Kaum Muslimin dan Muslimat yang dimuliyakan Allah SWT
Allah Mahabesar. Bukan Tuhan selain Allah. Allah, Tuhan Yang Kasihsayang-Nya begitu luas, jauh lebih luas dari alam semesta ini dan jauh lebih dalam dari lautan samudera. Kasih-Nya dilimpahkan terhadap makhluk-makhluk-Nya dengan tanpa pilihkasih, sayang-Nya dicurahkan tanpa perkiraan dan pamrih. Cinta-Nya begitu suci, bening sebening embun pagi menyegarkan dedaunan dan pepohonan nan hijau terbentang di bumi. Cinta-Nya begitu terang seterang cahaya matahari di siang hari, menerangi makhluk-makhluk-Nya yang melata. Hanya kepada-Nya segala puja dan puji diberikan. Ibadah dan santunan yang kita inginkan hanya patut kita sandarkan kepada-Nya.
Demikian terdengar bunyi takbir dan tahmid bergemuruh dikumandangkan umat Muslim Indonesia dan Muslim sejagat. Dan nun jauh di sana, di kota suci, kaum Muslimin yang sedang menunaikan ibadah haji sudah mengumandangkan bacaan talbiyah, “Labbayk Allahumma Labbayk. Labbaika la Syarika laka Labbaika. Inna al-hamda wa an-ni’mata laka wal mulk la syarika lak” (Kupenuhi panggilan-Mu ya Allah. Kupenuhi panggilan-Mu. Tiada sekutu bagi-Mu. Sesungguhnya puja-puji dan limpahan karunia bersumber dari-Mu semata, kekuasaan pun demikian adanya. Tiada sekutu bagi-Mu). Dengan takbir, yakinlah setiap Muslim bahwa dari Allah mereka tiba, alasannya Allah mereka hidup, dan kepada-Nya juga mereka akan kembali.
Kaum muslimin dan muslimat yang dimuliyakan Allah SWT
Setiap tahun kaum muslimin di aneka macam penjuru dunia berjumpa dengan hari raya Idul Adha (qurban) atau hari raya haji. Pada momen perayaan tersebut, kaum muslimin menunjukkan khidmat dan takzhim lewat kumandang takbir dan tahmid, shalat sunnah berjamaah dan penyembelihan hewan kurban, untuk mendekatkan diri (taqarrub) terhadap Allah, Tuhan yang Mahakuasa. Dengan peringatan Idul Adha, kaum muslimin juga mengekspresikan rasa syukur atas limpahan nikmat yang Allah berikan berbentukkesehatan jasmani dan ruhani, apalagi berupa nikmat doktrin serta Islam yang sudah tertanam kokoh di dalam hati nurani dan dibuktikan dengan amal salih. Karena itu, marilah kita dalam kesempatan idul adha tahun ini merenungkan dan sekaligus menangkap makna terdalam dari perayaan Idul Adha, bahwa pengorbanan harus dikerjakan atas dasar cinta kepada Allah sehingga mampu menggerakkan kebersamaan dan kasih sayang antar sesama baik dalam kondisi suka maupun sedih. Salah satu pesan Allah terhadap umat Muslim adalah meneladani dan memetik pelajaran dari cerita Nabi Ibrahim As. yang sangat berkesan, Allah SWT. berfirman,
“Sesungguhnya terdapat contoh yang bagus bagi kamu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan ia,” (QS. al-Mumtahanah [60]: 4).
Di antara yang perlu kita renungkan yakni peristiwa yang melatarbelakangi disyariatkannya hari raya idul adha atau hari raya kurban. Sebuah insiden yang mendebarkan dan menggetarkan sekaligus mengesankan, yakni perintah Tuhan yang dialamatkan pada seorang ayah, kekasih-Nya, Khalilullah, Nabi Ibrahim as., agar menyembelih anaknya, Ismail, si jantung hati dan kepingan jiwa, untuk dipersembahkan selaku bukti cinta suci kepada Tuhan. Nabi Ibrahim As. bukan cuma mengajarkan, namun juga menandakan bagaimana menyanggupi panggilan-Nya meski diikuti dengan pengorbanan yang teramat besar. Melalui mimpi, dia ditugaskan oleh Allah menyembelih putra kandungnya sendiri, meski kelahirannya sudah dinanti-nanti serta didamba-dambakan selama berpuluh-puluh tahun lamanya. Allah SWT berfirman,
“Maka tatkala anak itu meraih pada umur sanggup berusaha bersam-sama Ibrahim, Ibrahim berkata, “O anakku, bergotong-royong aku menyaksikan dalam mimpiku akan menyembelihmu, maka pikirlanlah bagaimana pendapatmu?” Ia menjawab, “Duhai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, isyaallah akan kau dapati bahwa aku tergolong orang-orang yang sabar”. Tatkala keduanya telah berserah diri, dan Ibrahim membaringkan anaknya di atas pelipisnya. Dan kami panggillah dia, “Hai Ibrahim, bergotong-royong kamu sudah membenarkan mimpi itu. Sesungguhnya demikianlah kami membalas kepada orang-orang yang berbuat baik. Peristiwa ini adalah cobaan yang aktual. Dan kami ganti untuk disembelih seekor hewan (kambing) yang besar. Dan kami abadikan untuk keduanya (pujian yang bagus) di kalangan orang-orang yang tiba kemudian,” (QS. ash-Shafat [37]: 103-107).
