya
“Dan sesungguhnya Al Qur`an ini sungguh-sungguh diturunkan oleh Tuhan semesta alam”.(as-Syuaraa:192 ).
At-Tanzil artinya yang betul-betul diturunkan. Dinamai demikian karena Al-Qur ’an yaitu kitab suci yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW melalui Malaikat Jibrîl.
Demikianlah lima nama al-Qur’an yang lazimnya disepakati oleh para ulama’ selaku nama-nama al-Qur’an. Ada pun nama- nama lain seperti An-Nur, Mau’izhah, Syifa’, Hudan, Rahmah dan lain sebagainya, berdasarkan sebagian ulama bukanlah nama-nama Al-Qur’an, namun sifat-sifatnya. Sementara sebagian ulama mirip as-Suyûthi mengganggapnya sebagai nama-nama Al-Qur ’an juga. Menurut as-Suyuthi, mengutip Abu al-‘Ali ‘Uzaiza ibn Abdillah Syaidzalah,  salah  seorang  fuqaha’  Syafi’iyyah, penulis  kitab  Al- Burhân fi  Musykilât  Al-Qur’an,  Allah  SWT  menamai  Al-Qur ’an dengan 55 nama.[8]
3.             Sifat-Sifat Al-Qur’an
Diantara sifat-sifat al-Qur’an yang disebutkan dalam beberapa ayat adalah selaku berikut:
a.              An-Nur (cahaya ) :
$pkš‰r¯»tƒ â¨$¨Z9$# ô‰s% Nä.uä!%y` Ö`»ydöç/ `ÏiB öNä3În/§‘ !$uZø9t“Rr&ur öNä3ö‹s9Î) #Y‘qçR $YYÎ6•B  
Artinya:
“Hai manusia, bahu-membahu sudah tiba kepadamu bukti kebenaran dari Tuhanmu. dan telah Kami turunkan kepadamu cahaya yang jelas benderang”.(An-Nisaa : 174 )
b.             Al-Huda ( petunjuk ), Syifa` ( obat ), Rahmah ( rahmat ),dan Mauizah ( anjuran ) :
$pkš‰r¯»tƒ â¨$¨Z9$# ô‰s% Nä3ø?uä!$y_ ×psàÏãöq¨B `ÏiB öNà6În/§‘ Öä!$xÿÏ©ur $yJÏj9 ’Îû ͑r߉Á9$# “Y‰èdur ×puH÷qu‘ur tûüÏYÏB÷sßJù=Ïj9  
Artinya:
“Hai manusia, bahwasanya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang orang yang beriman”.( Yunus : 57 ).
c.              Al-Mubin ( yang membuktikan ) :
ô‰s% Nà2uä!%y` šÆÏiB «!$# ֑qçR Ò=»tGÅ2ur ÑúüÎ7•B الاية  
Artinya:
“Sesungguhnya sudah tiba kepadamu cahaya dari Allah, dan Kitab yang pertanda”.( al-Maidah :15 ).
d.             Al-Mubarak (yang memberkahi)
ë=»tGÏ. çm»oYø9t“Rr& y7ø‹s9Î) Ô8t»t6ãB (#ÿr㍭/£‰u‹Ïj9 ¾ÏmÏG»tƒ#uä t©.x‹tFuŠÏ9ur (#qä9ré& É=»t6ø9F$#  
Artinya:
Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatNya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran. (as-Shad: 29)
 
   Dan sifat-sifat yang lain sebagaimana disebutkan dalam beberapa ayatnya, seperti : Busyra ( kabar gembira ),`Aziz ( yang mulia ), Majid ( yang dihormati ), Basyr ( pembawa kabar gembira).
B.            Tinjauan Qira’at secara Umum
   Secara etimologis qira’at (قراآت) bentuk jama’ dari qira’ah (قراءة) adalah mashdar dari qara-a-yaqra-u-qirâatan berarti dham al- hurûf wa al-kalimât  ba’dhihâ  ila ba’dhin fi at-tartil[9] (menggabungkan huruf dan kalimat satu sama lain dalam bacaan). Dalam bahasa Indonesia qirâah berarti bacaan atau membaca.
