Peluang Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi Dan Pendidikan Berorientasi Kecakapan Hidup
1. Pendahuluan
Pendidikan sebagai sumber daya insani sepatutnyalah mendapat perhatian secara terus menerus dalam upaya peningkatan mutunya. Peningkatan kualitas pendidikan berarti pula kenaikan kualitas sumber daya manusia (SDM), oleh alasannya manusia ialah produk pertama dan utama pendidikan itu sendiri. Peningkatan kualitas SDM merupakan cerminan keberhasilan sebuah bangsa dalam mengembangkan peradaban manusia. Kualitas pendidikan sungguh memilih survival suatu bangsa. Namun, di balik itu pendidikan ialah suatu acara rekayasa insan. Oleh alasannya itu, manusia juga yang memilih kesuksesan pendidikan itu sendiri demi keberhasilan insan itu juga.
Keabsahan dalam mempersoalkan pendidikan didukung oleh nalar berpikir insan. Manusia dalam hidupnya dilingkungi oleh perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) yang makin mutakhir yang mau menuntut akal berpikir mesti diarahkan ke sana. Manusia sebagai pengguna sekaligus pengembang IPTEK mau tidak mau harus bisa mengikuti keadaan, beraktivitas, dan berkreativitas di dalamnya. Dalam lingkup inilah terlihat pentingnya pendidikan insan dan penduduk yang berkualitas. Kreativitas, kompetensi, dan keunggulan insan dapat dikembangkan melalui pendidikan, dan pendidikan yang hendak bisa meredam cacat dan kelemahan insan itu sendiri.
Mungkin telah disadari oleh sebagian besar masyarakat, bahwa praktek-praktek pendidikan di Indonesia tidak terlepas dari aneka macam kendala. Kendala-kendala tersebut antara lain, penghargaan kepada praktisi pendidikan terlalu rendah, kurang adanya pemberdayaan sumber daya praktisi dan teoretisi pendidikan, permintaan kurikulum yang berlebihan, kurangnya penguasaan para praktisi pendidikan kepada tugas yang menjadi tanggung jawabnya, kurang adanya sosialisasi penilaian kurikulum yang berlaku selama ini, dan lemahnya tata cara pengawasan. Kendala-kendala tersebut condong bermuara pada proses pendidikan dengan versi esensialis dan behavioristik yang terimplementasikan dalam bentuk pengajaran linier yang fasif, versi ceramah dan instruksi, mekanistik, drill, pembelajaran lebih berorientasi pada EBTANAS, dan interaksi yang kurang harmonis antara sekolah dan realitas sosial. Kendala yang terakhir ini mengindikasikan sistem pendidikan yang kurang baik, sebab menurut Abdul Malik Fadjar (Kompas 15/9, 2001) bahwa metode pendidikan yang bagus mesti bisa membangun sistem komunikasi antar semua unsur pendidikan.
Patut diduga bahwa, hasil-hasil pendidikan dengan versi tersebut kurang mendukung pembangunan SDM dan IPTEK, kurang mendukung pembangunan SDM yang bermoral dan berketerampilan, tidak mampu mempertahankan hasil-hasil pembangunan yang sudah diraih yang hasilnya bermuara pada krisis ekonomi, tidak bisa bersaing dalam pasar kerja global, sukar dalam pencapaian demokratisasi pendidikan, kurang mengantisipasi lulusan sekolah menengah yang tidak mampu melanjutkan ke perguruan tinggi untuk siap kerja.
Untuk menanggulangi kesenjangan-kesenjangan tersebut, pemerintah lewat GBHN 1999 mengisyaratkan perlunya pembaharuan tata cara pendidikan tergolong pergantian kurikulum. Untuk menjawab himbauan GBHN 1999 tersebut, maka disangka perubahan kurikulum yang cocok yakni Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dengan gagasan pengembangan Pendidikan Kecakapan Hidup (PKH). Perubahan kurikulum sungguh penting dalam upaya mengembangkan pendidikan. Pentingnya pergeseran tersebut sesuai dengan pernyataan Abdul Malik Fadjar bahwa dalam pendidikan, terdapat empat hal yang harus tampak (1) pertumbuhan, (2) pergantian, (3) pembaharuan, dan (4) kontinuitas (Kompas 15/9, 2001). Namun, pergantian tersebut hendaknya diikuti oleh acuan pikir para praktisi dan teoretisi pendidikan kepada rancangan mencar ilmu. Costa (1999) menyatakan bahwa changing curriculum means changing your mind. Sedangkan gagasan pendidikan berorientasi kecakapan hidup didorong oleh argumentasi bahwa hanya 30% siswa lulusan SD, SLTP, dan SLTA yang alhasil terus melanjutkan ke Perguruan Tinggi (Kompas 17/9, 2001).
Perubahan kurikulum bermakna pula perubahan menuju arah gres pembelajaran dan penilaian proses dan hasil berguru. Pembelajaran dan penilaian dalam KBK dan PKH hendaknya berorientasi pada pengembangan kompetensi dan kecakapan hidup seseorang. Oleh karena itu, artikel ini memusatkan perhatian pada pembahasan wacana konsep-rancangan kompetensi, kecakapan hidup, pembelajaran, evaluasi, dan potensi implementasinya dalam tata cara pendidikan Indonesia. Bahasan tersebut dibutuhkan pula dapat memprediksi kemungkinan hambatan-kendala yang ada.
2. Pengertian Kompetensi
Kompetensi sering disebut sebagai tolok ukur kompetensi, ialah kesanggupan yang secara umum harus dikuasai oleh para lulusan. Dalam pembelajaran, definisi tersebut secara tidak langsung menyatakan bahwa penilaian hasil belajar haruslah memenuhi kompetensi dan tolok ukur tertentu. Kompetensi dan persyaratan ialah dua desain yang saling berkaitan satu sama lain. Keterkaitan antara kompetensi dan tolok ukur mampu dianalisis lewat definisi yang dikemukakan oleh Burke (1995), adalah A competency is being to perform whole work roles to the standards expected in employment in real working environment, while standards are the means by which the versi of competence is specified in the current occupational context. Berdasarkan definisi tersebut, terdapat tiga kriteria kompetensi, (1) dapat melaksanakan keseluruhan peran-tugas dari suatu pekerjaan, (2) sesuai dengan patokan yang dibutuhkan dalam pekerjaan, (3) dalam lingkungan pekerjaan yang bekerjsama. Sedangkan standar ialah suatu alat dengan mana suatu versi kompetensi ditentukan dalam konteks pekerjaan yang sedang berlangsung.
