Aku Ingin Menjadi Istrimu | Cerpen Asma Nadia



Oleh: Asma Nadia


Bang, gue ingin menjadi istrimu,” pintaku pelan.

Tapi lelaki, kawasan cintaku berlabuh setahun ini, bagai tak mendengar. Ia terjerat hari-hari yg sibuk. Pergi pagi, & pulang tatkala senja usai. Tak jarang dini hari gres pintu rumahnya terdengar berderit.

Aku tahu, sebab nyaris tiap malam gue menunggunya. Kesetiaan, yg membuahkan kantung yg menggelap di bawah mataku.

Kenapa matamu, Nia? Makin hari makin tak bersinar saja. Jangan terlampau sering begadang.”

Mama, seperti pula yg lain, tak pernah mengerti alasanku berjaga tiap malam. Tak ada yg mengetahui apa yg kutunggu. Kecuali Bandi, tempat cintaku bersandar. Ia tak pernah sekalipun menyinggung soal mataku yg kian cekung. Mungkin karena lelaki seperti ia mengerti jerih payah orang yg mencintai. Kesetiaan yg mengalahkan penglihatan fisik.

Tidak seperti pasangan-pasangan lain, dlm angan kebanyakan orang, kami memang berlainan. Kesibukan Bandi menafkahi keluarganya, membuat lelaki itu harus melakukan pekerjaan ekstra keras. Meskipun begitu, konferensi kami berkala . Walaupun hanya sebentar sekali.

Di luar waktu kerjanya sebagai wartawan, laki-laki itu meluangkan diri menulis cerpen, puisi, resensi, opini, apa saja, untuk banyak media. Komputer, ia belum punya. Itulah kenapa Bandi tekun berlama-usang di kantor.

Dan sebagai pasangan yg setia, gue mesti mengerti.

Sosoknya yg pekerja keras, itu yg membuatku makin terpikat. Jatuh hati kian dalam. Lainnya?

Abang mampu mengetik di rumah. Kapan saja Abang mau. Tak usah sungkan.

Minggu sore itu, dgn baju kurung yg gres selesai dijahitkan Mama semalam, kami berbincang sebentar di teras rumah. Tapi tawaranku yg tak sepenuhnya nrimo, hanya alasannya adalah ingin bersamanya lebih sering, ditolaknya halus.

Jangan, Nia. Abang pulang dr kantor sudah malam. Tak yummy sama orang tuamu.

Kalimat tegasnya menunjukkan kemandirian, & mental yg bukan aji mumpung. Bukan tanpa argumentasi gue menawarinya mengetik, mengingat kami punya lebih dr enam komputer di rumah. Paviliun rumah memang semenjak usang gue jadikan rental komputer & warnet. Meski mulanya tak oke alasannya adalah orangtuaku berpikir kami tak kelemahan duit, toh rental yg kukelola kemudian berlangsung makin baik. Uang mengalir, pelanggan puas. Di sisi lain, gue tak pernah letih menanti Bandi pulang. Tidak duduk perkara apakah ia pulang lebih awal, mirip yg sesekali terjadi, atau bahkan menjelang pagi. Sosoknya yg kukuh dgn ransel hitam di punggungnya, tak pernah terlewat dr mataku.

***


Aku ingin jadi istrimu, Bang.” bisikku lagi.

Tahun kedua berlalu, & waktu makin meluruhkan hatiku atas sosok keras berjulukan Bandi. Lelaki tegap, dgn kulit kecoklatan yg baik hati & perhatian.

Pagi-pagi begini sudah buka?

Aku mengangguk. Menyembunyikan debaran jantung yg gemuruh, & napas tersengal alasannya adalah berlari dr kamar, hanya untuk mengejar bayangnya.

Bang Bandi pun sepagi ini sudah jalan? Biasanya jam tujuh seperempat, kan?

Lelaki itu tertawa. Giginya yg kecil-kecil berbaris rapi. Memberikan panorama yg membuatku jatuh cinta, lagi & lagi. Perasaan yg membuatku seperti tak pernah merasa cukup mengambil kursus. Kemarin mencar ilmu masak, lalu bikin kudapan manis, kemudian menjahit, ahh apa lagi? Biarlah, yg penting gue bisa membahagiakan Bandi.

Di depanku laki-laki pujaan itu masih tersenyum. Baru kemudian kusadari sesuatu yg membuatku tersipu. Apa kataku barusan? Tujuh seperempat? Ah, pengamatan yg sedetil itu, sangat memalukan! pikirku telat.

Tapi Bandi menutup perasaanku yg tak karuan dgn senyum lebar, & suatu buku di tangannya.

  Rumah Simalakama | Cerpen M Rosyid HW

Untukmu, Nia. Belum terlalu usang terbit. Bagus sekali isinya wacana….

