close

Agama Selaku Realitas Multidimensi

                                                                     BAB I
                                                           PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Studi-studi agama remaja ini mengalami pergeseran orientasi yang jauh berbeda jika dibandingkan dengan kajian-kajian agama sebelum abad ke-19. Umumnya pengkajian agama sebelum kala ke-19 mempunyai beberapa karakteristik yang antara lain, sinkritisme, inovasi arca baru, dan untuk kepentingan misionari dipicu oleh semangat dan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga orientasi dan metodologi studi islam mengalami pergantian.
Adapun studi islam sendiri merupakan ilmu keislaman fundamental. Dengan studi ini, pemeluknya mengetahui dan memutuskan ukuran ilmu, dogma dan amal tindakan terhadap allah swt. Diketahui pula bahwa islam selaku agama yang memiliki banyak dimensi yakni mulai dari dimensi keimanan, nalar pikiran, politik ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi lingkungan hidup, dan masih banyak lagi yang lainnya. Untuk mengetahui aneka macam dimensi fatwa islam tersebut jelas membutuhkan banyak sekali pendekatan yang digali dari banyak sekali disiplin ilmu. Selama ini islam banyak diketahui dari sisi teologis dan normatif.
                                                                       Agama Sebagai Realitas Multidimensi

B. Rumusan Masalah
Dalam makalah ini semoga lebih gampang untuk diketahui maka penulis berupaya untuk menunjukkan batasan sampai mampu diketahui dengan jelas isi makalah ini sendiri secara baik dengan rumusan sebagai berikut:
  1. Apakah pemahaman studi Islam
  2. Bagaimanakah islam selaku agama yang multidimensi?
C. Tujuan Masalah
  1. Mengetahui pengertian pemahaman studi Islam
  2. Mengetahui bagaimana islam selaku agama yang multidimensi
                                                                  BAB II
                                                          PEMBAHASAN
 A. Pengertian Studi Islam
Studi Islam secara etimologis ialah terjemahan dari Bahasa Arab Dirasah Islamiyah. Sedangkan Studi Islam di barat dikenal dengan perumpamaan Islamic Studies. Maka studi Islam secara harfiah yakni kajian mengenai hal-hal yang berkaitan dengan Islam. Makna ini sangat lazim sehingga perlu ada spesifikasi pengertian terminologis perihal studi Islam dalam kajian yang sistematis dan terpadu. Dengan perkataan lain, Studi Islam yaitu perjuangan sadar dan sistematis untuk mengenali dan memhami serta membahas secara mendalam tentang seluk-beluk atau hal-hal yang bekerjasama dengan agama Islam, baik bekerjasama dengan fatwa, sejarah maupun praktik-praktik pelaksanaannya secara faktual dalam kehidupan sehari-hari, sepanjang sejarahnya.
Studi Islam diarahkan pada kajian keislaman yang mengarah pada tiga hal: 1) Islam yang bermuara pada ketundukan atau berserah diri, 2) Islam dapat dimaknai yang mengarah pada keselamatan dunia dan darul baka, alasannya fatwa Islam pada hakikatnya membimbing manusia untuk  berbuat kebajikan dan menjauhi semua larangan, 3) Islam bermuara pada kedamaian.
Usaha mempelajari agama Islam tersebut dalam kenyataannya bukan cuma dijalankan oleh  golongan umat Islam saja, melainkan juga dikerjakan oleh orang-orang di luar golongan umat Islam. Studi keislaman di golongan umat Islam sendiri tentunya sangat berlainan tujuan dam motivasinya dengan yang dilakukan oleh orang-orang di luar kalangan umat Islam. Di golongan umat Islam, studi keislaman bertujuan untuk mengetahui dan mendalami serta membahas ajaran-fatwa Islam supaya mereka dapat melaksanakan dan mengamalkannya dengan benar. Sedangkan di luar kalangan umat Islam, studi keislaman bertujuan untuk mempelajari seluk-beluk agama dan praktik-praktik keagamaan yang berlaku di golongan mat Islam, yang semata-mata sebagai ilmu pengetahuan (Islamologi). Namun sebagaimana halnya dengan ilmu-ilmu pengetahuan kebanyakan, maka ilmu wawasan perihal seluk-beluk agama dan praktik-praktik keagamaan Islam tersebut mampu dimanfaatkan atau dipakai untuk tujuan-tujuan tertentu, baik yang bersifat faktual maupun negatif.
