Sertifikasi Penceramah Agama

Wacana untuk memberlakukan sertifikasi terhadap para penceramah memunculkan jawaban yang beragam di penduduk . Masalahnya gagasan itu muncul di dikala situasi  masyarakat yang cenderung lebih sensitif dikarenakan rentetan peristiwa di negeri ini yang sebagiannya melibatkan para ulama.
Sebetulnya pandangan baru sertifikasi para penceramah bukan hal baru, dia tidak saja muncul di Indonesia, negara-negara lain pun sudah lebih dahulu mengemukakannya, bahkan negara-negara yang menganut metode hukum Islam atau negara Islam, sebagiannya sudah menerapkan sertifikasi kepada para penceramah khutbah Jum’at ini, mirip Malaysia, Turki dan Brunai Darussalam.
Malaysia misalnya, sertifikasi diterapkan di negara ini dengan tujuan mengendalikan dan memantau masyarakatnya dari dampak maupun aliran-ajaran sesat yang marak tersebar selesai-tamat ini. Sebagai negara yang menerapkan aturan syari’at Islam, negara bertanggung jawab kepada fatwa-aliran yang dipahaminya selaku ancaman bagi kehidupan agama masyarakatnya terutama dalam duduk perkara yang bekerjasama dengan keyakinan dan tauhid. Oleh alasannya itu, Malaysia menerapkan sertifikasi dengan metode sentralisasi, antara lain, teks khutbah yang di sampaikan khatib salat Jum’at dibentuk oleh kantor agama negara, bukan dari individu Sang Penceramah, sekalipun beliau memiliki gagasan menciptakan sendiri tetap mesti disampaikan apalagi dulu ke kantor agama negara untuk dipilih terlebih dahulu. Isi ceramahnya pun dihentikan menyinggung kebijakan pemerintah atau penguasa, dihentikan berpolitik, tidak digaji dan sesekali bisa dicabut izinnya serta ditangkap abdnegara kepolisian kalau tidak memiliki akta. Begitulah kira-kira aturan yang diterapkan di Malaysia sebagaimana disampaikan oleh salah satu Ustaz yang memiliki sertifikasi di Malaysia dikala berdialog dengan Mentri Agama Lukman Hakim Saipuddin, secara live di sebuah stasiun televisi swasta.   
 Wacana untuk memberlakukan sertifikasi terhadap para penceramah memunculkan tanggapan yan Sertifikasi Penceramah Agama
Sistem sertifikasi yang dipraktekkan di Malaysia gampang dimengerti, sebab mereka menerapkan sistem syari’at Islam, di mana seluruh kehidupan umat Islam di negara itu mesti bersumberkan pada perundang-seruan syari’at Islam. Demikian juga dengan negara Islam yang lain mirip Brunai Darussalam, semenjak tahun 1955 Sultan telah melakukan perjuangan penyempurnaan pemerintah, antara lain dengan membentuk majelis agama Islam atas dasar undang-undang agama dan mahkamah qadi. Majelis ini bertugas menasehati Sultan dalam dilema agama Islam. Langkah ini ditempuh untuk menyebabkan Islam betul-betul berfungsi selaku pandangan hidup rakyat Brunei dan satu-satunya ideologi negara, karenanya dibuat jabatan hal ikhwal agama yang tugasnya menyebarluaskan paham Islam, baik di golongan pemerintah beserta aparatnya, maupun terhadap penduduk luas.
Demikian juga Turki, jika beberapa sumber menyebutkan bahwa Turki tergolong negara yang sudah melaksanakan sertifikasi, itu pun sangat gampang diketahui. Di bawah kepemimpinan Erdogen, Turki banyak melakukan pergantian, negara sekuler yang kadang kala menjadi julukan negara ini dengan mengacu pada pemerintahan Republik Turki Modern yang didirikan oleh Mustafa Kemal Attaturk seakan hendak dikembalikan oleh Erdogen pada bentuk kekhilafahan, sebagaimana kekhalifahan Turki Usmani dulu. Selain itu, letak geografis Turki yang terletak di antara Eropa dan Asia, mempermudah negara ini menerima aturan-aturan dari Barat. Bahkan dalam sejarah pengkodifikasian hukumnya, Turki mesti mengadopsi hukum Eropa dalam berbagai bidang hukum (lihat Tahir Mahmood, Family Law Reform in The Muslim, 1972). Oleh alasannya itu, alasan standarisasi penceramah dengan melihat konteks ideologi, sejarah dan geografis, akan lebih gampang dipahami.
