Akad Nikah Dalam Perspektif Hukum Islam

Abstract
In essence, marriage is a religious order that is governed by Islamic law and is the only authoritative sexual relations in Islam. As rahmatan lil ‘alamin, Islam has determined that the only way to meet the biological needs of individuals living just by marriage, marriage is one thing that is very interesting if we look more closely at the content of the meaning of this marriage masalah. The Qur’an has explained that among the purpose of marriage is to find peace in one’s life both for men and women (litaskunu ilaiha). Islam ordained marriage as a vehicle of family to achieve happiness in life. Therefore, in this article, the author explores the notion of marriage, the legal basis, as well as the terms and harmonious marriage’s wisdom that prescribed. Keywords: marriage, Saqinah, law and Islam
 marriage is a religious order that is governed by Islamic law and is the only authoritati Pernikahan dalam Perspektif Hukum Islam

A. Pendahuluan
Pernikahan merupakan suatu perintah agama yang dikontrol oleh syariat Islam dan ialah satu-satunya jalan penyaluran seks yang disahkan oleh agama Islam. Dari sudut pandang ini, maka pada ketika orang melakukan akad nikah pada saat yang serentak ia bukan saja mempunyai harapan untuk melaksanakan perintah agama (syariat), tetapi juga memiliki harapan memenuhi kebutuhan biologisnya yang secara kodrat memang harus disalurkan. Dalam kehidupan ini, manusia ingin menyanggupi berbagai kebutuhannya, begitu juga kebutuhan biologis sesungguhnya juga harus dipenuhi. 
Sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin, Islam telah memutuskan bahwa satu-satunya cara untuk menyanggupi kebutuhan biologis seeorang yakni hanya dengan cara pernikahan, pernikahan merupakan satu hal yang sangat menarik kalau kita lebih mencermati kandungan makna tentang persoalan pernikahan ini. Al-Qur’an sudah menjelaskan bahwa di antara tujuan akad nikah yakni agar pembelai laki-laki dan perempuan mendapatkan kedamaian dalam hidup seseorang (litaskunu ilaiha).
Ini berarti pernikahan sebetulnya bukan hanya sekedar sebagai fasilitas penyaluran kebutuhan seks namun lebih dari itu pernikahan juga prospektif perdamaian hidup bagi insan dimana setiap manusia dapat membangun nirwana dunia di dalamnya. Inilah nasihat disyari’atkannya pernikahan dalam Islam, selain memperoleh ketenangan dan kedamain, juga mampu mempertahankan keturunan (hifdzu al-nasli).
Islam mensyari’atkan ijab kabul untuk membentuk mahligai keluarga sebagai sarana untuk meraih kebahagiaan hidup. Islam juga mengajarkan pernikahan ialah suatu kejadian yang patut disambut dengan rasa syukur dan besar hati. Islam sudah memperlihatkan konsep yang terang ihwal tatacara ataupun proses sebuah akad nikah yang berlandaskan Al-Qur`an dan As-Sunnah yang shahih. Oleh sebab itu, dalam postingan ini, penulis mengeksplorasi pemahaman nikah, dasar aturan, syarat dan rukun serta pesan tersirat disyariatkannya akad nikah.
B. Pengertian Nikah dan Dasar Hukumnya
Lafaz nikah mengandung tiga macam pemahaman:
1. Menurut bahasa, nikah adalah al-dhammu atau al-tadakhul yang artinya berkumpul atau saling memasuki. (A. W. Munawwir, 1997:392,829)
2. Menurut Ahli Usul, nikah memiliki arti:
a. Menurut aslinya bermakna setubuh, dan secara majazi (metaphoric) adalah kesepakatan yang menghalalkan hubungan kelamin antara pria dengan wanita. Ini pendapat AhliUsul Hanafiyah.
b. Ahli Usul Syafi’iyah  mengatakan,  nikah  menurut aslinya ialah akad yang menghalalkan hubungan kelamin antara pria dan wanita. Sedang berdasarkan arti majazi (metaphoric) yakni bersetubuh.
c. Abu Qasim al-Zayyad, Imam Yahya, Ibnu Hazm dan sebagian jago ajakan dari sahabat Abu Hanifah berpendapat bahwa nikah mengandung kedua arti sekaligus, adalah selaku kesepakatan dan setubuh.(Abu al- ‘Ainain, 2002:18)
3. Menurut Ahli Fiqh. Ada beberapa definisi nikah yang dikemukakan fuqaha, antara lain selaku berikut: (Abdurrahman al-Jaziri,tt:2-3)
a. Sebagian  Hanafiyah  beropini  bahwa  nikah yakni:

عقد يفيد ملك المتعة قصدا

”Aqad yang memfaidahkan memiliki bersenang-bahagia dengan sengaja”

b.Sebagian lagi berpendapat bahwa nikah adalah:

” ‘Aqdun yufiidu milkul Intifaa-‘i bilbai’i Wasaa-iri Azjaa-il badani ”

c. Sebagian  Syafi’iyah  beropini  bahwa  nikah ialah:

عقد يتضمن ملك الوطء بلفظ انكاح او تزويج او معنهما

”Akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan watha dengan lafaz nikah ata tazwij atau yang satu makna dengan keduanya”

d. Sebagiannya lagi beropini bahwa nikah ialah:

عقد تضمن إباحة الوطئ  بلفظ نكاح او تزويج او معنهما

e. Hanabilah berpendapat bahwa:

عقد بلفظ انكاح او تزويج على منفعة الاستماع

Dari  definisi  nikah  yang  dikemukakan  fuqaha,  pada prinsipnya tidak terdapat perbedaan yang mempunyai arti kecuali pada redaksi atau phraseologic saja. Nikah pada hakikatnya ialah akad yang dikontrol oleh agama untuk menunjukkan terhadap pria hak mempunyai dan menikmati faraj dan seluruh badan perempuan itu dan membentuk rumah tangga.(Abu al-‘Ainain Badran,tt: 20-21)
Yang dimaksud hak milik, yang dapat didapatkan nyaris di setiap definisi yang disebutkan fuqaha, adalah milku al-intifa’, yaitu hak milik penggunaan (pemakai) sesuatu benda, sebab itu pernikahan tidak menjadikan milku ar-raqabah, ialah memiliki sesuatu benda, sehingga mampu dialihkan terhadap siapapun; juga bukan milku al-manfa’ah, yakni hak memiliki kemanfaatan sesuatu benda, yang dalam hal ini keuntungannya boleh dialihkan terhadap orang lain.(A. Basit Badar Mutawally, 1999:120-137).
Dari  definisi  nikah  yang  dikemukakan  fuqaha  dapat disimpulkan:

  1. Hak monopoli dalam mempunyai kemanfaatan atas istrinya cuma dimiliki oleh suami, sebab selain suaminya haram merasakan kenikmatan itu.
  2. Si istri tidak terikat dengan suami, alasannya beliau mempunyai hak untuk dapat melepaskan diri dari suaminya.
  3. Faraj (kemaluan) si istri adalah hak miliknya sebagaipemilik raqabah dan manfa’at, alasannya kalau terjadi kekeliruan dalam wati syubhat, maka wajib atas suami tersebut mengeluarkan uang misl terhadap istri, bukan terhadap suami.
  4. Suami tidak berkewajiban menyetubuhi istrinya, tetapi si istri berkewajiban menyerahkan faraj (kemaluannya) di saat diminta oleh suaminya. Kewajiban suami bukanlah tuntutan akad, tetapi cuma berkewajiban memelihara etika istri. Jadi jika si suami telah membuktikan kepada istrinya dalam persetubuhan yang pertama kali bahawa dia impoten, maka hal ini dianggap cukup untuk menyanggupi permintaan istrinya.

