Acuan Makalah Hukum Lingkungan Keperdataan

Makalah

Hukum Lingkungan Keperdataan
Oleh
Kelompok VI
Nur Rahmah ( 04020130234 )
Sri Suci Utami ( 04020130265 )
Nurul Safitri Djafaar ( 04020130238 )
Alfinni Alfionita ( 040201300231)
Annisa ( 04020130208 )
FAKULTAS HUKUM
ILMU HUKUM
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR 2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kedatangan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat, hidayah serta inayah-Nya, kalangan kami mampu menyelesaikan makalah ini adalah wacana Hukum Lingkungan Keperdataan. Semoga dengan membaca makalah  ini,  para pembaca akan lebih memahami Hukum atau hukum-hukum yang berlaku dalam Lingkungan Keperdataan. Kritik dan nasehat sangat kami nantikan supaya dapat menyusun suatu makalah yang lebih baik lagi dan lebih berfaedah.

Penyusun

DAFTAR ISI
 Kata Pengantar     
Daftar Isi     
BAB I PENDAHULUAN
1.1    Latar Belakang    
1.2    Rumusan Masalah    
1.3    Tujuan     
BAB II PEMBAHASAN
2.1     Pengertian Hukum Lingkungan Keperdataan    
2.2    Gugatan Lingkungan    
2.3    Tanggung Gugat Lingkungan dan Beban Pembuktian    
BAB III PENUTUP
3.1     Kesimpulan    
3.2    Saran     
DAFTAR PUSTAKA 
BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
Lingkungan hidup ialah daerah dimana kita melaksanakan aktifitas sehari – hari, kawasan kita mencar ilmu, tempat kita berinteraksi, tempat kita mengetahui kehidupan dan bahkan tempat kepribadian seseorang terbentuk, seperti dikatalan hebat psikologi Cattel bahwa yang banyak mensugesti kepribadian individu, yaitu lingkungan fisik mirip letak geografis dimana individu itu tinggal, dan lingkungan sosialnya  mirip tata cara acuan latih. Sang Pencipta pun menjelaskan penciptaan alam dengan lingkungan hidupnya yakni ialah anugrah untuk insan seperti apa yang tercantum dalam Al – Qur’an yaitu diantaranya, untuk kesenangan manusia dan untuk hewan ternaknya,dan dalam Surah  An-Naziat 31-33 : untuk memenuhi kebutuhan hidup insan.
Seiring perkembangan zaman insan dengan pemikirannya terus menciptakan hal – hal yang dapat membuat lebih mudah semua hal yang ia lakukan, misalnya seperti tekhnologi yang kian marak dihasilkan, tidak lain adalah unuk mengefektifkan dan mengefisienkan tugas manusia sehari – hari. Namun  ternyata hal – hal yang diciptakan manusia itu banyak  mempunyai imbas yang merugikan bagi manusia itu sendiri, seperti timbulnya perusakan dan pencemaran lingkungan, baik dari proses penghasilan inovasi manusia  seperti adanya sebuah bangunan glamor dan insan harus menebang pohon, mengeruk pasir, menambang bebatuan yang balasannya menjadikan efek negatif bagi lingkungan atau karena dari pemakaian hal – hal yang ditemukan insan, mirip alat – alat elektro yang berakibat pemanasan global.
Bila telah terjadi kerusakan pasti banyak yang merasa dirugikan sedang dalam Pasal 65 ayat (1) UU PPLH, diterangkan bahwa : setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia, dan Pasal 67 menerangkan bahwa : setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta menertibkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. Jika terjadi kerusakan dan pencemaran akhir seseorang tidak menjaga kelestarian lingkungan dan menimbulkan korban lalu apa yang bisa korban kerjakan untuk mendapatkan lingkungan hidup yang bagus dan sehat sebagai haknya, dan membatasi pada sanski perdata yang membahas persoalan ganti rugi maka bagaimana tanggung gugat yang hendak diterima pelaku.
Berkaitan dengan insan selaku aspek penyebab terjadiya persoalan hukum, maka perlu adanya sebuah upaya aturan yang dapat menjadi landasan dalam melakukan penegakan aturan terhadap para pelaku perusakan lingkungan khususnya penegakkan hukum lingkungan dalam keperdataan di Indonesia.

