Khutbah Lebaran Muhasabah Diri: Mendaki Jalan Ketakwaan Menjangkau Hidup Berkemajuan

Khutbah Idul Fitri Muhasabah Diri: Mendaki Jalan Ketakwaan Meraih Hidup Berkemajuan

Alhamdu Lillahi Al-ladzi Arsala Rasuulahu Bi Al-Hudaa Wadiini Ala-Haqq, Liyuzhhirahu ‘Alaa Diini Kullihi Wakafaa Billaahi Syahiidaa. Asyhadu Anlaa Ilaaha Illa Al-Laahu Wahdahu Laa Syariika lah, Wa Asyhadu Anna Muhammadan ‘Abduhu Warasuuluh. Allaahumma Shalli ‘Alaa Muhammadin Wa ‘Alaa -Aalihi WaShahbihi Ajma’iin. Allaahu Akbar, Allaahu Akbar, Allaahu Akabar

Kaum Muslimin dan Muslimat yang berbahagia, Tiada yang patut kita ungkapkan kecuali rasa syukur kehadirat Allah SWT bahwa saat ini kita dapat merayakan Idul Fitri, hari  raya kesucian,  hari  raya kekuatan, dan hari raya kemenangan. Kata fitrah mengandung arti kesucian dan kekuatan. Manusia terlahir ke wajah bumi  dengan  fitrah  kemanusiaan  yang  suci  ialah tidak  menenteng  dosa  warisan  dari  siapapun, baik kedua orang renta yang melahirkannya, maupun Adam dan Hawa moyang umat insan. Sebaliknya, fitrah kemanusiaan mewarisi kesucian, alasannya ruh yang dihembuskan ke dalam jasad beberapa bulan sebelum kelahiran terikat persetujuansuci dengan Sang Pencipta.

Hal ini diabadikan dalam Al-Quran berupa dialog arwah dan Sang Pencipta: Alastu birobbikum (bukankahaku Tuhanmu?), dan dijawab Bala syahidna (ya, kami bersaksi  bahwa  bahwasanya  Engkau adalah Tuhan kami). Fitrah  kemanusiaan  juga  mewarisi  kekuatan,  karena ruh  yang  dihembuskan  ke dalam jasad berasal dari DzatYang Maha Sempurna dengan segala nama-nama kebaikan (al-asma’ al-husna).

Inilah  yang  menenteng manusia memiliki potensi-peluanginsani yang parallel dengan sifat-sifat ketuhanan itu. Fitrah kemanusiaan dengan demikian berdimensi ganda: kesucian dan kekuatan. Jika keduanya dikembangkan secara simultan maka akan melahirkan manusia fitri, adalah manusia dengan kepribadian suci dan berpengaruh. Inilah kepribadian orang-orang  yang  bertakwa yang merupakan tujuan ibadah-ibadah Ramadhan. Jika kita bisa mempunyai kesucian dan kekuatan diri  maka kita  akan menemukan kemenangan. Itulah yang kita rayakan  pada  hari  ini  adalah  kemenangan kaum beriman mengontrol hawa nafsu selama sebulan sarat sehingga terlahir kembali sebagai manusia paripurna sarat kesucian dan kekuatan diri.

Jamaah Shalat Idul Fitri yang berbahagia,

Kemenangan yang diraih kaum beriman yang telah berhasil menempuh  pelatihan  Ramadhan  adalah kemenangan  dari  jihad  besar  atau al-jihad  al-akbar Jihad  ini  lebih  tinggi  nilainya  dari  pada  berjuang dijalan  Allah  dengan berperang yang cuma ialah jihad kecil atau al-jihad al-ashghar.  Mengendalikan hawa  nafsu  disebut  selaku   jihad  besar  ialah  sebab pengendalian   hawa   nafsu   adalah   tindakan yang sungguh berat dan susah dilakukan insan. Hawa nafsu cenderung mendorong insan kepada kejelekan (al-nafs al-ammarah bi al-su’). Sebagai hasilnya, insan yang  condong  mengikuti  hawa nafsu  akan  terjebak ke dalam  kekejian, kemungkaran, dan kezaliman. Inilah  yang  remaja  ini  berkembang menjadi dalam kehidupan penduduk dalam banyak sekali bentuk kekerasan, pembunuhan, perzinahan, pencurian, korupsi, sampaikepada  penyalahgunaan  dan  penyelewengan  amanat jabatan.

Semuanya itu menawarkan terjadinya kerusakan sopan santun dalam penduduk , yang melanda tidak hanya bawah umur dan  sampaumur,  tetapi  juga  orang-orang  remaja. Kerusakan  watak  ini  merupakan  masalah besar  bagi bangsa,  dan bahkan  dapat  meruntuhkan  kehidupan bangsa. Pepatah Arab mengatakan: “Dengan akhlak sesuatu bangsa bangun tegak, bila etika runtuh bangsa itu menjadi rapuh”. Bangsa Indonesia yang besar dan memiliki modal sosial dan  modal  budaya  yang  tinggi  kini  mengalami pergantian dan perubahan.
Pertama, jikalau dahulu bangsa dikenal  selaku bangsa yang ramah tamah, kini ada gejala sebagian anak bangsa cenderung pemarah, gampang tersinggung, dan kemudian menempuh jalan kekerasan dalam menuntaskan duduk perkara. Mereka tega menghilangkan  nyawa orang lain hanya karena harga diri dan problem sepele. Sebagian  belum dewasa  bangsa terjebak  ke dalam  fanatisme  buta  dalam  membela agama dari pada  berbagi toleransi yang  ikhlas kepada sesama.

Kedua,  bangsa  Indonesia  juga  diketahui   sebagai  bangsa pejuang, sehingga bisa bertahan tiga setengah periode kepada  penjajahan.  Monumen  di  mana  kita  berada kini  adalah  bukti  sejarah  ihwal kepejuangan itu. Sebagai bangsa pejuang, bangsa Indonesia diketahui tidak   kenal   letih   dan   pantang menyerah kepada  segala  macam  tantangan.  Inilah  yang  terpantul  dari pepatah  “sekali  layar terkembang  pantang  mundur ke  belakang”.  Namun  kini  daya  juang  itu  mulai menyusut,  tergerus oleh  zaman.  Sebagian  bawah umur bangsa  condong  menjadi  pecundang.  Mereka  tidak tahan terhadap ujian dan cobaan, sehingga mengambil jalan  pintas  menerabas  hukum  dan  undang-undang menghalalkan  secara cara untuk mencapai tujuan. Daya  juang  pun  menyusut  ketika  bawah umur  bangsa tidak  siap  bersaing  dan  bertanding,  bahkan  terjatuh pada  kecenderungan  membanggakan  bangsa-bangsa lain yang dianggapnya maju dan moderen. Anak-anak bangsa kehilangan jati diri dan tidak besar hati kepada bangsa sendiri.

  Khutbah Lebaran Yang Sungguh Mengharukan: Meneguhkan Islam Rahmatan Lil 'Aalamin
Ketiga, bangsa Indonesia juga populer sebagai bangsa yang bergotong royong. Mereka   pundak   membahu dan  saling  membantu  dalam  banyak sekali  problem  dan aktivitas. Sudah  menjadi  tradisi  didesa  maupun dikota  antar  sesama  warga  penduduk   bekerja  sama menyelesaikan  peran  bareng   dalam  prinsip “berat sama dipikul, ringan sama dijinjing”. Namun kini etos kegotongroyongan mulai mengendur tergerus waktu.  Semangat  kegotongroyongan  tergantikan  oleh kecenderungan hidup bernafsi-nafsi untuk hidup  dan selamat sendiri. Jika dalam semangat kegotongroyongan terdapat  keikhlasan  dan  ketulusan untuk  membantu sesama  seperti  terdapat  dalam  peribahasa “sepi  ing pamrih rame ing gawe”, sekarang segala sesuatu diukur dari sudut bahan atau bendawi.
Jamaah Shalat Idul Fitri yang dirahmati,

Tentu gambaran tadi   tidak   merefleksikan   realitas penduduk   secara  keseluruhan.  Masih  banyak warga bangsa   yang   masih   mengamalkan   susila   bangsa  yang  sejati,  baik dalam keramah  tamahan, semangat kejuangan, dan semangat kegotong royongan. Namun, potret  buram perlu diungkapkan biar  kita mampu melakukan muhasabah (mawas diri) dan muraqabah (jaga diri) bahwa ada problem dalam kehidupan masyarakat kita. Memang globalisasi  dan  modernisasi  sudah  menjinjing imbas ke dalam  kehidupan bangsa, baik konkret maupun negatif.  Pada sisi positif, globalisasi dan   modernisasi sudah menjinjing pertumbuhan dan fasilitas  bagi  kita  dalam  berkomunikasi  satu sama lain, menemukan berita dan wawasan ihwal aneka macam  macam  hal,  khususnya  balasan  perkembangan teknologi  berita. Tetapi  pada sisi  lain, kemajuan tersebut  juga  menjinjing   efek  negatif. Globalisasi dan modernisasi juga melahirkan  manusia-insan individualistik yang cenderung mendewakan diri sendiri,  materialistik yang condong mendewakan materi dan hal bendawi, dan hedonistik yang condong mendewakan pemuasan kehendak badani.

Ketiga kecenderungan ini, yang menempatkan manusia selaku pusat kesadaran dan kehidupan, bekerjsama merupakan perilaku-sikap yang anti Tuhan. Padahal Islam dengan anutan tauhidnya sungguh menekankan bahwa  Tuhanlah  yang  mesti  menjadi  pusat  kesadaran dan  kehidupan  manusia. Itulah yang terpantul  dari syahadat kita: La ilaha illallah, Muhammad Rasulullah. Bahkan lebih dari pada itu, Islam mengajarkan bahwa hidup kita di dunia yang bersifat sementara ini haruslah diarahkan terhadap Allah SWT, alasannya adalah  Dialah  yang menjadi  tujuan  dan  muara  hidup  kita,  sebagaimana terdapat  dalam  istilah inna lillahi wa inna  ilaihi roji’un, bergotong-royong  kita  milik  Allah,  berasal  dari Allah dan akan kembali ke hadiratNya.

Jamaah shalat lebaran yang dirahmati,

Oleh alasannya itu, lebaran yang kita rayakan hari ini yakni momentum bagi kita untuk kembali ke fitrah kemanusiaan  sejati,  ialah  kepribadian  suci  dan  kuat. Kepribadian  inilah    yang  terlahir  dari  shaimin dan shaimat, adalah mereka yang sudah menempuh pembinaan Ramadhan  sebulan  sarat   dengan  sarat   keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT. Memang ibadat-ibadat Ramadhan mempunyai dua fungsi utama, ialah penyucian diri (tazkiyat al-nafs atau self refinement) dan penguatan  diri (tarqiyat  al-nafs atau self empowerment). Selama sebulan penuh para shaimin dan  shaimat  menyucikan  jiwa  dari  segala  noda  dan dosa,  dengan  memajukan  korelasi  dengan  Allah SWT melalui puasa, qiyamul lail, dzikir, i’tikaf, dan lain sebagainya.  Selama  sebulan  penuh  pula,  para  shaimin dan   shaimat mengembangkan kapasitas diri, dengan memperlihatkan jati diri yang sejati selaku insan dengan  potensi-potensi  positif  dan konstruktif, untuk kehidupan. 

Hal ini ditunjukkan dengan kecenderungan menyebarkan terhadap sesama, menyebarkan solidaritas dan kesetiakawanan sosial, serta budaya silaturrahmi. Dari  kedua  fungsi  Ramadhan  tadi  dibutuhkan  kaum beriman kembali menemukan fitrah kemanusiaannya yang sejati. Fitrah kemanusiaan ini akan menampilkan kepribadian paripurna, yaitu kepribadian yang bernafaskan etika  mulia. Seseorang yang mampu mencapai tingkat kepribadian  paripurna  ini  yaitu orang  yang  berhasil  meraih  puncak  keberagamaan, ialah  adab   mulia.   Akhlak   mulia   yakni   hakikat sekaligus muara keberagamaan. Rasulullah bersabda:

إنما بعثت لأتم صالح الاخلق

“Sesungguhnya  saya  diutus  untuk  menyebarkan adab mulia”

Maka   oleh   karena   itu   para   ulama   merumuskan sistematika   keberagamaan dalam Trilogi Akidah –Ibadah–Akhlak, yang sejalan dengan Trilogi Iman–Islam–Ihsan. Ketiganya dapat dipandang  sebagai Piramida Keberagamaan, adalah   doktrin   atau   iktikad  selaku   titik  tolak,  islam  atau  ibadah  selaku   jalan, dan akhlak atau ihsan sebagai muara atau tujuan tamat. Dalam  kaitan  ini,  ibadat  seperti  puasa  dan amal-amal Ramadhan lainya hanyalah jalan untuk menuju tujuan adalah pengamalan adab mulia.
Oleh sebab  itu,  Ramadhan  yang  kita lalui sebulan yang lalu bukanlah tujuan terakhir. Ramadhan hanyalah jalan dan tonggak pendakian menuju puncak atau  tujuan. Puncak dan tujuan  itu  yaitu  meraih akhlak mulia. Keberagamaan  sejati  haruslah  bisa membuahkan budpekerti mulia.  Namun, adab mulia dalam persepsi  Islam  tidak  cuma  tentang  nilai-nilai  budpekerti  kesusilaan  mirip  berlaku  baik,  sopan,  dan santun terhadap sesama, namun juga menyangkut nilai-nilai etos kesosialan  seperti  kerja  keras,  kerja keras, kerja  sama,  daya  juang,  dan  daya  saing  serta  orientasi terhadap kemajuan dan keunggulan.

  Khutbah Lebaran Yang Menggugah Hati Dan Menyayat Hati: Saat-Saat Hari Raya Lebaran

Kaum Muslimin dan Muslimat yang dirahmati,

Islam ialah agama perkembangan dan kelebihan. Sebagai agama perkembangan (din al-hadharah), Islam menganjur-kan  terhadap  pemeluknya  untuk  mampu  menampilkan kehidupan  yang  maju  dan  dinamis, bukan kehidupan yang pasif dan stagnan. Rasulullah SAW berpesan: “Barang siapa yang mampu menciptakan hari ini lebih baik dari hari kemarin yakni orang yang sukses;  dan kalau cuma bisa menciptakan hari ini sama dengan hari  kemarin  bekerjsama  dia  gagal;  apalagi  jika gagal membuat hari ini lebih baik atau sama darihari kemarin maka dia ialah orang terhina”.

Dari hadits tadi  sungguh  terang bahwa umat Islam  harus berorientasi terhadap mutu dan dinamika kehidupan. Kehidupan  umat  Islam,  baik secara  individu  maupun kolektif,  harus  bergerak maju  merebut  mutu.  Hal  ini sejalan  dengan  adagium globalisasi  bahwa “no  longer number  counts,  but  quality counts” atau  tidak  lagi angka yang berbilang, namun  mutulah yang berhitung dan dipertimbangkan. Maka bagi umat Islam, khususnya di Indonesia, menjadi golongan dominan  dalam kuantitas tanpa mutu  yaitu  hampa,   menjadi kalangan  mayoritas  dalam  kuantitas  dengan  mutu barulah berharga.

Dari hadits tadi pula sangat terang bahwa salah satu syarat untuk  mampu  memperlihatkan  kehidupan  yang  maju  dan dinamis yaitu dengan mempunyai kesadaran akan waktu, bahwa waktu itu penting maka harus diisi dengan aksi dan prestasi. Al-Quran adalah satu-satunya kitab suci yang paling banyak menegaskan pentingnya waktu, dan bahkan menampung sumpah Allah atas waktu mirip pada ayat: Wal‘ashri-demi waktu, walfajri-demi waktu fajar, wal laily-demi waktu malam, wad dhuha,-demi waktu dhuha, was syamsi-demi matahari, wan najmi –demi bintang, wal qamari – demi bulan, dan seterusnya. 

Kesadaran akan nilai waktu dan keharusan mengisinya ialah pangkal pertumbuhan. Islam  menuntut  umat  Islam  untuk  bisa  merebut perkembangan   dan   kelebihan   dalam   berkebudayaan  dan   berperadaban.  Untuk   itu Al-Qur’an   telah menawarkan jalan sebagaimana firman Allah:

“Mereka  (umat  Islam) akan  ditimpa oleh  kehinaan dalam mereka membangun kebudayaan dan peradaban kecuali jika mereka mampu mengembangkan relasi   dengan Allah  (yang  berkorelasi  faktual dengan)  hubungan  dengan sesama  manusia, dan  mereka juga ditimpa oleh kemiskinan. . .

Ayat  ini  menerangkan  bahwa  umat  Islam  akan  ditimpa oleh  kehinaan  dan  kemiskinan  kecuali  bila  mereka menyebarkan   relasi   vertikal   dengan   Allah  atau hablun    minallah dan    kekerabatan    horizontal dengan   sesama   insan   atau hablun    minannas. Sebagai mafhum mukhalafah, mampu dikatakan bahwa keterpurukan  dan  kemiskinan  yang  menimpa  umat Islam   dewasa   ini   yakni   alasannya adalah   ketidakmampuan  mereka  dalam  menyebarkan hablun  minallah dan hablun  minannas dalam  hubungan  aktual,  dinamis  dan efektif.  Maksudnya,  bahwa  antara  keduanya  haruslah terjalin  relasi  integral  yang  menenteng  imbas kasatmata,   dinamis   dan   efektif.   Maka   solusi   terhadap  fenomena  keterpurukan  dan  kemiskinan  umat  Islam sampaumur   ini   yakni   dengan   mengembangkan   kedua  
hubungan tadi secara terintegrasi, bahwa yang pertama (hablun  minallah)  haruslah  menjinjing   efek aktual dan efektif ke dalam yang kedua (hablun minannas).

Integrasi hablun minallah dan hablun minannas secara aktual  dan  efektif  mampu  dikerjakan  jikalau  ibadat-ibadat yang  kita  lakukan dapat  menjinjing   pengaruh  sistemik ke  dalam  perilaku  bermoral  dan  beretika,  sehingga kita mampu membuatkan kebersamaan dalam membangun kebudayaan dan peradaban utama. Hal ini mampu terwujud bila umat Islam, selaku khaira ummah atau  umat  terbaik,  terdiri  dari  individu-individu  yang berkepribadian suci dan berpengaruh.

Jamaah Shalat Idul Fitri yang dirahmati,

Pesan  dan  etika  Islam  supaya  umat  Islam  menempuh jalan  mendaki  dalam  keberagamaan  dan  kehidupan sungguh  berhubungan   dengan  tantangan  yang  dihadapi  umat Islam  dan  bangsa  sampaumur  ini.  Pada  abad  moderen  dan global   akil balig cukup akal   ini,   setiap   Muslim   dituntut   untuk  mampu   menampilkan   komitmen   ketauhidan   dan  kehanifan,   adalah   berpegang   teguh   pada   nilai-nilai  agama dan bersikap konsekwen serta konsisten dalam menjalankannya.  Tentu  dengan  tidak  mengabaikan nilai-nilai  positif  dari  perkembangan  zaman.  Islam  adalah agama  pertumbuhan  dan  mendorong  pemeluknya  untuk berkehidupan   yang   berkemajuan.   Rasulullah   SAW  bersabda: “Sesungguhnya   agama   yang   diminati   di   segi   Allah  adalah   beragama   dengan   sarat    kehanifan   yang berlapang dada”.

Mengamalkan  kehanifan  yang  berlapang  dada  (penuh keterbukaan   dan   toleransi)   adalah   sejalan   dengan predikat umat Islam sebagai “umat tengahan” (ummatan wasathan). Akidah Islam adalah “doktrin tengahan”, yakni iktikad yang mengedepankan wasathiyah atau orientasi hidup  moderat,  penuh  toleransi,  keseimbangan,  dan kelapangan  dada.  Orientasi  hidup  ini  menjinjing   kita untuk  teguh  dalam  prinsip  tetapi  terbuka  kepada kebenaran dan kebaikan yang tiba dari luar diri kita.

  Khutbah Jumat Menyayat Hati: Untuk Apa Manusia Beribadah
Prinsip wasathiyah (moderasi) dan samhah (toleransi) ini ialah sopan santun Islam yang perlu kita kedepankan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di   Indonesia   tercinta. Kita   ditakdirkan Allah   SWT berada  dalam  latar  dan  situasi  kemajemukan,  baik atas  dasar  agama,  suku,  bahasa  dan  budaya,  maupun paham   keagamaan   dan   organisasi   kemasyarakatan. Terhadap  sesama  Muslim  kita  perlu  mengembangkan persaudaraan   keislaman   (ukhuwah   Islamiyah),   dan  kepada  sesama  bangsa  kita  rajut  dan  kembangkan persaudaraan kebangsaan (ukhuwah wathoniyah).

Dalam kaitan ini, yakni penting bagi umat Islam dan bangsa  Indonesia  untuk  mengamalkan  pengetahuan  baru dalam   kehidupan   kebangsaan   kita,   yang   mungkin  dapat disebut selaku Wawasan Jalan Tengah. Wawasan ini   merupakan   kristalisasi   nilai-nilai   Islam   selaku   “agama jalan tengah” yang menurut pada al- ‘aqidahal- wasithiyyah, dan umat Islam selaku umat tengahan (ummathan wasathan). Inilah Wawasan  Jalan  Tengah (the  middle  path),  yang  ialah  nilai-nilai  Islam Berkemajuan. Sebagai ”umat  tengahan”  umat  Islam diserukan  untuk  memberi  kesaksian  kepada  dunia, ialah dengan memperlihatkan   bukti-bukti   perkembangan  kebudayaan dan peradaban. Islam Jalan Tengah sepertiitu mungkin bisa menjadi solusi bagi Indonesia menuju kebangkitan,  perkembangan  dan  kelebihan.  Jalan  Tengah ini  perlu  menjadi  bab  dari  kesadaran  umat  Islam dan bangsa Indonesia. Jalan Tengah perlu mengkristal menjadi  tabiat  bangsa  merdeka.

Dalam  kaitan  ini, paling  tidak  ada  sepuluh  moral  budaya  merdeka  yang perlu  menjadi  budaya  baru  bangsa  Indonesia.  Dasa  Watak  Budaya  Merdeka  itu  ialah  selaku   berikut:                  

1. Merdeka    dari    kebiasaan    mementingkan    diri  sendiri  atau  kalangan  dengan  mengedepankan 
kepentingan publik dan kepentingan bangsa yang lebih luas;
2. Merdeka dari tirani perasaan benar sendiri menjadi anak bangsa yang toleran dan menghargai perbedaan;
3. Merdeka dari sifat-sifat feodalisme dan primordialisme menjadi egalitarian yang menempatkan sesama  anak  bangsa  dalam  posisi dan perlakuan yang serupa;
4. Merdeka  dari  budaya  yang  cuma  mencela  belaka dengan  membangun  budaya  menghargai  upaya dan hasil karya orang lain;
5. Merdeka dari budaya nepotisme dengan mengedepankan budaya meritokrasi atau prestasi;
6. Merdeka  dari  budaya  kekerasan  menjadi  bangsa yang beradab dalam menyelesaikan setiap dilema;
7. Merdeka dari kebiasaan korupsi dan mulai bekerja membangun  prestasi  dan  menuai  karya  dari  hasil keringat sendiri;
8. Merdeka dari ketergantungan dari bangsa lain dan mulai membangun kemandirian nasional, melalui kerjasama   internasional   yang   adil   dan   saling menguntungkan;
9. Merdeka  dari  rasa  rendah  diri  dalam  pergaulan antar  bangsa dan  menjadi  bangsa yang bangkit sama  tinggi  dengan  bangsa-bangsa  lain  di  dunia ini;
10. Merdeka  dari  kecintaan  pada  dunia  fana  belaka dan  mulai  menyeimbangkan  kehidupan dengan melakukan ajaran agama yang bagus (agama yang fungsional yang tidak cuma berhenti pada spiritualisme pasif namun   berlanjut   pada spiritualisme  aktif  dan  dinamis  yang  mendorong daya saing, etos kerja dan produktifitas sehingga bangsa dapat bersaing di pentas global).

Kaum Muslimin dan Muslimat yang dirahmati,

Adalah saatnya bagi umat Islam untuk bangkit menampilkan wawasan Islam Berkemajuan   untuk menjadi  pilar terwujudnya Indonesia Berkemajuan,  dengan mengaktualisasikan akhlak-etika insan tauhidi yang merdeka. Semoga   segala   amal   ibadah   kita   pada   bulan   suci Ramadhan mampu menghantarkan kita pada momentum Idul Fitri, abad kita terlahir kembali sebagai insan fitri dengan kepribadian paripurna yang suci dan berpengaruh, guna dapat memperlihatkan hidup berkemajuan.

Ya Allah, ampunilah dosa-dosa kami, dosa-dosa orang-orang  yang  beriman  kepadaMu,  baik  yang masih  ada maupun tiada, Ya  Allah,  ampunilah  dosa-dosa  kami  dan  dosa-dosa kedua orang renta kami,  rahmatilah   kedua   mereka,  sebagaimana mereka telah mendidik kami sejak kecil, Ya Allah, berilah kami kekuatan lahir dan batin untuk mampu   beribadat   kepadaMu   dalam   kuantitas   dan kualitas; ya Allah jadilah kami umat yang besar dalam jumlah  dan  bilangan,  tetapi  juga  besar  dalam  mutu  dan kualitas.

Ya  Allah,  terima  segala  amal  ibadah  Ramadhan  kami, jadilah  kami  hamba-hambaMu  yang  dapat  kembali ke  fitrah kemanusiaan  sejati  dengan  kepribadian paripurna, sehingga kami  dapat   mengemban  misi  sebagai   khalifahMu   membangun   kebudayaan   dan peradaban utama di wajah bumiMu, Ya  Allah,  limpahkanlah  bagi  kami  kebaikan  di  dunia dan  kebaikan  di  alam baka,  serta  bebaskanlah  kami  dari siksa neraka. Wassalamu’alaikum Wr. Wb.