Setiap berkunjung ke rumah, kawan-kawanku akan mengajukan pertanyaan perihal siapa yg menciptakan mobil truk mainan dr kayu yg berada di atas lemari rak piring di dapur rumahku. Setelah mereka bertanya mirip itu, dgn spontan gue akan menjawab: abang serdadu!
MOBIL mainan dr kayu itu dibuat oleh seorang serdadu pada masa perang di kampungku. Aku memanggilnya abang serdadu. Demikian ia menyuruh semoga gue memanggilnya. Padahal, ia mempunyai nama. Aku pernah menyaksikan namanya tertera pada baju seragam lorengnya. Aku ingat namanya: Sulaiman Simbolon.
Pertemuan kami terjadi pada suatu sore yg berhujan. Saat itu gue sedang bermain kelereng di bawah rumah panggung kami. Ia menghampiriku, sedangkan dua kawannya berteduh sambil berdiri di pondok kecil yg gres dua minggu selesai dibangun ayah. Aku ingat pesan ayahku jauh-jauh hari: jangan erat-bersahabat dgn serdadu, nanti bisa kena tembak. Aku bersiap untuk pergi darinya.
“Kau jangan takut. Tidak usah kau lari,” katanya sambil memegang kepalaku.
Aku pun urungkan niatku untuk pergi. Tapi, gue masih diselimuti cemas & kecemasan. Tanpa sepengetahuannya, gue sedikit pipis di celana.
“Bermainlah kamu terus,” tambahnya.
Aku kembali bermain kelereng. Aku ambil satu kelereng & kulemparkan pada kelereng yg lain. Lemparanku itu tak mengenai kelereng yg kutuju.
“Bah, bodoh kali kau,” katanya dgn nada agak tinggi.
Aku sungguh sangat cemas. Aku merasakan celanaku akan semakin basah.
“Sini, biar gue coba.”
Ia mengambil sebuah kelereng yg kupegang. Ia melakukan seperti yg kulakukan. Lemparannya sempurna mengenai kelereng yg ia tuju. Lemparannya sangat keras sehingga kelereng itu pecah.
Aku tentu kecewa padanya. Aku sudah dua hari menyisihkan duit jajan sekolah agar dapat membeli kelereng-kelereng itu.
“Maafkan aku. Lain hari akan gue ganti kelerengmu. Ini dua permen dariku. Kau ambillah. Sampai jumpa,” katanya.
Ia lalu pergi meninggalkanku saat hujan sudah reda.
Ayah rupanya marah besar sehabis ia tahu bahwa gue bekerjasama dgn tentara itu.
“Apa kamu mau cari mati erat dgn serdadu. Jika terjadi perang, siapa yg menolongmu,” umpat ayahku malam harinya.
Aku pastinya membela diri. Aku bilang pada ayah bahwa gue tak bermain dgn prajurit. Aku bilang pada ayah bahwa serdadu itu yg mendekatiku.
“Tidak ada alasan apa pun bermain dgn mereka. Kau tahu ini musim perang. Kontak senjata kapan saja bisa terjadi. Aku tak mau kamu mati terkena peluru nyasar. Atau, kau mau bila dituduh selaku cuak?”
Ayah mengatakannya dgn membolakan dua matanya.
Satu minggu setelah insiden itu, lima prajurit mengunjungi rumah kami. Salah satunya kakak prajurit itu. Mereka mengatakan pada ayahku di atas rumah panggung, sedangkan gue berada di dlm kamar. Tapi, dr kamar itu, gue dapat dgn jelas mendengar apa yg mereka perbincangkan.
“Ini instruksi dr komandan kami,” kata prajurit yg pernah memecahkan kelerengku itu. “Lokasi di sini sangat tepat sebagai pos pengawalan. Kami ingin menghalangi ruang gerak para pemberontak yg masuk ke kampung ini. Kami memberitahu Bapak akan hal ini. Kami pula mohon izin supaya pondok di depan rumah itu mampu dijadikan selaku pos pengawalan. Kami cuma menjalankan peran. Bapak harap maklum,” tambahnya lagi pada ayahku.
Ketika prajurit itu sudah pergi meninggalkan rumah kami, ayahku mirip orang ketakutan. Pada ibuku ayah berkata, “Aku takut dituduh bersekongkol dgn prajurit. Aku takut Sulaiman mendugaku begitu. Ia akan murka besar padaku,” kata ayahku.
Aku tahu siapa Sulaiman yg dimaksudkan ayah. Ia yaitu pemimpin pemberontak yg berasal dr kampung kami.
Esok harinya, sempurna pada Minggu pagi, beberapa prajurit sudah berkumpul di depan rumah. Tepatnya duduk di pondok kecil buatan ayahku. Mereka membawa perbekalan, senjata lengkap & satu truk reo yg terparkir tak jauh dr pondok.
Pondok produksi ayah, yg sebelumnya cuma berupa dinding tipis dr papan kayu, mereka ganti dgn serpihan pohon kelapa yg dibelah dua. Di depan pondok itu ditumpuk-tumpuk karung plastik yg di dalamnya berisi pasir & tanah. Yang tingginya seukuran anak sekolah dasar.
Ayahku tak ke mana-mana pada hari Minggu. Maka, tatkala mereka merenovasi pondok buatannya, ayah hanya melihat dr atas rumah.