Ajaran kurban sejatinya telah disyariatkan sejak Nabi Adam as., dan dilanjutkan oleh para Nabi hingga dengan Nabi Ibrahim dan lalu diabadikan dalam Islam selaku salah satu ritual ibadah mendekatkan diri terhadap Allah. Kurban yang distilahkan dalam bahasa Arab udhiyah ialah nama untuk suatu binatang yang disembelih di hari raya atau hari tasyriq dengan niat mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah. Ibadah kurban haruslah dengan niat yang lurus, tulus dan lapang dada hanya semata karena Allah. Sebagaimana Allah berfirman,
“Daging-daging dan darahnya sekali-kali tidak dapat meraih keridhaan Allah, tetapi ketakwaan kamulah yang mampu mencapainya,” (QS. al-Hajj [22]: 37).
Hukum menyembelih kurban yakni sunnah muakkadah bagi seorang Muslim yang berilmu, baligh (dewasa), merdeka (bukan seorang budak), dan mampu menunaikan ibadah kurban seperti berbelanja binatang yang hendak disembelihnya. Allah SWT. berfirman,
“Dan sudah kami jadikan untan-untan itu sebagian dari syiar Allah,” (QS. al-Hajj; 36).
Dan di ayat lain, Allah SWT. berfirman,
“Maka dirikanlah shalat alasannya adalah Tuhanmu; dan berkurbanlah,” (QS. al-Kautsar: 2).
Kaum muslimin yang dicintai Allah SWT
Ada beberapa pelajaran berguna yang pantas kita petik dari ibadah kurban yang sesuai dengan pemikiran Islam.
Pertama, ibadah kurban yakni amalan yang menghargai kelangsungan hidup manusia. Ini sejalan dengan salah satu tujuan syariat Islam adalah hifzhu al-nafs (mempertahankan jiwa). Nyawa insan sangat berguna dan dihargai dalam Islam. Walaupun perintah dalam mimpinya supaya menyembelih seorang manusia, tetapi dalam kenyataannya Nabi Ibrahim menyembelih seekor hewan ternak. Peristiwa ini ialah abolisi tradisi buruk berbentukpenyembelihan manusia yang dijadikan selaku sesaji dan “tumbal” yang dipersembahkan bagi yang kuasa-tuhan yang mereka sembah. Di Kan’an, bayi-bayi mungil yang tak berdosa dipersembahkan kepada Dewa Bal; di Mesir Kuno, di setiap tahun pada hari kesebelas bulan Kibti, masyarakat Mesir mengadakan ritual dengan menghiasi gadis tercantik jelita dengan hiasa yang paling glamor dan didandani dengan bedak, lipstik dan wewangian yang terhebat kemudian ditenggelamkan ke dalam Sunga Nil hingga ke dasar yang bermaksud demi selaku semebahan Dewa Sungai Nil, dan ritual tersebut dihapus bertahap sampai punah oleh ‘Amr bin al-‘Ash atas persetujuan Amirul Mukmini Umar bin al-Khattab; di Meksico, orang-orang Astec mempersembahkan jantung dan darah manusia terhadap Dewa Matahari; di Eropa Utara, orang-orang Viking mempersembahkan pemuka agama kepada Dewa Odin, Dewa perang yang mereka sembah; di Persia, menyembelih insan untuk sesembahan Dewa; bahkan ritual pengurbanan manusia masih terus berjalan di Eropa hingga pada tahun 657 Masehi ketika undang-undang pelarangan menyembelih manusia sebagai sesaji dirumuskan.