Spencer dan Spencer (1993) mengklasifikasi kompetensi menjadi tiga bagian, (1) karakteristik dasar, (2) hubungan alasannya balasan, dan (3) acuan persyaratan.
Karakteristik dasar yakni kompetensi selaku bagian dari kepribadian individu dan dapat memprediksi prilaku dalam berbagai situasi dan peran. Pernyataan ini sesuai dengan definisi yang dikemukakan oleh Marshall (dalam Santyasa, 2003(a)), A competency is an underlying characteristic of a person which enables them to deliver superior performance in a given job, role, or situation. Karakteristik dasar kompetensi dapat digolongkan atas lima tipe. (1) motif, ialah dorongan individu secara konsisten dalam melaksanakan langkah-langkah. Siswa yang mempunyai motivasi berprestasi secara konsisten berbagi tujuan belajar yang menantang dan bertanggungjawab untuk meraih tujuan serta mengharapkan umpan balik untuk upaya perbaikan. (2) Sifat/adab, yaitu karakteristik fisik dan tanggapanyang konsisten kepada suasana atau info tertentu. Sikap percaya diri, mampu melaksanakan kontrol diri, dan memiliki ketahanan kepada depresi ialah acuan-contoh tipe kompetensi ini. (3) Kosep diri, yakni nilai-nilai sikap atau citra diri yang dimiliki oleh individu. Siwa yang memiliki kemampuan untuk yakin diri relatif lebih sukses dalam berguru. (4) Pengetahuan, adalah isu yang dimiliki oleh individu. Pengetahuan termasuk kompetensi yang kompleks. (5) Keterampilan, ialah kesanggupan untuk melakukan tugas secara fisik atau mental.
Dari lima tipe karakteristik dasar kompetensi tersebut, kompetensi pengetahuan dan keahlian mampu tampak lebih aktual, sedangkan konsep diri, sifat, dan motif bersifat lebih tersembunyi dan berada pada pusat keperibadian individu. Kompetensi pengetahuan dan keahlian relatif lebih mudah dikembangkan dalam pembelajaran, sedangkan rancangan diri, sifat, dan motif relatif lebih susah dikembangkan sekaligus dinilai, sehingga memerlukan waktu relatif lebih usang dalam proses pengembangannya.
Hubungan alasannya akhir adalah kompetensi yang menyebabkan dan memprediksi prilaku dan kinerja. Secara prosedural, kompetensi ini dimulai dengan tujuan tindakan hasil. Tujuan tercermin dari karakteristik langsung, langkah-langkah terefleksi lewat prilaku, dan hasil ditunjukkan lewat kinerja. Karakteristik eksklusif terdiri dari motif, sifat/budpekerti, rancangan diri, dan wawasan. Kompetensi yang berisikan motif, sifat/susila, dan rancangan diri dapat memprediksi tindakan prilaku yang pada balasannya dapat memprediksi hasil kinerja. Kompetensi selalu mengandung maksud dan tujuan yang ialah dorongan motif yang menyebabkan timbulnya langkah-langkah untuk meraih sebuah hasil. Makara prilaku tanpa tujuan tidak dapat didefinisikan sebagai kompetensi.
Acuan tolok ukur adalah kompetensi paling kritis yang dapat membedakan kompetensi dengan kinerja tinggi atau rata-rata. Kriteria yang dipakai dalam kompetensi ialah (1) kinerja superior, yakni suatu kinerja yang secara statistik berada di atas kinerja rata-rata, (2) kinerja efektif, yaitu kinerja yang secara statistik berada pada tingkatan minimal yang dapat diterima.
Berdasarkan pengeratian dan model kompetensi tersebut, kompetensi dapat dibedakan menjadi dua kategori, (1) kompetensi dasar, yaitu karakteristik esensial seperti pengetahuan dan keterampilan dasar yang harus dimiliki lulusan biar dapat melakukan pekerjaan, (2) kompetensi pembeda, ialah aspek-faktor yang membedakan individu dengan kinerja tinggi dan rendah. Misalnya, kompetensi siswa yang memiliki motivasi berprestasi tinggi mampu menetapkan target yang melampaui kinerja rata-rata yang ditetapkan.
Amstrong (1999) mendefinisikan kompeten (competence) dan kompetensi (competency) secara berbeda. Kompeten menyatakan apa yang diperlukan oleh individu untuk melaksanakan pekerjaan dengan baik, sedangkan kompetensi menyatakan bagaimana melakukan pekerjaan. Kompeten menekankan pada hasil dan konsentrasi pada output, sedangkan kompetensi menekankan pada upaya dan konsentrasi pada input dan process. Kompetensi mengacu pada dimensi prilaku yang mendukung kinerja. Amstrong membagi kompetensi menjadi tiga jenjang (1) Kompetensi inti, yaitu kompetensi yang dipraktekkan dalam pembelajaran secara keseluruhan. Kompetensi ini memiliki empat perspektif, (a) perspektif eksternal, bagaimana siswa menatap guru, (b) perspektif internal, apa yang mesti diunggulkan, (c) perspektif mencar ilmu dan penemuan, berorientasi pada pembaharuan, dan (d) perspektif pengguna, bagaimana guru menatap siswa. (2) kompetensi generik, ialah kompetensi yang mempunyai nilai keberlanjutan, dan (3) kompetensi spesifik, yakni kompetensi yang unik untuk fungsi dan aktivitas tertentu.
Konsep dan prinsip kompetensi tersebut selain mempunyai implikasi pada siswa, juga berimplikasi pada sumber daya praktisi pendidikan. Para praktisi pendidikan diharapkan memiliki janji, motivasi, dan perilaku yang kasatmata dalam pelaksanaan pembelajaran dan evaluasi. Kompetensi menuntut seseorang untuk mempunyai wawasan dan keterampilan yang mencukupi serta karakteristik langsung yang mendukung pekerjaan dengan tolok ukur unggul. Kriteria unggul tersebut sungguh penting untuk diraih oleh seseorang untuk menjadi insan unggul. Manusia unggul yakni manusia yang mempunyai kompetensi patokan dan kecakapan hidup yang dibutuhkan untuk mampu berkompetisi dalam percaturan global. Kompetensi tersebut antara lain: berpikir inovatif-produktif, pengambilan keputusan, pemecahan persoalan, belajar bagaimana mencar ilmu, kolaborasi, pengelolaan/pengendalian diri.