1.2    Rumusan Masalah
1.    Apa pemahaman Hukum Lingkungan Keperdataan ?
2.     Bagaimana somasi lingkungan dapat dijalankan ?
3.    Bagaimana Tanggung Gugat Lingkungan dan Beban Pembuktian?
4.    Bagaimana hukum lingkungan keperdataan di Indonesia ?

1.3    Tujuan
1.    Untuk mengetahuai pemahaman aturan lingkungan keperdataan;
2.    Untuk mengetahui gugatan lingkungan dapat dijalankan;
3.    Untuk mengetahui tanggung gugat lingkungan dan beban pembuktian;
4.    Untuk mengenali penegakaan  aturan lingkungan keperdataan di Indonesia.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Hukum Lingkungan Keperdataan
Hukum Lingkungan secara susbtansial memuat ketentuan yang berkaitan dengan pemenuhan hak-hak keperdataan seseorang, golongan orang dan badan aturan perdata dalam kaitannya dengan lingkungan hidup yang baik dan sehat.  Jika hak-hak keperdataan ini dirugikan oleh salah satu pihak, contohnya alasannya adalah terjadi pencemaran atau perusakan lingkungan, maka dalam upaya sumbangan hukumnya digunakan sarana aturan lingkungan keperdataan. Hal ini diberikan dengan cara memperlihatkan hak kepada penggugat untuk mengajukan gugatan ganti kerugian atau langkah-langkah pemulihan lingkungan terhadap pencemar.
2.2 Gugatan Lingkungan
Dalam aturan perdata disebutkan bahwa ada dua subjek aturan yaitu individu dan tubuh aturan sebagai pendukung hak dan keharusan dimana manusia atau individu yang secara kodrati telah dimiliki oleh insan semenjak lahir sampai mati dan juga dimiliki oleh pribadi hukum yang secara sengaja diciptakan oleh aturan selaku subyek hukum yaitu tubuh aturan.
Pertambahan penduduk ialah aspek yang paling mensugesti lingkungan melalui proses perluasan dan pembukaan pemukiman gres, kemudian kemajuan industri yang permulaan maksud untuk memajukan kualitas hidup insan tetapi malah sebaliknya, yang seharusnya mampu memajukan produksi dalam arti bisa memasarkan produk barang dan jasa pelayannan sehingga mendatangkan laba besar memaksimalkan penggunaan bahan baku industri dan energi, memperbaiki dan menjaga keamanan ( safety ), kesehatan ( health ), dan dukungan lingkungan ( enviromental protection ) atau disingkat SHE. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 H ayat 1 menyebutkan : ‘’Setiap orang berhak atas hidup sejahterah lahir dan batin, bertempat tinggal dan menerima lingkungan hidup yang bagus dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan’’. Namun, kini berbagai masalah dilingkungan hidup dimana terjadi banyak pengrusakan dan pencemaran sehingga lingkungan yang baik dan sehat tidak dapat terjamin lagi.