“Sungguh, seperti buah simalakama,” bisik ayah pelan pada ibu.
Usai mereka merenovasi pondok buatan ayah, kakak prajurit itu mendekati rumah kami. Wajah ayah pucat. Aku berdiri di belakang ayah.
Setelah sampai di anak tangga, abang tentara itu berkata, “Hei anak kecil, sini kau. Aku bawakan kelereng untukmu,” katanya kepadaku.
Aku mengeluarkan kepala dr bahu ayahku dgn cemas.
“Jangan takut kamu,” katanya lagi.
Aku menyaksikan muka ayah & ayah melihat kepadaku.
“Sini!” katanya lagi sambil menjulurkan tangan kanannya.
“Pergilah,” kata ayahku dgn nada berat & lemah.
Aku menuruni anak tangga dgn kaki gemetar.
“Kau tak usah takut. Ini kubawakan kelereng yg kupecahkan kemarin itu. Ini sebagai gantinya,” katanya lagi sambil merangkulku di bawah rumah panggung.
“Mulai kini kita berkawan ya.”
Ia menjulurkan tangannya kepadaku. Perlahan gue pun menjulurkan tanganku.
“Panggil gue kakak serdadu,” katanya.
Aku mengangguk.
“Oh ya, gue akan berbagi sesuatu untukmu,” katanya.
Setelah itu, ia pergi lagi ke arah pondok bekas buatan ayah. Tidak lama kemudian, ia kembali sambil menjinjing dua helai papan yg pernah dipakai ayah sebagai dinding pondok itu. Tidak lupa pula ia menjinjing palu, paku, & suatu gergaji.
“Aku akan membuatkanmu sebuah kendaraan beroda empat mainan dr kayu ini.”
Ia pun mulai melakukan sesuatu. Pertama, ia mengukur papan itu & kemudian menggergajinya. Papan pertama dibuatnya selaku lantai mobil truk. Ia pula membuat dinding untuk mobil itu. Ia pula mengambil dua sandal jepang ayah yg usang selaku rodanya. Hanya sekitar satu jam ia menuntaskan mobil mainan dr kayu itu.
Aku menjadi bahagia. Ketakutanku tiba-tiba saja hilang.
“Terima kasih, Abang Tentara,” kataku kepadanya.
“Ya, tapi akan gue beri cat pewarna mobil ini. Biar terlihat makin elok,” katanya.
“Terima kasih, Abang Tentara,” kataku lagi kepadanya.
Mendapatkan mobil mainan gres meski terbuat dr kayu sungguh sangat menyenangkanku. Sampai-sampai malamnya gue susah tidur. Aku tak tahu entah hingga pukul berapa kedua mataku benar-benar dapat terpejamkan & melalaikan kendaraan beroda empat itu.
Aku mungkin saja akan terbangun kesiangan seandainya subuh itu tak terjadi perang di depan rumahku. Ayah mempesona tubuhku dr atas ranjang & menjatuhkannya ke lantai rumah. Dalam kantuk gue mendengar suara senjata meletus tak henti-henti.
Ayah mengimpit tubuhku. Ibu melata di sampingku. Tak henti-henti suara ibu mengucap Allahu Akbar. Sedangkan ayah mengucapkan sesuatu dgn amat pelan.
Aku mengerti bahwa sudah terjadi perang. Suara letusan senjata itu sudah tak ajaib lagi bagiku. Entah sudah berulang kali pula gue terjebak dlm suasana perang antara tentara & pemberontak. Terakhir di saat gue pulang sekolah, dikala itu tiba-tiba saja puluhan orang berhadap-hadapan di tengah sawah akrab jalan sekolah. Aku pun begitu cepat melata mirip ular. Menundukkan kepala serendah mungkin. Itu kulakukan karena ayah senantiasa menyuruhku bila gue terjebak dlm perang.
Perang itu usai pula di saat gue nyaris kekurangan napas diimpit badan ayah. Suasana sunyi & sepi. Terdengar dgn pelan suara rintihan. Tapi kemudian diam.
Kurang beberapa menit kemudian terdengar bunyi truk reo berhenti di rumah kami. Suara sepatu lars seperti mengacak-acak halaman rumah & tanah di bawah panggung rumah. Suara mereka begitu ribut. Ada sumpah serapah pada pemberontak. Sesekali suara letusan ke udara.
Tidak lama kemudian, pintu rumah kami ditendang seseorang. Aku sungguh ketakutan. Tiga prajurit masuk ke dlm kamar. Mereka membentak kami. Dengan bergairah ayah mereka bawa. Ibu sangat takut. Dan gue telah kencing di celana.
Siangnya ayah pulang. Mukanya lebam. Bibirnya bengkak. Ayah seperti sudah dipukuli. Pada ibu ayah bercerita bahwa semua serdadu yg mempertahankan pos di depan rumah sudah tewas dlm kontak senjata subuh tadi.
Tentu saja gue kagetmendengar kabar dr ayah. Aku tiba-tiba saja teringat pada kakak serdadu itu. Aku murung padanya. Aku menangis atas kematiannya. Sejak itu gue menaruh mobil truk dr kayu itu di atas lemari rak piring milik ibu. Dan gue mengenangnya sampai hari ini. (*)