3. Kompetensi dan Kecakapan Hidup
Suatu kompetensi yaitu suatu pernyataan ihwal apa yang sepatutnya dipelajari dan dikerjakan siswa secara terus menerus. Dari rancangan ini terlihat adanya pergantian makna perihal pembelajaran dari semula pengutamaan pada isi kurikulum menuju pada bagaimana harus belajar dan bagaimana melakukannya. Dua indikator kompetensi tersebut menawarkan bimbingan kepada seseorang untuk menjadi penduduk belajar dan siap mencar ilmu sepanjang hayat. Proses berguru sepanjang hayat memerlukan bantuan pendidikan sepanjang hayat, yang dalam skala mikro paling tidak berwujud kurikulum yang mendukung terwujudnya mencar ilmu sepanjang hayat. Implementasi kurikulum yang dimaksud hendaknya mengamati dua dimensi, vertikal dan horizontal.
Dimensi vertikal kurikulum sekolah menawarkan kondisi yang link and match antar jenjang persekolahan dan keperluan untuk hidup di era yang akan tiba. Untuk tujuan inilah pendidikan hendaknya berorientasi pada kecakapan hidup yang memfasilitasi seseorang untuk menjadi manusia unggul. Reigeluth (1999) menyebut dimensi-dimensi kecakapan hidup berisikan: integritas, inisiatif, keleluasaan, keteguhan, berorganisasi, humor, upaya, berpikir sehat, pemecahan problem, tanggung jawab, kesabaran, persahabatan, perilaku ingin tahu, kolaborasi, kepedulian dan ketelitian, keberanian dan kesabaran hati, pujian. Sedangkan dimensi horizontal kurikulum sekolah mengaitkan antara pengalaman mencar ilmu di sekolah dengan di luar sekolah. Rancangan dan implementasi kurikulum yang memperhatikan dua dimensi tersebut akan mengakrabkan penerima latih dengan berbagai sumber mencar ilmu yang ada di sekitarnya.
Kecakapan hidup yakni kecakapan yang dimiliki seseorang untuk berani menghadapi problema hidup dan kehidupan dengan wajar tanpa merasa frustasi, lalu secara proaktif dan inovatif mencari serta menemukan penyelesaian sehingga kesudahannya mampu mengatasinya (Depdiknas, 2002). Secara garis besar, kecakapan hidup mempunyai dua dimensi, kecakapan hidup generik dan kecakapan hidup spesifik. Kecakapan hidup generik memiliki tiga subdimensi, kecakapan personal (integritas, inisiatif, keteguhan, upaya, humor, kesabaran, pujian, kolaborasi), kecakapan sosial (fleksibiltas, berorganisasi, kolaborasi, ketabahan, persahabatan), dan kecakapan berpikir (kesabaran, upaya, berpikir sehat, pemecahan duduk perkara, kolaborasi). Sedangkan kecakapan spesifik mempunyai dua subdimensi, kecakapan intelektual (rasa ingin tahu, upaya, ketekunan, pemecahan duduk perkara, kerja sama) dan kecakapan vokasional (tanggung jawab, kepedulian dan kecermatan, keberanian dan ketekunan hati, kerja sama).
Prinsip pelaksanaan pendidikan kecakapan hidup di SD dan SLTP diutamakan kecakapan hidup generik, di Sekolah Menengah kejuruan diutamakan kecakapan hidup vokasional, dan di SMU diutamakan kecakapan hidup intelektual. Yang perlu diamati, yaitu bahwa kecakapan hidup generik merupakan fondasi dari kecakapan hidup lainnnya. Oleh sebab itu, bahu-membahu semua kecakapan hidup mampu dilakukan pada semua jenjang pendidikan asal dipraktekkan secara proporsional.
Di tingkat TK, pendidikan dan pembelajaran sebaiknya secara penuh diarahkan pada kecakapan hidup dan interaksi sosial dan tidak mengaitkan dengan mata pelajaran. Hal ini sebab anak-anak TK masih berada dalam tahap berpikir pra operasional yang belum bisa mengaitkan hubungan antar fakta yang absurd. Sebaliknya, untuk jenjang S3, mahasiswa diyakini sudah matang dan memiliki kecakapan hidup yang kuat, sehingga dalam studi fokus diarahkan pada pengembangan kompetensi pada bidang keterampilan yang ditekuninya.
Untuk jenjang pendidikan SLTA, proporsi antara kecakapan hidup dan substasi mata pelajaran ialah seimbang. Pada jenjang pendidikan Sekolah Dasar dan SLTP, pendidikan kecakapan hidup masih lebih mendominasi, sebaliknya pada jenjang pendidikan S1 dan S2, pendidikan bidang studi mempunyai proporsi lebih banyak dibandingkan pendidikan kecakapan hidup.
Pendidikan sebagai suatu metode, pada dasarnya ialah sistematisasi dari proses perolehan pengalaman. Oleh alasannya adalah itu, secara filosofis pendidikan diartikan selaku proses perolehan pengalaman mencar ilmu yang diharapkan mampu membuatkan peluangdan kompetensi yang dimiliki akseptor latih, sehingga siap dipakai untuk memecahkan dilema kehidupan secara keilmuan. Untuk maksud tersebut, integrated learning dan contextual teaching and learning ialah versi pembelajaran yang mengarah pada kecakapan hidup. Di samping itu, realistic education juga ialah upaya mengatur agar pendidikan sesuai dengan keperluan nyata akseptor didik. Dalam implementasi KBK dan PKH diupayakan merefleksikan peluanglingkungan, acara pendidikan mengacu pada paradigma learning for life dan school to work, dan yang terpenting yaitu pembelajaran dan evaluasi memakai prinsip learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to live together.
