Agama Baru Penemu Dompet | Cerpen Ken Hanggara


Oleh: Ken Hanggara


Sebuah dompet tergeletak di akrab selokan, berisi uang jutaan rupiah & beberapa lembar goresan pena asing. Aku tak tahu siapa pemilik dompet ini, namun kukira ia insan senang memberi & tak menimbang-nimbang soal dunia. Salah satu goresan pena itu berbunyi: boleh ambil sesuka Anda, namun jangan semua, & kembalikan dompet itu ke kawasan di mana Anda menemukannya.

Memang asing, tetapi lantaran dompet ini konkret, bukan gaib, & berisi pecahan duit seratus ribu dlm jumlah sedemikian banyak, diam-membisu gue menepi & mengusut lebih teliti. Sudah pasti, yg dimaksud ambil oleh tulisan itu tak lain yakni duit. Jadi, gue boleh ambil berapa pun, namun setelah itu harus meletakkan dompet itu kembali?

Jalanan ini sepi. Jam segini siang, biasanya bus-bus dr luar kota melintas & tak ada apa pun selain debu. Sesekali mungkin pedagang es tua yg memikul dagangannya sambil menggoyang-goyang lonceng ciri khas dgn gerakan pilu & kepasrahan total, atau mungkin penjual keset welcome yg berteriak putus asa menjajakan dagangannya, “Keset murah, keset murah!”

Tapi, tak ada penjual es, pedagang keset, terlebih penjual kacang goreng!

Kalau Jon ada di sini, ia sudah menyerbu, “Cek KTP-nya!” Jon terlalu munafik. Ia temanku kuliah & sekarang hidup mapan berkat usahanya yg konon berkah. Dasar munafik.

Di dompet ini tak ada KTP sesudah kuperiksa dgn cermat. Aku tak berharap menemukannya beberapa menit ke depan, karena terselip atau tak sengaja jatuh keluar. Aku berharap tak ada KTP apa pun selamanya, yg tak membuatku merasa berdosa, pula terbayang wajah malang si empunya dompet.

Lagi pula, dompet ini mirip sengaja diletakkan di tengah jalan. Setiap orang yg lewat, sudah pasti segera tahu & mengambilnya, kecuali ia rabun jauh; mungkin ini dompet dikira sepotong kayu tak memiliki kegunaan. Dompet ini pula seperti belum usang dibeli & terbuat dr kulit mutu terbaik. Pasti harganya tak murah.

“Ini terperinci dompet orang kaya. Dan terang pula penduduknya sengaja biar dompetnya ini diketemukan seseorang. Tidak ada orang miskin beli dompet berbahan dasar kulit cantik begini, kemudian menaruhnya sembarang pilih di tengah jalan. Lagian, uang segini pula sayang dibuang-buang. Gila apa, ninggal duit segini di tengah jalan? Kalau gue sih ogah!”

  Kisah Seekor Ayam | Cerpen Dadang Ari Murtano

Aku menoleh kiri-kanan. Karena tak ada seorang pun, kuintip dompet itu & menawan keluar seluruh lembar seratus ribuan. Entah berapa juta, yg jelas cukup untuk bayar utang, bayar listrik, & pastinya beli susu anakku. Aku pula bisa beli baju gres & pergi ke daerah pelacuran, menghibur diri alasannya istri sudah muak & bosan dgn bau tubuhku & ia berjanji tak sudi melayaniku hingga mati. “Cari saja, perempuan mana sudi sama kau, dasar kere!” katanya tempo hari. Benar-benar biadab.

Kubayangkan gue bawa semua duit dlm dompet ini, mengabaikan pesan tak penting di kertas tadi, lalu hidupku berubah. Istri sakit hati & gue senang melihatnya sakit hati. Mungkin bahagiaku cuma sementara, lantaran uangnya tak bakal awet, tetapi paling tak gue tak perlu menderita selama beberapa ahad ke depan.

Akan namun, gagasan menaruh dompet yg ajaib, yg mungkin dijalankan orang kaya kelebihan uang, membuatku curiga di sini dipasang beberapa CCTV. Aku menoleh lagi ke kiri-kanan. Beberapa batang pohon yg bangkit terlihat kering merana. Ada pula tembok lusuh kuburan. Setiap sudut kuperhatikan betul, karena mataku begitu tajam & awas.

Tidak ada kamera.

Beberapa helai kertas lain, yg pula berisi goresan pena aneh & belum sempat kubaca, jatuh beterbangan ke tanah. Aku terlalu besar hati & gemetar memegang duit sebanyak ini & hampir membawanya pulang, jadi lupa membaca tulisan-goresan pena sisanya. Dengan secepatnya kupungut beberapa kertas yg masih bisa kuselamatkan, lantaran sisanya telanjur masuk selokan & hanyut.

Jangan rakus. Bagi-bagi bila Anda dapat rezeki, suara goresan pena kedua membuatku sebal. Ia, siapa saja, yg menaruh dompet begini rupa dgn cara memuakkan macam ini, niscaya bakal kugebuk kepalanya dgn kerikil bata berkali-kali kalau kini ada di sini, biar mati sekalian. Kalau niatnya memberi rezeki dgn meninggalkan dompet ini ke jalanan, kenapa harus menyuruhku bagi-bagi?