Secara terminologis yang dimaksud dengan qirâah  adalah cara membaca Al-Qur’an oleh seorang imam ahli qirâah berbeda dengan cara membaca imam yang lainnya. Az-Zarqâni mendefinisikan qirâah sebagai berikut:
مذهب يذهب إليه إمام من أئمة القراء، مخالفا به غيره في النطق بالقرآن الكريم مع اتفاق الروايات والطرق عنه، سواء أكانت هذه المخالفة في نطق الحروف أم في نطق هيئاتها .[10]
Artinya:
Suatu cara membaca Al-Qur’an al-Karim dari seorang Imam ahli qirâah yang berbeda dengan cara membaca imam lainnya, sekalipun riwayat dan jalur periwayatannya sama, baik perbedaan itu dalam pengucapan huruf ataupun bentuknya.”
Ash-Shabuni  menambahkan  dalam  defenisinya  tentang qira’ah dengan menyebutkan bahwa cara baca Al-Qur’an itu harus mempunyai sanad yang sampai kepada Rasulullah SAW.
مذهب من مذاهب النطق في القرآن يذهب به إمام من الأئمة القراء مذهبا يخالف غيره  وهي ثابتة بأسانيدها إلى رسول الله -صلى الله عليه وسلم
Artinya:
“Cara membaca Al-Qur’an Al-Karim dari seorang Imam ahli qirâah yang berbeda dengan cara membaca imam lainnya berdasarkan sanad yang sampai kepada Rasulullah SAW.”
Tampak dari dua definisi di atas bahwa pengertian qirâah di sini tidak sama dengan pengertian qirâah dalam percakapan sehari-hari yang sepadan dengan tilawah yaitu hanya sekadar dalam pengertian membaca  atau  bacaan. Atau  qirâah  dalam  pengertian  membaca Al-Qur’an dengan irama atau lagu tertentu. Ilmu qirâah   dalam pengertian sehari-hari berarti bagaimana cara membaca Al-Qur’an dengan benar, baik makhraj huruf maupun tajwîdnya, kemudian mempelajari juga lagu atau irama membacanya. Tetapi qirâah dalam pembahasan  Ulumul  Qur’an  ini  adalah  satu  cara  membaca Al- Qur’an (mazhab) yang dipilih oleh seorang imam ahli qirâah dengan sanad yang bersambung sampai kepada Rasulullah SAW.
Dengan demikian terdapat perbedaan cara membaca Al-Qur’an antara satu imam dengan imam lainnya seperti qirâah Imam Nâfi’ berbeda dengan qirâah Imam ‘ashim atau Hamzah atau imam-imam lainnya. Tetapi perbedaan itu tentu bukan perbedaan total dalam membaca seluruh ayat-ayat Al-Qur’an, tetapi hanya perbedaan dalam membaca ayat-ayat tertentu saja. Semua perbedaan itu bukanlah  hasil  karya  atau  inisiatif  imam  yang  bersangkutan, tetapi semuanya berasal dari bacaan Rasulullah SAW dan tidak bertentangan dengan mushaf ‘Usmani dan kaedah-kaedah bahasa Arab.
Karena berdasarkan riwayat, maka nanti qira’ah   juga dibagi berdasarkan periwayatannya kepada qirâah mutawatirah, masyhurah, ahad, syadzah, dha’îfah bahkan maudhu’ah atau palsu. Ditinjau dari segi  qari’nya,  qirâah  dapat  dibagi  kepada  qira’ah sab’ah, qira’ah ‘asyarah dan qirâah arba’ata ‘asyara. Para ulama yang mengkaji dan mendalami qirâah juga sudah menentukan syarat-syarat sebuah qira’ah dapat diterima. Semuanya akan dijelaskan dalam bagian- bagian selanjutnya.
