Dunia Islam Di Tengah Globalisasi
Tulisan ini membahas bagaimana Islam menganalisa ataupun mengetahui gagasan-pemikiran globalisasi. Pertanyaan yang mendasar dalam tulisan ini ialah apakah Islam menerima globalisasi. Ketika berbicara globalisasi maka yang terlintas dalam anutan kita yakni borderless world. Semua negara bebas untuk melakukan kerjasama dengan negara mana pun dan batas negara bukan penghambat untuk melakukan aktivitas koordinasi. Banyak sekali pengertian ihwal globalisasi yang ditanggapi dengan pendekatan yang berlawanan-beda. Namun secara umum perumpamaan globalisasi mengindikasikan bahwa dunia adalah suatu kontinuitas lingkungan yang terkonstruksi sebagai kesatuan utuh.
Marshall McLuhans menyebut dunia yang diliputi kesadaran globalisasi dengan ungkapan global village. Dunia menjadi sangat transparan sehingga seolah tanpa batas administrasi sebuah negara. Batas-batas geografis suatu negara menjadi kabur. Globalisasi menciptakan negara menjadi transparan akhir perkembangan ilmu wawasan dan teknologi yang makin pesat.
Tulisan ini akan membedah pandangan Islam terhadap globalisasi terkait dengan bagaimana Islam mengevaluasi demokrasi, modernisasi hingga dilema terorisme global.
Penjabaran tulisan ini juga akan memasukkan perdebatan-perdebatan yang terjadi dalam kaitannya dengan globalisasi. Mengawali tulisan ini akan diterangkan globalisasi sebagai proses politik. Hal ini bermaksud untuk menjelaskan globalisasi yang muncul sebagai suatu proses politik, yang nantinya akan dikaitkan bagaimana Islam menyaksikan globalisasi.
Globalisasi selaku Proses Politik
Sebagaimana ditunjukkan kasus TNCs, perspektif ekonomi dalam globalisasi nyaris tidak bisa didiskusikan lepas dari analisis proses-proses politik. Perdebatan paling besar dalam globalisasi politik adalah berkenaan dengan nasib negara bangsa modern. Beberapa pertanyaan permulaan yang perlu diajukan adalah
Pertama, sebab-alasannya politik apakah yang mendorong arus massif kapital, uang, dan teknologi melintasi batasan teritorial?
Kedua, apakah arus ini ialah tantangan serius kepada keberdayaan nationstate.
Ketiga, bagaimanakah pengaruh munculnya organisasi-organisasi intergovernmental terhadap konsep kedaulatan negara dan bagaimana prospek global governance? Dalam merumuskan tanggapan di atas ada empat usulan yang berbeda-beda.
Pertama, mereka menilai bahwa globalisasi ialah proses yang secara intrinsik berhubungan dengan ekspansi pasar. Secara lebih khusus, pertumbuhan pesat dalam teknologi komputer dan sistem komunikasi mirip jaringan lintas dunia dipandang sebagai kekuatan utama yang bertanggung jawab atas terciptanya pasar global. Menurut persepsi ini, politik hampir tanpa daya di hadapan truk besar teknoekonomi yang tak terhalau yang hendak melabrak upaya pemerintah mengintroduksi kembali kebijakan dan aturanaturan yang restriktif. Lowell Bryan dalam Market Unbound: Unleasing Global Capitalism (187:1996) menyatakan bahwa Ekonomi dianggap memiliki nalar dalam inner logic yang terpisah dari dan superior kepada politik. Menurut persepsi ini, kombinasi kepentingan diri ekonomi (economic self interest) dan penemuan teknologi ialah yang bertanggung jawab menghantarkan fase gres dalam sejarah dunia ketika peran pemerintah tereduksi di hadapan kekuatan pasar bebas. Negara menurut eksponen pandangan ini akan direduksi menjadi super konduktor kapitalisme global.