Para andal studi keislaman di luar kelompok umat Islam tersebut diketahui dengan kaum orientalis (istisyroqy), yaitu orang-orang Barat yang menyelenggarakan studi perihal dunia Timur, tergolong di golongan dunia orang Islam. Dalam praktiknya, studi Islam yang dilaukan oleh mereka, terutama pada periode-abad permulaan mereka melaksanakan studi tentang dunia Timur, lebih mengarahkan dan menekankan pada wawasan ihwal kekurangan-kekurangandan kelemahan-kekurangan pedoman agama Islam dan praktik-praktik pemgalaman pemikiran agama Islam dalam kehidupan sehari-hari uamat Islam. Nmaun, pada masa final-simpulan ini banyak juga di antara para orientalis yang memperlihatkan persepsi-persepsi yang objektif dan bersifat ilmiah kepada Islam dan umatnya. Tentu saja pandangan-persepsi yang demikian itu kan bisa berfaedah bagi pengembangan studi-studi keislaman di golongan umat Islam sendiri.
Kenyataan sejarah memperlihatkan (utamanya sehabis periode keemasan Islam dan umat Islam sudah memasuki kala kemundurannya) bahwa pendekatan studi Islam yang mendominasi kalangan umat Islam lebih cenderung bersifat subjektif, apologi, dan doktriner, serta menutup diri kepada pendekatan yang dijalankan orang luar yang bersifat objektif dan rasional. Dengan pendekatan yang bersifat subjektif apologi dan doktriner tersebut, ajaran agama Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan hadits –yang intinya bersifat rasional dan adaptif kepada permintaan perkembangan zaman- telah berubah menjadi pedoman-ajaran yang baku dan kaku serta tabu terhadap sentuhan-sebtuhan rasional, tuntutan pergantian, dan perkembangan zaman. Bahkan kehidupan serta keagamaan serta budaya umat Islam terkesan mandek, membeku dan ketinggalan zaman. Ironisnya, keadaan yang demikian inilah yang menjadi target objek studi dari kaum orientalis dalam studi keislamannya.
B. Islam Sebagai Agama yang Multidimensi
1. Agama Sebagai Dimensi Keimanan
Kemajuan dan kemunduran suatu bangsa antara lain dapat diputuskan dengan kwalitas pendidikannya, karena pendidikan dapat memajukan derajat ilmu wawasan dan tingkah laris insan ke arah yang lebih baik. Jalaluddin Rakhmat menyatakan bahwa pendidikan ialah upaya mengganti orang dengan wawasan ihwal sikap dan perilakunya, sesuai kerangka nilai tertentu.
Ilmu pengetahuan dan perilaku yang ada pada insan akan memberikan kemashlahatan bagi dirinya dan orang lain manakala diikuti dengan keimanan kepada Allah Swt. dan bagian yang lain yang wajib diimani. Pendidikan yang terlepas dari keimanan akan menghasilkan manusia sebagai anak latih yang tidak berkhasiat bahkan merugikan aneka macam pihak.
Negara kita Indonesia sudah dilanda krisis multi dimensional yang karena pertamanya ialah krisis budpekerti. Di aneka macam daerah telah terjadi berbagai langkah-langkah kejahatan antara lain: pembunuhan, perampokan, prostitusi, dan korupsi di semua lini yang hingga saat ini masih belum mampu dihapuskan. Menurut Ahmad Tafsir terjadinya realita di negeri ini sebab kesalahan dalam pendidikan, ialah pendidikan nasional di Indonesia tidak mengarahkan manusia terhadap pendidikan keimanan dan etika mulia, tetapi lebih terarah pada penciptaan manausia Indonesia yang utuh, yang tidak jelas wujud dan kriterianya.