Ritual kurban yang diajarkan oleh agama Islam jauh sama sekali dari praktik pengorbanan nyawa insan. Ajaran kurban dalam Islam dipraktikkan dengan menyembelih hewan ternak yang sehat, utuh dan kuat, yang dagingnya disedekahkan dan dimakan oleh orang banyak. Alih-alih mengorbankan jiwa insan, ritual kurban dalam Islam justru berarti bagi kesehatan, ketangguhan, kebahagiaan, dan kemakmuran insan khususnya kaum dhu’afa (lemah) alasannya adalah mampu menikmati konsumsi daging. Sebagaimana Allah berfirman,
“Makanlah sebagian darinya dan berilah orang yang merasa puas dengan apa yang dimilikinya (meski dia tidak meminta) serta orang-orang yang meminta, semoga mereka menjadi orang yang bersyukur.” (QS. al-Hajj [22]: 36)
Kedua, ibadah kurban mengajarkan tentang cinta kepada Allah yang harus selalu dijunjung tinggi di atas cinta kita kepada anak. Dalam kehidupan konkret, tak sedikit orang bau tanah yang mengakibatkan anak segala-galanya, sehingga merendahkan bahkan melewatkan cintanya terhadap Allah. Demi merealisasikan rasa cintanya terhadap sang anak, banyak orang bau tanah yang buta dan lupa akan syariat agama. Kisah Ibrahim yang mematuhi perintah Allah dalam mimpinya untuk menyembelih putranya pertanda kesetiaan cintanya yang total kepada Allah. Ajaran Islam memastikan bahwa orang bau tanah mesti mencintai anaknya dengan menyanggupi keperluan hidupnya melalui pengasuhan, tutorial, keteladanan, training, dan pendidikan sesuai dengan pertumbuhan kejiwaannya. Dalam waktu yang bersamaan, ajaran Islam juga mengingatkan akan timbulnya fitnah yang bersumber dari perlakuan atas nama cinta yang berlebihan kepada sang anak.
Ketiga, cerita obrolan antara Ibrahim dan Isma’il dalam menetapkan perintah penyembelihan menggambarkan proses pendidikan cinta terhadap Allah. Ibrahim dikenal selaku khalilullah yang mempunyai arti kekasih Allah. Gelar ini sejatinya menegaskan bahwa Ibrahim yaitu figur yang niscaya tunduk dan patuh pada perintah Allah. Tapi dalam kisah al-Qur’an, Ibrahim memutuskan niat menyembelih putranya setelah melalui kekalutan batin dan dialog dengan putranya dalam bingkai keimanan terhadap Allah. Ini menggambarkan bahwa proses cinta terhadap Allah harus dibangun lewat proses pendidikan dan pembelajaran. Dengan kata lain, pendidikan yang bagus mesti memprioritaskan perhatiannya pada penanaman dan penyesuaian cinta kepada Sang Khaliq.
Keempat, Isma’il adalah sosok pemuda yang berfikir matang dan bervisi periode depan. Tidak terkecoh oleh kenikmatan sesaat yang acap kali mengecohkan para cowok. Menyadari bahwa segala sesuatu membutuhkan pengorbanan adalah prinsip Ismail. Melihat prinsipnya itu merefleksikan sikapnya dalam menjangkau sesuatu tidak instan, memerlukan ketekunan, ada proses dan mekanisme yang mesti dilalui, dan tidak tergesa-gesa. Isma’il, meski berumur muda, akan namun bersikap dan bertindak dengan ilmunya selaksa orang yang sudah cukup umur dan matang. Sebaik-baik anak muda yaitu anak muda yang berprilaku mirip orang bau tanah. Sedangkan seburuk-jelek orang bau tanah ialah orang tua yang berprilaku seperti anak muda. Teladan Isma’il sangat bagus dijadikan ikon bagi bawah umur muda dalam membangun peradaban.
Kelima, hewan kurban ialah simbol nafsu kebinatangan yang bersemayam dalam diri manusia. Nafsu kebinatangan yang secara binal mendorong manusia bertindak semena-mena, buas, rakus, hilangnya rasa aib, a-susila, dan mengabaikan pertimbangan logika sehat. Nabi mengumpamakan orang yang tidak berakhlak bagaikan Lalat, Nabi berkata, “Laysa al-akhlak ka al-dubab” (orang yang tidak bermoral bagaikan Lalat). Nafsu kebinatangan inilah yang mesti kita waspadai dan kita harus mampu menjinakkan alasannya beliau merupakan musuh yang ada di dalam diri kita sendiri. Proses pematangan kesadaran menuju keparipurnaan ialah bermula dari penundukan segenap pasukan nafsu yang bersemayam di dalam diri insan. Sebab dengan penundukan itu, maka dia akan mampu berbuat kebaikan yang maksimal bagi segenap makhluk dan alam semesta ini.