Barangkali yang paling mewakili kalangan ini ialah Kenichi Ohmae dalam The End of the Nation State, The Rise of Regional Economies (42:1996), perancang strategi bisnis Jepang ini menyatakan bahwa nation-state menjadi tak lagi berkaitan dalam kemajuan global. Ohmae memproyeksikan keniscayaan hadirnya ”dunia tanpa tapal batas” (the borderless world) berkat daya dorong kapitalisme. Dari perspektif ekonomi, Ohmae dalam The Borderless World, Power and Strategy in the Interlinked Economy (9:1990 menandaskan bahwa nation state sudah kehilangan kiprahnya sebagai unit partisipasi yang memiliki arti dalam perekonomian global. Sebagaimana pembagian wilayah tidak lagi relevan bagi masyarakat, negara tidak lagi bisa menderminasi arah kehidupan sosial dalam batas-batas daerah mereka. Negara, oleh pendisiplinan pasar global, makin kerdil kemampuannya dalam menertibkan nilai tukar dan memproteksi mata uangnya. Dalam jangka panjang, proses-proses globalisasi politik akan mendorong hancurnya territory sebagai kerangka yang memiliki makna untuk mengerti pergeseran-pergeseran sosial dan politik. Tertib politik abad depan, berdasarkan Ohmae akan menjadi sebuah ekonomi regional yang saling terhubung (interlinked) dengan nyaris semua jaringan global yang bekerja berdasarkan prinsip pasar bebas.
Kedua, menampik anggapan bahwa perubahan ekonomi skala besar semata terjadi dalam penduduk selaku sesuatu alamiah mirip contohnya gempa bumi. Melainkan mereka menyoroti peran sentral politik utamanya mobilisasi kekuasaan politik dalam menebarkan jaring-jaring diseminasi globalisasi. Steger, Manfred dalam Globalism: The New Market Ideology (30:2002) menjelaskan bahwa pandangan ini berpijak dari filosofi yang menekankan akhlak keagenan aktif insan. Jika bentuk globalisasi ekonomi ditentukan oleh politik maka preferensi politik yang berlawanan akan menghasilkan keadaan sosial yang berlainan. Menurut eksponen golongan ini, akar-akar ekspansi massif ekonomi global tidak terletak baik pada ”hukum alamiah pasar”, maupun pertumbuhan teknologi komputer, melainkan pada keputusan politik yang dibentuk pemerintah untuk melepas retriksi internasional kepada kapital. Begitu keputusan politik diimplementasikan pada tahun 1980-an, penemuan teknologi hadir secara otomatis. Negara dan territory berdasarkan persepsi ini tetap sesuatu yang penting bahkan dalam konteks global.
Ketiga, menatap globalisasi sebagai balasan dipicu oleh perpaduan faktorfaktor politik dan teknologi. Nye, Joseph dalam The Paradox of American Power: Why the World’s only Super Power Can’t Go it Alone. (9:2002) menyatakan bahwa globalisasi yakni hasil dari pertumbuhan teknologi dan kebijakan pemerintah dalam meredukasi limitasi-limitasi dalam sistem pertukaran internasional. Globalization, kata salah seorang penganut paham ini, is the child of both technology and policy. Sementara menurut Jhon Gray, globalisasi adalah proses panjang yang dikendalikan oleh teknologi yang bentuk kontemporernya diputuskan secara politik oleh negara-negara yang paling besar lengan berkuasa di dunia. Menurut Gray, ialah tujuan fundamental prakarsa neoliberal Anglo Amerika untuk merekayasa terbentuknya pasar bebas global.
Pembiakan teknologi baru yang cepat dan tak mampu dielakkan merambah ke seluruh penjuru bumi yang menciptakan modernisasi masyarakat dunia yang dibimbing oleh teknologi menjadi sebuah takdir sejarah. Namun Gray menegaskan bahwa tidak ada negara yang memiliki kekuatan hegemonik yang dapat mewujudkan pasar bebas sejagat. Gray memperkirakan bahwa ekonomi dunia akan runtuh tatkala keseimbangannya tidak lagi dapat dipertahankan. Karena itu, Gray meramalkan tamat suram upaya-upaya politik dewasa ini untuk membangun pasar global. Perang perdagangan berdasarkan Gray akan menciptakan kerjasama internasional lebih susah.
Keempat, menghampiri globalisasi politik khususnya dari perspektif global governance. Representasi kalangan ini menganalisis berbagai tugas respons nasional dan multilateral terhadap fragmentasi metode ekonomi politik dan arus transnasional yang menerjang melintasi batas-batas nasional.