Sebagian  ulama  Syafi’iyah  memandang  bahwa ijab kabul adalah komitmen ibadah, ialah mengizinkan
suami meniduri istrinya. Makara bukan kesepakatan tamlik bi al-intifa’. Demikian pula di dalam al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi, perkataan “nikah” kebanyakan diartikan dengan “kesepakatanperikatan”.Firman Allah SWT QS An-Nur 32 dan Al-Baqarah 221:

وَ أَنْكِحُوا الْأَيامى‏ مِنْكُمْ وَ الصَّالِحينَ مِنْ عِبادِكُمْ وَ إِمائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَراءَ يُغْنِهِمُ اللهُ مِنْ فَضْلِهِ وَ اللهُ واسِعٌ عَليمٌ

 وَلاَ تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلأَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرُُ مِّن مُّشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلاَ تُنكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ خَيْرُُ مِّن مُّشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُوْلاَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللهُ يَدْعُوا إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ ءَايَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ

Dalam surat al-Nisa’ ayat 21 Allah swt. Menyatakan bahwa nikah itu bukanlah sebuah perjanjian yang umum saja, tetapi yakni suatu kontrakyang berpengaruh.

وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا

Perkataan “nikah” di dalam ayat al-Qur’an surat Al-Baqarah 230 ada yang bermakna “setubuh”, ayat itu yaitu:

فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يَتَرَاجَعَا إِنْ ظَنَّا أَنْ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ

Ayat di atas menunjukan persoalan mekanisme ruju’ bagi suami yang telah mentalak tiga istrinya. Jika istri sudah ditalak tiga maka suami dapat meruju’nya kembali dengan syarat mantan istrinya tersebut telah menikah lagi dengan orang lain, dan ini memiliki arti sudah disetubuhi oleh orang lain, lalu diceraikan oleh orang yang telah menikahinya tersebut.(M. Quraish Shihab, 2000:463-464)

Di Indonesia terdapat aturan kasatmata yang mengontrol tentang pernikahan, yaitu Undang-undang No.1 Tahun 1974 yang menyebutkan bahwa: Pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang senang dan abadi berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.

Definisi di atas kalau dirinci akan didapatkan :
1. Pernikahan yakni ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang wanita selaku suami istri.
2. Ikatan lahir batin itu ditujukan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan sejahtera.
3.Dasar ikatan lahir batin dan tujuan senang yang abadi itu berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa.

Hakikat ijab kabul yang digambarkan dalam UU No.1 Tahun 1974 itu sejalan dengan hakikat ijab kabul dalam Islam, alasannya adalah keduanya tidak hanya menyaksikan dari  segi ikatan kesepakatan lahirnya saja, namun sekaligus ikatan pertautan kebatinan antara suami istri yang ditujukan untuk membina keluarga yang abadi dan bahagia, sesuai dengan hasratTuhan Yang Maha Esa. Kedua bentuk aturan (aturan nyata Indonesia dan hukum Islam) tersebut berlawanan dengan aturan Barat-Amerika, yang menatap ijab kabul hanya merupakan bentuk persetujuan dan persetujuan akad nikah. Tetapi mereka
memiliki kesamaan dalam hal ijab kabul tersebut terdiri dari tiga pihak, yakni calon istri, calon suami dan Negara (government). (A.P. Gragtu L.L.B,tt:139)

C. Syarat dan Rukun Nikah

Suatu janji ijab kabul menurut hukum Islam ada yang sah dan ada yang batal. Akad ijab kabul dibilang sah jika komitmen tersebut dilakukan dengan syarat-syarat dan rukun-rukun yang lengkap sesuai denganketentuan agama. Mengenai jumlah rukun nikah, tidak ada akad fuqaha. Karena sebagian mereka memasukkan sebuah komponen menjadi aturan nikah, sedangkan yang lain mengelompokkan bagian tersebut menjadi syarat sahnya nikah.

Imam asy-Syafi’i menyebutkan bahwa rukun nikah itu ada lima, yakni calon suami, calon istri, wali, dua orang saksi dan sigat. Menurut Imam Malik rukun nikah itu yaitu wali, mahar kandidat suami, kandidat istri, sigat. (Abdurrahman al-Jaziri, tt:12).

Mahar/mas kawin yakni hak perempuan. Karena dengan mendapatkan mahar, artinya dia suka dan rela dipimpin oleh pria yang baru saja mengawininya. Mempermahal mahal adalah sebuah hal yang dibenci Islam, karena akan mempersulit relasi akad nikah di antara sesama insan.(Ibrahim M.al-Jamal, 1986:373) Dalam hal santunan mahar ini, pada dasarnya hanya sekedar perbuatan yang terpuji (istishab) saja, meskipun menjadi syarat sahnya nikah. (Muhammad Abu Zahrah, 1957:123) Sebagaimana saksi menjadi syarat sahnya nikah berdasarkan Imam asy-syafi’i.

As-Sayyid Sabiq dalam hal ini beropini, bahwa pernikahan merupakan ijab qabul yang menyanggupi syarat-syarat sebagai berikut:

  1. Pihak yang melakukan janji itu mempunyai kecakapan, yakni terpelajar, balig, dan merdeka.
  2. Masing-masing pihak mempunyai wewenang yang sarat untuk melaksanakan janji.
  3. Qabul tidak boleh menyalahi ijab, kecuali kalau wali itu menguntungkan pihak yang berijab.
  4. Hendaknya kedua belah pihak yang berakad berada dalam satu majlis dan saling mengerti ucapan lawan. (As-Sayyid Sabiq, 1973:34-36).

Di Indonesia, para jago hukum Islam sepakat bahwa ijab kabul itu gres terjadi sesudah dipenuhinya rukun-rukun dan syarat-syarat nikah, yaitu:
1. Calon pengantin itu kedua-duanya sudah dewasa dan terpelajar (pintar balig).
2. Harus ada wali bagi calon pengantin perempuan.

3. Harus ada mahar (mas kawin) dari calon pengantin laki-laki yang diberikan sesudah resmi menjadi suami istri terhadap istrinya.

4. Harus didatangi sedikitnya 2 (dua) orang saksi yang adil dan pria Islam merdeka.
5.Harus ada upacara ijab qabul, ijab yaitu penawaran dari pihak calon istri atau walinya atau wakilnya dan qabul penerimaan oleh calon suami dengan menyebutkan besarnya mahar (mas kawin) yang diberikan.
6. Sebagai tanda bahwa sudah resmi terjadinya ijab kabul (akad nikah) maka hendaknya diadakan walimah (pesta ijab kabul).
7. Sebagai bukti sahih terjadinya ijab kabul, sesuai dengan analogi surat Ali-Imran ayat 282 mesti
diadakani i’lan  an-nikah (registrasi nikah), kepada Pejabat Pencatat Nikah, sesuai pula dengan UU No. 22 Tahun 1946 jo UU No.32 Tahun 1954 jo UU No.1 Tahun 1974 (lihat juga Pasal 7 KHI Instruksi Presiden RI No.1 Tahun 1991).(M. Idris Ramulyo, 2002:48-49).

Sejak Islam memberikan perhatian secara benar-benar terhadap akad nikah, yang senantiasa diperhatikan adalah jaminan bahwa ikatan pernikahan itu dikokohkan selaku ikatan yang relatif berpengaruh dan bertahan lama. Untuk menggapai tujuan tersebut, Islam memberikan beberapa aturan dan batas-batas tertentu yang dapat digunakan untuk menuju kepadanya.