Dari kasus pengrusakan dan pencemaran lingkungan itu balasannya terjadilah sengketa lingkungan dimana untuk memperjuangkan lingkungan yang bagus dan sehat. Berdasarkan pasal 1 ayat 25 UU PPLH, sengketa lingkungan hidup yakni perselisihan anatara dua pihak atau lebih yang muncul dari kegiaatan yang memiliki peluang dan atau telah memiliki efek pada lingkungan hidup. Dengan demikian, seumber sengketa lingkungan yakni kejadian pencemaran dan atau perusakan lingkungan.
Salah satu opsi solusi sengketa lingkungan hidup ialah memakai instrumen aturan perdata dimana dengan penerapan kaidah-kaidah hukum perdata utamanya untuk lebih memberikan perlindungan aturan terhadap alam lingkungan/hutan maupun korban yang menderita kerugian selaku akibat dari perusakan hutan. Selain fungsi tersebut, dalam kaitannya dengan dilema lingkungan hidup hukum perdata mempunyai dua fungsi lain, yaitu melalui aturan perdata dapat dipaksakan ketaatan pada norma-norma aturan lingkungan baik yang bersifat hukum privat maupun aturan publik, aturan perdata dalam menunjukkan penentuan norma-norma dalam dilema lingkungan hidup.
Penyelesaian sengketa lingkungan dilakukan dengan mengajukan ‘’gugatan lingkungan ‘’ menurut pasal 87 UUPLH jo. Pasal 1365 BW tentang ‘’ganti kerugian balasan tindakan melanggar aturan’’ ( ‘’’onrechtmatigedad’’). Berangkat dari pemahaman yang terkandung dalam pasal 1365 KUHPerdata, maka sebuah perbuatan melawan aturan haruslah mengandung unsur-bagian :
1.    Adanya sebuah perbuatan;
2.    Perbuatan tersebut melawan aturan,
3.    Adanya kesalahan dari pihak pelaku,
4.    Adanya krugian bagi korban,
5.    Adanya kekerabatan kausal antara tindakan dan kerugian.
Berdasarkan pasal 87 ayat 1 UUPPLH, biar mampu diajukan Gugatan Lingkungan untuk memperoleh ganti rugi harus menyanggupi bagian- bagian sebagai berikut :
1.    Setiap/penanggung jawab usaha /acara;
2.    Melakukan tindakan melanggar hukum;
3.    Berupa pencemaran atau perusakan lingkungan;
4.    Penanggng jawab acara dan atau usaha membayar ganti rugi dan atau melaksanakan langkah-langkah tertentu;
Ketentuan aturan perdata mencakup solusi sengketa lingkungan hidup diluar pengadilan dan didalam pengadilan tercantum dalam pasal 84 ayat 1 UU No. 32 tahun 2009 yang artinya gugatan yang disampaikan penduduk mampu diatasi lewat pengadilan dan diluar pengadilan.  Penyelesaian sengketa lingkungan hidup diluar pengadilan diterangkan pada pasal 85 ayat 1 bahwa : Penyelesaian sengketa lingkungan hidup diluar pengadilan dilaksanakan untuk meraih akad mengenai :
1.    Bentuk dan besarnya ganti rugi;
2.    Tindakan pemulihan akhir pencemaran dan atau perusakan;
3.    Tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terulangnya pencemaran dan atau perusakan
4.    Tindakan untuk menghalangi timbulnya efek negatif kepada lingkungan hidup.