4. Dimensi Belajar, Strategi Pembelajaran, dan Penilaian
Kualitas pendidikan sangat ditentukan oleh kesanggupan sekolah dalam mengorganisir proses pembelajaran, lebih-lebih pembelajaran di kelas yang berbasis kompetensi. Pembelajaran berbasis kompetensi mampu diartikan sebagai tata cara pembelajaran di mana hasil berguru berbentukkomptensi-kompetensi yang mesti dikuasai siswa yang bermanfaat untuk hidup mereka yang meliputi faktor-aspek: kognitif, afektif, dan psikomotor (Depdiknas, 2002). Dalam pembelajaran berbasis komptensi perlu ditentukan kriteria minimum kompetensi yang mesti dikuasai siswa. Oleh alasannya adalah itu, unsur pokok pembelajaran berbasis kompetensi mencakup: (1) kompetensi yang hendak diraih, (2) seni manajemen pencapaian untuk mencapai kompetensi, dan (3) tata cara evaluasi atau pengujian yang dipakai untuk memilih keberhasilan siswa untuk mencapai kompetensi dan kecakapan hidup.
Dimensi Belajar. Berbicara tentang pembelajaran berbasis kompetensi dan kecakapan hidup, tidak terlepas dari dimensi mencar ilmu. Dimensi mencar ilmu ialah sebuah paradigma yang dapat dipakai oleh para pengajar, perancang kurikulum, dan perancang pembelajaran sebagai landasasan ilmiah dalam melaksanakan reformasi pendidikan, kurikulum, pembelajaran, dan penilaian hasil belajar. Menurut Marzano et al (1993), dimensi belajar terdiri dari lima tingkatan, (1) perilaku dan persepsi yang aktual terhadap berguru, (2) perolehan dan pengintegrasian wawasan baru, (3) perluasan dan penyempurnaan pengetahuan, (4) penggunaan pengetahuan secara bermakna, dan (5) pembiasakan berpikir efektif dan produktif.
Strategi untuk berbagi sikap dan pandangan yang kasatmata terhadap mencar ilmu adalah dengan menunjukkan motivasi melalui versi Keller (dalam Dick & Carey, 1990), yaitu: Attention—Relevance—Confidence—Satisfaction (ARCS). Attention dapat dibangkitkan dengan info atau pertanyaan-pertanyaan yang menantang, Relevance dapat dibangkitkan dengan menyajikan standar kompetensi dan patokan kinerja yang berkaitan dengan keperluan hidup siswa, Confidence dapat dibangkitkan melalui info bahwa semua siswa akan meraih harapan berhasil, Satisfaction mampu dimunculkan lewat desain merayakan kesuksesan.
Strategi untuk membuatkan perolehan dan pengeintegrasian pengetahuan baru kepada wawasan awal siswa ialah dengan seni manajemen pertentangan kognitif lewat demonstrasi, analogi, acuan-teladan tandingan, dan konfrontasi (Santyasa, 2002). Strategi-taktik tersebut berfungsi selaku pengaktif pengetahuan permulaan siswa. Pengetahuan permulaan menduduki posisi sangat strategis dan sebagai springboard untuk mencapai pemahaman mendalam terhadap wawasan yang baru dan meningkatkan hasil berguru.
Strategi untuk memperluas dan menyempurnakan wawasan yang sudah diperoleh yaitu dengan penugasan yang memberi kesempatan pelibatan aktivitas mental seperti membandingkan, mengklasifikasi, menciptakan induksi, membuat deduksi, menganalisis kesalahan, mengidentifikasi hal-hal yang mampu mendukung pemecahan duduk perkara, menganalisis perspektif, dan mengabstraksi.
Strategi untuk berbagi dimensi penggunaan pengatahuan secara bermakna adalah dengan menghidangkan tugas-tugas atau dilema-duduk perkara yang berkaitan dengan dunia nyata. Tugas-tugas atau masalah-persoalan tersebut akan menawarkan peluang kepada siswa untuk beraktivitas pengambilan keputusan, penyelidikan, eksperimen, pemecahan duduk perkara, dan inovasi.
Strategi untuk menyebarkan penyesuaian berpikir efektif dan produktif ialah dengan penunjukkanyang menantang siswa untuk beraktivitas selalu mencari kejelasan, open minded, kritis kepada anggapan sendiri, memeriksa langkah-langkah sendiri, meningkatkan batas kompetensi.
Dari lima dimensi mencar ilmu tersebut, dimensi pertama dan kelima ialah dua dimensi yang terkait dan bahu-membahu mempengaruhi proses belajar yang tertuang dalam dimensi 2, 3, dan 4. Kelima dimensi berguru tersebut saling berinteraksi dalam memilih keefektifan mencar ilmu.
Strategi Pembelajaran. Pembelajaran yang mampu mengakomodasi pengembangan kompetensi dan kecakapan hidup yakni pembelajaran yang berorientasi pada dimensi berguru. Pembelajaran yang berorientasi pada dimensi belajar siswa dilandasi oleh paham konstruktivistik. Pembelajaran konstruktivistik yang bersifat kontekstual memberi potensi terhadap siswa untuk senantiasa berpikir tingkat tinggi. Hal ini dsebabkan sebab siswa mesti dihadapkan pada problem-duduk perkara dunia kasatmata yang bersifat tidak terperinci dan tidak berstruktur.
Paham konstruktivistik menyatakan bahwa setiap individu menciptakan makna dan pengertian baru menurut interaksi antara apa yang sudah dimiliki (pengetahuan awal) dengan fenomena, ilham, atau infomasi baru. Pengetahuan awal yang dibawa siswa di dalam event belajar senantiasa mengalami pembaharuan, modifikasi, penambahan, penghalusan, revisi, bahkan pergantian sebagai balasan gosip gres. Pengkonstruksan pengetahuan ialah hasil dari anutan dan interaksi siswa dalam sebuah koteks sosial. Proses mencar ilmu tidak mampu dilepaskan dari langkah-langkah (aktivitas) dan interaksi, alasannya persepsi dan kegiatan berjalan seiring secara dialogis. Pengetahuan tidak terpisahkan dari acara di mana pengetahuan itu dikonstruksi dan dari komunitas mencar ilmu di mana pengetahuan didiseminasikan dan dipraktekkan. Makara mencar ilmu dan pembelajaran merupakan proses penciptaan makna selaku akhir aktivitas dan interaksi sosial.
Dalam interaksi sosial, terjadi proses pembimbingan dan perundingan antara siswa dengan siswa lain dan antara siswa dengan guru dalam zone perkembangan terdekat siswa. Sebagai hasil dari interaksi sosial tersebut yaitu siswa menjadi lebih berdikari dan terjadi transformasi pengetahuan—pengetahuan yang dipersepsi adalah selaku sesuatu yang dinamis, diciptakan, dikaji, dianalisis, dan diinternalisasi oleh siswa.