D. Anjuran Menikah

Di dalam al-Qur’an Allah SWT sudah menunjukkan contoh bahwa salah satu sunnah para Nabi yang merupakan tokoh contoh mereka menikah. Firman Allah SWT QS Ar-Ra’du 38: Artinya: Dan sesungguhnya kami sudah mengutus beberapa Rasul sebelum kau dan kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan. Terkadang ada orang yang ragu-ragu untuk menikah, alasannya adalah sungguh takut memikul beban berat dan menghindarkan diri dari kesulitan. Islam memperingatkan bahwa dengan menikah, Allah akan memperlihatkan penghidupan yang berkecukupan kepadanya, menetralisir kesulitannya dan diberikannya kekuatan untuk menangani kemiskinan. (Abdul Haris Na’im, 2008:22). Allah berfirman dalam QS An-Nur 32:

  Aturan Bermain Games Dalam Islam

E. Hukum Nikah

Di dalam Fiqh para ulama menerangkan bahwa menikah memiliki hukum sesuai dengan kondisi dan aspek pelakunya. Hukum tersebut yakni (As-Sayyid Sabiq, 1973:15):

  • 1). Wajib

Bagi orang yang sudah mampu menikah, nafsunya telah mendesak dan takut terjerumus dalam perzinaan, maka dia wajib menikah. Karena menjauhkan diri dari tindakan haram yakni wajib Allah berfirman dalam QS An-Nur 33:

وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لا يَجِدُونَ نِكَاحًا حَتَّى يُغْنِيَهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ

Artinya: “Dan orang-orang yang tidak bisa menikah hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya.”

  • 2). Sunnah

Bagi orang yang nafsunya sudah mendesak dan bisa menikah, namun masih mampu menahan dirinya dari tindakan zina, maka sunnah baginya menikah. Nikah baginya lebih utama daripada bertekun diriberibadah.

  • 3). Haram

Bagi seseorang yang tidak bisa menyanggupi nafkah batin dan lahirnya kepada istri serta nafsunyapun tidak mendesak, maka dia haram menikah.

  • 4). Makruh

Makruh menikah bagi seseorang yang lemah syahwat dan tidak mampu memberi belanja terhadap istrinya. Walaupun tidak merugikan istri, alasannya dia kaya dan tidak memiliki cita-cita syahwat yang kuat

  • 5). Mubah

Bagi orang yang tidak terdesak oleh argumentasi-alasan yang mengharamkan untuk menikah, maka
nikah hukumnya mubah baginya.

F. Hak dan Kewajiban Suami Istri

Di dalam UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 disebutkan hak dan keharusan suami istri dalam beberapa pasal di antaranya yakni:

Pasal 30:

Suami istri memikul keharusan yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.

Pasal 31:

  1. Hak dan kedudukan istri yakni seimbang dengan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat
  2. Masing-masing pihak berhak untuk melaksanakan tindakan hukum
  3. Suami yakni kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga

 Pasal 32:

  1. Suami istri harus memiliki daerah kediaman yang tetap.
  2. Rumah kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini diputuskan oleh suami istri bareng .

Pasal 33: Suami istri wajib cinta menyayangi, hormat menghormati, setia dan memberi pertolongan lahir batin yang satu kepada lainnya.

Pasal 34:

  1. Suami wajib melindungi istrinya dan menunjukkan segala sesuatu kebutuhan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya
  2. Istri wajib mengontrol problem rumah tangga sebaik-baiknya
  3. Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya masing-masing mampu mengajukan somasi pada pengadilan. 

Beberapa ayat Al-Qur’an yang menjelaskan keharusan suami kepada istri:

1). Suami wajib melindungi isterinya

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا وَلَا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا آَتَيْتُمُوهُنَّ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
 

Ayat di atas mengambarkan tentang perayaan supaya suami tidak cepat-cepat mengambil putusan menyangkut kehidupan rumah tangganya, kecuali sehabis menimbang dan menimbangnya, alasannya adalah nalar tidak jarang gagal mengetahui akibat sesuatu.(M. Quraish Shihab, 2002:384)

2). Suami wajib menawarkan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. (Abdul Haris Na’im, 2008:81-82

لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ ۖ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ ۚ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آتَاهَا ۚ سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا

Artinya: Hendaklah  yang  mampu  memberi  nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rizqinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah kelak akan menunjukkan kelapangan sesudah kesempitan.

3). Suami wajib memberi pendidikan agama kepada istrinya dan memberikan potensi berguru pengetahuan yang berguna dan berfaedah.
4). Suami wajib menanggung nafkah, kiswah dan kawasan kediaman bagi isteri.

Allah berfirman dalam QS At-Thalaq 6:

أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ وَلا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ وَإِنْ كُنَّ أُولاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَأْتَمِرُوا بَيْنَكُمْ بِمَعْرُوفٍ وَإِنْ تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُ أُخْرَى

5). Suami wajib menanggung biaya rumah tangga, ongkos perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak.

Hal ini terdapat dalam firman Allah SWT QS An-Nisa’ 34:

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ

6). Suami wajib menanggung ongkos pendidikan bagi anak

G. Hal-hal yang Membatalkan Nikah

Akad nikah ialah upacara sakral, alasannya mengikat kedua belah pihak, ialah istri dan kandidat suami. Dan pernikahan akan batal, bila (Cik Hasan Bisri, 1999:160-161b)
1. Suami melaksanakan ijab kabul, sedang ia tidak berhak melaksanakan ijab kabul sebab sudah memiliki empat orang istri, sekalipun salah satu dari keempat istrinya itu dalam ‘iddah talak raj’i.
2. Seseorang menikahi bekas istrinya yang telah dili’annya.
3. Seseorang menikahi bekas istrinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak olehnya, kecuali kalau bekas istri tersebut pernah menikah dengan pria lain yang kemudian bercerai lagi ba’da dukhul dari pria tersebut dan sudah habis abad ‘iddahnya.
4. Pernikahan dilakukan antara dua orang yang memiliki kekerabatan darah, semenda, dan sesusuan
hingga derajat tertentu yang membatasi ijab kabul menurut pasal Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, yakni:
a. Berhubungan darah dalam garis lurus ke bawah atau lurus ke atas.
b. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yakni antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua, dan antara seorang dengan neneknya.
c. Berhubungan semenda, adalah mertua, anak tiri, menantu, dan ibu atau ayah tiri.
d. Berhubungan sesusuan, yakni orang renta sesusuan, anak sesusuan, kerabat sesusuan, dan bibi atau paman sesusuan.
5. Istri adalah saudara kandung atau selaku bibi atau kemenakan dari istri atau istri-istrinya.

Sayuti Thalib menjelaskan, intinya seorang pria Islam diperbolehkan menikah dengan wanita mana saja. Sungguh-pun demikian, juga diberikan pembatasan-pembatasan. Sebagai pembatasan, seorang pria Muslim dihentikan menikah dengan perempuan- wanita tertentu. Dalam larangan itu tampak segi-sisi larangan itu. Sifat larangan itu berupa perlainan agama, larangan nikah sebab hubungan darah, karena korelasi sesusuan, karena korelasi semenda yang muncul dari akad nikah yang terdahulu.(Sayuthi Thalib,1986:51)

Larangan-larangan itu dengan tegas diterangkan dalam ayat-ayat al-Qur’an:


وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّىٰ يُؤْمِنَّ ۚ وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ ۗ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّىٰ يُؤْمِنُوا ۚ وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ ۗ أُولَٰئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ ۖ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ ۖ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ

Tegas terlihat dalam Surat al-Baqarah ayat 221, ketentuan-ketentuannya selaku berikut:

  • Dilarang menikahi perempuan musyrik sampai ia beriman.
  • Dilarang menikah dengan laki-laki musyrik hingga beliau beriman.
  • Orang musyrik itu menenteng terhadap neraka sedangkan Tuhan membawa terhadap kebaikan dan keampunan.

Dihubungkan dengan Al-Qur’an Surat Al-Maidah ayat 5, dapatlah diketahui, bahwa khusus terhadap orang yang beragama Yahudi dan Katolik, sungguhpun dalam kenyataan kini mereka berlainan agama dengan orang Islam, tetapi kepada mereka berlaku ketentuan tersendiri. Wanita-wanitanya halal dinikahi, sebab mereka itu sebenarnya sama-sama kehadiran kitab Ilahy seperti orang Islam pula. Mereka disebut jago kitab, orang yang kehadiran kitab Tuhan. Surat al-Maidah ini berisi wanita muslim itu halal dinikahi begitu pula wanita andal kitab halal dinikahi.

الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلا مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ وَمَنْ يَكْفُرْ بِالإيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

Hubungan darah yang sungguh erat menjadi karena pula bagi larangan akad nikah sesamanya. Larangan itu tercantum dalam Surat (4) ayat 23 ialah diharamkan mengawini ibu, anak wanita, saudara perempuan, saudara wanita ibu, kerabat wanita bapak, anak perempuan dari kerabat laki-laki, dan anak wanita dari kerabat perempuan. Hubungan sesusuanpun menimbulkan orang mempunyai kekerabatan kekeluargaan yang sedemikian dekatnya. Mereka yang sesusuan itu telah menjadi saudara dalam pengertian hukum akad nikah ini, dan disebut saudara sesusuan. Tetapi pendekatan ke dalam kerabat sesusuan itu tidak menyebabkan kekerabatan persaudaraan sedarah untuk terjadinya saling mewarisi karena sedarah dalam hukum kewarisan.

Larangan akad nikah dalam relasi adanya relasi sesusuan terdapat dalam Al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 23 itu juga, adalah dilarang mengawini ibu yang menyusui dan juga kerabat wanita.


حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهٰتُكُمْ وَبَنٰتُكُمْ وَأَخَوٰتُكُمْ وَعَمّٰتُكُمْ وَخٰلٰتُكُمْ وَبَنٰتُ الْأَخِ وَبَنٰتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهٰتُكُمُ الّٰتِيْ أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوٰتُكُمْ مِّنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهٰتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ الّٰتِيْ فِيْ حُجُوْرِكُمْ مِّنْ نِّسَائِكُمُ الّٰتِيْ دَخَلْتُمْ بِهِنَّۖ فَإِنْ لَّمْ تَكُوْنُوْا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْۖ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِيْنَ مِنْ أَصْلَابِكُمْۙ وَأَنْ تَجْمَعُوْا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَۗ إِنَّ اللّٰهَ كَانَ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا

Begitu juga larangan pernikahan alasannya relasi semenda, artinya hubungan kekeluargaan yang timbul sebab akad nikah yang sudah terjadi terlebih dulu. Larangan ijab kabul dalam kekerabatan ijab kabul yang telah ada atau semenda itu juga terdapat dalam Al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 23 ini, yaitu pada bagian lanjutan ayat yang telah disebut tadi, yaitu diharamkan mengawini :
  • Ibu dari istri (mertua)
  • Anak tiri wanita yang istrinya sudah dicampuri
  • Istri anak shulbi (menantu wanita)
  • Dua orang bersaudara
Pelarangan-pelarangan dan hal-hal yang membatalkan nikah yang ada pada pemikiran agama Islam, seperti uraian di atas bukan sebagai bentuk pengekangan akan aktualitas dan lisan pada problem jalur manifestasi kekerabatan seksual insan. Akan tetapi aturan tersebut ada untuk kemaslahatan insan itu sendiri bila memahami benar pesan tersirat yang ada dari pelarangan tersebut, contohnya pelarangan menikah sedarah, di samping secara ikatan keluarga tidak akan meningkat juga akan berakibat pada keturunan yang dihasilkan, padahal Islam mengharapkan generasi yang besar lengan berkuasa secara doktrin dan juga secara fisik.
H. Tujuan dan Fungsi Nikah

Pernikahan yaitu salah satu media untuk menyebarkan keturunan dan penyaluran insting untuk melakukan hubungan seksual. Untuk itu Allah sudah menawarkan hukum-aturan dan batas-batas-batas-batas untuk
menjamin biar pernikahan itu bias diraih oleh setiap orang. Al-Qur’an memperlihatkan bahwa cara riil dan nature untuk menjangkau kedamaian dan kepuasan dalam hidup adalah lewat hubungan suami-istri yang bagus sesuai dengan apa yang sudah digariskan oleh Allah melalui apa yang  sudah difirmankan-Nya dan  juga  apa  yang  telah dilaksanakan oleh rasul-Nya, ialah Adam dan Siti Hawa. Melalui tatanan aturan yang tersistematis dengan baik, maka kedamaian dalam pernikahan mampu tercapai dan terjamin secara positif, alasannya adalah dalam diri insan terdapat insting untuk menyukai lawan jenis.

Prinsip utama dari kehidupan akad nikah yaitu manusia mesti hidup secara berpasang-pasangan yaitu seorang laki-laki dan seorang perempuan harus menikah dan hidup bareng dalam suatu ikatan akad nikah yang senang. (Haifaa A. Jawad, 2002:103a).

Islam sudah menetapkan pentingnya pernikahan yang agung. Pernikahan betul-betul direkomendasikan menurut beberapa: pijakan, agama, susila dan sosial. Pernikahan dalam Islam dinilai sebagai suatu ikatan yang kokoh dan sebuah akad yang menyeluruh terhadap kehidupan, penduduk dan manusia untuk menjadi seseorang yang terhormat. Pernikahan adalah sebuah janji yang diikrarkan oleh pasangan suami istri terhadap diri mereka sendiri dan kepada Allah. Usaha yang dilaksanakan oleh masing-masing pasangan suami istri ini bermaksud untuk membuat lebih mudah mereka mendapatkan pemenuhan bersama (mutual fullfilment) dan realisasi diri (self realisation) atas nama cinta dan kedamaian, keinginan dan impian. Ini semua karena, pernikahan dalam Islam secara esensial, yakni suatu langkah-langkah kesalehan dan ketaatan yang tepat.

Dari uraian di atas tersebut mengisyaratkan bahwa hidup membujang tidak dianjurkan dalam Islam, baik kepada laki-laki maupun perempuan. Hal ini menimbang-nimbang adanya realita bahwa keperluan laki-laki dan wanita itu sama-sama logis dan sah. Sesungguhnya, Islam memandang pernikahan itu yakni sebagai sebuah jalan hidup yang alami baik bagi wanita maupun bagi pria, dan mungkin lebih dari sekedar memandang bahwa ijab kabul itu hanya menawarkan beberapa bentuk jaminan hemat bagi wanita. Harus ditekankan di sini, bahwa kemanfaatan bagi perempuan sama sekali bukan indikasi bahwa pernikahan dalam Islam hanyalah suatu transaksi ekonomi belaka. Sesungguhnya, aspek ekonomi ialah faktor yang paling terakhir dari sebuah acara, penekanannya senantiasa didasarkan terhadap kualitas-kualitas keagamaan dari pasangan suami istri tersebut. (Haifaa A. Jawad, 2002:103-104a).

  Dalil Lgbt Dalam Al Quran

Tujuan pernikahan Islam tidak dapat dilepaskan dari pernyataan al-Qur’an, sumber ajarannya yang pertama. Al-Qur’an memastikan, bahwa di antara tanda-tanda kekuasaan Allah SWT ialah bahwa Ia membuat istri-istri bagi para laki-laki dari jenis mereka sendiri, biar mereka merasa nyaman (sakinah). Kemudian Allah menimbulkan/menumbuhkan perasaan cinta dan kasih sayang (mawaddah dan rahmah) di antara mereka.

Dalam hal demikian betul-betul terdapat tanda-tanda (pelajaran)  bagi mereka yang mau berpikir.(Ar-Rum (21):21) Dalam bagian lain, al-Qur’an menyatakan bahwa para istri ialah busana (libas) bagi para suami, demikian pula sebaliknya, para suami adalah pakaian bagi istrinya. (Al-Baqarah(2):187)

Kehidupan yang tenteram (sakinah) yang dibalut perasaan cinta kasih dan ditopang saling pengertian diantara suami dan istri – alasannya adalah baik istri maupun suami menyadari bahawa masing-masing selaku busana bagi pasangannya – itulah yang sesungguhnya merupakan tujuan utama disyari’atkannya ijab kabul dalam Islam. Suasana kehidupan yang dituju oleh pernikahan dibangun atas dasar yang kuat, antara lain suami dan istri ada sekufu (kafaah). Kafaah dalam ijab kabul yakni sama dan sebnding (al-musawat wa al-mumasalat), misalnya yang paling penting, seagama atau sama-sama bercita-cita membuatkan keturunan yang shalih dan lain-lain. Sebagai konsekuensi kafaah ialah soal agama, seorang perempuan muslimah haram kawin dengan laki-laki kafir.