  Themis Sang Dewi Keadilan

Penyelesaian sengketa diluar pengadilan ini tidak berlaku kepada tindak pidana yang diatur dalam UU No. 32 Tahun 2009,hal ini tercantum dalam pasal 85 ayat 2. Menurut pasal 85 ayat 3 dalam solusi sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan mampu digunakan jasa mediator dan atau arbitrase yang berfungsi untuk menolong menyelesaiakn sengketa lingkungan hidup itu sendiri. Arbitrase yaitu seorang atau lebih yang diseleksi oleh para pihak yang bersengketa untuk menawarkan putusan tentang sengketa lingkungan hidup yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase. Mediator adalah seorang atau lebih yang ditunjuk dan diterima oleh para pihak yang bersengketa dalam rangka solusi sengketa lingkungan hidup yang tidak memiliki kewenangan mengambil keputusan.

Arbitrase telah lama diketahui di Indonesia bersamaan dengan berlakunya ( Reglement op Deburgelijke Rechtsvordering ) arbitrase berasal dari bahasa latin arbitrare yang memiliki arti memutuskan atas kebijakan arbiter. Dan arbitrasi mempunyai beberapa keunggulan ialah dijamin kerahasiaan, dihindari keterlambatan karena prosedural dan administrasi, mampu menentukan arbiter sesuai komitmen, dapat menentukan opsi hukum, putusan arbitrase bersifat mengikat.
Mediasi sendiri telah lama digunakan dalam perkara bisnis, lingkungan hidup, perburuhan, pertanahan, perumahan, sengketa pelanggan,dan sebagainya. Mediasi berasal dari bahasa latin mediare adalah berada ditengah-tengah. Memilih mediator didasarkan atas akidah maka ada tolok ukur menjadi perantara dilihat dari segi eksternal yaitu kesanggupan personal meditor dalam melakukan para pihak dan internal mediator ialah tolok ukur formal seorang mediator.
Bentuk-bentuk solusi lingkungan hidup diluar pengadilan ini menganut konsep Alternative  Dispute Resolution ( ADR ), meski ADR relatif kafe namun bahwasanya penyelesaian secara konsensus sudah lama dijalankan penduduk ADR mempunyai pesona khusus di Indonesia alasannya adalah keserasiannya dengan metode sosial, budaya, dan tradisional yang berdasarkan musyawarah mufakat dan sampaumur ini dikenal antara lain ungkapan PPS ( opsi penyelesaian sengketa ) kemudian prosedur alternatif solusi sengketa ( MAPS ) yang dijalankan dalam wujud mediasi ataupun arbritasi. Bentuk-bentuk solusi sengketa ini memang memperkenankan untuk hadirnya orang ketiga sebagai penengah dan bukan penentu kebijakan.
Masyarakat pun dapat turut campur dalam upaya penyelesaian sengketa lingkungan ini dengan membentuk lembaga penyedia jasa solusi sengketa lingkungan hidup yang bersifat bebas dan tidak berpihak, dalam hal tersebut pemerintah dan pemerintah kawasan dapat memfasilitasi pembentukan lembaga tersebut yang ketentuan lebih lanjutnya akan dikontrol dalam suatu Peraturan Pemerintah.

Philip D Bostwick menyatakan bahwa ADR merupakan serangkaian praktik-praktik dn teknik-teknik hukum yang ditujukan untuk :
a.    Memungkinkan sengketa-sengketa hukum terselesaikan dluar pengadilan untuk keuntungan dan kebaikan para pihak yang bersengketa;
b.    Mengurangi biaya atau keterlambatan kalau sengketa tersebut teratasi melalui litigasi konvensional;
c.    Mencegah agar sengketa – sengketa aturan tidak dibawa kepengadilan.

Menurut M. Yahya Harahap faktor-faktor yang menimbulkan perlunya penyelesaian sengketa yakni :

a.    Adanya tuntutan dunia bisnis;
b.    Adanya banyak sekali kritik yang dilontarkan terhadap lembaga peradilan;
c.    Peradilan umum kurang responsif;
d.    Keputusan pengadilan tidak menuntaskan problem;
e.    Kemampuan hakim bersifat generalis;
f.    Adanya aneka macam ungkapan yang menghemat gambaran pengadilan;
g.    Pencegahan terjadinya sengketa akan memperkecil sengketa.

Sedang didalam pengadilan dalam sengketa lingkungan hidup ada beberapa macam  somasi :
 
1.    Gugatan Biasa
Pengajuan permintaan hak melalui gugatan biasa ialah sebuah pengajuan permintaan hak oleh subjek hukum yang satu kepada subjek aturan yang lain atas sebuah sengketa keperdataan, baik wan prestasi maupun perbuatan melawan hukum, dimana pada diri pihak yang engajukan tuntutan hak ( gugatan) mengalami kerugian eksklusif maupun kerugian materiil selaku jadinya.

  Kejahatan Terhadap Tubuh ( Penganiayaan )

2.    Gugatan Class Action

Gugatan ini diterangkan dalam pasal 91 UU No. 32 tahun 2009, masyarakat berhak mengajukan somasi perwakilan kalangan untuk kepentingan dirinya sendiri dan atau untuk kepentingan penduduk apabila mengalami kerugian balasan pencemaran dan taua kerusakan lingkungan hidup. Gugatan mampu diajukan kalau terdapat kesamaan fakta atau peristiwa, dasar hukum, serta jenis tuntutan di antara wakil kelompok dan anggota kelompoknya, ketentuan perihal hak gugat masyarakat dikerjakan sesuai dengan peraturan perundang-undang. Class action berasal dari bahasa inggris yaitu gabungan dua kata dari class dan action. Class adalah sekelompok dan action yaitu pengertian hukum ialah permintaan yang diajukan kepengadilan.