Dan lelaki yg tadi berjalan terburu-buru, untuk sesaat mirip lupa bahwa ia sedang mengejar waktu. Dengan bergairah, kedua tangannya bergerak-gerak, memberiku citra sepintas isi buku yg disodorkannya.

Wajahnya yg semangat.

Aku menatapnya, dgn perasaan terjerembab. Kagum dgn sosoknya yang pintar, sekaligus merasa mujur alasannya gue diberi peluang mencintainya.

Hari-hari kami sederhana tetapi indah. Ia membawakanku banyak buku, yg kubalas dgn setoples kudapan manis-kudapan manis buatanku sendiri. Begitu indahnya hingga tahun ketiga berlalu. Kemudian terlewat tahun keempat. Selama itu, gue tak pernah lelah mengungkapkan & menyatakan betapa ingin gue menjadi istrinya.

Bandi tak pernah menjawab keinginanku. Aku menenangkan diri dgn berbagai anggapan positif. Barangkali kegiatan, mungkin ia belum merasa siap, ucapku menghibur hati, setiap kali perasaan ragu timbul.

Tapi kesabaran akan penantian, boleh jadi hanya milikku. Sebab Mama kemudian mirip tidak punya kerjaan lain, kecuali memburuku dgn kalimat itu.

Menikahlah, Nia. Apalagi yg kau tunggu?

Bandi! Tak ada yg lain. Dan tak mampu yg lain!

Tahun selanjutnya, Papa ikut mendesakku.

Anak Om Hasnan baik, Nia. Kehidupannya pun mapan. ia direktur termuda, di perusahaan Om Hasnan.”

Aku tak sedikit pun kesengsem. Lelaki yg kaya alasannya adalah cucuran harta orang renta, mana bisa mengungguli hatiku? pikiranku terbawa pada Bandi. Sosoknya, kerja kerasnya, peluh keringat yg terlihat terperinci masih melekat di dahinya, setiap melintasi jendela kamarku.

Anak Om Hasnan mungkin baik, tapi ia tak mirip Bandi.

Lalu kandidat-calon lain disodorkan. Tetapi setiap kali, kepalaku makin berpengalaman menggeleng & melahirkan helaan napas frustasi dr Papa.

Mama mendekatiku dgn cara serupa. Menawarkan kandidat demi kandidat yg dirasanya layak, & mengangkat martabat orang tua.

Tapi senantiasa saja kutemukan nilai minus pada mereka. Gilang, tak pernah serius. Herry terlalu adventurir, buat seorang Nia yg pecinta rumah. Sementara Agus terlalu matematis.

Cuma Bandi;, yg cerdas & mempunyai sikap merakyat, yg merebut semua nilai plus, bahkan dlm kesederhanaannya.

Cuma Bandi, yg membuatku tak sungkan merendahkan harga diri dgn berkali-kali mengungkapkan harapanku. Tak pernah bosan membisikkan kalimat itu,

Aku ingin menjadi istrimu,

Namun seperti yg sudah-sudah, kalimatku cuma terbawa angin, & menguap tanpa bekas.

Bandi, seperti tak menyediakan kawasan, untuk suatu ijab kabul.

***

Cinta,

Suatu hari kudengar kalimat itu dr bibirnya. Jelas, tanpa keraguan.

Cinta harusnya saling mengerti, cuma dgn menatap. Bukan begitu Nia? Cinta, harusnya tak perlu menciptakan dua orang kekasih mesti saling mengemis. Cinta….

Ia mendesah. Pandangannya nanar. Aku mampu merasakan kesedihan hatinya hari itu.

Tapi cintaku tak berkata apa-apa lagi. Ia pergi sesudah lebih dulu menyodorkan sebuah buku yg membuatku menangis berhari-hari. Sungguh, belum pernah ada kisah asmara yg kubaca & menorehkan begitu banyak kesedihan, sesudah Romeo & Juliet.

Bagus sekali, Bang. Nia sampai menangis dibuatnya.

Bandi hanya tersenyum tipis. Tangannya yg kuat menerima buku yg kukembalikan. Tuhan, begitu ingin gue bersandar dlm rengkuhannya.

Tapi tangan itu senantiasa sopan, tak pernah menjamahku.

Cinta itu menghormati, Nia. Cinta tak saling mempergunakan.

Aku mengangguk. Seperti biasa terbius oleh kata-kata Bandi. Terpesona oleh akuratnya kata & laku lelaki itu.

Bandi tak menyentuhku, bukan tak cinta. Justru sebab ia cinta. Bukankah seperti katanya, cinta itu tak kurang bimbing? Cinta menghormati?

Bang, gue ingin menjadi istrimu,” bisikanku mulai bercampur isak. Ahh, betapa inginnya. Kenapa Bandi tak mampu mengerti? Bukankah dua orang yg saling menyinta harusnya saling mengetahui, cuma dgn memandang?