Dalam hal kafaah, baik Imam Abu Hanifah, Imam  Malik,  Imam  asy-Syafi’I  maupun  Imam  Hanbal memandang penting faktor agama sebagai komponen yang mesti  diperhitungkan.  Bahkan  Imam  asy-Syafi’I  dan Imam Malik lebih menekankan pentingnya unsur ketaatan dalam beragama. (Abdurrahman al-Jaziri,tt:58-60).

Pentingnya kafaah dalam ijab kabul sungguh selaras dengan tujuan pernikahan di atas; suatu kehidupan suami istri yang sungguh-sungguhsakinah dan senang. Suami istri yang sakinah dan senang akan bisa berbagi korelasi yang intim dan penuh kemesraan. Pada gilirannya akan melahirkan generasi pelanjut yang baik dan shalih, yang mau menjadi pemimpin orang-orang yang bertaqwa (li al-muttaqina imama). (Al-Furqan (25):74)

Melestarikan keturunan (nasl) merupakan tujuandisyari’atkan ijab kabul. Pernikahan di samping bermaksud melestarikan keturunan yang bagus, juga untuk mendidik jiwa insan biar bertambah rasa kasih sayangnya, bertambah kelembutan jiwa dan kecintaannya, dan akan terjadi collaboration of feeling antara dua jenis kelamin, alasannya antara keduanya ada perbedaan cita rasa, emosi, kesanggupan mencintai, kecakapan dan lain-lain.(Abbas Mahmud al-Aqqad, 1985:84) Dan yang paling penting lagi dalam perkawinan bukan cuma sekedar mendapatkan anak, namun berupaya mencari dan membentuk generasi yang berkualitas, adalah menimbulkan anak yang shalih dan bertaqwa kepada Allah. Tentunya keturunan yang shalih tidak akan diperoleh melainkan dengan pendidikan Islam yang benar.

Islam memandang bahwa ijab kabul mesti membawa maslahat, baik bagi suami istri, maupun penduduk . Sedemikian bermanfaatnya akad nikah sampai-sampai nilai kebaikan (maslahah) yang dihasilkan olehnya lebih besar daripada kejelekan-keburukan (madarat). Dilihat dari titik pandang kolektif faedah yang paling memiliki arti pastinya yakni meneruskan keturunan, tetapi ini bukan cuma sekedar pengabaian anak secara fisik saja. Lebih dari itu, forum ijab kabul menjamin biar faedah penerusan keturunan tersebut akan mampu menjadi suci dan tertib, tidak vulgar dan berantakan. Sedang ditinjau dari segi agama khusus, memiliki anak itu memiliki arti melakukan hal-hal sebagai berikut: mewujudkan hasratAllah SWT, menyanggupi panggilan Nabi SAW untuk menikah dan menambah jumlah pengikut ia, serta menuai buah kebaikan dari doa anaknya nantinya. Kaum Muslimin percaya, bahwa saat orang renta itu meninggal dan memiliki anak (laki-laki atau perempuan), maka doa anaknya akan berguna baginya. Di samping, apabila seorang anak meninggal dunia terlebih dulu sebelum orang tuanya, maka anak tersebut nanti akan menjadi mediator yang membantu orang tuanya. (Haifaa A. Jawad, 2002:105).

Pernikahan ialah sebuah bentuk hubungan insan yang paling agung yang harus dipenuhi segala syarat dan rukunnya. Pernikahan menuntut adanya tanggung jawab timbal balik yang wajib dijalankan oleh kedua belah pihak, suami istri, sesuai fatwa Islam. Memenuhi kehendak seksual juga merupakan salah satu aspek penting dari ijab kabul. Dalam sudut pandang Islam, ijab kabul mampu mengatur nafsu seksual dan menyalurkannya di daerah yang benar. (Haifaa A. Jawad, 2002:105) Dan fungsi nikah yang lain adalah selaku sebuah langkah preventif (mani’) bagi terjadinya hal-hal yang diharamkan oleh agama, ialah perbuatan zina (prostitusi) dan kefasikan, mirip diketahui, manusia dari kenyataan tabi’at dan  nalurinya, tidak stabil dalam menjaga kehormatan dan kemuliaannya. (Abu al-‘Ainain Badran, 2002:20-21).

Secara alami, naluri yang sulit dibendung oleh setiap insan sampaumur yaitu naluri seksual. Islam ingin menawarkan bahwa yang membedakan manusia dengan binatang dalam penyaluran naluri seksual yakni lewat perkawinan, sehingga segala akhir negative yang ditimbulkan oleh penyaluran seksual secara tidak benar mampu disingkirkan sedini mungkin. Oleh sebab itu ulama fiqh menyatakan bahawa ijab kabul merupakan satu-satunya cara yang benar dan sah dalam menyalurkan
naluri seksual, sehingga masing-masing pihak tidak merasa cemas akan akibatnya. (Agus Riyadi, 2013:59) Inilah yang dimaksudkan Allah SWT dalam firman-Nya QS. Ar-Rum (30): 21.

Selain dari itu Haifa A. Jawad menyertakan bahwa pernikahan dapat menimbulkan kedamaian dan
ketentraman dalam jiwa serta menanamkan cinta dan kasih sayang pada pasangan suami istri. Ini adalah suatu dorongan yang besar bagi seseorang untuk beribadah terhadap Allah. Kemesraan suami istri dipandang selaku katalisator bagi perkembangan jiwa mereka. Dengan kata lain, korelasi intim dan mesra yang meningkat pada suami istri itu penting untuk merenggangkan beban psikis
serta kemudian memungkinkan untuk mempertimbangkan konsentrasi yang lebih baik terhadap solusi peran-peran dari Allah SWT. (Haifaa A. Jawad, 2002:106)

Al-Gazali dalam hal ini menjelaskan pula dengan kata-katanya yang indah, adalah: Manfaat yang ketiga dari ijab kabul yaitu membuat hati menemukan ketentraman melalui kemesraan dengan pasangannya, duduk berdua dan bersenda gurau dengannya. Ketentraman ini kemudian menjadi alasannya meningkatnya harapan untuk beribadah. Rajin beribadah memang menimbulkan rasa lelah, dan hati-pun menjadi berkerut. Namun, rasa tentram yang diperoleh tersebut akan mengembalikan kekuatan hati. (Haifaa A. Jawad,2002:105)

Islam juga menyaksikan pernikahan selaku suatu media (sarana) yang membuat rumah tangga bias mengasyikkan bagi pasangan suami istri. Ikatan akad nikah menolong suami istri untuk saling bekerja sama dan gotong royong secara damai dalam mengatur persoalan-urusan rumah tangga mereka; dengan begitu akan ada waktu yag cukup untuk melaksanakan perintah-perintah Allah. Sehubungan dengan hal ini, Nabi SAW diriwayatkan pernah menawarkan saran kepada para pengikutnya untuk memilih pasangan yang benar yang mampu menolong mereka mendapatkan berkah Allah SWT.

Di samping itu, ijab kabul dipandang selaku sebuah kesempatan untuk membangun aksara eksklusif yang baik dan kuat, selaku hasil dari tanggung jawab keluarga yang dipikul oleh masing-masing pasangan suami istri selama dalam kehidupan pernikahannya. Dengan begitu, keberhasilan menenteng janji-komitmen keluarga (yang dinilai setara dengan kewajiban-kewajiban dari Allah) akan disediakan pahala oleh Allah. Dengan demikian, akad nikah ialah jaminan stabilitas social dan bentuk kehidupan yang bermartabat bagi masing-masing pasangan (suami istri), bahkan fungsi ini mungkin akan lebih terasa bagi perempuan, karena pernikahan itu merupakan jaminan bagi hak-hak mereka, baik dalam kehidupannya sebagai istri maupun selaku ibu (tentu juga di samping yang mereka terima sebagai satu individu). (Haifaa A. Jawad, 2002:108) 

Pernikahan sungguh berfungsi dalam menghindarkan insan dari praktik prostitusi (perzinaan) dan perbuatan-tindakan fisik lainnya, sekaligus mempertahankan kesehatan kelamin dan menghindarkan penyakit yang sangat ditakuti cukup umur ini, adalah AIDS. Penyakit yang sungguh menyeramkan itu menyebar dengan sungguh cepat lewat korelasi kelamin dengan orang yang sudah terserang penyakit perusak kekebalan tubuh itu. Bagi mereka yang sudah bisa menegakkan tanggung  jawab  akibat  pernikahan,  baik  fisik,  mental, ekonomi maupun sosial juga khawatir akan terjerumus ke lembah prostitusi (khauf al-‘anah) wajib untuk kawin.

Tujuan dan fungsi akad nikah lainnya dapat memupuk rasa tanggung jawab dalam rangka memelihara dan mendidik anak, sehingga memperlihatkan motivasi yang besar lengan berkuasa bagi seseorang untuk membahagiakan orang-orang yang menjadi tanggung jawab. Membagi rasa tanggung jawab antara suami atau istri yang selama ini dipikul masing-masing pihak. (Agus Riyadi, 2013:59)

I. Hikmah Pernikahan

Mengenai pesan tersirat pernikahan, sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari maksudnya di atas, dan sangat berhubungan dekat dengan tujuan diciptakannya insan di wajah bumi ini. Al-Jurjawi menjelaskn bahwa Tuhan membuat manusia dengan tujuan memakmurkan bumi, di mana segala isinya diciptakan untuk kepentingan insan. Oleh sebab itu, demi kemakmuran bumi secara lestari, kehadiran insan sungguh diharapkan sepanjang bumi masih ada. Pelestarian keturunan insan merupakan sesuatu yang mutlak, sehingga keberadaan bumi di tengah-tengah alam semesta tidak menjadi sia-sia. Seperti diingatkan oleh agama, pelestarian insan secara masuk akal dibuat lewat akad nikah, sehingga demi memakmurkan bumi, ijab kabul mutlak diperlukan. Ia ialah syarat mutlak bagi kesejahteraan bumi. (AliAhmad al-Jurjawi,tt:6-7)

Lebih lanjut al-Jurjawi menuturkan, kehidupan manusia (baca: laki-laki) tidak akan rapi, hening dan menggembirakan, kecuali dikontrol dengan sebaik-baiknya. Itu mampu diwujudkan jikalau ada tangan terampil dan professional, adalah tangan-tangan lembut wanita, yang memang secara naluriah mampu mengelola rumah tangga secara baik, rapi dan masuk akal. Karena itu pernikahan disyari’atkan, kata al-Jurjawi, bukan cuma demi memakmurkan bumi, namun tak kalah penting yaitu biar kehidupan insan yang teratur dan rapi dapat tercipta. Dengan demikian kehadiran perempuan di sisi suami, lewat ijab kabul sangatlah penting. (Ali Ahmad al-Jurjawi,tt :6-7)

Menurut Mustafa al-Khin dalam ijab kabul sebenarnya terdapat pesan yang tersirat-hikmah yang agung yang dapat digali, baik secara naqliyah maupun aqliyah. Di antara hikmah-pesan yang tersirat tersebut yaitu: (Mustafa al-Khin dkk, 1987: 13d)

  • 1). Memenuhi tuntutan fitrah

Manusia diciptakan oleh Allah dengan memiliki insting untuk kepincut dengan lawan jenisnya. Laki-laki tertarik dengan perempuan dan sebaliknya. Ketertarikan dengan musuh jenis merupakan suatu fitrah yang sudah Allah letakkan pada manusia. Islam  yakni agama fitrah, sehingga  akan memenuhi  permintaan-tuntutan  fitrah;  ini bermaksud  supaya aturan Islam mampu dilakukan manusia dengan gampang dan tanpa paksaan. Oleh karena itulah, pernikahan disyari’atkan dalam Islam dengan tujuan untuk menyanggupi fitrah manusia yang condong untuk terpesona dengan lawan jenisnya. Islam tidak menghalangidan menutupi cita-cita ini, bahkan Islam melarang kehidupan para pendeta yang menolak ijab kabul ataupun bertahallul (membujang). (At-Turmuzi,tt:393III). Akan namun sebaliknya, Islam juga menghalangi cita-cita ini biar tidak melampaui batas yang dapat berakibat rusaknya tatanan penduduk dan dekadensi etika sehingga kemurnian fitrah tetap tersadar.

  • 2). Mewujudkan ketenangan jiwa dan kemantapan batin

Salah satu nasihat ijab kabul yang penting yaitu adanya ketenangan jiwa dengan terciptanya perasaan-perasaan cinta dan kasih. QS. Ar-Rum: 21 ini menerangkan bahwa begitu besar pesan tersirat yang terkandung dalam perkawinan. Dengan melaksanakan perkawinan, manusia akan mendapatkan kepuasan jasmaniah dan rohaniah. Yaitu kasih sayang, ketenangan, ketenteraman dan kebahagiaan hidup.

  • 3). Menghindari dekadensi watak

Allah sudah menganugerahi manusia dengan banyak sekali nikmat, salah satunya insting untuk melakukan hubungan seksual. Akan namun insting ini akan berakibat negative jikalau tidak diberi frame untuk membatasinya, karena nafsunya akan berusaha untuk menyanggupi insting tersebut dengan cara yang terlarang. Akibat yang muncul yakni adanya dekadensi tabiat, karena banyaknya perilaku-perilaku menyimpang seperti perzinaan, kumpul kebo dan lain-lain. Hal ini terperinci akan menghancurkan fundamen-fundamen rumah tangga dan menyebabkan aneka macam penyakit fisik dan mental. (At-Turmuzi,tt:393III)

  • 4). Mampu menciptakan wanita melaksanakan tugasnya sesuai dengan budpekerti kewanitaan yang diciptakan.

Dari uraian di atas cuma sekilas perihal pesan yang tersirat yang mampu diambil dari ijab kabul, alasannya masih banyak nasihat-nasihat lain dari akad nikah, mirip penyambung keturunan, memperluas relasi, membangun asas-asas kerjasama, dan lain-lain yang dapat kita ambil dari ayat al-Qur’an, hadis dan growth-up variable society.

  Akad Nikah Dan Perkawinan Dalam Islam

J. Pengertian Keluarga

Keluarga merupakan satuan korelasi yang sangat mendasar dalam masyarakat. Biasanya terdiri dari ibu, bapak, dengan anak-anaknya; atau orang seisi rumah yang menjadi tanggungannya. Keluarga batih lazimnya disebut keluarga inti, yakni keluarga yang terdiri atas suami, istri (suami atau istri) dan anak. (Departemen Pendidikan Nasional, 1991:413) Keluarga dalam dalam bahasa Arab dipergunakanal-usroh.  Al-usrah dalam Mu’jam al Wasit sebagaimana  dikutip Abud (1979: 2). Secara etimologis berarti ikatan (al-qayyid), dibilang asarahu wa isaran artinya menjadikannya sebagai tawanan (akhazahu asran).

Al-asru maknanya mengikat dengan tali, kemudian meluas menjadi segala sesuatu yang diikat, baik dengan tali lainnya. Terkadang ikatan ini bersifat alami yang tidak bisa ditentukan mirip dalam penciptaan manusia. Ikatan juga ada yang bersifat paksaan dan ada yang dibentuk oleh manusia mirip penawanan musuh dimedan perang. Ada pula ikatan yang bersifat opsi yang dipilih oleh insan untuk dirinya, dan bahkan diusahakannya, alasannya tanpa ikatan tersebut dirinya mampu terancam. (Agus Riyadi, 2013:103)

Pengertian tersebut, dapat diketahui bahwa keluarga tersebut atas dasar ikatan. Meski demikian ikatan
ini bersifat ikhtiari (pilihan). Sehingga bukan dipaksakan baik dirinya sendiri maupun orang lain. Oleh alasannya adalah itu, perkawinan adalah sebuah ikatan lahir maupun batin antara seorang pria dan seorang wanita selaku suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang senang atas dasar saling rela.

