***
Lanjutan cerita
Demi Ridha Orang Tua, Aku Rela Menikah Dengannya
***
Setelah berusaha betah di rumah yg baru meskipun jauh dari indah, saya mencoba untuk membuat nyaman rumah mungilku itu. Karena aku suka menjahit maka semua interior rumah saya sendiri yg menjadikannya. Mulai korden, taplak, sprei & yg lain. Walaupun dari materi yg sungguh sederhana.
Perlahan-lahan aku juga berupaya menjajal mengasihi suami opsi ayahku. Semoga witing tresno jalaran soko kulino.
Yang membuatku sedih dikala itu yakni kami belum memiliki kamar mandi & sumur sendiri, sehingga aku mesti ke rumah tetangga kalau membutuhkannya. Sampai karenanya suami mengetahui kesedihanku. Setiap pulang kerja, dia menjalankan pengerjaan sumur sampai larut malam. Alhamdulillah sehabis sumur jadi tak lama lalu saya hamil anak pertama.
Gaji suami yg pas-pasan membuatku mampu makan cuma sampai pertengahan bulan. Sisanya kami umummakan krupuk & sambal terasi.
Setelah anak pertamaku lahir, harapan untuk pulang ke tempat tinggal ayah belum mereda. Hampir tiap bulan saya senantiasa minta suamiku mengantarkannku ke rumah ayah yg berjarak kira-kira 300 Km dari rumahku.
Sampai suatu dikala suamiku berkata, “Jika setiap bulan seperti ini, apakah pertanda kau tak mau hidup bersamaku lagi? “
Aku cuma bisa menangis. Aku membaygkan jikalau kami berpisah, maka bagaimana dgn nasib anak kami nanti? Bagaimana pula dgn hati ayahku niscaya akan berkeping-keping pilu? Aku tak ingin hal itu terjadi. Akhirnya semenjak saat itu saya berupaya meluruskan niatku untuk berumah tangga. Taat pada suami & taat pada ayah.
Alhamdulillah genap 50 tahun kami menikah dgn segala suka murung kami lalui berdua, perlahan ekonomi keluarga kami membaik, keempat anakku sukses menempuh pendidikan sarjana.
Sekarang saya & suami menghabiskan waktuku berdua dgn mengisi aktivitas membuka Taman Pendidikan Qur’an.
Ayah terimakasih untuk menjadikan aku istri yg taat. [DwiKap]