  5+ Teladan Cerpen Bahasa Jawa Untuk Kehidupan Sehari Hari

Lalu bertubi-tubi, kegembiraan yg menyedihkan itu tiba.

Kak Nia, maafkan Ita.

Aku mengangguk. Meski sesudahnya gue perlu berhari-hari untuk menumpahkan tangis dlm diam di bantalku.

Lalu Riza, Nina, & terakhir….

Kak, Linda minta maaf.

Giliran adik bungsuku meminta. Aku mengangguk. Menahan air mata yg menggayut memberati mataku. Seharusnya gue bahagia, adik-adikku menamatkan kisah cinta mereka lebih dini.

Pernikahan adik bungsuku dirayakan besar-besaran oleh kedua orang bau tanah kami. Seolah Mama & Papa telah letih, & memutuskan tak perlu menyimpan sedikit pun tabungan untuk anak mereka yg sulung.

Tapi tahun memang berlalu secepat malam tiba. Aku tak menyadari kapan Mama & Papa mulai berhenti memintaku menikah. Yang kutahu tak ada lagi nama-nama yg mereka sodorkan padaku. Awalnya hal itu membuatku merasa bebas, ya…bebas menunggu Bandi. Baru kemudian kusadari hatiku yg hempas, anehnya oleh sesuatu yg tak pernah berubah.

Bandi tak berubah sedikit pun. Masih seperti dulu. Pergi jam tujuh seperempat, & pulang tatkala malam karam. Sosoknya pun masih sama, sabar, berpengaruh & perhatian.

Aku pun tak pernah berubah. Masih menemaninya dgn setia. Berdandan rapi di pagi hari untuk melepasnya ke kantor. Malamnya, menanti kepulangan lelaki itu meski cuma lewat gorden jendela kamarku.

Tidak tahukah Bandi bahwa kedua mataku ini hanya mampu terlelap setelah menegaskan sosoknya yg gagah memasuki rumah?

Tapi ketiadaan kemajuan dlm kekerabatan kami tak membuatku berhenti meminta. Seperti pula malam itu.

Bang, gue ingin menjadi istrimu,” kataku pelan dgn air mata meleleh.

Tapi Bandi meski tetap ramah & baik hati, seperti yg sudah-sudah tak pula merespon. Padahal kesabaranku, bakti & kesetiaanku…. Lalu kue-kue yg selalu berganti resep setiap ahad?

Bikin kudapan manis terlebih sepagi ini, Nia?

Aku tak menjawab pertanyaan Mama. Sudah pukul tujuh melalui sepuluh. Lima menit lagi Bandi akan lewat, & gue tak boleh telat.

Kakiku bergegas ke pintu depan. Di tanganku, setoples kue coklat bertabur kismis, terlihat manis & menarik hati.

Bersyukurlah, dlm kesederhanaan. Dalam ketiadaan. Bersyukur dgn apa yg kita miliki.

Bandi sering mengulang-ulang kalimat itu. Mungkin tujuannya supaya gue tak lagi berulang-ulang mengucapkan kalimat itu, keinginanku untuk menjadi istrinya. Aku mengangguk. Melambaikan tangan pada Bandi yg pagi itu melintas dgn banyak tas di tangan.

Berikutnya yaitu hari-hari yg tak kumengerti. Sebab Bandi tak pernah kelihatan lagi. Ia lenyap & dgn cepat kusadari tatkala malam itu hingga azan Subuh bergema, gue tak menyaksikan laki-laki tercinta itu memasuki rumahnya.

Perasaan panik serta-merta melanda diriku. Ya Allah, sesuatu mestilah menimpa laki-laki terkasih itu.

Tapi, kecuali saya, sepertinya tak ada orang lain yg merasa kehilangan. Bahkan tak ayah & ibu, serta adik-adiknya yg enam orang itu.

Aku mulai menangis. Selama beberapa hari bahkan tak ada sesuap nasi pun yg bisa kutelan. Tatkala seminggu lewat & Bandi tak pula kembali, gue menenggelamkan diri dlm kamar. Menguncinya & tak membiarkan siapapun mengusik kesedihanku.

Bandi, sesuatu niscaya terjadi pada beliau! batinku tak mungkin dibohongi. Keluarga Bandi pastilah cuma menghibur tatkala menyampaikan lelaki itu mendapatkan pekerjaaan dgn honor besar di luar negeri. Tidak mungkin Bandi tak mengabarkan padaku berita sepenting itu. Bukankah gue cintanya, seperti ia cintaku?

Setiap hari, kuhabiskan waktu dgn meringkuk di kamar, sementara mataku terus terpaku, mengintip dr balik gorden, mencari-cari bayangan Bandi yg bisa kapan saja datang, mungkin dlm kondisi terluka. Oh Tuhan!