Mari kita bandingkan dengan Indonesia. Rakyat Indonesia ialah pemeluk Islam terbesar di dunia. Dalam kehidupan bernegara, regulasi yang mengontrol perihal nilai-nilai aturan Islam yang mereka anut perlu dikelola, sekalipun negara ini bukan negara Islam. Negara dilarang menyerahkan semua persoalan umat Islam terhadap individu masing-masing selama itu berhubungan dan menyangkut persoalan publik, mirip hal tentang perkawinan, waris, talak, haji, zakat, dan lain-lain. Negara pun berkewajiban menampung aspirasi yang bersumber dari nilai-nilai agama.
Namun perlu diingat, Indonesia memiliki karakteristik yang jauh berlainan dengan umat Islam di serpihan mana pun. 
Pertama, rakyat Indonesia sangat plural, baik dalam budaya maupun agama. Pemahaman terhadap agama Islam sendiri aneka macam macam corak. Sekalipun masyarakatnya sendiri lebih banyak didominasi menganut mazhab Syafi’i, namun dalam banyak aturan yang tertuang dalam perundang-permintaan beliau banyak mengambil mazhab di luar mazhab Syafi’i. Hal ini dapat di lihat antara lain dalam Kompilasi Hukum Islam, yakni salah satu aliran yang digunakan oleh para hakim Pengadilan Agama dalam menuntaskan duduk perkara yang berhubungan dengan akad nikah, talak, cerai dan rujuk. Jika dilihat dari sejarah penyusunan Kompilasi Hukum Islam ia tidak hanya mengacu pada literatur satu mazhab, namun juga terhadap mazhab-mazhab lain mirip Hambali, Hanafi dan juga Maliki. Hal ini disebabkan sebab adanya keperluan aturan di Indonesia dalam menghadapi banyak sekali dilema.
Kedua, Indonesia ialah penduduk muslim terbesar di dunia.
Dua argumentasi tersebut setidaknya mampu menjawab pertanyaan, “tepatkah pemerintah menerapkan sertifikasi kepada para penceramah?
Jika aturan Islam yang hendak dibuat perundang-ajakan saja perlu mengacu pada banyak literatur, dan kesepakatan dari banyak pihak, mirip para ulama, para akademisi Islam, penelitian, seminar-seminar, dan kesepakatan-janji lainnya, apalagi untuk memberlakukan sertifikasi para penceramah. Apa tolok ukur baku yang hendak digunakan? Dan apa tidak terlalu banyak persoalan yang akan dihadapi, misalnya:
1). Kewenangan ulama/penceramah dalam memberi pesan amar ma’ruf nahi munkar sangat luas cakupannya. Ajaran agama atau materi yang disampaikan meliputi anutan agama yang tersurat maupun tersirat. Ia pun harus menyampaikan pesan-pesan agama hasil dari ijtihad para ulama tentang masalah baru. Ia dihentikan dipesan oleh para penguasa sesuai kehendaknya. Aktifitas ulama/para penceramah dihentikan dibungkam oleh para penguasa disebabkan perbedaan pandangan, ideologi, politik, dsb. Ia bebas menyampaikan sesuai dengan ajaran Islam yang dipahaminya.  Adanya sertifikasi punya kesan khusus bahwa suara ulama/penceramah sepertinya hendak “dibungkam” paling tidak diawasi.