Islam jauh-jauh hari telah mengingatkan bahwa manusia akan dilanda kerugian yang bervariasi baik di dunia apalagi di alam baka jikalau manusia melepaskan diri dari keimanan, ‘amal shaleh, dan saling mengingatkan. Peringatan Allah Swt. terhadap insan ini terungkap dalam Q.S. al-‘Ashr: 1-3:
و العصر. ان الانسان لفي خسر. الا الذين أمنوا و عملوا الصالحات وتواصوا بالحق و تواصوا باالصبر (العصر : 1-3)
Demi kurun(1); bekerjsama manusia benar-benar berada dalam kerugian(2); kecuali orang-orang yang beriman dan melakukan amal shalih dan saling menasihati tentang kebenaran serta saling menasihati perihal keteguhan (3). Al-‘Ashr: 1-3)
Q.S. al-‘Ashr ini oleh penulis akan dijadikan titik tolak dan sandaran utama pembahasan dalam mengkaji dilema pendidikan Islam yang berdimensi keimanan. Mengenai tafsir ayat al-Qur’an surat al-‘Ashr perihal dimensi keimanan dalam pendidikan Islam dapatlah disimpulkan sebagai berikut:
  • Manusia secara menyeluruh akan mendapatkan kerugian yang beragam bila melepaskan diri dari keimanan, ‘amal shalih dan saling menasihati di antara sesama manusia perihal kebenaran dan ketekunan;
  • Manusia terdiri dari tiga komponen, adalah: jasmani, logika dan qalb (hati). Dan kawasan bersemayamnya dogma adalah hati. Selain dari itu juga hati ialah daerah bersarangnya hawa nafsu;
  • Jika hawa nafsu yang lebih mendominasi hati, maka hati cenderung menjadi keras, berpenyakakit dan tertutup untuk menerima hidayah yang pada alhasil manusia yang memiliki hati itu menerima kerugian yang beraneka ragam. Tetapi bila doktrin yang yang mendominasinya, maka ia akan mendapatkan keberuntungan;
  • Pendidikan yang dapat mengirimkan pada kemaslahatan dan kebaikan dunia-darul baka yang terpenting yakni pendidikan terhadap hati dengan keimanan, Sebab jikalau objek pendidikan cuma ditujukan terhadap logika dan jasmani akan melahirkan ilmuwan-ilmuwan, atlit-atlit dll. yang tidak beriman dan berakhlak mulia.
  • Pendidikan keimanan kepada hati mesti terwujud secara informal di lingkungan keluarga, non formal dan formal yang dituangkan dan teraflikasikan dalam semua unsur pendidikan.
2. Agama Sebagai Dimensi Akal
Para filosof menandakan adanya beragam dimensi pada diri insan. Pada tahapan pertama, mereka menunjukan adanya “dwi dimensi” yang dimiliki oleh manusia dan menjabarkan argumentasi untuk dimensi non-bahan-nya, dengan menyampaikan bahwa bahan mempunyai tiga karakteristik, pertama mengalami perubahan, kedua mampu dibagi, dan ketiga mempunyai dimensi ruang dan waktu. Jika ketiga sifat ini diperoleh pada sebuah realitas, berarti realitas tersebut adalah bahan, dan bila ketiga karakteristik materi ini tidak didapatkan pada sebuah realitas, maka realitas tersebut adalah non-materi atau metafisika. Dan karena jiwa insan sama sekali tidak memiliki ketiga karakteristik tersebut, jadi jiwa manusia merupakan suatu realitas non-materi dan metafisik.
Kaprikornus, karena apa yang dipelajari oleh jiwa pada kurun kanak-kanak secara permanen diketahuinya sampai usia lanjut, mempunyai arti apa yang diketahuinya tersebut konstan dan tidak berubah. Demikian juga dengan jiwa insan yang merupakan esensi tak berkomposisi (basith), invisible, dan tak bisa dibagi, dengan arti bahwa tidak mampu digambarkan bahwa kesempurnaan ruhani sebagaimana keberanian dan ilmu insan, mampu dibagi menjadi dua bab. Tentu saja masing-masing kesempurnaan ini memiliki tingkatan dan antara tingkatan lemah dan tingkatan besar lengan berkuasa terdapat perbedaan yang sangat terang, tingkatan ilmu dan keberanian yang lemah bukan merupakan setengah dari ilmu dan keberanian. Makara, bila segala kesempurnaan jiwa tidak bisa dibagi, maka dibilang bahwa jiwa pun mustahil terbagi.
Demikian juga jiwa manusia tidak terikat oleh ruang dan waktu, ketuaan dan pergantian hanya berkaitan dengan badan. Jiwa manusia tidak akan mengalami ketuaan, dengan demikian terbukti bahwa jiwa insan yaitu non-materi. Kaprikornus, karena jiwa insan tidak mendapatkan salah satupun dari tiga karakteristik materi di atas (ialah mengalami pergeseran, bisa dibagi, dan memiliki dimensi waktu), maka harus dikatakan bahwa jiwa merupakan sebuah realitas non-materi. Lalu para filosof Islam menilai bahwa kesatuan yang ialah dimensi non-bahan manusia tak lain adalah ruh atau jiwa insan yang mencipta seluruh daya dan kekuatan insan. Demikian pula prinsip “An-nafs fi wahdatiha kull al-quwa (jiwa dalam kesatuannya mencakup seluruh kesempatandan daya)” menerangkan ihwal poin berikut bahwa jiwa dengan kesatuan dan ke-basith-annya telah menjadikannya mempunyai seluruh potensi dan kekuatan bagi insan. Tingkatan tertinggi jiwa insan terletak pada akal dan rasionalitasnya, dimana dengan adanya logika dan rasionalitas ini bisa mengantarkannya pada kedudukan insani yang mulia dan memahami dilema-dilema tertinggi ilmiah dan makrifat.