1.             Perbedaan Al-Qur’an Dan Qira’at
Para ulama berbeda pendapat tentang pembatasan definisi qira’at dan al- Qur’an. Beberapa pendapat ulama tersebut adalah sebagai berikut:
a.              Al-Zarkashi dan al-Qustalani berpendapat, al-Qur’an dan qira’at merupakan dua substansi yang berbeda. Al-Qur’an adalah wahyu (dari Allah SWT) yang diturunkan (kepada nabi Muhammad saw.) sebagai mu’jizat dan penjelasan. Sedangkan qira’at adalah perbedaan lafadh-lafadh wahyu tersebut, baik menyangkut huruf-hurufnya maupun   pengucapan   huruf-huruf   tersebut, seperti takhfif, tashdid dan lain-lain.[11]
b.             Mayoritas  ulama  dan  pakar  qira’at  berpendapat,  bahwa  apabila  qira’at tersebut  diriwayatkan dengan sanad yang sahih, sesuai dengan kaidah tata bahasa Arab, dan sesuai dengan rasm (pola penulisan) mushaf, maka dapat dikatakan qira’at itu tergolong al-Qur’an. Namun bila tanpa ketiga syarat itu, maka ia dianggap qira’at biasa.[12]
c.              lbn  Daqiq    al-‘ld   menyatakan  bahwa  semua  qira’at  tergolong  al-Qur’an, termasuk pula qira’at shadzah. Muhammad Salim Mahisin    juga berpendapat bahwa qira’at  merupakan bagian dari al-Qur’an, aspek qira’at tidak dapat dilepaskan dari al-Qur’an karena ia merupakan bagian tak terpisahkan. Keduanya merupakan hakikat dengan makna tunggal, dan kata al-Qur’an merupakan bentuk masdar dari kata al-qira’ah.[13]
2.             Sejarah Qira’ah
Al-Qur’an diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW melalui Malaikat Jibril AS. Jibril lah yang membacakan ayat- ayat Al-Qur’an kepada Nabi, dan beliau mengikuti bacaan Jibril itu. Allah SWT berfirman:
Ÿw õ8ÌhptéB ¾ÏmÎ/ y7tR$§øŠs9 öNà6ø‹n=tã îy$oYã_ br& (#qäótGö;s? WxôÒsù `ÏiB öNà6În/§‘ 4فِيْ مَوَاسِمِ الحَج !#sŒÎ*sù OçFôÒsùr& ïÆÏiB ;M»sùttã (#rãà2øŒ$$sù ©!$# y‰YÏã ̍yèô±yJø9$# ÏQ#tysø9$#  
Kalimat فِيْ مَوَاسِمِ الحَج  yaitu aksesori selaku penafsiran. Dalam rasm utsmani tanpa menyebutkan lafal tersebut.[19]
b.             Berdasarkan kuantitas Imam qiraat
1)   Qira’at Sab’ah: Qira’ah yang diriwayatkan oleh tujuh imam qirâah yang populer hafalan, ketelitian dan pengalaman mereka yang usang dalam dunia qirâah, serta disepakati untuk diambil dan dikembangkan qira’at dari mereka. Di bawah ini nama ketujuh imam tersebut yang disusun dengan urutan nisbah tempat muqim masing-masing, yaitu Makkah, Madinah, Syâm, Bashrah dan Kûfah. Disebutkan juga murid-murid yang merawikan dari mereka.
2)   Nafi’ al-Madani. Nama lengkapnya Abu Ruwaim Nâfi’ ibn Abdirrahmân ibn Abi Nu’aim al-Laisi al-Madany (w. 169 H di Madinah). Dua orang perawinya yaitu Qâlûn dan Warasy. Qâlûn yakni ‘Isa ibn Munya al- Madani,  seorang guru bahasa Arab yang memiliki kunyah Abu Mûsa dan julukan Qâlûn. Nâfi’ memberinya nama panggilan Qâlûn   sebab keindahan qirâahnya, alasannya adalah kata qâlûn dalam bahasa Rumawi bermakna baik. Ia wafat di Madinah pada 220 H.  Sedang Warasy yakni ‘Utsman ibn Sa’îd al-Mishri. Ia diberi kunyah Abu Sa’id dan diberi julukan Warasy karena teramat putihnya. Ia wafat di Mesir pada 197 H.
3)   Ibnu    Katsir    al-Makki.    Nama    lengkapnya   Abu Muhammad  Abdullah  ibn  Katsîr  ad-Dâri  al-Makki (w. 120 H di Makkah). Beliau imam qirâah di Makkah Termasuk seorang tâbi’în. Bertemu dengan sahabat Abdullah ibn az-Zubair, Abu Ayyub al-Anshari, dan Anas ibn Mâlik.  Dua orang perawinya ialah al-Bazi dan Qunbul. Al-Bazi yakni Ahmad ibn Muhammad ibn Abdullah ibn Abi Bazah, muazzin di Makkah. Ia diberi  kunyah Abu  al-Hasan.  Dan  wafat  di  Makkah pada 250 H. Sedang Qunbul ialah Muhammad ibn Abdirrahman ibn Muhammad ibn Khâlid ibn Saîd al- Makki al-Makhzûmi. Ia diberi kunyah Abu Amru dan diberi julukan  Qunbul. Dikatakan bahwa ahlul bait di Mekah ada yang diketahui dengan nama Qanâbilah. Ia wafat di Makkah pada 291 H.