Kerangka anutan konstruktivistik sangat menantang guru dan perancang pembelajaran untuk bisa membuat, mengkreasikan lingkungan berguru yang memungkinkan guru dan siswa berpartisipasi aktif dalam proses berpikir, mencari, menemukan, dan membuat makna berdasarkan pengalaman dan pengetahuan awal yang dimiliki siswa dalam suatu komunitas mencar ilmu. Melalui partisipasi aktif tersebut, guru dan siswa dapat mempunyai rasa saling menghormati dan saling menghargai, bahwa setiap individu mampu berguru, membuat makna, dan berkreasi. Melalui pembelajaran konstruktivistik akan tercipta pula pembelajaran pekerti dan tenggang rasa. Di sinilah sumber akhlak seseorang yang balasannya akan melahirkan ketercapaian tujuan pendidikan memanusiakan insan (plural humanis), bukan sekedar mencetak robot-robot bermoral sosiopat dan mati tenggang rasa.
Secara operasional, pembelajaran konstruktivistik dapat dikerjakan lewat banyak sekali model dan pendekatan pembelajaran, antara lain: versi pembelajaran pergeseran konseptual (Santyasa, 2002), pembelajaran berbasis model rekonstruksi wawasan kognitif (Santyasa, 2003(b)), model pembelajaran kooperatif (Santyasa, 2003(b)), Pembelajaran dengan pendekatan kontektual (Johnson, 2002), Pembelajaran Berbasis Masalah (Arend, et al., 2001), Pembelajaran dengan pendekatan Belajar Berbasis Masalah (Fogarty, 1997), Pembelajaran dengan Pendekatan Belajar Berbasis Projek (Fogarty, 1997). Apabila dibungkus dengan baik dan benar, maka semua model pembelajaran tersebut akan memfasilitasi para siswa untuk membuatkan kompetensi dan kecakapan hidup.
Apapun model dan pendekatan yang digunakan dalam pembelajaran berbasis kompetensi dan kecakapan hidup, secara esensial masing-masing dalam operasionalisasinya sungguh bertumpu pada sejumlah proposisi.
Proposisi, bahwa berguru adalah pengkonstruksian relasi dan fenomena alam (Brooks & Brooks, 1993). Bertolak dari proposisi tersebut, maka stratedi pembelajaran hendaknya mulai dengan menghidupkan siswa supaya menanyakan pertanyaannya sendiri dan mencari jawabannya sendiri, dan menantang mereka untuk memahami kompleksitas dunia. Mengajar hendaknya lebih mengutamakan pendekatan “apa yang dibilang siswa terhadap guru ihwal apa yang mereka kerjakan dibandingkan dengan guru mengatakan kepada mereka bagaimana mengerjakannya”. Pendekatan ini menghargai pandangan siswa dan berusaha mendorong siswa ke dalam cara yang sudah dijadwalkan untuk mereka sendiri.
Proposisi, bahwa wawasan permulaan, prakonsepsi, dan miskonsepsi sungguh menetukan efesiensi dan efektivitas proses dan hasil mencar ilmu (Duit, 1996). Implikasi untuk taktik pembelajaran yaitu menggali wawasan permulaan, prakonsepsi, dan miskonsepsi para siswa sebelum proses pembelajaran; mendorong pemahaman pada siswa bahwa miskonsepsi dapat dialami oleh semua orang dan kapan saja; pembelajaran dijalankan dengan mengaitkan berita gres dengan pengetahuan permulaan, prakonsepsi, dan miskonsepsi siswa; menyediakan pertentangan kognitif untuk membantu siswa mengganti miskonsepsinya menuju konsepsi ilmiah; menawarkan fakta-fakta bahwa wawasan ilmiah lebih ampuh ketimbang wawasan permulaan, prakonsepsi, dan miskonsepsi siswa.
Proposisi, bahwa mencar ilmu ialah proses pemaknaan isu gres, penyusunan wawasan dari pengalaman konkrit, kegiatan kolaboratif, dan refleksi serta interpretasi (Degeng, 2000; Herman et al, 1992). Implikasi untuk seni manajemen pembelajaran yakni mendorong diskusi tentang pengetahuan gres, mendorong munculnya berpikir divergen, mendorong munculnya aneka macam jenis acara dan potensi debat antar siswa, lebih menekankan pada keahlian berpikir kritis.
Proposisi, bahwa keleluasaan menjadi komponen yang esensial dalam lingkungan mencar ilmu (Degeng, 2000; Herman et al, 1992). Implikasi untuk strategi pembelajaran yakni menyediakan opsi tugas yang beragam, menawarkan balikan bahwa siswa sudah menguasai apa yang dipelajari, menyediakan waktu yang cukup bagi siswa dalam mengerjakan tugas, derma tes dengan waktu yang relatif fleksibel, menawarkan kesempatan bagi siswa untuk melakukan perbaikan, melibatkan pengalaman-pengalaman konkrit.
Proposisi, bahwa strategi belajar seseorang akan memilih kualitas proses dan hasil belajarnya (Degeng, 2000; Herman et al, 1992). Implikasi untuk taktik pembelajaran adalah memberi potensi pada siswa untuk mencar ilmu sesuai dengan strateginya masing-masing, menawarkan potensi bagi siswa untuk melaksanakan evaluasi diri tentang proses dan hasil belajarnya.
Proposisi, bahwa motivasi dan upaya mempengaruhi mencar ilmu dan unjuk kerja (Degeng, 2000; Herman et al, 1992). Implikasi untuk taktik pembelajaran ialah menawarkan motivasi terhadap siswa dengan menyediakan tugas-peran riil dalam kehidupan sehari-hari dan mengaitkan tugas tersebut dengan pengalaman pribadinya, mendorong siswa untuk mengetahui kaitan antara upaya yang dijalankan dengan hasil yang diperolehnya.
Proposisi, bahwa mencar ilmu pada dasarnya mempunyai aspek sosial (Degeng, 2000; Herman et al, 1992). Implikasi untuk taktik pembelajaran dan penilaian yakni menawarkan kesempatan kepada siswa untuk kerja golongan, menerapkan teknik-teknik mencar ilmu kooperatif, menyediakan kesempatan bagi siswa untuk melaksanakan tugas tersendiri dan beragam, penilaian menambahkan upaya-upaya kalangan dan perorangan.