Akal yang karena dipandang selaku sebuah sumber pengetahuan atau alat makrifat serta sekaligus berafiliasi secara pribadi dengan dimensi-dimensi teoritis dan ilmiah, maka sangat urgen untuk dibahas dan dipaparkan. Akal, meskipun mempunyai terlalu banyak perumpamaan-ungkapan khusus, secara umum mampu dibagi dalam dua realitas:
  • A ).Akal Teoritis
Akal ini, berdasarkan suatu perumpamaan, cuma terkhusus untuk memeriksa dan mengkaji masalah-problem yang bersifat teoritis, serta wilayah evaluasi dan keputusan akal ini selalu berada pada faktor-faktor “ada” (eksistensi) atau “tiada” (ketiadaan). Dalam wilayah nalar ini terdapat tiga tingkatan dan tahapan yang membentuk sebuah fatwa teoritis pada seseorang, yakni tahapan khayalan, khayal, dan indera lahiriah. Hasil-hasil yang diperoleh dari nalar ini adalah sebuah kebenaran yang berkaitan dengan masalah-kasus eksistensial atau problem-duduk perkara kewujudan. Hal-hal yang dibahas di dalamnya contohnya, pembuktian tentang wujud Tuhan, penegasan keberadaan Nabi, urgensi keberadaan alam alam baka, dan yang semacamnya. Para filosof Peripatetik (Masyain) menyetujui empat tingkatan akal, selaku berikut:
  1. Akal Primer (primary material intellect), yang cuma merupakan tingkatan kesempatanbelaka dan sama sekali belum bisa menangkap realitas universal.
  2. Akal berpeluang (potential intellect), pada tingkatan ini, akal dan asumsi manusia mampu memahami persoalan-persoalan universal yang gamblang dan aksioma, seperti pengenalan dilema-persoalan yang mampu dipahami dengan penyaksian contohnya (universal lebih besar dari partikular) dan (sesuatu yang ada lebih baik dari yang tiada) dan aksioma-aksioma sejenis ini.
  3. Akal konkret (actualized intellect), dalam tingkatan ini, dilema-problem ilmiah yang mendetail dicapai dari hal-hal yang aksioma untuk lalu melahirkan bentuk alasan, sebagaimana dikala kita mengatakan, Zaid yaitu manusia dan setiap manusia mempunyai kemampuan untuk mengerti. Jadi, Zaid memiliki kemampuan untuk memahami.
  4. Akal capaian (acquired intellect), manusia yang mencapai tingkatan ini mampu jadi dalam seratus tahun hanya ditemukan dalam jumlah yang sungguh sedikit. Pada tingkatan ini, insan telah menjadi “malaikat” non-bahan, tak satupun realitas yang tidak terang baginya, beliau mengenali semuanya, dan tak sesuatupun yang mampu memalingkan perhatiannya dari mengingat-Nya, dan beliau selaku manifestasi nama Ilahi “Ya man lâ yasyghuluhu sya’i ‘an sya’i”.
  • B. Akal Praktis
Akal ini, menurut istilahnya, hanya mengecek duduk perkara-dilema praktis, dan wilayah penilaian serta keputusannya berada pada dimensi-dimensi “keharusan” (kemestian dan kewajiban) dan “larangan” (ketidakbolehan). Hasil-hasil yang dicapai dari logika ini yaitu sebuah kebenaran yang bersifat relatif atau hal-hal yang tidak terkait langsung dengan dilema-dilema eksistensial. Ranah dan domain pembahasannya misalnya berkaitan dengan hak-hak manusia seperti hak kebebasan, hak kepemilikan, hak tinggal, dan hak-hak lainnya. Potensi-kesempatanyang berada di bawah logika praktis ini antara lain adalah syahwat dan emosi, dan lewat kedua kesempataninilah akan terbentuk banyak sekali tahapan-tahapan berlainan dari kehendak, iradah, dan cita-cita.