4)   Ibn amir asy-Syami. Nama lengkapnya Abdullah ibn ‘amir al-Yahshabi asy-Syâmi  (w. 118 H di Damaskus). Dikenal dengan nama panggilan Abu ‘Imran atau Ibn ‘Âmir as-Syami. Berprofesi selaku qadhi di Damaskus pada zaman Khalifah al-Walîd ibn Abd al-Malik. Ia termasuk seorang tâbi’in. Dia mengambil qirâah dari al- Mughîrah ibn Abi Syihâb al-Makhzumi, dari ‘Utsman ibn ‘Affan, dari Rasulullah SAW. Dua orang perawinya yang populer yakni Hisyâm dan Ibn Zakwan. Hisyam adalah Hisyam ibn ‘Amar ibn Nushair, qadhi Damaskus. Diiberi kunyah  Abu al-Walid, dan wafat pada 245 H. sedang Ibn Dzakwan adalah Abdullah ibn Ahmad ibn Basyir ibn Zakwân al-Qurasyi ad-Dimasyqi. Ia diberi kunyah Abu ‘Amru. Dilahirkan pada 173 H, dan wafat di Damaskus pada 242 H.
5)   Abu ‘Amru ibn al-‘Ala’ al-Bashri. Nama lengkapnya Zayan ibn al-‘Alâ ibn ‘Ammâr  al-Mâzini al-Bashri (w.154 H di Kufah). Dua orang perawinya ialah ad- Dauri dan as-Sâsi. Ad-Dauri yaitu Abu ‘Umar Hafsh ibn ‘Umar ibn Abdil Azis ad-Dauri an-Nahwi. Ad-Daur nama kawasan di Bagdad. Ia wafat pada 246 H. As-Sûsi ialah Abu Syua’ib Shâlih ibn Ziyad ibn Abdullah as- Sûsi. Ia wafat pada 261 H.
6)   ‘ashim al-Kufi. Nama lengkapnya ‘Ashim ibn Abi an-Nujud al-Asadi, (w. 128 H di Kûfah). Kuniahnya Abu Bakar. Termasuk seorang tâbi’în. Dua perawinya ialah Syu’bah dan Hafsh. Syu’bah adalah Abu Bakar Syu’bah ibn ‘Abbâs ibn Sâlim al-Kûfi. Wafat pada 193 H. sedangkan Hafsh ialah Hafsh ibn Sulaimân ibn al- Mughîrah al-Bazaz al-Kûfi. Nama panggilannya yakni Abu Amru. Ia adalah orang terpercaya. Menurut Ibn Mu’în, ia lebih qâri daripada Abu Bakar. Ia wafat pada 180 H.
7)   Hamzah  al-Kufi. Nama lengkapnya ialah Abu Amarah Hamzah ibn Habîb ibn ‘Imârah az-Zayyat al-Fardhi at-Taimi (w. 156 H di Halwan). Beliau adalah maula ‘Ikrimah ibn Rabî’ at-Taimi. Dua orang perawinya yakni Khalaf dan Khalad. Khalaf yaitu Khalaf ibn Hisyâm al-Bazaz. Ia diberi kunyah Abu Muhammad, dan wafat di Bagdad pada 229 H. Sedang Khalad ialah Khalâd ibn Khâlid, dan dikatakan pula Ibn Khalîd as- Shairafi al-Kufi. Ia diberi kunyah  Abu ‘Isa, wafat pada 220 H.
8)   Al-Kasa’i al-Kufi. Nama lengkapnya Abu al-Hasan ‘Ali ibn Hamzah al-Kasa’i al-Kufi (w. 189 H di Barnabawaih). Beliau dikenal juga sebagai imam ahli Nahwu dari Kufah. Ia diberi kunyah Abu al-Hasan. Disebut al-Kasa’i karena beliau menggunakan kisa di waktu ihram. Dua orang perawinya ialah Abu  al-Hâris dan Hafsh ad-Dauri. Abu al-Haris ialah al-Laits ibn Khâlid al-Baghdadi, wafat 240 H. Sedangkan Hafsh  ad-Dauri sama dengan Hafsh ad-Dauri perawi dari Abu ‘Amru ibn al-‘Ala’ al- Bashri yang sudah disebutkan sebelumnya.[20]
c.              Qira’at ‘Asyarah
Qira’at yang diriwayatkan oleh tujuh imam qirâah di atas ditambah tiga lagi:
1)      Abu Ja’far al-Madani. Nama lengkapnyaYazid ibn al- Qa’qa’ (w. 128  H di Madinah). Dua orang perawinya yakni Ibn Wardan dan Ibn Jamaz. Ibn Wardan yaitu Abu al-Haris ‘Isa ibn Wardan al-Madani, wafat tahun 160 H di Madinah.