Asesmen (penilaian) Kinerja. Belajar berdasarkan pandangan konstruktivistik memerlukan asesmen yang mampu mengases secara komprehensif bagaimana para siswa mengorganisasi, menstrukturisasi, dan menggunakan gosip yang dipelajari dalam konteks memecahkan masalah kompleks perihal mencar ilmu mereka di kelas atau di dunia nyata. Asesmen yang dimaksud harus terpadu dengan proses berguru dan pembelajaran. Asesmen hendaknya menguji proses dan juga hasil mencar ilmu. Asesmen tidak menawarkan cuma “satu jawaban benar”, tetapi menantang siswa untuk mengeksplorasi tanggapan secara terbuka, memecahkan dilema kompleks, dan melukiskan kesimpulan sendiri. Untuk maksud tersebud, Herman et al (1992) menyebutkan enam karakteristik asesmen, yakni: (1) menanyakan siswa untuk memperlihatkan, membuat, menciptakan, atau menjalankan sesuatu, (2) merangsang berpikir tingkat tinggi dan keahlian-keterampilan pemecahan dilema, (3) memakai tugas-tugas yang mewakili kegiatan-acara pembelajaran memiliki arti, (4) meminta penerapan-penerapan dunia nyata, (5) membuat penskoran dengan penggunaan usulansecara manusiawi, (6) membutuhkan pembelajaran dan peran asesmen gres untuk para guru.
Apabila para siswa mengkonstruksi gosip dalam mencar ilmu mereka dan menerapkan info tersebut dalam setting kelas, maka asesmen hendaknya menawarkan kesempatan kepada para siswa untuk mengkonstruksi respon-tanggapandan menerapkan belajar mereka dalam memecahkan masalah dan berpikir secara kompleks yang mencerminkan acara-acara kelas dalam cara-cara yang asli (Santyasa, 2003(c)). Dengan kata lain, asesmen asli sangat diperlukan dalam pembelajaran yang menerapkan kaedah-kaedah konstruktivisme. Asesmen otentik sangat relevan dan bermakna untuk para siswa, kontektual, pengutamaan pada kemampuan-keahlian kompleks, menawarkan tidak cuma satu tanggapan benar, mempunyai kriteria umum, dan fleksibel.
Asesmen kinerja merupakan salah satu pola asesmen otentik. Asesmen kinerja sungguh sempurna dipakai dalam pembelajaran supaya para siswa mampu “menunjukkan kemampuannya secara pribadi, ialah dengan membuat beberapa produk atau terlibat dalam beberapa kegiatan”. Asesmen kinerja berkonsentrasi pada kemamuan siswa untuk menerapkan pengetauan dalam kehidupan dunia aktual, sehingga menuntut kesanggupan untuk menciptakan keputusan. Terdapat lima atribut kunci untuk asesmen kinerja, yaitu: (1) asesmen kinerja berfokus pada aktivitas berguru yang kompleks, (2) melibatkan keahlian-keahlian pemecahan masalah dan tatanan berpikir lebih tinggi, (3) memotivasi sejumlah tanggapanaktif, (4) melibatkan tugas-tugas menantang yang membutuhkan banyak langkah, dan (5) memerlukan usulanwaktu dan upaya yang harus dimiliki siswa.
Asesmen (penilaian) Portofolio. Pembelajaran holistik menuntut aktivitas-aktivitas kelas berpusat pada siswa, bermakna, dan sahih. Pembelajaran holistik memakai pengetahuan awal, pengalaman, dan minat siswa dalam pembelajaran dan mendukung pengkonstruksian wawasan secara aktif. Pembelajaran holistik juga menawarkan makna dan tujuan belajar dan melibatkan para siswa dalam interaksi sosial untuk menyebarkan pengetahuan (Santyasa, 2003(a).
Pembelajaran holistik menginginkan pergeseran peran siswa dari pengamat info secara fasif menjadi pebelajar aktif, selaku pebelajar dan evaluator yang berdikari, sebagai pemikir kritis dan kreatif dalam menganalisis dan mengaplikasikan fakta-fakta, rancangan-konsep, dan prinsip-prinsip yang dipelajari. Kemandirian, kemampuan berpikir kritis dan inovatif, mampu ditunjukkan oleh siswa melalui portofolio. Asesmen portofolio yang merupakan asesmen otentik adalah asesmen yang menitik beratkan pada upaya mengases kegiatan berpusat pada siswa, yang memiliki arti bahwa siswa mempunyai input tidak cuma ditujukan pada portofolio, tetapi juga pada bagaimana isi tersebut dievaluasi. Di samping itu, siswa juga mempunyai peranan mengases perkembangan yang dialami sendiri. Dalam asesmen portofolio, guru dan siswa menjadi partner dalam perundingan isi portofolio dan interpretasinya sampai meraih konsensus.
Satu faktor yang paling bermanfaat tentang asesmen portofolio yaitu bahwa dia mengaitkan asesmen dengan pembelajaran (Santyasa, 2003(c)). Kinerja siswa dievaluasi dalam relevansinya dengan target pembelajaran, tujuan pembelajaran, dan acara-aktivitas kelas. Isi portofolio hendaknya mewakili apakah siswa bekerja dalam kelas dan mencerminkan kemajuannya kepada target pembelajaran. Dalam hal ini, portofolio dapat dikatakan mempunyai validitas isi, adalah isi merefleksikan aktivitas-aktivitas otentik mengenai apa yang dipelajari siswa di kelas. Portofolio dapat meningkatkan mutu pembelajaran dan berkontribusi terhadap perkembangan kognitif para siswa.
Asesmen portofolio menyediakan sebuah perspektif multidimensi perihal perkembangan para siswa selama waktu tertentu dan menawarkan mereka kapasitas untuk memdemonstrasikan perbaikan dalam kinerja. Penggunaan portofolio dapat mendorong para siswa merefleksikan pekerjaan mereka sendiri, menganalisis perkembangan mereka, dan menata perbaikan. Portofolio mampu berupa pola pekerjaan siswa, misalnya, benda-benda hasil karya lab, laporan praktikum lab, penyelesaian duduk perkara-masalah pelajaran, hasil karya elektro, hasil karya sound system, dan lain-lain. Isi portofolio bergantung terhadap pilihan siswa atau guru, tujuan portofolio, sasaran pembelajaran, yang semuanya dirancang sebagai materi refleksi.
Portofolio sungguh strategis dan dengan akurat mampu mencapai tujuan-tujuan pembelajaran secara efektif. Portofolio sungguh tepat untuk mencapai tujuan-tujuan pembelajaran yang asli. Dengan portofolio, para siswa mampu memahami dan dapat menerapkan desain-rancangan yang dipelajari, membuat kekerabatan antar rancangan tersebut dengan pengalaman mereka sendiri di luar kelas, dan mendemonstrasikan pemahaman mereka dalam suatu format tertentu.
Kriteria Penilaian (Rubrik). Asesmen otentik tidak menggunakan kunci balasan yang menentukan suatu kinerja benar atau salah. Asesmen otentik melaksanakan penilaian dengan memakai penilaian subyektif yang menyangkut kualitas kinerja atau hasil kerja yang ditunjukkan oleh siswa. Untuk menghindari aspek subyektivitas yang terlalu besar, dan supaya menjamin reliabilitas, keadilan, dan kebenaran penilaian, maka tolok ukur penilaian atau rubrik sungguh dipandang perlu untuk dikembangkan dalam asesmen otentik. Rubrik dipakai selaku anutan evaluasi kinerja siswa. Rubrik dapat menolong guru dalam menentukan tingkat ketercapaian kinerja yang diharapkan. Penyusunan rubrik hendaknya dikerjakan bahu-membahu para siswa, atau paling tidak rubrik hendaknya dikomunikasikan dengan para siswa. Tujuannya yaitu, supaya para siswa secara jelas dapat memahami dasar penilaian yang mau digunakan untuk mengukur kinerja mereka. Dengan rubrik, baik guru maupun siswa akan mempunyai pemikiran bareng yang cukup terang ihwal permintaan kinerja yang diharapkan. Rubrik diperlukan pula mampu menjadi pendorong bagi siswa dalam proses pembelajaran.
Rubrik terdiri dari senarai, ialah daftar kriteria yang diwujudkan dengan dimensi-dimensi kinerja, faktor-aspek atau rancangan-desain yang hendak dinilai, dan gradasi kualitas. Mutu yang ditata secara gradasi tersebut disusun mulai dari tingkat yang paling tepat hingga dengan tingkat yang paling jelek. Rubrik dikenal pula sebagai penskoran rubrik yang terdiri dari beberapa komponen. Setiap komponen mengandung beberapa dimensi. Setiap dimensi hendaknya didefinisikan dan diberi teladan atau ilustrasi sehingga menjadi lebih jelas. Dimensi-dimensi kinerja tersebut selanjutnya ditentukan mutunya atau diberi peringkat (rating). Untuk mempermudah dalam bantuan peringkat, maka setiap klasifikasi mutu seharusnya diberi pola-teladan kinerja. Unsur-unsur penskoran rubrik berisikan: (1) dimensi, yang akan dijadikan dasar menganggap kinerja siswa, (2) definisi dan pola, yang ialah klarifikasi setiap dimensi, (3) skala yang hendak digunakan untuk menilai dimensi, dan (4) standar untuk setiap klasifikasi kinerja.
5. Refleksi dan Peluang Implementasi
Konsep kompetensi dan kecakapan hidup bekerjsama merupakan dua desain yang terkait dan dapat dijadikan pedoman bagi setiap orang untuk menjadi penduduk mencar ilmu sekaligus berguru sepanjang hayat. Ini merupakan tujuan pendidikan yang ideal. Tujuan pendidikan ideal bermuara pada upaya memanusiakan manusia. Persoalannya, ialah apakah bungkus KBK dan PKH telah menawarkan wadah untuk tujuan tersebut ? Jawabnya mungkin ya, mungkin juga tidak. Jika implementasi KBK dan PKH masih memakai acuan aba-aba, tanggapan kepada pertanyaan tersebut condong tidak. Tetapi apabila ada janji menuju arah gres ialah konstruksi, jawabnya ya.
Memilih satu di antara dua kode atau konstruksi sangatlah gampang, namun kita tidak bisa menutup mata, bahwa kita dihadapkan pada realitas yang masih cukup menyusahkan. Realitas tersebut, yaitu kelas klasik, sumber daya yang belum memadai, akad bangsa mengembangkan pendidikan masih berada pada tataran tentang, insentif kepada praktisi dan teoretisi pendidikan masih jauh dari mencukupi, kemungkinan tata cara kapitalisme libral mencampuri problem pendidikan secara tidak proporsional yang cenderung mematikan tujuan mulia pendidikan yang populis humanis, dan yang paling parah ialah pemanfaatan kelompok praktisi pendidikan cuma selaku objek. Hal ini dalam jangka panjang menghambat KBK dan PKH untuk terimplementasikan secara optimal.
Katakanlah dalam jangka pendek KBK dan PKH mampu dilaksanakan, meskipun kode dan konstruksi mesti diramu. Inipun masih akan memunculkan banyak sekali duduk perkara yang kesannya berefek tidak mulusnya perjalanan pembelajaran di sekolah. Persoalan tersebut mampu tertuntaskan apabila sekolah dan jajarannya memiliki kesepakatan dan akreditasi yang utuh terhadap praktisi dan teoretisi pendidikan selaku manusia yang berintensional dan bereksistensional. Caranya ialah mensosialisasikan secara detail dan menawarkan kemudahan terhadap mereka untuk meningkatkan kualifikasi sumber dayanya, misalnya melalui training yang intensif dan komprehensif, dengan catatan praktisi dan teoretisi pendidikan melakukan pekerjaan secara bersinergi menjadi objek sekaligus subjek. Inilah yang dimaksudkan sebagai potensi implementasi. Sepanjang praktisi dan teoretisi pendidikan diperlakukan cuma sebagai objek dalam mewacanakan KBK dan PKH, lebih-lebih pelibatan praktisi yang justru berada di ujung tombak cuma menyentuh pada tataran sampling yang amat sangat terbatas, rasa pisimis dari berbagai kalangan kepada kemungkinan kesuksesan pelaksanan KBK dan PKH sepertinya akan menjadi realita.