Tulisan-goresan pena berikutnya sengaja tak kubaca & kubakar pribadi dikala itu pula di dekat selokan. Kuambil korek & kusulut tanpa mencermati beberapa kalimat lain yg tampaknya ditulis dgn pulpen mahal. Garis tulisannya begitu berpengaruh & rapi & tentu saja penuh misteri.

  Air Keramat | Cerpen Zaenal Radar T

Aku tak tahu di luar sana ada orang kaya bersikap seaneh ini, meninggalkan hal yg umumdijaga & nomor satu dlm pengawasan tatkala orang sedang bepergian. Di luar sana, barangkali tak cuma tumbuh orang-orang sinting gara-gara kekurangan duit, tetapi pula mereka yg tak tahu bagaimana menghabiskan hartanya. Kubayangkan, ia, semua orang itu, niscaya meninggalkan dompet-dompet lain di jalanan lain. Aku berdoa saja, moga-moga sebuah dikala mendapatkan lagi dompet dr gemar memberi misterius ini.

Jadi, keputusanku sudah bundar: kubawa semua duit dlm dompet itu & dompet elok pastilah masih laku dijual. Biar dompet itu untuk orang mujur setelah saya. Ia bisa menjualnya ke toko & mendapat keuntungan. Orang itu cuma perlu sedikit upaya, semoga tak kentara dompetnya pernah bergeletakan di jalanan kotor.

Jalan masih sepi tatkala seluruh uang berpindah ke jaketku. Masih tak ada penjual es, pedagang keset, atau bahkan penjual burung hias sekalipun. Orang sudah telanjur telat menganggapku tak bermoral gara-gara melihatku mengambil apa yg bukan hakku dr dompet yg tak terang pemiliknya di tengah jalan.

Jon niscaya menegurku jikalau tahu. Ia tak bakal peduli meski kuberitahu betapa si pemilik mengizinkanku mengambil sebagian duit. Sayangnya, bukti itu sudah kubakar, namun berkat ini, nanti bisa kukatakan, sambil berusaha terlihat jujur bahwa, “Pemiliknya memberi izin membawa semua uangnya!”

Jon boleh protes & berkata gue masuk neraka lantaran serakah & makan duit yg bukan milikku. Ia pula boleh berkata, “Bisnisku berkah & ananda harus ikuti apa yg kulakukan. Kuberi modal & ananda tinggal jalan.” Si pendek itu tahu apa sih? Aku sudah usaha sejak kuliah & gagal melulu, sampai istriku yg dahulu cinta setengah mati, kini benci setengah mampus.

Beberapa minggu lagi gue bebas dr bekerja serabutan & mungkin bakal betah di rumah pelacuran selama beberapa malam. Aku akan bayar mereka untuk kencan yg paling istimewa & biarlah istriku cemburu. Aku pula bisa beli beberapa baju elok, & setelahnya berkelana ke banyak jalanan lain demi mendapatkan dompet kedua milik sosok gemar memberi tetapi nyentrik.

  Sepotong Tulang dengan Daging Kering yang Menempel Disisinya | Cerpen Supartika

Tapi, sampai beberapa minggu kemudian, setelah duit itu habis kupakai, gue tak lagi mendapatkan dompet yg digeletakkan di jalanan. Aku bahkan menjajal berkhayal bahwa suatu tatkala Tuhan menjatuhkan rezeki-Nya berbentukdompet berisi jutaan rupiah dr langit sana untukku sebanyak beberapa buah dompet. Aku akan berjaya & tak perlu melakukan pekerjaan , serta bisa bersenang-senang setiap hari.

Saking terobsesinya pada upaya mendapatkan dompet di jalanan, gue menyaksikan semua orang menyembunyikan dompet yg bukan miliknya di saku celana mereka. Aku pula melihat seakan semua orang tidak ingin ketahuan betapa ia pula bejat & munafik. Jon mungkin begitu. Mungkin ia sering memperoleh dompet & membawa semua duit di dalamnya. Mana bisa orang kurang pandai & pendek itu lebih sukses & kaya dariku? Dulu saat kami muda, gue lebih unggul darinya dr segi apa pun.

Jadi, gue yakin semua orang kaya pastilah para pencari dompet sepertiku. Buktinya terang; mereka tampak tak pernah sukar payah & hanya sedikit berkeringat, padahal duit yg keluar dr kantung mereka setiap harinya tak tanggung-tanggung. Beli apa pun, oke. Sewa apa saja, no masalah. Benar-benar sinting.

Kukira tak ada sumber uang sebaik dompet dr sosok misterius nan nyentrik itu. Dan pasti, Tuhan memberinya mukjizat, sehingga ia bisa menerima banyak uang tanpa bekerja & cukup menebar dompet kulit bermutu di jalanan. Itu saja pekerjaannya: menebar dompet dgn aneka macam goresan pena yg ditera dgn pena khusus sehingga tatkala Anda membacanya, Anda merasa diisap oleh kekuatan aneh. Pantas, si penebar dompet rela uangnya diambil semua orang, karena ia nabi terakhir. Nabi yg entah siapa, yg kelak di kemudian hari membuat agama gres. Agama pemuja duit. (*)

Gempol, 8 April 2016

Ken Hanggara lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, & esai. Karya-karyanya terbit di aneka macam media setempat & nasional.