2). Indonesia tidak mengharuskan kepada umat Islam untuk menganut mazhab tertentu atau mazhab resmi yang mesti diikuti. Tidak ada negara yang bisa dibandingkan dalam hal ini, sebab walaupun Indonesia berpenduduk mayoritas muslim tetapi dia bukan negara Islam sebagaimana Arab Saudi, yang secara resmi memilih mazhab Hambali selaku mazhab resmi pemerintahan Arab Saudi untuk seluruh warganya. Adanya sertifikasi akan menyusahkan sumber aturan Islam yang akan dikaji, karena persyaratan yang hendak dipakai menjadi bias, sebagaimana telah disebutkan bahwa dalam perundang-ajakan saja Indonesia telah mengambil dari berbagai macam pandangan ulama mazhab.
3). Indonesia bukan negara federal maupun kerajaan atau kesultanan yang mesti mengikuti satu arah atau komando. Ia sering menerapkan aturan Islam yang dibingkai dengan aturan budpekerti, yang kadang kala disebut dengan Islam nusantara yakni menggali agama dengan melihat karakteristik adab istiadat nusantara. Jika sertifikasi dipraktekkan,  sertifikasi mirip apa yang dapat mewakili karakteristik seperti ini dan siapa yang layak melakukan sertifikasi? Dari komponen mana, organisasi keagamaan mana, mazhab mana, patokan khusus apa? Dan masih banyak hal lain yang include di dalamnya.
Ketiga hal tersebut barangkali mesti menjadi usulanpemerintah dalam rencana menerapkan sertifikasi penceramah/khatib pada salat Jum’at. Tentu rencana sertifikasi yang digulirkan pemerintah tidak mesti dimaknai sebagai upaya ”paksa” pemerintah kepada para pendakwah selaku sikap absolut dalam menyelamatkan kekuasaannya, sebab di sisi lain memang ada beberapa persoalan yang perlu dibenahi dalam menyampaikan pesan-pesan agama, baik tentang isi maupun figur penceramah/khatib itu sendiri, terutama perlunya perlindungan kepada penyebaran paham-paham sesat.  
 
Namun, hal itu lebih mudah mengatasinya dibandingkan dengan mesti melakukan sertifikasi kepada para penceramah/khatib salat Jum’at, alasannya selain beberapa alasan yang telah diuraikan sebelumnya, hal ini pun dapat mengakibatkan kebisingan di penduduk . Langkah-langkah yang seharusnya ditempuh adalah :
  1. Memberikan edaran terhadap seluruh masjid di Indonesia agar menghadirkan penceramah/khatib yang kredibel.
  2. Isi ceramah sebisa mungkin tidak menyulut pertengkaran dan permusuhan, serta memecah belah umat.
  3. Tidak mengembangkan paham sesat yang diyakini kesesatannya oleh sebagian besar penduduk Indonesia dan telah dikeluarkan fatwanya oleh forum keagamaan resmi, seperti MUI.
  4. Membimbing umat secara persuasif.
Pemerintah pun mesti menyingkir dari tindakan-tindakan yang mampu mengakibatkan kemarahan dan kecurigaan umat Islam, semisal :
  1. Mendata para ulama, sebagaimana berita yang berhembus selesai-tamat ini.
  2. Tidak mendapatkan laporan sepihak dari masyarakat tanpa kroscek terlebih dahulu, karena seringkali pengertian seseorang berlawanan dengan konteks persoalan yang disampaikan oleh para penceramah.
  3. Pemerintah hendaklah memberlakukan hal yang serupa pula terhadap agama selain Islam, jangan memunculkan fikiran adanya perlakuan tidak adil dan diskriminasi, adalah hanya Islam yang dikesankan “senantiasa rusuh, intoleransi, anti kebhinekaan,” dll.
Sebagai epilog, sertifikasi para penceramah agama khususnya bagi khatib shalat Jum’at, belum dan tidak perlu dikerjakan, alasannya adalah selama terpenuhinya komponen syarat, rukun, dan sunah dalam salat Jum’at maka salat dinilai sah. Kemudian selama rukun salat Jum’at ditunaikan antara lain mesti berwasiat takwa terhadap Allah pada dua khutbahnya, apa saja isi wasiat takwa itu dari Sang Khatib yang penting sesuai dengan ajaran Islam, maka sudah dinilai menyanggupi rukun salat Jum’at. Wallahua’lam.