Makna Idul Adha sebagaimana digambarkan di atas sangat berkaitan untuk kita aktualisasikan dalam kehidupan terbaru ini utamanya bagi kaum muslimin di Indonesia. Sebagai bangsa yang beradab, kita terus berusaha membuat tata kehidupan yang tenang penuh cinta kasih baik dalam sekala kecil pergaulan antar pribadi maupun dalam sekala luas pergaulan antar sesama komunitas. Di sisi lain, sebagai bangsa yang terus mengupayakan pembangunan dalam segala bidang, kita senantiasa berusaha memperkuat kesatuan, persatuan, dan solidaritas untuk kebahagiaan dan kemakmuran seluruh rakyat Indonesia. Dalam waktu yang bersamaan, selaku bagian dari masyarakat dunia, Indonesia terus mengupayakan sumbangan dan peran dalam membangun peradaban modern, manusiawi dan religius. Untuk semua tujuan itu, maka ajaran pengorbanan yang lapang dada dan meningkatkan derajat manusia sebagaimana dipraktikkan dalam ritual kurban mesti ditransformasikan oleh setiap kita pada semua sisi kehidupan.
Pada era modern ini tradisi mengorbankan nyawa insan sebagaimana terjadi pada periode jahiliyah sepertinya telah tidak berlaku. Tapi dalam kenyataannya banyak praktik dan prilaku yang sejatinya mengorbankan nyawa dan menistakan derajat manusia. Peperangan, konflik, bahkan teror yang berujung pada penghancuran insan atas nama usaha ideologi dan agama masih kita saksikan. Dalam praktik kehidupan politik kita, prilaku yang mengecilkan derajat manusia pun masih sering kali dipraktikkan dalam bentuk fitnah, pembunuhan huruf, menjajah, diskriminasi, mengeksploitasi dan memperkosa hak-hak manusia. Dengan momentum perayaan idul adha tahun ini, marilah kita perkuat dan kita persegar arti dan semangat cinta terhadap Allah untuk merealisasikan pengorbanan kita lewat ketundukan dan ibadah kita terhadap Allah, kepatuhan dan kesetiaan kita kepada ulil amri di negeri tercinta, solidaritas dan kepedulian kita terhada penderitaan sesama.
Lebih-lebih pada keadaan tamat-akhir ini dimana sebagian dari saudara-saudara kita tengah menghadapi petaka sebab petaka, sudah sepantasnya hati kita terketuk dan cinta kita terkuak untuk mengorbankan perhatian, asumsi, dan harta kita untuk kebahagiaan dan kesejahteraan sesama. Momen Idul Adha ini, insya Allah akan kian meningkatkan cinta kita kepada Allah yang diwujudkan lewat dedikasi, karya, dan dedikasi kita untuk mengembangkan mutu individu, memperkuat kehidupan keluarga, merealisasikan solidaritas sosial, dan membuat perkembangan bangsa serta mendorong perdamaian dunia.
Untuk semua niat baik di atas dan semua cita-cita era depan yang kita dambakan, marilah dalam peluang yang berbahagia ini kita memanjatkan doa kehadirat Allah SWT., Tuhan yang Maha Rahman dan Rahim.
Ya Allah ya Tuhan kami, jadikanlah negeri kami ini aman sentausa, penduduknya makmur dengan limpahan rizkiMu yang begitu tak terbatasnya, tak terhitungkan dengan alat hitung paling canggih manapun yang ada di dunia ini. Bukakanlah pintu rizki kami seluas-luasnya semoga kami mampu hidup makmur dan sejahtera, serta mampu mensudahi krisis ekonomi yang berkepanjangan ini. Bukakanlah pintu kesehatan dan keamanan. Ya Allah, ya Tuhan kami, jauhilah kami dari mara ancaman. Jadikanlah negeri kami gemah ripah loh jinawi, yang pendudukanya rukun hening, tidak ada konflik, tidak ada perang antar kerabat kita sendiri. Mereka yakni orang-orang yang beriman kepada-Mu ya Allah, dan mereka juga beriman terhadap hari tamat, dengan lezat dan siksa-Mu, dengan nirwana dan neraka-Mu.