  Gerombolan Kupu-kupu | Cerpen Dody Wardy Manalu

Kedua mataku terasa penat karena terlampau banyak menangis & berjaga. Aku tak lagi ingat makan, mandi, bahkan tak peduli sama sekali dgn kelangsungan rental yg kurintis. Bandi lebih penting dr itu semua!

Mama & Papa serta adik-adikku pastinya terlihat sedih. Tapi mereka sama sekali tak paham apa yg kurasa. Gelombang kepedihan, perasaan hampa, seolah nyaris seluruh nyawaku tercerabut, membuatku tak mempunyai harapan melakukan apapun.

Syukurnya, melewati tiga bulan dlm masa-masa berduka, setitik keinginan muncul.

Bandi tak apa-apa. Perasaanku mengatakan ia masih hidup, & mampu pulang kapan saja. Mungkin dalam waktu dekat.

Lalu tubuhku dirasuki tenaga baru. Hari itu kuputuskan keluar kamar. Sinar matahari yg selama ini kumusuhi, segera saja menyipitkan mataku. Tapi kegembiraan meledak-ledak, mengalahkan semua keengganan.

Cepat, seperti tak mau kehilangan waktu, gue mengambil baju yg paling baik yg kupunya, lalu berlari ke kamar mandi. Menyeka tubuhku keras-keras dgn spon sabun, hingga bersih & dipenuhi aroma harum sabun. Selepas mengenakan baju, kusemprotkan minyak bau, kemudian berhias secantik mungkin.

Orang-orang yg tak mengerti mengatakan bedakku terlalu tebal. Aku cuma mencibir. Mereka tak memahami sosok istimewa yg kunanti.

Tapi hari itu Bandi belum pulang. Tak apa. Yang penting yakni gue selalu siap, jika ia ketika-waktu datang. Bajuku mesti rapi, tubuhku harus anyir, rambutku mesti senantiasa dikeramas tiap hari. Bedak, sedikit lipstik kucoretkan dibibirku yg selesai-selesai ini sering pecah-pecah. Aku tak ingin ada yg terlewat. Semua harus tepat, tatkala Bandi pulang nanti.

Lelaki itu sudah pergi lama, ia pasti kangen padaku. Pada canda tawa kami, pada hubungan sederhana namun indah yg selama ini terjalin. Ia pula pasti rindu dgn kue-kueku. Ya Tuhan, sudah berapa usang gue tak lagi menciptakan kue-kudapan manis & menaruhnya di toples, untuk Bandi?

Maka semenjak hari itu, sudah kutekadkan, supaya tak ada hari berlalu tanpa kue-kue gres yg kubikin. Bukankah dalam waktu dekat tahun baru tiba, & Bandi mungkin akan pulang?

Ketika tahun baru lewat, & gue menunggui Bandi di depan pagar rumah kami hingga kedinginan, Mama menyelimuti tubuhku yg menggigil dgn selimut. Tapi gue tetap menunggu.

Mungkin Bandi akan pulang tatkala isu terkini piknik. Mungkin bulan ampunan tahun depan. Hmm, tidak! Aku tersenyum. Bandi akan pulang idul fitri tahun depan, pasti!

Pikiran itu membawa langkahku ke ruang dalam. Bukan ke kamar seperti impian kedua orang tuaku. Pikiranku padat oleh banyaknya pekerjaan yg akan menungguku hingga Bandi pulang nanti. Membuat kudapan manis-kudapan manis kesukaan laki-laki tersayang itu. Juga baju gres. Sambil tanganku sibuk mengaduk gabungan tepung terigu bercampur gula, keju & entah apa lagi, pikiranku mengembara. Mengenang Bandi. Betapa rindunya.

Besok & besoknya lagi, kesibukan yg sama menungguku. Kue-kue & jahitan baju baru. Setiap hari. Aku ingin siap tatkala Bandi pulang. Aku ingin rapi, ingin manis.

Sedikit pun tak ada kesangsian akan kesetiaan Bandi padaku. Meski terdengar kabar Bandi sudah menikah, atau Bandi sudah betah di luar negeri & tak mau kembali, gue tak pernah yakin.

Suatu hari Bandi akan pulang & memenuhi permintaanku untuk menjadi istrinya. Seperti yg selama ini selalu kubisikkan dlm hatiku menjelang tidur.

Bang, gue ingin menjadi istrimu.

Dan gue tahu, Bandi mengerti perasaanku sepenuhnya. Permintaanku.

Sebab cinta harusnya saling mengerti, cuma dgn memandang. (Bukan begitu Nia?) Cinta, harusnya tak perlu membuat dua orang kekasih saling mengemis. Cinta….