Ilmuwan politik seperti Held dan Falk dalam goresan pena-tulisan mereka mengartikulasikan perlu global governance selaku konsekuensi logis proses globalisasi. Keduanya menggambarkan globalisasi sebagai sudah mengikis pemerintah nasional sebab itu juga mereduksi relevansi nation state. Menurut Held, baik tata cara lama kedaulatan nation state Westphalia maupun tata cara global pasca perang yang berpusat pada PBB tidak menunjukkan solusi yang membuat puas kepada setumpuk tantangan globalisasi politik.
Akhirnya Held memperlihatkan hadirnya bentuk demokrasi multilapis yang berpijak pada impian kosmopolitan Barat, pengaturan aturan internasional dan jaringan luas yang menghubungkan antara aneka macam institusi kepemerintahan dan non kepemerintahan. Held menyebut adanya kecendrungan inheren dalam proses globalisasi yang hendak memperkuat forum-lembaga supranasional dan hadirnya penduduk sipil internasional. Dia meramalkan bahwa hak-hak demokratis pada akibatnya akan dilepaskan dari kaitan sempitnya dengan unit-unit teritorial tertentu. Held memvisionerkan munculnya demokrasi kosmopolitan yang meliputi unsur politik mirip dewan legislatif global yang terkait dengan daerah, negara, dan lokalitas.
Senafas dengan visi ini, Falk menandaskan bahwa globalisasi politik akan mendorong kedatangan kekuatan sosial demokratis transnasional yang berjangkar dalam civil society. Falk menyebutnya sebagai globalisasi dari bawah. Dari keempat persepsi ihwal globalisasi ini maka pertanyaan selanjutnya yaitu bagaimana Islam menyaksikan globalisasi. Berikut akan dijabarkan bagaimana pengertian Islam kepada globalisasi yang berkembang dikala ini.
Persepsi Islam terhadap Globalisasi
Realitas globalisasi menawarkan dukungan berkurangnya kekuatan yang dimiliki oleh negara dan penduduk . Kekuatan globalisasi secara umum dimotori oleh kekuatan modal asing yang berwujud perusahaan-perusahaan multinasional dan perusahaan transnasional. Perusahaan tersebut yakni perusahaan raksasa baik yang pabriknya berada di negara adikuasa dengan produk yang menyebar ke mancanegara ataupun perusahaan yang mempunyai cabang di negara berkembang.
Berdasarkan kecendrungan perkembangan kapitalisme, globalisasi merupakan jalan lanjutan kapitalisme di suatu negara. Negara yang terlibat dengan tata cara kapitalisme ini tidak dapat mengelak dari jeratannya. Negara tidak lagi diperkenankan melakukan perlindungan maupun intervensi yang terlalu besar dalam perekonomian.
Teknologi isu dan komunikasi media elektronik yang dibuat oleh negara-negara industri maju mirip Amerika, Inggris, Perancis, yang mempercepat arus globalisasi berbasis pada bidang ekonomi dan budaya ke seluruh dunia. Arus globalisasi sepertinya akan terus mengalir dan tidak dapat dibendung. Pada tingkat tertentu globalisasi akan menghipnotis dan membentuk format sosial politik, budaya maupun agama.
Globalisasi menenteng kepada kecendrungan semacam homogenitas budaya. Budaya nasional berinteraksi dengan budaya kosmopolitan dan budaya setempat pun akan berdampingan dengan budaya kosmopolitan. Fenomena ini menjadikan disparitas pandangan dari banyak sekali pihak alasannya globalisasi dipandang sebagai persoalan mendasar yang ikut menentukan kualitas manusia sekarang dan yang hendak datang.
Paul Hirst dan Grahame Thompson dalam menyinari globalisasi dari perspektif ekonomi. Keduanya menyampaikan bahwa desain globalisasi mirip yang dikedepankan oleh pengamat ekstrim, tidak lain dan tidak bukan yakni mitos belaka. Pendapat Hirst dan Thompson bukan tidak berdalih. Mereka menggunakan argumentasi selaku berikut.
Pertama, tatanan ekonomi yang sangat mendunia kini ini hanyalah bagian dari gelombang turun naik (konjungtur) pertumbuhan ekonomi internasional yang mulai ada sejak ekonomi yang berlandaskan pada teknologi industri yang mulai menyebar ke seluruh dunia semenjak tahun 1860-an.
Kedua, perusahaan transnasional yang murni jarang didapatkan alasannya perusahaan transnasional kebanyakan berbasis negara nasional dan acara jual beli dunia bertumpu pada kekuatan produksi nasional.