2)      Ya’qub al-Bashri. Nama lengkapnya Abu Muhammad Ya’qûb ibn Ishâq ibn Zaid al-Hadhari (w. 205 H di Bashrah). Dua orang perawinya yaitu Ruwais dan Rûh. Ruwais yakni Abu ‘Abdillah Muhammad al- Mutawakkil al-Lu’lui al-Bashri, wafat tahun 238 H di Bashrah. Ruwais yaitu julukannya. Sedangkan Rûh adalah Abu al-Hasan Ruh ibn Abd al-Mukmin al- Bashri an-Nahwi, wafat tahun 234 H.
3)      Khalaf.  Nama  lengkapnya  Abu  Muhammad  Khalaf ibn Hisyâm ibn Tsa’lab al-Bazâr al-Baghdadi (w. 229 H di). Dua orang perawinya ialah Ishaq dan Idris. Ishâq adalah Abu Ya’qub Ishaq ibn Ibrâhîm ibn ‘Utsmân al- Waraq al-Marwazi kemudian al-Baghdâdi, wafat tahun 286 H. Sedangkan Idris adalah Abu al-Hasan Idris ibn Abd al-Karîm al-Baghdâdi al-Hadâd, wafat tahun 292 H.
d.             Qira’ah Arba’ata Asyara
Qira’at yang diriwayatkan oleh sepuluh imam qirâât di atas ditambah dengan empat lagi:
1)      Al-Hasan al-Bashri, salah seorang tabiin yang terkenal dengan perilaku hidup zuhudnya. (w.  110 H di Bashrah)
2)      Ibn Muhaishin. Nama lengkapnya Muhammad  ibn ‘Abdirrahman. (w. 123 H).
3)      Yahya ibn al-Mubârak al-Yazîdi an-Nahwi (w. 202 H di Baghdad). Mengambil qirâah dari Abu ‘Amru dan Hamzah. Beliau adalah guru dari a-Dauri dan as-Sûsi.
4)      Abu  al-faraj. Nama  lengkapnya Muhammad  Ibn Ahmad asy-Syambûdzi (w. 388 H di Baghdad).
5.             Urgensi  Al-Qur’an Dan Qira’at
   Sudah diterangkan pada bab sebelumnya bahwa qira’ah yang mampu diterima alasannya adalah sudah memenuhi kualifikasi qira’ah patokan cukup bermacam-macam. Lalu apa pesan tersirat keragamaan qirâ’ah  yang dapat diterima tersebut?
Menurut Mannan’ al-Qaththan, di antara hikmahnya ialah selaku berikut:
a.              Menunjukkan  betapa  tersadar  dan  terpeliharanya  Kitab  Suci Al-Qur’an dari pergantian dan penyimpangan sekali pun memiliki sekian banyak sisi bacaan yang berbeda-beda.
b.             Meringankan dan membuat lebih mudah umat Islam untuk membaca Al-Qur’an.
c.              Bukti mukjizat Al-Qur’an dari faktor bahasa, sebab perbedaan qirâât mampu menampung perbedaan makna tanpa mesti mengulang lafazhnya, seperti pada acuan membasuh kaki atau mengusap kaki pada waktu wudhu’ (Q. S. Al-Mâidah: 6. Perbedaan  membaca  arjulakum (dengan  fathah pada  lam) dan arujulikum (kasrah pada lam). Jika dibaca dengan fathah bermakna membasuh kaki sebab di’athafkan kepada aidiyakum, namun jika dibaca dengan kasrah berarti mengusap kaki alasannya di’athafkan kepada ruûsikum.
d.             Penjelasan  kepada  apa  yang  mungkin  masih  global  pada ayat lain. Misalnya kalimat yathhurna pada Surat Al-Baqarah: 222 (ولا تقربوهنّ حتّي يطهرن) dibaca dalam qirâ’ah lain dengan yaththaharna. Menurut jumhur ulama, wanita yang haid gres boleh dicampuri oleh suaminya bila telah suci dari haid  (bacaan  yathhurna)  dan  telah  bersuci  dengan  mandi besar (bacaan yaththahharna). Perbedaan qirâ’ah dalam kasus ini menjelaskan apa yang masih mujmal atau global pada ayat.[21]
e.              Sebagai  dalil  atas  dua  aturan  syara’  yang  berbeda.  Misalnya  dalam berwudhu. Contoh ayat 6 surat al-Ma’idah: