Siapa Yang Menciptakan Allah Berdasarkan Islam

Siapa Yang Menciptakan Allah Menurut Islam? Ini ialah salah satu pertanyaan yang paling kerap ditanyakan. Aku mengganggap pertanyaan ini adalah salah satu bukti kenabian Muhammad Shallallahu Alaihi Wa sallam, dikala apa yang ia beritakan menjadi kenyataan, saya menundukkan kepala seraya berkata “Asyahadu anna Muhammadan Rasulullah”.

Iya, beliau ialah utusan Allah yang mulia. Beliau sudah mengabarkan segala sesuatu yang akan terjadi hingga hari akhir zaman, seolah-olah dia duduk di depan layar televisi seraya menceritakan apa yang dia saksikan. Peristiwa-insiden yang beliau sampaikan terjadi satu per satu persis seperti apa yang beliau sampaikan. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa sallam bersabda : “Manusia akan terus mengajukan pertanyaan : ‘Allah menciptakan segala sesuatu, lantas siapa yang menciptakan Allah?’.”. (HR. Muslim)

Ketika pertanyaan tersebut ditanyakan kepadaku, aku berujar dalam hati “Aku bersaksi bahwa Muhammad yaitu delegasi Allah”, Alangkah benar yang Kau lihat dan alangkah benar yang Kau katakan!

Inilah komentar yang paling sempurna dalam menghadapi rendahnya cara berpikir orang-orang yang membangkang, angkuh dan bersikap seperti Firaun sehingga mereka menaruh sifat Tuhan dalam koridor “alasannya adalah-akibat”, serta berusaha menerangkan segala sesuatu dengan format itu.

Siapa Yang Menciptakan Allah Menurut Islam Siapa Yang Menciptakan Allah Menurut Islam
Kembali terhadap persoalan semula, kita bisa menyampaikan bahwa pertanyaan di atas termasuk pertanyaan kaum yang ingkar dan nalar yang tidak cerdas acap kali kesusahan menghadapi pertanyaan semacam itu. Ya, karena mereka tidak mampu mengetahui makna “tak terhingga” dan tidak bisa menganggap kontinuitas rangkaian alasannya adalah-akhir.

Karena itu kita melihat orang-orang seperti itu bimbang dan ragu. Ia mengira bahwa Allah juga mirip yang lain, sehingga terdapat pula alasannya adalah akan kemunculan-Nya, dengan kata lain, Ia juga ialah hasil atau balasan. Tentu saja hal ini yakni ilusi yang didasarkan pada ketidaktahuannya kepada Sang pencipta, sebab Allah lah yang mewujudkan “karena-akhir” tanpa ada permulaan bagi wujud-Nya.

Dengan bersandar, pada kaidah-kaidah tertentu, para ulama jago kalam menetapkan bahwa aturan sebab-balasan mustahil terus terangkai sampai tak terhingga. Mereka berusaha menandakan bahwa Penyebab terjadinya hukum sebab-balasan ialah Allah SWT. Dalam hal ini, kita bisa merangkum pemikiran mereka dengan satu dua teladan.

Menurut para jago Kalam, pendapat yang menyatakan  bahwa rangkaian sebab-akhir terus berlangsung tanpa pernah berhenti memperlihatkan kebodohannya terhadap substansi sebab-balasan dan kelalaian kepada Sang Pencipta. Iya, sangat tidak benar jika kita meyakini bahwa segala sesuatu itu “terus menerus” mempunyai alasannya adalah. Misalkan ketika kita menyampaikan bahwa hijaunya permukaan bumi oleh flora bergantung kepada ketersediaan udara, air dan matahari, kemudian udara, air dan matahari tergantung kepada beberapa bagian mirip oksigen, hidrogen, karbon dan nitrogen, lalu keberadaan komponen-bagian tadi tergantung terhadap partikel-partikel lain yang lebih kecil, lalu partikel-partikel kecil tadi tergantung lagi terhadap partikel-partikel yang lebih kecil lagi, demikian seterusnya.

  Pemahaman Rasm Al Quran Dan Sejarah Mushaf Utsmani

Dugaan bahwa hubungan karena-balasan itu mungkin terus terangkai terus menerus tanpa berakhir ialah sebuah kerancuan dan ketertipuan.

Ya, persepsi bahwa ini ialah hasil ini, ini adalah akhir dari ini dan seterusnya tidak akan bisa menyelesaikan masalah. Bahkan sebaliknya, itu membuat problem terus tak terjawab, alasannya prasangka bahwa itu merupakan jawaban, tak ubahnya mirip dugaan bahwa kemungkinan telur berasal dari ayam atau ayam berasal dari telur yang berlangsung selamanya. Dugaan atau sandaran akan terus bergantung sampai kita menggantungkan atau menisbahkan ayam dan telur kepada “Wujud Azali” yang mempunyai kekuasaan tak terhingga. Ketika kita menisbahkan mereka terhadap Sang Pencipta yang azali, maka seluruh kerumitan mampu terjawab, sebab sama saja apakah telur yang lebih dahulu diciptakan ataukah ayam yang kemudian diberi kemampuan memproduksi telur untuk melanjutkan keturunannya. Keduanya, ayam lebih dulu atau telur lebih dulu, sama saja bagi Allah SWT.

Kemudian, kami akan memberi contoh lain, misalkan saya duduk di sebuah dingklik yang kaki belakangnya tidak ada. Agar bangku itu tidak terjatuh, maka aku sandarkan terhadap bangku lain yang kondisinya sama. Lalu bangku tersebut disandarkan terhadap kursi lainnya. Begitu seterusnya hingga tidak selsai, artinya hingga jumlah yang tidak mampu dibayangkan oleh logika dan tidak bisa ditampung oleh ruang dan waktu. Meskipun demikian, bila dingklik-bangku itu tidak disandarkan terhadap bangku permanen yang memiliki empat kaki, kendati terus berlanjut hingga tanpa jadinya, maka tak ada gunanya, semua bangku itu pasti akan tumbang.

Contoh lain ialah angka nol di depan kita. Apabila angka nol tidak ditambah dengan angka lain dari satu sampai dengan sembilan di sebelah kirinya, dia akan tetap kosong dan tak bernilai meskipun engkau menaruh 1 triliun angka nol. Namun dikala engkau meletakkan di sebelah kirinya suatu angka lain, bilangan nol itu akan menjadi bernilai. Ini artinya, ketika sesuatu tidak mempunya wujud mampu berdiri diatas kaki sendiri yang bangun sendiri, eksistensi entitas lain yang sama lemahnya tidak mampu memberikannya wujud kepadanya. Karena terkumpulnya sejumlah entitas lemah pada kawasan dan hal yang serupa hanya menambah kelemahan dan keperluan.

  Adat Bisnis Menurut Al Quran

Ya, segala sesuatu timbul belakangan dan Allah lah yang membuat segala sesuatu, sedangkan Allah selaku Allah tidaklah diciptakan. Semua makhluk lemah dan membutuhkan sedangkan eksistensi Allah dan Zat-Nya tidak membutuhkan apapun. Dia benar-benarmaha kaya. Segala sesuatu bersandar dan bergantung kepada-Nya. Semua teka-teki yang seperti tak terjawab menjadi terperinci dengan-Nya. Dia lah Sang Maha Pencipta. Dia lah yang maha awal dan maha selesai. Kaprikornus bagaimana munkin kita mencari sebab bagi-Nya?

Kami akan memperlihatkan acuan lain lagi: Gerbong terakhir dari rangkaian gerbong kereta ditarik oleh gerbong yang persis ada di depannya. Gerbong itu ditarik lagi oleh gerbong di depannya, demikian seterusnya sampai hingga terhadap lokomotif penggagas yang mempesona kereta. Ketika sudah hingga pada mesin pencetus itu, kita mampu berkata “Mesin penggagas inilah yang menggerakkan dirinya sendiri”. Contoh-pola tersebut adalah bagian dari makhluk Allah. Nah, betapapun mereka yang tertipu itu berpindah dari satu karena terhadap alasannya adalah lainnya, mereka niscaya akan sampai kepada alasannya adalah yang mustahil membuat mereka mengarah kepada alasannya adalah lain. Pada dikala itu, kita bertanya terhadap mereka: “Inilah final dari segala alasannya adalah, lalu anda cari apa lagi?”.

Kemudian, ada persoalan lain yang mengeruhkan kejenihan nalar sebagian manusia, yaitu bahwa kesanggupan berpikir insan yang terbatas, tidak dapat menangkap pengertian Azali. Karena itu, kita memperoleh sekelompok orang yang menisbahkan sifat Azali kepada materi, kemudian memutuskan kemungkinan sudah terjadinya sesuatu yang tidak logis pada era kemudian yang jauh yang tidak dapat diterangkan dengan angka-angka.

Azali bukanlah penghujung dari periode lalu. Ia tidak mampu dibatasi oleh periode atau zaman. Seandainya zaman itu berupa 1 triliun x 1 triliun tahun, dia tetap tidak meraih 1 persen pun dari keazalian. Sementara itu, semua orang pada saat ini mengenali bahwa materi yang ialah landasan rantai alasannya itu memiliki permulaan yang terang. Gerakan elektron, diam-diam fisika biji atom, aktifitas matahari yang terus menerus memancarkan cahaya, serta aturan termodinamika yang merupakan aturan alam yang integral, menawarkan bahwa segala sesuatu mempunyai akhir. Semua hal di atas menjadi bukti yang terang seperti jelasnya bintang, dan menjadi dalil yang jelas seterang cahaya matahari. Bahwa segala sesuatu yang mempunyai final, niscaya memiliki awal. Ini ialah aksioma yang tidak perlu diperdebatkan lagi.

  Perniagaan Yang Tidak Akan Merugi

Karena itu, entitas apapun yang mempunyai wujud, pada hakikatnya sudah menjadi dalil akan adanya Sang Pencipta. Demikian pula, kelenyapan dan kefanaan wujud setiap entitas, menujukkan bahwa Sang Pencipta itu tidak berawal dan tidak rampung. Sebab, dengan adanya kaidah “Yang bermula pasti selsai”, kita mampu mengetahui bahwa “Yang tidak berpermulaan tidak akan berakhir”.

Karena itu kita menyaksikan bahwa materi dan segala sesuatu yang berasal dari bahan, apabila ketika ini ada, maka esok akan tiada. Hanya saja, lambatnya perjalanan alam menuju kefanaan terkadang menipu banyak orang. Yang terang, perjalanan alam yang terus berkembang dan meluas dalam rentang waktu yang panjang itu niscaya sedang menuju kefanaan. Ya, alam bahan yang walaupun hari ini ada, tidak mampu disanggah lagi –sesuai dengan beberapa penelitian- mengarah kepada perubahan dan kefanaan. Dengan kata lain, segala sesuatu itu fana, kecuali Sang Maha ada yang eksistensi-Nya tidak bergantung terhadap selain-Nya.

Kesimpulannya, Allah SWT itu ada. Dia lah Pencipta segala sesuatu. Anggapan bahwa Dia yaitu makhluk (ciptaan), merupakan persepsi kurang pandai yang menisbahkan kemakhlukan terhadap Sang Khaliq (Pencipta) serta tidak membedakan antara Khaliq dan makhluk. Kaum Ateis dan Kafir yang memunculkan pandangan dan asumsi tersebut –yang telah menciptakan manusia bimbang dan ragu- hendak tampil dengan mengedepankan rasio. Namun mereka tidak sadar bahwa mereka sudah jatuh ke dalam kontradiksi yang sangat terperinci antara rasio dan akal. Lalu siapakah yang ketika ini masih menatap bahwa materi itu Azali dan mengingkari ketuhanan? Pandangan ini tidak cuma gila, tetapi juga menawarkan kebodohan dan fanatisme buta.

Akan namun, meskipun sebagian kaum materialis (Ateis) yang tidak dapat menyelami pengertian segala sesuatu, tidak mampu memahami kefanaan dan kehancuran yang akan menimpa bahan, mereka akan tetap –meskipun telah memahaminya- berlindung di balik pandangan itu untuk menipu orang-orang awam. Dan Allah yang wawasan-Nya mencakup segala sesuatu lah yang paling tahu perihal hakikat sesuatu!

Diambil dari buku Islam Rahmatan Lil Alamin, terjemahan kitab أسئلة العصر المحيرة karya Syaikh Muhammad Fathullah.