AlFarabi dalam definisi tentang logika ini menyampaikan, “Akal praktis yaitu akal yang dengannya seseorang mampu mengenali perihal hal-hal yang terpuji dan tercela, hal-hal yang mesti dilakukan dan yang dijauhi, dan mampu memilih rangkaian dan sistimatika segala perbuatannya. Para filosof menyepakati adanya tingkatan akal mudah, selaku berikut:
  1. Pensucian (takhliyah). Maksudnya adalah mensucikan batin dari segala tindakan dan budpekerti yang tak terpuji, mirip riba, bakhil, hasad, dan adat-budbahasa tercela lainnya serta mengikuti hawa nafsu yang menjinjing insan mendekati sifat-sifat binatang;
  2. Penghiasan (tahliyah). Artinya yakni batin seseorang yang telah suci dari akhlak-akhlak tercela, kemudian menghiasi batinnya dengan akhlak-etika yang mulia, semacam keadilan, ibadah, tabah, tawadhu’, dan sifat-sifat mulia lainnya;
  3. Fana, yang terdiri dari tiga bab, ialah:
a). Fana dalam perbuatan, bermakna bahwa seluruh gerak, membisu, dan perbuatannya terwarnai oleh perbuatan Ilahi. Seluruh perbuatan merupakan manifestasi kodrat dan tindakan Tuhan, hal ini identik dengan makna “Dan kau tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali kalau diharapkan Allah, Tuhan semesta alam.”
b). Fana dalam sifat, mempunyai arti bahwa seluruh sifat terpancar dari sifat Tuhan, dan segala yang indah, cantik, mulia, dan cerdik ialah manifestasi dari kesempurnaan Tuhan. Dalam makna “Alhamdulillah” (Segala Puji bagi Allah) dikatakan bahwa segala rasa syukur dan kebanggaan cuma milik dan untuk Tuhan;
c). Fana dalam Tuhan, memiliki arti bahwa seluruh alam merupakan murni relasi dan hubungan dari Tuhan, maka dari itu tak ada wujud yang bersifat mampu berdiri diatas kaki sendiri selain-Nya. Tingkatan ini identik dengan makna, “Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha mengetahui”
C. Akal dalam Perspektif Agama
Antara agama dan logika terdapat hubungan dua arah dimana relasi ini berada dalam bentuk yang sedemikian eratnya sehingga tidak mungkin membayangkan adanya pemisahan di antara keduanya. Makna relevansinya bisa dijabarkan dalam bentuk yang lain.
Agama dari satu segi sudah menjelaskan urgensi logika dalam dua dimensi teoritis dan praktis, misalnya dalam salah satu ayat-Nya Allah Swt berfirman, “Allah-lah yang membuat tujuh langit dan mirip itu pula bumi. Perintah Allah senantiasa turun di antara keduanya, semoga kau mengetahui bekerjsama Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan bergotong-royong ilmu Allah betul-betul mencakup segala sesuatu.” (QS. ath-Thalaq: 12)
Berdasarkan ayat ini, tujuan penciptaan seluruh langit yaitu keberilmuan seluruh manusia, dan alasannya adalah akal teoritis memegang tanggungjawab dalam anutan dan tafakkur, maka menjadi jelaslah bahwa hasil-hasil pedoman yang berangkat dari penciptaan keseluruhan langit dan alam, sangat bergantung pada nalar teoritis ini, dan insan saat meraih tujuan hakiki penciptaan alam, maka pasti dia sudah sukses memanfaatkan dan memakai secara maksimal potensi akalnya dan juga dengan perantaraan akal teoritis inilah insan akan mampu menyingkap berbagai hakikat-hakikat alam dan memperbesar luas wawasan-pengetahuan teoritisnya.
Agama di samping menyebutkan ihwal nilai penting logika, juga mengajarkan perihal arah dan alur berpikir yang benar serta metodologi yang benar dalam memilih motivasi-motivasi, memiliki arti dengan demikian, agama tidak akan meninggalkan dan melepaskan akal secara sendirian, melainkan ia akan membimbing logika untuk mendapatkan hakikat-hakikat dan wawasan-pengetetahuan dengan menerangkan berbagai tata cara dan cara-cara yang benar.
Setelah memperhatikan sebuah sisi dari suatu pedoman, menunjukkan perhatian pada arah lainnya pun merupakan sebuah hal yang sangat penting dan berharga. Pada sisi ini, nilai-nilai akal dan ajaran tersebut sudah dikenali melalui argumen-argumen yang kokoh dari sudut pandang agama. Penegasan nilaia-nilai ini akan terbukti dengan memperhatikan empat hal berikut ini:
  1. Tolok ukur dan ruang lingkup syariat adalah hukum Tuhan
  2. Satu-satunya sumber aturan Tuhan yakni keinginanTuhan
  3. Dalil-dalil syar’i hanyalah penyingkap dari kehendak Tuhan
  4. Dalil-dalil syar’i terbagi dalam dua kelompok adalah aqli (rasio dan akal) dan naqli (teks-teks keagamaan), dan yang dimaksud dengan dalil naqli (tekstual) ialah kitab suci atau sunnah Nabi dan sunnah para Imam Ahlulbait Nabi.
Konklusi yang bisa diambil dari keempat poin di atas adalah bahwa logika sebagaimana halnya teks-teks keagamaan seperti kitab suci dan hadis-hadis (baik yang diriwayatkan secara tunggal maupun mutawatir), ijma’ para ulama, dan yang sejenisnya- juga mempunyai keistimewaan dan berperan selaku hujjah, dalil, penjelas, dan penyingkap dari kehendak dan aturan Tuhan. Oleh alasannya adalah itu, nalar murni juga ialah hujjah Tuhan dan sepadan dengan teks-teks agama yang asli. Dengan demikian, logika sama sekali tidak memiliki perbedaan sedikitpun dengan dalil-dalil syar’i lainnya.
Demikian juga menjadi jelaslah bahwa logika tidaklah bertolak belakang dan berlawanan dengan agama serta tidak terpisah dari agama itu sendiri. Bahkan inti, pesan, dan kandungan anutan agama itu sendiri yaitu dibentuk oleh nilai-nilai aqli (rasional dan akal) dan naqli (teks-teks agama). Makara yang kadang-kadang bertentangan dan bertolak belakang secara lahiriah yaitu nalar dan teks-teks suci agama, bukan nalar dan agama.
Dengan kata lain, sebagaimana halnya teks-teks yang otentik dan valid ialah hujjah Tuhan, maka logika murni pun ialah hujjah Tuhan, dan kandungan yang berada di dalamnya –dalam bentuk apapun itu– baik kandungannya yang berupa hukum-aturan fikih dan rukun-rukun keimanan (mulai dari konsep ketuhanan, keadilan Tuhan, kenabian, Imamah, dan eskatologi) adalah tidak mempunyai perbedaan sama sekali dengan kandungan-kandungan yang bersumber pribadi dari teks-teks suci agama. Oleh alasannya adalah itu, dalam semua problem keagamaan, hukum-hukum yang terambil dari teks-teks hadits dan al-Alquran yakni tidak berlawanan dengan hasil-hasil yang diperoleh dari argumentasi nalar. Beberapa poin penting :
  1. Posisi logika ialah berhadapan dengan teks-teks suci agama (naqli), bukan berhadapan dengan agama itu sendiri. Dan ialah suatu tindakan yang tidak benar bila kita menghadap-hadapkan akal dengan syariat (baca:agama). Jadi yang sempurna dan yang benar yaitu agama itu terbagi dalam dua kalangan, argumen logika (aqli) dan teks-teks suci (naqli)
  2. Keabsahan dan validitas logika memiliki syarat, sebagaimana halnya hujjiyah dan validitas teks-teks suci agama
  3. Akal tidak sama dengan qiyas (baca: qiyas dalam aturan fikih), alasannya nalar ialah hujjah sedangkan qiyas bukanlah hujjah.
3. Agama Sebagai Dimensi Dimensi Ekonomi, Poliik, dan Sosial Budaya
Dimensi ekonomi yaitu salah satu faktor  yang mampu menyokong keberhasilan pembangunan yang berwawasan lingkungan. Dimensi ekomnomi ini harus diamati secara serius semoga terciptanya pembangunan secara berkesinambungan. Dalam hal ini tindakan eksploitasi secara besar-besaran menjadi masalah pokok yang sungguh urgent. Banyak dari para pemilik modal kurang memperhatikan faktor ini sehingga SDA yang ada tidak dapat dimampaatkan dikemudian hari. Hal tersebut diakibatkan dari desain aturan lingkungan klasik yang menjungjung tinggi eksploitasi secara besar-besarn unutk mendaptkan hasi semaksimal munkin dengan waktu yang sesingkat-sigkatnya.  Akibat dari hal tersebut banyak kerugian yang mampu kita rasakan, banjir, longsor, kebakaran hutan, dan kerugian Financial bagi generasi kita kedepan akan mereka rasakan.  Dimensi ekonomi ini mengharuskan para pemilik modal merogoh kocek yang cukup dalam untuk keberlansungan usaha mereka dan kelestarian alam sekitar. Dalam gosip yang diangkut di media online tesebut dapat kita pahami ancaman yang mampu dicicipi dikemudian hari. Hal tesebut mampu dicegah asalkan para pemilik modal mengeluarkn kocek lebih untuk penanaman pohon, atau pembaharuan lahan dan ganti rugi dari setiap bencana alam yang mereka ciptakan. Selain bencana alam dapat diminimalkan, generasi bangsa dapat pula memampaatkan SDA yang ada dan perlu diingat yang semestinya mendapakan untung sebesar-besarnya adalah kita bukan mereka atau ia, hal terseut selaras dengan desain Pembangunan Berkelanjutan yang Berwawasan Lingkungan dan UUD Pasal 33 ayat 3&4.
Hal terebut akan lebih asik kalau disokong dimensi politik yang jujur dan sesuai hukum. Dimensi politik yaitu tata cara ataupun hukum main untuk pembangunan itu sendiri. Artinya hal ini menyangkut dengan regulasi dan kebijakan pemerintah yang dalam hal ini selaku warga indoesia yang pro-indoesia pula. Jika dilihat dari pemahaman yang tercantum di handout kedua lembaga ini menyebutkan bahwa dimensi politik yakni “yang mencangkup proses politik yang memilih tampilan dan sosok pembangunan, pertumbuhan penduduk, dan degradasi lingkungan pada suatu negara. Dimensi ini juga termasuk peranan distributor masyarakat, struktur sosial dan pengaruhnya terhadap lingkungan.” Dalam pngertian tersebut kita dapat menyimpulkan bahwa proses politik yang memilih penampilan dan sosok pembangunan, perkembangan penduduk, dan degradasi lingkungan pada sebuah negara tersebut bersangkutan dengan pengaturan pembangunan itu sendiri, baik rtumbuhan penduduk, dan sangsi tegas terhadap pemerosotan ataupun pemunduran kualitas lingkungan pada suatu negara yng dikibatka oleh tida teraturnya pembangunan. Kaprikornus dengan adanya aturan ini, setiap pembangunan harulah memenuhi patokan dan syarat-syarat yang telah ditentukan semoga terciptanya Pembangunan Berkelanjutan yang Berwawasan Lingkungan. hal ini dirasa sudah sungguh ideal, akan namun disetiap dimensi yang ada, selalu saja terselip beberapa masalah yang malah menghambat Pembangunan berwawasan lingkungan ini berjalan mirip dengan yang diharapkan. Yang menjadi problem dalam dimensi ini yakni tidak tegasnya hukum yang ada, sehingga setiap pasal yang ada cuma menjadi perhiasan UUD saja. Mungkin para pembuat kebijakan malu terhadap Pasal 1 ayat 3 yang menyebutan negara Indonesia yaitu negara hokum yang artinya hidup di indonesia itu mesti ada hukum mainya.
Lanjut, contoh perkara dimensi politik ini ialah pembuatan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, hal ini salah satu bab dari dimensi ini. Dengan demikian aturan ini merupakan sarana teknis yang dipergunakan untuk memperkirakan efek negatif dan positif yang mau ditimbulkan oleh suatu aktivitas yang dijadwalkan terhadap lingkungan hidup. Dengan dilaksanakannya UU ini, maka pengambilan keputusan terhadap planning sebuah aktivitas telah didasarkan terhadap pertimbangan faktor ekologis.
Terakhir, kedua dimensi tersebut akan lebih tepat jikalau dimensi dimensi sosial dan budaya turut berkontribusi dalam pembangunan berwawasan linkgkungan. Dimensi ini megahrapkan adanya penggabungan antara tradisi atau sejarah, dominasi ilmu pengetahuan barat, serta pola ajaran dan tradisi agama. Artinya manusia sebagai subjek sekaligus objek pembangunan, harus dapat melaksanakan hal tersebut. Contoh penambangan pasir di kec. Cikalong Kab. Tasikmalaya, dengan adanya mesin pengeruk pasir dan penyaring pasir yang katanya produksi jerman, aktivitas usaha penambangan pasir tersebut lebih meminimalisir waktu dan didesa tersebut letak penambangan pasir jauh dari lokasi pemukiman warga da yang lebih mutakhir lagi mereka memiliki jam kerja yang tidak mengusik aktivas agama para pekerjanya.