3.    Hak Gugat Organisasi Lingkungan Hidup

Gugatan ini diterangkan dalam pasal 92 UU No. 32 tahun 2009 dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab perlingungan dan pengelolaan lingkungan hidup, organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup. Hak mengajukan gugatan terbatas pada tuntutan untuk melaksanakan langkah-langkah tertentu tanpa adanya tuntutan ganti rugi, kecuali  ongkos atau pengeluaran riil. Organisasi lingkungan hidup mampu mengajukan gugatan bila menyanggupi tolok ukur :
a.    Berbentuk badan hukum;
b.    Menegaskan didalam budget dasarnya bahwa organisasi tersebut didirikan untuk kepentingan fungsi lingkungan hidup; dan
c.    Telah melakukan kegiatan nyata sesuai dengan anggaran dasarnya paling singkat 2 ( dua ) tahun.

4.    Hak Gugat Pemerintah dan Pemerintahan Daerah

Gugatan ini dijelaskan pada pasal 90 UU No. 32 tahun 2009 bahwa instansi pemerintah dan pemerintah daerah yang bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup berwenang mengajukan somasi ganti rugi dan tindakan teetentu kepada perjuangan dan atau kegiatan yang menyebabkan pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup yang mengakiatkan kerugian lingkungan hidup.
Menurut Suwoto dalam pengawasan pemerintah perli diperhatikan tiga macam pangawasan :
a.    Pengawasan aturan, sutau bentuk pengawasan yang ditujukan untuk mengenali apakah wewenang sudah dilaksanakn sesuai aturan dan ketentuan yang berlaku ( geldelijke controle ).
b.    Pengawasan administratif, sutau pengawan untuk mengukur efisiensi kerja;
c.    Pengawasan politik, sebuah bentuk pengawasan yang dipakai untuk mengukur segi-segi kemanfaatan ( doelmatigheids controle ).
Dalam pasal 89 UU No. 32 tahun 2009 disebutkan Tenggat Kedaluawarsa untuk Pengajuan guagtan, Tengat kedaluwarsa untuk mengajukan somasi ke pengadilan mengikuti tenggang waktu sebagaimana dikontrol dalam ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan dihidung semenjak dimengerti adanya pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup. Ketentuan tentang tenggat busuk tidak berlaku kepada pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup yang diakibatkan oleh usaha dan atau acara yang memakai dan atau mengelola B3 serta menciptakan dan atau mengelolah limbah B3.
2.3 Tanggung Gugat Lingkungan dan Beban Pembuktian
Tanggung gugat lingkungan mengandung arti bahwa seseorang atau badan aturan perdata wajib bertangung gugat untuk membayar ganti rugi atau melaksanakan langkah-langkah tertentu akibat tindakan dan kerugian yang mereka kerjakan, baik secara sendiri-sendiri maupun secara bahu-membahu. Untuk itu dalam desain tanggung gugat lingkungan senantiasa dikaitkan dengan beban pembuktian.
Tanggung gugat digunakana oleh pakar aturan perdata dalam menerjemahkan liability untuk membedakannya dari pengertian responsibility yang lebih diketahui dalam aturan pidana dengan perumpamaan “tanggung jawab”.
Ada beberapa jenis desain tanggung gugat yang diketahui dalam hukum perdata, baik dalam metode aturan Eropa Kontinental (civil law system) maupun Sistem Anglo Saxon (common law system). Berikut ini berbagai jenis rancangan tanggung gugat yang dimaksud ialah :
1. Tanggung Gugat Berdasarkan Kesalahan (Liability based on Fault / Schuld Aansprakelijkheid Tort Liability )
Dalam hukum perdata desain ini tertuang dalam 1365 KUHPerdata ihwal perbuatan melawan aturan, ketentuan ini lalu diadopsi dalam Pasal 87 (1) UU PPLH 2009. Dalam rancangan ini Tanggung gugat yang didasarkan atas kesalahan (act or omission) yang menyebabkan terjadinya risiko bagi pihak lain, beban pembuktian ada pada penggugat. Kelemahan dalam desain ini yakni sulitnya menandakan unsur perbuatan melawan hukum tersebut, terutama kesalahan dan hubungan kausal antara perbuatan dan kerugian yang ditimbulkan, terlebih beban pembuktian ada pada pihak korban/penggugat. Oleh alasannya adalah itu, gugatan ganti rugi dengan dasar perbuatan melawan hukum berbentukpencemaran atau perusakan lingkungan yang dikelola dalam Pasal 87 (1) UU PPLH 2009 jo. 1365 KUHPerdata condong gagal di pengadilan. 
2. Tanggung Gugat Berdasarkan Kesalahan dengan Beban Pembuktian Terbalik (Liability based on Burden-Shifting Doctrine)
Konsep tanggung gugat ini tergolong tanggung gugat yang dipertajam, ialah dengan membalikkan kewajiban beban pembuktian. Penggugat tidak perlu pertanda kesalahan tergugat, tetapi sebaliknya tergugat yang mesti mengambarkan bahwa ia cukup berusaha untuk waspada, sehingga ia tidak dapat dipersalahkan.
Konsep ini tertuang dalam Pasal 1367 KUHPerdata ayat (2) jo. Ayat (5) tentang tanggung gugat orang renta dan wali, dan Pasal 1368 KUHPerdata ihwal tanggung gugat pemilik hewan. Konsep ini tidak dikelola dalam UU PPLH 2009.