K. Unsur-bagian Keluarga

Unsur-unsur keluarga bisa berbeda-beda kalau dilihat dari berbagai perspektif dan berbagai pendapat, hal ini akan tergantung dari perspektif masyarakat mana yang memandang. Istilah yang lebih komprehensif keluarga itu mencakup kakek-nenek, paman-bibi, dan sepupu dari dua belah pihak ikatan akad nikah. Dalam arti luasnya, keluarga mampu dipandang sebagai unit yang bahkan lebih besar, yang serupa dengan umat, atau keluarga mukmin.

Oleh alasannya itu, komponen keluarga jika dijabarkan mencakup:

  • Ayah/bapak selaku pemimpin seluruh keluarga
  • Ibu, sebagai istri ayah, yang bertanggung jawab mengorganisir segala permasalahan keluarga khususnya pendidikan dan ekonomi keluarga. Ibu juga bertugas selaku sekretaris, bendahara sekaligus juga selaku pelaksana operasional.
  • Anak-anak, selaku anggota keluarga (baik pria maupun wanita, baik anak kandung maupun angkat/tiri).
  • Saudara (baik kerabat ayah maupun saudara ibu, yang mencakup kakek, nenek, paman, abang, adik dan lain-lain) dengan catatan tinggal dalam satu rumah.
  • Saudara lain yang tinggal serumah dan dianggap sebagai keluarga (biasanya dimasukkan dalam daftar kartu keluarga/KK).

L. Ciri-Ciri Keluarga Sakinah
Ciri keluarga sakinah sebagaimana termaktub dalam al-Qur’an surat Ar-Rum 21 adalah mengandung tiga unsur yang menjadi bangunan kehidupan sebagai tujuan perkawinan dalam Islam. Pertama, litaskunu ilaiha yang berarti sakinah, ketenangan dan ketenteraman, saling cinta dan kasih sayang, biar suami senang dan tenteram. Kewajiban istri berupaya menenangkan suami. Kedua, mawaddah atau saling mengasihi. Cinta bersifat subjektif ialah untuk kepentingan orang yang mencintai. Ketiga, rahmat adalah kasih sayang yang bersifat objektif, ialah sayang yang menjadi landasan bagi cinta. Cinta semakin usang makin besar lengan berkuasa dan mantap. Cinta hanya bisa bertahan pada ketika perkawinan masih baru dan muda, sedangkan kasih sayang yang mendominan cinta. (Agus Riyadi, 2013:104)

Selain ciri yang termaktub di dalam al-Qur’an yang disebut keluarga sakinah kalau sudah memenuhi persyaratan antara lain: kehidupan keberagaman dalam keluarga, dari segi keimanannya terhadap Allah murni (tidak melaksanakan kemusyrikan), taat kepada fatwa Allah, taat kepada Allah dan Rasulullah. Cinta terhadap Rasulullah dengan mengamalkan misi dan memperdalam maknanya, mengimani yang gaib, hari pembalasan serta mengimani qadha dan qadar. Sehingga ia berusaha untuk menciptakan yang terbaik, tabah dan tawakal mendapatkan qadar Allah.(Azis Musthafa, 2003:12)

Ciri lain mengenai keluarga sakinah adalah:

  • Kehidupan beragama dalam keluarga.
  • Mempunyai waktu untuk bersama.
  • Mempunyai acuan komunikasi yang baikbagi sesame anggota keluarga.
  • Saling menghargai satu dengan lainnya.
  • Masing-masing merasa terikat dalam ikatan keluarga sebagai kelompok.
  • Bila terjadi suatu problem dalam keluarga mampu menuntaskan secara aktual dan konstruktif.

M. Penyakit yang Menghambat Sakinah dalam Keluarga
Sudah menjadi sunnatullah dalam kehidupan, segala sesuatu mengandung bagian kasatmata dan negatif. Dalam membangun keluarga sakinah juga ada aspek yang mendukung ada faktor yang menjadi kendala. Faktor-faktor yang menjadi kendala atau penyakit yang menghalangi tumbuhnya sakinah dalam keluarga yakni:(Achmad Mubarok, 2009:150) 
1). Akidah yang keliru atau sesat, misalnya mempercayai kekuatan dukun, magic dan sebangsanya. Bimbingan dukun dan sebangsanya bukan saja menciptakan langkah hidup tidak rasional, namun juga mampu menyesatkan pada tragedi yang fatal.

2). Makanan yang tidak halalan thayyiba. Menurut hadis Nabi, sepotong daging dalam badan manusia yang berasal dari makanan haram, condong mendorong pada perbuatan yang haram juga (qith’atul lahmi minal haramahaqqu ila an nar). Semakna dengan kuliner, juga rumah, kendaraan beroda empat, busana dan lain-lainnya.

3). Kemewahan. berdasarkan al-Quran, kehancuran sebuah bangsa dimulai dengan kecenderungan hidup mewah, firman Allah QS Al-Isra’ 16:

وَاِذَاۤ اَرَدۡنَاۤ اَنۡ نُّهۡلِكَ قَرۡيَةً اَمَرۡنَا مُتۡرَفِيۡهَا فَفَسَقُوۡا فِيۡهَا فَحَقَّ عَلَيۡهَا الۡقَوۡلُ فَدَمَّرۡنٰهَا تَدۡمِيۡرًا‏

Sebaliknya kesederhanaan akan menjadi benteng kebenaran. Keluarga yang memiliki pola hidup glamor terjerumus pada keserakahan dan sikap menyimpang yang ujungnya merusak keindahan hidup berkeluarga.

4). Pergaulan yang tidak terjaga kesopanannya (dapat mendatangkan WIL dan PIL). Oleh alasannya adalah itu suami atau  istri  harus  menjauhi  “berduaan”  dengan  yang bukan muhrim, alasannya walaupun pada mulanya tidak ada maksud apa-apa atau bahkan berniat baik, namun  suasana  psikologis  “berduaan”  akan  dapat menggiring pada perselingkuhan.

5). Kebodohan. Kebodohan ada yang bersifat matematis, logis dan ada juga kebodohan sosial. Pertimbangan hidup tidak selamanya matematis dan logis, tetapi juga ada pertimbangan nalar sosial dan matematika sosial.

6). Akhlak yang rendah. Akhlak adalah keadaan batin yang menjadi aktivis tingkah laris. Orang yang kualitas batinnya rendah gampang terjerumus pada sikap rendah yang sungguh merugikan.