Upaya dan kesanggupan melakukan diversifikasi kepada KBK dan PKH memungkinkan kurikulum tersebut akan menjadi fleksibel (Kompas, 30/4, 2002). Hal ini ialah kesempatan pula untuk terimplementasikannya KBK dan PKH secara luas. Diversifikasi tersebut mencakup fasilitas kepada keberagaman, penciptaan lingkungan berguru yang menyenangkan, pengurangan substansi kurikulum, akomodasi keleluasaan tempat dan sekolah untuk memilih metode dan strategi pembelajaran, pemberdayaan sekolah dan masyarakat. Tampak bahwa, sumber daya di bidang pembelajaran memiliki porsi paling banyak dalam melaksanakan diversifikasi kurikulum. Hal inilah yang menjadikan kesempatan tersebut sekaligus menjadi kendala dalam implementasi KBK dan PKH.
6. Penutup
Pendidikan memiliki tujuan memanusiakan manusia. Untuk meraih tujuan tersebut, pembelajaran seyogyanya diarahkan untuk membuatkan potensi, kompetensi, dan kecakapan hidup seseorang, sehinga beliau siap memecahkan problem yang dihadapi dalam kehidupan di dunia nyata.
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan Pendidikan Kecakapan Hidup (PKH) mempunyai potensi sekaligus hambatan dalam implementasinya di sekolah. Peluangnya, bahwa rancangan KBK dan PKH sebenarnya sudah mengakar dalam budaya Indonesia. Di samping itu, secara kuantitatif sumber daya pendukung telah memenuhi syarat. KBK dan PKH yang kemungkinan dapat dikemas menjadi fleksibel juga merupakan potensi untuk mengimplementasikannya dalam sistem pendidikan Indonesia.
Hambatannya, bahwa akad bangsa untuk memajukan pendidikan masih berada pada tataran perihal, sumbangan sopan santun dan finansial pemerintah kepada pendidikan relatif rendah, pengakuan akademis kepada teoretisi dan praktisi pendidikan belum memadai. Hambatan yang paling secara umum dikuasai adalah rendahnya mutu sumber daya praktisi pendidikan dalam mengemas pembelajaran dan evaluasi proses dan hasil belajar yang sesuai dengan tuntutan KBK dan PKH.
DAFTAR PUSTAKA
Amstrong, M. 1999. The art of HRD: Managing people, Volume 4. London: Kogan Page.
Arends, R. I., Wenitzky, N. E., & Tannenboum, M. D. 2001. Exploring teaching: An introduction to education. New York: McGraw-Hill Companies.
Brooks, J.G. & Martin G. Brooks. 1993. In search of understanding: The case for constructivist classrooms. Virginia: Association for Supervision and Curriculum Development.
Burke, J. 1995. Competency based education and pembinaan. London: The Falmer Press.
Costa, A. L., (Ed.). 1999. Teaching for intelligence. Arlington Heights, Illinois: Skylight Training and Publishing, Inc.
Degeng, I Nyoman Sudana. 2000. Bagaimana mendesain, menghidangkan, dan menganggap hasil mencar ilmu afektif. Makalah. Disajikan dalam seminar pembelajaran afektif di Perguruan Tinggi, 8 Februari 2000, P3AI. LP3. Universias Brawijaya Malang.
Depdiknas. 2002. Pola induk pengembangan silabus berbasis kesanggupan dasar SMU. Pedoman umum. Jakarta: Depdiknas. Ditjen Dikdasmen. Direktorak Pendidikan Menengah Umum.
Depdiknas. 2002. Konnsep pendidikan berorientasi kecakapan hidup (life skill) melalui pendekatan pendidikan berbasis luas (broad-based education-BBE). Tim Broad-Based Education. Depdiknas.
Dick, W., & Carey, L. 1990. The systematic design of instruction, 3rd. Iilinois: Harper Collins Publisher.
Duit, R. 1996. Preconception and misconception. Corte, E.D., & Weinert, F. (eds.): International Encyclopedia of Developmental and Instructional Psychology. New York: Pergamon
Fogarty, R. 1997. Problem-based learning and other curriculum models for the multiple intelligences classroom. Arlington Heights, Illinois: Skylight Training and Publishing, Inc.
Herman, J. L., Aschbacher, P. R., & Winters, L. 1992. A practical guide to alternative assessment. New York: Association for Supervision and Curriculum Development.
Johnson, E. B. 2002. Contextual teaching and learning. Thousand Oaks, California: Corwin Press, Inc.
Kompas. 15 September 2001. Pendidikan mesti mampu membekali lulusannya menghadapi hidup. Halaman 9.
Kompas. 17 September 2001. Perlu pendidikan keterampilan. Halaman 9.
Kompas. 30 April 2002. Kurikulum dan program life skills. Halaman 33.
Marzano, R., Pickering, D., & McTighe, J. 1993. Assessing student outcome: Performance assessment using the dimensions of learning model. Alexandria, Va.: Associatiomn for supervision in curriculum development.
Reigeluth, C. M. (Ed.). 1999. Instructional-design theories and models: A new paradigm of instructional theory, volume II. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Publisher.
Santyasa, I W. 2002. Miskonsepsi dan versi pembelajaran pergeseran konseptual. Makalah. Disajikan dalam Seminar Nasional Teknologi Pembelajaran: “Peningkatan Kualitas dan Produktivitas SDM dengan Penerapan Teknologi Pembelajaran”, 18-19 Juli 2002, Hotel Indonesia, Jakarta.
Santyasa, I W. 2003(a). Pendidikan, pembelajaran, dan penilaian berbasis kompetensi. Makalah. Disajikan dalam seminar Jurusan Pendidikan Fisika IKIP Negeri Singaraja, 27 Februari 2003, di Singaraja.
Santyasa, I W. 2003(b). Pengaruh model pembelajaran perubahan konseptual dan belajar kooperatif terhadap remidiasi miskonsepsi dan hasil berguru fisika siswa kelas I di SMU. Proposal disertasi. Disajikan dalam ujian kualifikasi mulut Program Doktor Teknologi Pembelajaran Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang, 26 Maret 2003, di Malang.
Santyasa, I Wayan. 2003(c). Asesmen dan tolok ukur penilaian hasil mencar ilmu fisika berbasis kompetensi. Makalah. Disajikan dalam seminar dan lokakarya bidang peningkatan relevansi program DUE-LIKE Jurusan Pendidikan Fisika IKIP Negeri Singaraja, 15-16 Agustus 2003, di Singaraja
Spencer, L.M., & Spencer, S.M. 1993. Competencce work: Models for superior performance. New York: John Wiley & Sons, Inc.