  Teori-Teori Pembelajaran

3. Tanggung Gugat Mutlak (Strict Liability)
Strict Liability mengandung makna bahwa tanggung gugat timbul saat itu juga pada ketika terjadinya tindakan, tanpa mempersoalkan kesalahan tergugat. Namun demikian tidak semua kegiatan mampu diterapkan dengan asas ini, melainkan diperuntukkan bagi perkara-perkara tertentu yang besar dan membahayakan lingkungan.

Pengaturan Strict Liability dalam undang-undang lingkungan sudah ada seja UULH 1982 (Pasal 21) , Pasal 35 UUPLH 1997, dan terakhir pada Pasal 88 UUPPLH 2009 yang menentukan :
“Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya memakai B3, menciptakan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan”
Lebih jauh lagi penjelasan pasal di atas menyatakan Yang dimaksud dengan “bertanggung jawab mutlak” atau strict liability adalah bagian kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat selaku dasar pembayaran ganti rugi. Ketentuan ayat ini merupakan lex specialis dalam somasi tentang tindakan melanggar aturan kebanyakan. Besarnya nilai ganti rugi yang mampu dibeb ankanterhadap pencemar atau perusak lingkungan hidup berdasarkan Pasal ini mampu ditetapkan sampai batas tertentu. Yang dimaksud dengan “hingga batas waktu tertentu” ialah jika menurut penetapan peraturan perundang- ajakan ditentukan keharusan asuransi bagi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan atau telah tersedia dana lingkungan hidup. Kata-kata hingga “batas tertentu” di atas diberikan pementingan sebab disitulah karakter strict liability yang terbatas pada batas tertentu. Hal ini berlawanan degan absolute liability dengan jumlah yang tidak terbatas atau penuh. Makara jelaslah bahwa desain ini dipraktekkan secara terbatas pada masalah tertentu yang berbahaya mirip pencemaran minyak di laut, dan/atau perusakan sumber daya alam di daerah ZEE Indonesia (UU ZEE) dan mirip yang ada dalam Pasal 88 UUPPLH 2009 perihal pencemaran dan perusakan yang menggunakan B3.