7). Jauh dari agama. Agama yaitu tuntutan hidup. Orang yang mematuhi agama meski tidak akil, dijamin perjalanan hidupnya tidak menyimpang terlalu jauh dari rel kebenaran. Orang yang jauh dari
agama mudah tertipu oleh sesuatu yang seolah-olah “menjanjikan” padahal imitasi. (Ahmad Mubaro, 2009: 150)

N. Keluarga Sakinah pada Masyarakat Modern

Problem paling berat membangun keluarga sakinah di tengah penduduk modern adalah dalam menghadapi penyakit “insan terbaru”. Pada zaman Nabi, pertempuran lebih bersifat fisik, tetapi pada zaman terbaru, musuh justru menyelusup ke tempat tinggal tangga lewat media komunikasi. Anak-anak sejak kecil tanpa disadari sudah dijejali dengan pemandangan dan pengalaman yang merusak lewat media komunikasi, sehingga pendidikan keluarga menjadi tidak efektif. Menurut suatu observasi yang dikutip DR. Zakiah Daradjat, perilaku manusia itu 83% dipengaruhi oleh apa saja yang dilihat, 11% oleh apa yang didengar dan 6% sisanya oleh berbagai stimulus campuran. Dalam perspektif ini maka nasehat orang tua cuma mempunyai tingkat efektifitas tinggi.(Achmad Mubarok, 2009:151)

Ada tiga bulat lingkungan yang membentuk huruf insan; keluarga, sekolah dan penduduk .
Meski ketiganya saling mempengaruhi, tetapi pendidikan keluarga paling lebih banyak didominasi pengaruhnya. Jika suatu rumah tangga sukses mambangun keluarga sakinah, maka tugas sekolah dan masyarakat menjadi tambahan. Jika tidak maka sekolah kurang efektif, dan lingkungan sosial akan sangat mayoritas dalam mewarnai keluarga. Pada masyarakat modern, efek lingkungan sangat kuat, sebab ia bukan sajaberada di luar rumah tetapi menyelusup ke dalam setiap rumah tangga, sehingga menimbulkan penyakit tersendiri, yaitu penyakit manusia terbaru. (Achmad Mubarok, 2009:151)

O. Fungsi Keluarga Sakinah

Keluarga sakinah memiliki beberapa fungsi, yaitu;

1). Fungsi Individual, diantaranya;

  • Meningkatkan derajat kemanusiaan dan ibadah Keluarga dibentuk lewat pernikahan, keluarga muslim bermula dari komitmen perkawinan. Perkawinan merupakan pernyataan asasi pembentukan keluarga. Tidak ada keluarga dalam Islam sebelum akad akad nikah. (As Mudzakir, 1987:20-22) Keluarga berfungsi sebagai fasilitas memajukan derajat kemanusiaan. Untuk memelihara diri secara perorangan kepada tindakan keji dan mungkar.(Mantep Miharso, 2004:78)
  • Memperoleh ketenangan dan ketenteraman jiwa. (QS ar-Rum:21)
  • Meneruskan keturunan.(QS an-Nisa’:1)

2). Fungsi Sosial

Keluarga ialah jiwa penduduk dan tulang punggungnya. Kesejahteraan lahir batin yang dinikmati oleh sebuah bangsa, atau sebaliknya, kebodohan dan keterbelakangan, yakni cerminan dari keluarga-keluarga yang hidup pada penduduk bangsa tersebut. (Quraisy Shihab, 2000:253)

3). Fungsi Pendidikan

Di dalam al-Alquran terdapat beberapa ayat yang berhubungan dekat dengan keluarga yang mempunyai fungsi pendidikan, yakni:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا

 وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ
وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا

Pada ayat pertama, perintah terhadap orang beriman untuk mampu melaksanakan self education dan melaksanakan pendidikan kepada anggota keluarganya untuk mentaati perintah Allah. Ayat ini lebih menekankan pada pentingnya pendidikan nilai dan adat. Sedangkan ayat kedua, merupakan perayaan kepada orangtua supaya selalu waspada untuk tidak meninggalkan keturunan yang lemah, utamanya lemah secara ekonomi. Artinya generasi muda islam mesti dibekali denga kecapakan, keterampilan lewat pendidikan sehingga mereka kelak menjadi manusia yang bermutu tinggi. 

P. Kesimpulan

Pernikahan sungguh diusulkan Allah SWT, dalam beberapa ayat disebutkan keistimewaan menikah oleh kesannya pernikahan ialah ibadah, kecintaan kita pada istri atau suami mampu mendorong kita untuk membimbingnya pada kebaikan yang menghadirkan kecintaan Allah pada keluarga kita. Adakah cinta yang lebih pantas kita inginkan dari cintanya Sang Maha Pencinta?. Nabi Muhammad saw juga menganjurkan kita dalam banyak hadits semoga menikah dan melahirkan anak. Beliau menganjurkan kita perihal hal itu dan melarang kita hidup membujang, alasannya adalah perbuatan ini menyelisihi Sunnahnya.

Terdapat banyak hikmah dalam akad nikah di antaranya adalah dapat menenteramkan jiwa, dengan begitu akan tercipta perasaan-perasaan cinta dan kasih sayang. Keluarga  yang diliputi rasa kasih sayang satu dengan yang lain akan tercipta keluarga yang sakinah mawaddah  wa  rahmah, walaupun tidak gampang untukmewujudkannya  sebab dibutuhkan rasa saling pemahaman, saling menghargai antara suami dan istri. Pernikahan yang sarat berkah ialah benteng iman yang paling kuat, dituntut keteguhan keikhlasan kita dalam mengarungi perahu yang kadang bergelombang dan berbadai.

DAFTAR PUSTAKA
A. Basit Badar Mutawally, Muhadarat fi al-Fiqh al-Muqaran  (Mesir: Dar al-Salam., 1999.).
A. W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, cet. Ke-14 (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997).
A.P. Gragtu L.L.B., You and The Law(New York: Hole Reinhart and Winston, Inc., t.t.).
Abbas Mahmud al-Aqqad, Falsafah  al-Qur’an(Mesir: Dar al-Hilal, 1985).
Abdurrahman al-Jaziri, Kitab  al-Fiqh  ala  al-Mazahib  al-Arba’ah(Kairo: Maktabah at-Tijariyah, t.t.), IV.
Abu al-‘Ainain Badran,Ahkam Az-Zawaj wa ath-thalaq fi al-Islam, Kairo: Dar al-Ta’lif, 2002.
Achmad Mubarok, Psikologi  Keluarga  (Dari  Keluarga  Hinga Keluarga  Bangsa),cet. Ke-9 (Jakarta: Wahana AksaraPrima, 2009).
Agus Riyadi, Bimbingan  Konseling  Perkawinan  (Dakwah  dalam Membentuk Keluarga Sakinah ), (Yogyakarta: Ombak 2013).
Ali Ahmad al-Jurjawi, Hikmah at-Tasyri’ wa Falsafatuhu (Beirut:Dar al-Fikr, t.t.), II: 6-7
As Mudzakir,Keluarga  Muslim  dan  Berbagai  Masalahnya,(Bandung: Penerbit Pustaka, 1987), hlm.20-22.
As-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah(Beirut: Dar al-Kitab al-Araby, 1973), II: 34-36.
At-Turmuzi, Sunan at-Turmuzi (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), III: 393,“Bab  Ma  Ja’a  fi  an-Nahyi  ‘an  at-Tabattul”.  Hadis  dari Samrah.

Azis Musthafa,Untaian Mutiara Buat Keluarga: Bekal Bagi Keluarga dalam Menapaki Kehidupan, (Yogyakarta: Mitra Pustaka:2003).
Cik Hasan Bisri, dkk., Kompilasi  Hukum  Islam  dan  Peradilan Agama: dalam Sistem Hukum Nasional,cet. Ke-2 (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999).
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Kedua), (Jakarta: Balai Pustaka, 1991).
Haifaa A. Jawad, Otentisitas  Hak-hak Perempuan : Perspektif Islam atas Kesetaraan Jender, alih bahasa Anni Hidayatun Noor dkk., cet. Ke-1 (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002)
Ibrahim M. al-Jamal, Fiqh Wanita, alih bahasa Anshori Umar (Semarang: CV. Asy-Syifa, 1986).
M. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, cet. Ke-4 (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2002).
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati,2000), hlm.
M. Quraisy Shihab, Wawasan  al-Qur’an  Tafsir  Maudhu’I  atas Pelbagai PersoalanUmat, (Bandung: Mizan, 2000). Mantep Miharso, Pendidikan  Keluarga  Qur’ani, (Yogyakarta: Safiria Insani Press, 2004).
Muhammad Abu Zahrah,Al-Ahwal asy-Syakhsiyyah, (Kairo: Daral-Fikr, 1987).
Mustafa al-Khin dkk.,Al-Fiqh al-Manhaji,(Beirut: Dar al-Qalam,1987), IV: 13.
Sayuthi Thalib,Hukum Kekeluargaan Indonesia: Berlaku bagi UmatIslam, cet. Ke-5 (Jakarta: UI Press, 1986).