Ketiga, kemudian lintas modal tidak menjadikan berpindahnya penanaman modal dan potensi kerja secara besar-besaran dari negara maju ke negara berkembang. Penanaman modal gila justru banyak terpusat di negara-negara industri maju seperti Eropa, Jepang, dan Amerika.
Keempat, kekuatan ekonomi negaranegara industri maju ini bisa menertibkan pasar modal dan faktor ekonomi yang lain. Oleh karena itu tidak benar jikalau pasar modal dunia tidak dapat dikelola dan dikendalikan. Latief, Dochak dalam ”Pembangunan Ekonomi dan Kebijakan Ekonomi Globalisasi” mengemukakan bahwa globalisasi yang berbasis ekonomi juga dipandang sebagai ekspansi dari neoliberalisme. Seringkali paham neoliberalisme dipandang sebagai sebuah pertumbuhan. Dan hal ini mudah dimengerti alasannya adalah munculnya dalam pandangan publik adalah kemajuan teknologi dan media elektronika yang merupakan kekuatan produksi dari sistem globalisasi.
Seiring dengan perdebatan yang terus terjadi ihwal pengertian globalisasi namun globalisasi terus berlangsung, termasuk proses terintegrasinya kehidupan antar negara ke arah penduduk dunia yang saling terkait, saling tergantung dan saling mempengaruhi dengan mempekerjakan perkembangan teknologi informasi, komunikasi dan transportasi.
Realitas globalisasi semacam ini dalam pandangan Dochak Latief tidak mampu ditolak, kecuali bagi negara yang sengaja mengisolasikan diri dari perekonomian dunia yang semakin cepat berkembang. Arus kemajuan dunia menjadi makin deras setelah difungsikannya bahasa Inggris selaku bahasa internasional, penggunaan mata duit dolar selaku mata uang internasional, pesatnya sektor perkembangan dunia pariwisata, kerangka sistem moneter dan perdagangan dunia yang relatif mapan serta hadirnya kekuatan ekonomi yang berimbang antara Amerika, Eropa Barat, dan Jepang.
Mastuhu dalam menanggapi globalisasi selaku sebuah keniscayaan sejarah. Mastuhu meminjam argumen Karl Mannheim yang menyaksikan globalisasi selaku suatu ideologi. Bagi Mastuhu globalisasi ialah konsep atau proses tanpa henti yang tidak mampu dibendung dan ditolak. Globalisasi menjadi suatu keniscayaan sejarah. Sebagai proses, globalisasi akan mengalami tahapan-tahapan kemajuan yang pada tingkat tertentu bisa membentuk format sosial seluruh kehidupan insan baik politik, sosial, budaya maupun ekonomi. Globalisasi sebagai ideologi yaitu proyeksi kehidupan kurun depan atau tanda-tanda yang hendak terjadi di kemudian hari menurut sistem yang mayoritas di dalam penduduk .
Tanda-tanda globalisasi yang diamati oleh Mastuhu berisikan tiga hal besar yakni
Pertama, globlisasi ditandai oleh menguatnya ruang pribadi. Ruang keleluasaan langsung untuk mengekspresikan pertimbangan , jati diri, dan kepribadian semakin menyempit sebab banyaknya pesan-pesan atau permintaan-permintaan dari kehidupan terbaru yang harus dilakukan. Akibatnya beban moral makin berat, seperti tidak ada lagi kemerdekaan pribadi untuk membuatkan ilham-ide aslinya. Ditambah lagi nilai-nilai lama dijungkirbalikkan dan diganti dengan nilainilai baru yang meterialistis.
Kedua, globalisasi yaitu suatu abad persaingan.
Globalisasi membesarkan tingkat persaingan ekonomi politik antar bangsa baik dari kaca mata struggle for power maupun beling mata equilibrium. Globalisasi bagi Daniel Boorstin menyebabkan dunia selaku republik teknologi. Setiap negara kemudian dituntut untuk melaksanakan akselerasi yang tidak tanggung-tangung dalam industrialisasi serta penguasaan IPTEK.
Ketiga, globalisasi memiliki arti naiknya intensitas kekerabatan antar budaya, norma sosial, kepentingan, dan ideologi antar bangsa. Internet dan satelit-satelit komunikasi menghubungkan banyak negara di dunia seolah mirip sebuah desa yang secara sosiologis sering disebut global village. Konsekuensi sungguh penting dari globalisasi ialah setiap bangsa dituntut memiliki kesiapan kultural untuk melaksanakan integrasi kepada metode internasional tanpa terkaburkan identitas kesatuan nasionalnya. Selain itu globalisasi menyebabkan terjadinya kesenjangan yang makin melebar antara moralitas dengan intelektualitas dan mengakibatkan semakin besarnya tantangan atau masalah kehidupan.
Masalah globalisasi direspons oleh Sahal Mahfudh. Globalisasi menurut Sahal dalam buku ”Muhtarom, Reproduksi Ulama di Era Globalisasi” (97:2005) adalah suatu metode simbiosis yang menawarkan hubungan erat antara faktor-aspek dalam kehidupan.
Interdependensi tidak hanya terbatas dalam satu kawasan atau kawasan saja, melainkan juga dalam kehidupan di suatu negara dengan negara lain di dunia. Selanjutnya akan muncul desain akulturasi, persaingan namun juga kerjasama. Kompetisi semacam ini akan melahirkan ajaran untuk mencetak sumber daya insan yang bermutu.
Oleh alasannya adalah itu, komunitas agama perlu mempelajari ilmu pengetahuan yang ada relevansinya dengan keperluan penduduk sehingga menghadapi perubahan utamanya perubahan yang ditimbulkan oleh globalisasi.
Globalisasi mampu mempengaruhi pengetahuan dan cakrawala pikiran para santri pondok pesantren. Untuk menghindari pengaruh negatif globalisasi, pesantren seharusnya menanamkan nilai-nilai agama dan adat pada mereka dengan usulansyariat.
Globalisasi bagi Mujib Shaleh dalam muhtarom bukanlah sebuah masalah bila globalisasi mendukung dunia pendidikan Islam. Globalisasi yang ditandai dengan adanya alat-alat mutakhir mirip televisi, komputer, internet, telpon seluler, dan sebagainya justru mengukuhkan perjuangan memperdalam Islam, memajukan intensitas keimanan dan memotivasi lembaga pendidikan Islam untuk membekali santri tidak saja dengan ilmu syariah melainkan juga dengan ilmu-ilmu lain seperti matematika, IPA.
Pengaruh globalisasi yang materialistis dan sekular adalah sebuah realitas sosial. Globalisasi selain menjadi tantangan juga menunjukkan kesempatan sehingga harus direspons secara bakir. Sekularitas globalisasi tidaklah senantiasa menghipnotis sendi-sendi kehidupan agama. Oleh karena itu apa yang dilontarkan oleh Anthony F.C. Wallace sebagaimana yang dikutip oleh Edgar F. Borgatta dan Marie H.
Borgatta dalam Kurtz, Lester, Gods in the Global Village, (146:1995) tidaklah tepat.
Wallace menyatakan :
“The evolutionary future of religion is extinction. Belief in supernatural beings and supernatural forces that affect nature without obeying nature’s laws will erode and become only an interesting historical memory. Belief in supernatural powers in doomed to die out, all over the world, as a result of the increasing adequency and diffusion of scientific knowledge”.
Wallace sepertinya menafikan agama dari perkembangan ilmu wawasan. Ia tidak jeli melihat bahwa berkembangnya ilmu wawasan dan teknologi selaku penemuan berpikir insan dan tercukupinya kebutuhan hidup insan di periode globalisasi tidak akan memusnahkan tradisi dan ritualitas agama.
Tradisi agama yang mempunyai seperangkat akidah yang tergantung dan terjalin bareng sehingga terstruktur ternyata masih memiliki daya tahan di penduduk , termasuk tradisi ritualnya. Itulah sebabnya agama masih relevan di tengah-tengah kehidupan duniawi yang makin materialistis hedonistis remaja ini. Kehidupan agamalah yang hendak menentukan seseorang selamat atau tidak.