4. Tanggung Gugat Bersama

Konsep ini diterapkan dalam hal tergugat terdiri dari beberapa orang atau tubuh aturan dan penggugat tidak mampu secara spesifik menunjuk pelaku pencemaran dari sekian banyak perusahaan yang potensial menjadi penyebab pencemaran-pencemaran lingkungan. Dalam UUPPLH 2009 tidak ditemukan pengaturan tanggung gugat bersama, tetapi ada dalam Pasal 30 (1) UU No. 10/1997 ihwal Ketenaganukliran.
5. Tanggung Gugat Beradasarkan Andilnya dalam Pencemaran
Dalam masalah-masalah yang merepotkan mengungkapkan hubungan kausal prinsip-prinsip kasualitas dan tangggung gugat tradisional dari perbuatan melanngar hukum mulai ditinggalkan dan timbullah teori market share liability atau tanggung gugat menurut andil di pasar. Beberapa pakar di Belanda dan di Amerika Serikat beropini bahwa desain ini dapat digunakan pada kasus-kasus lingkungan. Konsep ini meringankan beban pembuktian bagi korban yang tidak mungkin menunjukkan korelasi kausal antara kerugiannya dengan si pembuat kerugian tersebut. Terutama dalam peristiwa kerugian lingkungan, yang sering tidak dapat ditunjukkan dengan pasti seorang pelaku. Dalam desain ini didampingi dengan proses beban pembuktian terbalik.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Gugatan dalam Hukum Lingkungan keperdataan mampu di kerjakan di luar atau di pengadilan. Jika memnuhi komponen-unsur adanya kesalahan dan pihak yang di rugiakan oleh tergugat. Maka pemenuhan komponen-bagian tersebut merupakan dasar berlakunya somasi dalam sengketa lingkungan hidup.
Pemberlakuan sengketa lingkungan hidup bisa di tempuh dengan tanggung gugat dan kemauan dari pihak penggugat. Baik meminta Ganti rugi atau ajakan lain yang tujuannya untuk menegakan hukum perdata dalm aturan lingkungan. Tetapi pada umumnya di lakukan ganti rugi baik di pengadialan yang penggugatnya individu, LSM, maupun pemerintah, dan juga di luar pengadilan berlaku ganti rugi juga sebelum melakukan gugatan mesti mampu mengambarkan dengan adanya derita kerugian dari si penggugat. Dari acara yang di kerjakan oleh tergugat baik ekosistem abiotik dan biotik. Meski pembuktiannya sangat sukar karena obyek suatu dari gugatan adalah lingkungan yang rusak dan kompleknya sifat-sifat kimia dan zat lain yang menimbulkan kerusakan lingkungan. Meski menggunakan tanggung gugat secara mutlak. Tanggung gugat yaitu sama seperti tanggung jawab. Yang berlaku di hukum perdata yang mempunyai prosedur mirip somasi.

3.2 Saran
    Melihat segala kerusakan yang terjadi alasannya adalah perbuatan manusia yang serakah kepada lingkungannya sendiri, maka selaku generasi bangsa marilah kita berusaha untuk menyelamatkan lingkungan kita dari bahaya-ancaman yang terjadi saat ini dengan mengawali kebiasaan membuang sampah pada tempatnya dan tidak mengeploitasi sumber daya alam secara berlebihan dan juga dengan memperhatikan berbagai kajian dan laporan masyarakat Pemerintah Daerah dan pegawapemerintah penegak hukum sudah mesti mengambil tindakan tegas terhadap proses penambangan yang tertanggungjawab. Bagi penduduk yang mengalami kerugian, UUUPLH menunjukkan fleksibilitas untuk mampu mengajukan gugatan baik melalui jalur pengadilan atau luar jalur pengadilan untuk menuntut ganti rugi.


DAFTAR  PUSTAKA

Muhamad Erwin, Hukum Lingkungan dalam metode kebijaksanna pembangunan lingkungan hidup, PT. Refika Aditama, Bandung, 2011.

(diakses pada hari senin, 26 oktober 2015)

( diakses pada  hari senin, 26 oktober 2015 )

http://fhukum.unpatti.ac.id/artikel/lingkungan-hidup-pengelolaan-sda-dan-santunan-hak-hak-adat/376-prinsip-tanggunggugat-keperdataan-terhadap-pencemaran-lingkungan-hidup-di-gunung-gundul-pulau-buru. ( diakses pada  hari senin, 26 oktober 2015 )