                                                                      BAB III
                                                               KESIMPULAN
Manusia secara menyeluruh akan menerima kerugian yang beragam kalau melepaskan diri dari keimanan, ‘amal shalih dan saling menasihati di antara sesama manusia mengenai kebenaran dan ketabahan. Manusia berisikan tiga komponen, ialah: jasmani, logika dan qalb (hati). Dan tempat bersemayamnya keyakinan ialah hati. Selain dari itu juga hati ialah tempat bersarangnya hawa nafsu. Pendidikan yang dapat mengantarkan pada kemaslahatan dan kebaikan dunia – darul baka yang paling penting ialah pendidikan terhadap hati dengan keimanan, Sebab kalau objek pendidikan cuma ditujukan kepada akal dan jasmani akan melahirkan ilmuwan-ilmuwan, atlit-atlit dll. yang tidak beriman dan berakhlak mulia.
Antara agama dan logika terdapat relasi dua arah dimana hubungan ini berada dalam bentuk yang sedemikian eratnya sehingga tidak mungkin membayangkan adanya pemisahan di antara keduanya. Makna hubungannya bisa dijabarkan dalam bentuk lainnya.
Akal sebagaimana halnya teks-teks keagamaan mirip kitab suci dan hadis-hadis (baik yang diriwayatkan secara tunggal maupun mutawatir), ijma’ para ulama, dan yang sejenisnya- juga memiliki keutamaan dan berperan sebagai hujjah, dalil, penjelas, dan penyingkap dari keinginandan aturan Tuhan. Oleh alasannya itu, logika murni juga ialah hujjah Tuhan dan sebanding dengan teks-teks agama yang asli. Dengan demikian, akal sama sekali tidak memiliki perbedaan sedikitpun dengan dalil-dalil syar’i yang lain (baca: teks-teks suci agama).
Dimensi sosial dan budaya turut berkontribusi dalam pembangunan berwawasan linkgkungan. Dimensi ini megaharapkan adanya penggabungan antara tradisi atau sejarah, dominasi ilmu wawasan barat, serta contoh anutan dan tradisi agama. Artinya insan sebagai subjek sekaligus objek pembangunan, mesti dapat melakukan hal tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Muhaimin, et.al. Kawasan dan Wawasan Studi Islam, (Jakarta: Kencana, 2005)
M. Nurhakim, Metode Studi Islam, (Malang:Universitas Muhammadiyah Malang, 2004)
Yusuf, Mundzirin dkk. Islam dan Budaya Lokal. (Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2005).
Rakhmat, Jalaluddin, Islam Alternatif Ceramah-ceramah di Kampus, (Bandung: Mizan, 2003).
Tafsir Ahmad,  Pendidikan Keimanan sebagai Core Sistem Pendidikan (Upaya Strategis Menyelamatkan Bangsa, (dalam Ta’dib Jurnal Pendidikan Islam, Volume 1, nomor 2, Agustus 2001)
Rujuk kitab: Syarh Manzumah Sabzewari.
Qs. At-Takwir: 29.
Qs. Al-Baqarah: 115.
[1] Muhaimin, et.al. Kawasan dan Wawasan Studi Islam, (Jakarta: Kencana, 2005), hlm. 2
[2] M. Nurhakim, Metode Studi Islam, (Malang:Universitas Muhammadiyah Malang, 2004), hlm. 13
[3] Yusuf, Mundzirin dkk. Islam dan Budaya Lokal. (Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2005).
[4] Rakhmat, Jalaluddin, Islam Alternatif Ceramah-ceramah di Kampus, (Bandung: Mizan, 2003), hlm. 114.
[5] Tafsir Ahmad,  Pendidikan Keimanan selaku Core Sistem Pendidikan (Upaya Strategis Menyelamatkan Bangsa, (dalam Ta’dib Jurnal Pendidikan Islam, Volume 1, nomor 2, Agustus 2001), hlm. 131.
[6] Untuk gosip lebih lanjut, rujuk kitab: Syarh Manzumah Sabzewari, hal. 282 dan hal. 311.
[7] Rujuklah: Syarh Manzumah Sabzewari, hal. 307.
[8] Rujuklah: Ibid, hal. 305.
[9] Qs. At-Takwir: 29.
[10] Qs. Al-Baqarah: 115.
[11] Rujuk pula: Syarh Manzumah, Sabzewari, hal. 309