Relevansi Islam terhadap Globalisasi
Ajaran-pemikiran Islam relevan dengan aspek-aspek tertentu globalisasi. Relevansi globalisasi dengan anutan Islam terdapat pada faktor-aspek berikut:
Islam dan Pembangunan Sumber Daya Manusia
Globalisasi yang bersifat kompetitif mendorong umat berusaha secara sistematik untuk memproses pembangunan insan menjadi sumber daya insan yang berkualitas, baik fisik intelektual maupun akhlak. Era globalisasi yang sebagian ditandai oleh maraknya bisnis dan perdagangan menawarkan peluang pada umat untuk memajukan kemampuan manajerial dan bisnis. Globalisasi yang menenteng kenaikan industrialisasi akan menjinjing kesejahteraan. Atau kesejahteraan dapat diraih melalui globalisasi industri. Setiap kenaikan kesanggupan material sebuah penduduk yaitu bernilai aktual termasuk dari sisi peningkatan harkat kemanusiaan masyarakat, baik perseorangan maupun kalangan. Sebab harkat atau martabat kemanusiaan ialah kebahagiaan. Dan beliau akan diketemukan hanya dalam kondisi seseorang mampu dengan bebas membuatkan dirinya. David Mc Clelland sering dianggap sebagai salah satu tokoh penting dalam teori modernisasi yang ialah bagian dari bentuk-bentuk globalisasi. Analisa Mc Clelland berangkat dari perspektif psikologi sosial. Dalam bukunya “The Achievement Motive in Economic Growth”, Mc Clelland (1984) menawarkan dasar-dasar perihal psikologi dan sikap insan kaitannya dengan bagaimana pergeseran sosial terjadi. Menceritakan wacana sejarah insan semenjak permulaan senantiasa ditandai dengan jatuh bangunnya suatu kebudayaan.
Bangkitnya suatu kebudayaan berdasarkan Kroeber adalah bersifat episodis dan terjadi dalam lapangan aspek yang berbeda. Pertanyaan yang ingin dijawab Mc Clelland yaitu mengapa beberapa bangsa berkembang secara pesat di bidang ekonomi sementara bangsa lainnya tidak? Mc Clelland lebih menyaksikan faktor internal ialah pada nilainilai dan motivasi yang mendorong untuk mengeksploitasi peluang untuk meraih peluang. Dengan kata lain, membentuk dan merubah nasib sendiri.
Mc Clelland beropini bahwa need for achievement selalu berhubungan dengan perkembangan ekonomi. Dari studi itu dia mendapatkan adanya dampak dan kaitan antara pertumbuhan ekonomi. Dan dalam ajaran Islam sungguh mendukung orang-orang muslim untuk bekerja dalam upaya menyanggupi keperluan sehari-hari. Beribadahlah kau seakan-akan kamu mati esok dan bekerjalah kau seperti kamu hidup selamanya. Perkataan itu telah menjadi bagian penting bagi umat Islam yang memang mengharuskan orang-orang Islam untuk senantiasa bekerja.
Islam dan Globalisasi Pendidikan
Globalisasi ditandai dengan pertumbuhan teknologi dan bikinan. Kemajuan teknologi dan industri menawarkan kemudahankemudahan dalam menyelenggarakan ibadah dan menawarkan potensi besar dalam pendidikan untuk meningkatkan efektivitas proses berguru mengajar. Dan memang harus diakui bahwa teknologi sangat mendukung terciptanya proses mencar ilmu yang aman.
Kemajuan teknologi ini lalu sudah banyak dipergunakan di pendidikanpendidikan yang berbasis Islam seperti pondok pesantren. Pondok pesantren di Indonesia secara positif sudah bekerjasama dan berkomunikasi dengan sistem nilai di luar dirinya tanpa dibatasi oleh streotipe kebudayaan. Hal ini terindikasi dengan penggunaan produk-produk global mirip televisi, komputer, internet, dan sebagainya.
Penggunaan produk-produk global ini memang dirasa ada manfaat dan pengaruhnya bagi kehidupan pendidikan Islam mirip pondok pesantren dan cukup bermakna bagi produktivitas pendidikannya. Dalam Muhtarom (hal. 99), Kiai Najib Suyuthi mengatakan bahwa tayangan televisi memberikan pengetahuan para santri ataupun guru-guru secara langsung, memperkaya gosip dan mampu berbagi semangat mencar ilmu. Pemakaian telepon memperlihatkan fasilitas-akomodasi bagi pelajar maupun kelembagaan.
Islam dan Modernisasi
Pengertian yang gampang wacana modernisasi yaitu pemahaman yang identik dengan pengertian rasionalisasi. Dan hal itu memiliki arti proses perombakan teladan pikir dan tata kerja usang yang tidak rasional dan mengubahnya denga contoh pikir dan tata kerja baru yang lebih rasional. Kegunaannya yaitu untuk memperoleh daya guna dan efisiensi yang maksimal. Hal itu dilaksanakan dengan memakai inovasi canggih insan di bidang ilmu wawasan. Sedangkan ilmu wawasan ialah ajaran manusia kepada hukum-hukum obyektif yang menguasai alam, ideal, dan material sehingga alam ini berlangsung menurut kepastian tertentu dan serasi. Orang yang bertindak menurut ilmu pengetahuan (ilmiah) mempunyai arti beliau bertindak menurut hukum alam yang berlaku. Oleh karena itu tidak melawan aturan alam malahan memakai aturan alam itu sendiri maka ia memperoleh daya guna yang tinggi. Makara, sesuatu mampu disebut modern bila ia bersifat rasional, ilmiah, dan bersesuaian dengan hukum-hukum yang berlaku dalam alam.
Sebagai acuan, suatu mesin hitung termodern dibuat dengan rasionalitas yang maksimal menurut penemuan ilmiah yang modern dan alasannya adalah itu persesuaiannya dengan hukum alam paling mendekati kesempurnaan.
Madjid, Nurcholis dalam “Islam menyatakan bahwa bagi seorang muslim yang sepenuhnya meyakini kebenaran Islam selaku way of life. Semua nilai dasar way of life yang menyeluruh itu tercantum dalam Kitab Suci Al Quran. Maka sebagai penganut way of life Islam dengan sendirinya juga menganut cara berpikir Islami. Demikianlah dalam memutuskan evaluasi tentang modernisasi juga berorientasi pada nilai-nilai besar Islam.
Dengan kata lain, modernisasi merupakan sebuah keharusan, bahkan selaku keharusan mutlak. Modernisasi merupakan pelaksanaan perintah dan ajaran Tuhan Yang Maha Esa. Dan modernisasi yang dimaksudkan di sini yaitu berdasarkan pemahaman di atas.
Dengan demikian, bahwa jelaslah bahwa modernisasi yang berarti rasionalisasi untuk mendapatkan daya guna dalam berpikir dan bekerja yang maksimal guna kebahagiaan umat manusia yaitu perintah Tuhan yang imperatif dan mendasar. Modernisasi mempunyai arti berpikir dan melakukan pekerjaan berdasarkan fitrah atau sunatullah yang haq. Sunatullah telah mengejawantahkan dirinya dalam hukum alam sehingga untuk mampu menjadi terbaru maka manusia mesti mengetahui terlebih dulu aturan yang berlaku dalam alam itu (perintah Tuhan). Pemahaman insan kepada hukumhukum alam melahirkan ilmu wawasan sehingga terbaru bermakna ilmiah. Dan ilmu pengetahuan diperoleh manusia melalui akal (rasionalnya) sehingga terbaru bermakna ilmiah mempunyai arti pula rasional. Maksud sikap rasional yakni memperoleh daya guna yang maksimal untuk memanfaatkan alam ini bagi kebahagiaan manusia. Oleh karena manusia yang memiliki kekurangan kemampuannya maka tidak mampu sekaligus mengerti seluruh alam ini, melainkan sedikit demi sedikit dari waktu ke waktu maka menjadi terbaru yakni juga berarti progresif dan dinamis. Kaprikornus tidak bertahan terhadap sesuatu yang sudah ada dan sebab itu bersifat merombak dan melawan tradisi-tradisi yang tidak benar dan tidak cocok dengan kenyataan yang ada dalam aturan alam, tidak rasional, tidak ilmiah sekali pun dipihak lain juga ada keharusan menerima dan meneruskan, kemudian menyebarkan warisan generasi sebelumnya yang mengandung nilai kebenaran. Maka sekali pun bersikap terbaru namun kemodernan bersifat relatif alasannya adalah terikat ruang dan waktu.
Dengan demikian, tidak seorang pun manusia berhak mengklaim suatu kebenaran insani sebagai suatu kebenaran mutlak lalu dengan sekuat tenaga menjaga kebenaran yang dianutnya dari setiap perombakan. Sebaliknya sebab menyadari kerelatifan kemanusiaan maka setiap orang harus bersedia nrimo mendapatkan dan mendengarkan sebuah kebenaran dari orang lain. Demikianlah modernitas yang kelihatannya cuma mengandung kegunaan mudah yang pribadi namun pada hakikatnya mengandung arti yang lebih mendalam ialah pendekatan terhadap kebenaran mutlak.
Islam dan Demokrasi
Held menegaskan bahwa globalisasi mendukung demokratisasi. Oleh sebab dalam globalisasi terdapat prinsip global village yang mengindikasikan persamaan di antara negaranegara. Persamaan ini lalu menjadi sebuah proses demokratisasi. Pertanyaannya yaitu bagaimana Islam mengetahui demokrasi. Ketika mengatakan demokrasi dalam Islam maka berbagai keraguan dari dunia Barat termasuk Amerika terhadap umat Islam dalam melakukan praktik demokrasi.
Sekurangnya mereka menyaksikan bahwa kurangnya umat Islam melaksanakan demokrasi berasal dari negara-negara Timur Tengah yang pada umumnya tidak menerapkan tata cara demokrasi. Misalnya Arab Saudi, Kuwait, dan sebagainya. Oleh alasannya adalah ada contohnya maka Samuel Huntington dan Francis Fukuyama sempat mensinyalir bahwa Islam tidak sejalan dengan demokrasi. Memang harus diakui, karena kepentingan dan untuk melanggengkan status quo raja di negeri-negeri yang penduduknya muslim sebagian menyampingkan demokrasi. Kita tidak bisa menafikan bahwa di dalam badan Islam sendiri terdapat banyak keanekaragaman ihwal relasi Islam dan politik tergolong di dalamnya dengan demokrasi.
Varian-varian ajaran ini bisa terjadi sebab Islam memang menawarkan ruang perbedaan. Kata Nabi Muhammad SAW, perbedaan di antara umatku yaitu rahmat. Jika dilihat dari basis empiris bahwa Islam dan demokrasi memang berlawanan. Agama berasal dari wahyu sementara demokrasi berasal dari manusia.
Dengan demikian, agama mempunyai aturannya sendiri. Namun begitu, tidak ada hambatan bagi agama untuk berdampingan dengan demokrasi. Saleh, Taufiqurrahman dalam ”Memperdebatkan Kembali Islam danDemokrasi. Republika” (2005) mengemukakan bahwa dalam perspektif Islam terdapat nilainilai demokrasi meliptui syura, musawah.
Syura merupakan sebuah prinsip ihwal cara pengambilan keputusan yang secara lugas ditegaskan dalam Al Quran. Jelas bahwa musyawarah sungguh diharapkan selaku materi usulandan tanggung jawab bersama dalam setiap mengeluarkan keputusan. Dengan begitu maka setiap keputusan yang dikeluarkan pemerintah akan menjadi tanggung jawab bareng . Sikap musyawarah juga merupakan bentuk dari pemberian penghargaan terhadap orang lain alasannya usulan-usulan yang disampaikan menjadi pertimbangan bersama.
Dalam perspektif Islam, pemerintah ialah orang atau institusi yang diberi wewenang dan kepercayaan oleh rakyat melalui pemilihan yang jujur dan adil untuk melakukan dan menegakkan peraturan dan perundangan yang sudah dibuat. Oleh alasannya itu, pemerintah memiki tanggung jawab besar di hadapan rakyat dan Tuhan. Dengan begitu, pemerintah harus amanah, memiliki perilaku, dan prilaku yang dapat diandalkan, jujur, dan adil.
Nilai-nilai demokrasi dalam Islam masih banyak mirip al masuliyyah atau tanggung jawab. Di mana pemimpin mesti memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi terhadap apa yang dipimpinnya. Dengan mengulas eksklusif nilai-nilai fatwa Islam maka tesis Huntington dan Fukuyama yang mengatakan bahwa realitas empiris masyarakat Islam tidak kompatibel dengan demokrasi ialah tidak benar. Karena belum menjamah ke substansi aliran Islam dan heterogenitas di dalam dunia Islam.
Dari pembagian terstruktur mengenai di atas kita mampu mengambil kesimpulan bahwa Islam kemudian menerima gagasan globalisasi. Oleh alasannya globalisasi lalu mampu menenteng perbaikan seperti demokratisasi, pendidikan yang efektif.