Islam dan Mental Kewirausahaan
Pendidikan kewirausahaan (entrepreneurship) di Indonesia masih kurang menemukan perhatian yang cukup memadai, baik oleh dunia pendidikan, masyarakat, maupun pemerintah. Banyak praktisi pendidikan yang kurang mengamati aspek-aspek penumbuhan mental, perilaku, dan prilaku kewirausahaan peserta didik, baik di sekolah kejuruan maupun professional sekalipun.
Sebagian besar anggota masyarakat memiliki pandangan dan harapan bahwa output dari lembaga pendidikan mampu menjadi pekerja (karyawan, direktur atau pegawai) oleh alasannya adalah dalam persepsi mereka bahwa pekerja (utamanya pegawai negeri) ialah bangsawan yang memiliki status sosial cukup tinggi dan disegani oleh masyarakat.
Akan tetapi, melihat keadaan objektif yang ada, pandangan dan orientasi di atas musti diubah sebab sudah tidak lagi sesuai dengan perubahan maupun permintaan kehidupan yang meningkat sedemikian kompetitif. Pola berpikir dan orientasi hidup kepada pengembangan kewirausahaan merupakan suatu yang mutlak untuk mulai dibangun, paling tidak dengan melihat realitas selaku berikut:
1. Senantiasa terjadi ketidakseimbangan antara pertambahan jumlah angkatan kerja setiap tahun kalau dibandingkan dengan ketersediaan lapangan kerja yang ada. Tentu saja kondisi seperti ini akan menyebabkan kompetisi yang semakin ketat dalam upaya menerima pekerjaan. Sementara hidup ini tetap mesti berlangsung dan penghasilan tetap harus dicari untuk menutup banyak sekali kebutuhan hidup yang makin mahal.
2. Yang diperlukan dalam menghadapi tantangan di periode global ini yaitu insan mampu berdiri diatas kaki sendiri (independent) yang memiliki keunggulan kompetitif maupun komparatif, mampu membangun kemitraan sehingga tidak menggantungkan pada orang lain. Menurut Samuel Hutington, di sini hukum insani berlaku, bahwa yang mampu bertahan adalah mereka yang bermutu (bukan yang kuat).
3. Posisi pekerja, karyawan, dan pegawai (kebanyakan di negara berkembang) sering berada pada posisi yang lemah dan ditempatkan selaku alat produksi (subordinasi) sehingga tidak memiliki daya tawar yang sepadan. Bekerja sebagai karyawan/pegawai mampu merefleksikan jiwa pemalas. Sebaliknya, beliau malah tidak mampu membuatkan wangsit dan visi selama beliau melakukan pekerjaan untuk orang lain.
Dengan mencermati beberapa hal di atas, maka terobosan ihwal pendidikan mental/jiwa kewirausahaan (entrepreneurship) dan upaya-upaya menumbuhkan perilaku dan sikap kewirausahaan itu perlu dikembangkan alasannya adalah dunia pendidikan ialah forum memiliki peluang untuk merencanakan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berjiwa wirausaha.
Manusia dan Wirausaha (Entrepreneurship) Wirausaha yang berasal dari kata wira yang mempunyai arti mulia, luhur, unggul, gagah berani, utama, teladan, dan pemuka; dan perjuangan yang bermakna kegiatan dengan mengerahkan segenap tenaga dan asumsi, pekerjaan, daya upaya, ikhtiar, dan kerajinan melakukan pekerjaan . Oleh LY Wiranaga wirausahawan diasumsikan sebagai sosok manusia utama, manusia unggul, dan manusia mulia sebab hidupnya begitu berarti bagi dirinya maupun orang lain.
Richard Cantillon yaitu orang pertama yang menggunakan istilah entrepreneur di permulaan kurun ke-18. Ia mengatakan bahwa wirausaha adalah seseorang yang menanggung resiko. Lain lagi pandangan Jose Carlos Jarillo-Mossi yang menyatakan bahwa wirausaha adalah seseorang yang merasakan adanya peluang, mengejar peluang yang tepat dengan suasana dirinya, dan yakin bahwa keberhasilan merupakan sebuah hal yang dapat dicapai. Artinya, kewirausahaan yaitu untuk setiap orang dan setiap orang berpotensi untuk menjadi wirausaha Menurut Drucker (1996) wirausaha selalu mencari perubahan, menaggapi, dan memanfaatkannya sebagai kesempatan. Di sini entrepreneur diketahui selaku langsung yang menyayangi perubahan sebab dalam pergantian tersebut kesempatan selalu ada. Kewirausahaan yaitu sebuah gejala sikap yang bersumber dari konsep atau teori, bukan kepribadian yang bersumber dari intuisi.
Menurut Geoffrey G. Mendith, kewirausahaan ialah gambaran dari orang yang mempunyai kesanggupan menyaksikan dan menganggap peluang-peluang bisnis; mengumpulkan sumber daya yang dibutuhkan untuk mengambil laba dari padanya, serta mengambil tindakan yang tepat guna memutuskan kesuksesan.
Kewirausahaan senantiasa terkait dengan abad kemudian, era sekarang, dan periode depan yang juga bertalian dengan khayalan insan. Di era-periode itulah, manusia menghadapi kendala, kesulitan, dan kesenangan secara bercampur baur menjadi satu. Menurut Poppi King bahwa ketiga tersebut itu senantiasa dihadapi oleh seorang wirausaha dalam bidang apapun, maka bukankah itu memiliki arti bahwa kewirausahaan adalah milik siapa saja.
Ada beberapakata kunci bagi upaya menjadi wirausahawan, antara lain sebagai berikut.
1. Memprediksi aneka macam kemungkinan yang terjadi pada era depan
2. Memiliki keleluasaan tinggi (kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan perjuangan).
3. Mengantisipasi berbagai kemungkinan dengan mengganti aturan main.
4. Kemampuan melanjutkan perubahan dari aturan atau bentuk yang telah ada sebelumnya.
Konsep Islam ihwal Kewirausahaan
Islam memang tidak memberikan klarifikasi secara eksplisit terkait desain perihal kewirausahaan (entrepreneurship) ini, tetapi di antara keduanya memiliki kaitan yang cukup bersahabat; mempunyai ruh atau jiwa yang sungguh dekat, meskipun bahasa teknis yang digunakan berlainan.
Dalam Islam dipakai istilah jerih payah, kemandirian (biyadihi), dan tidak cengeng. Setidaknya terdapat beberapa ayat al-Qur’an maupun Hadis yang mampu menjadi rujukan pesan wacana semangat jerih payah dan kemandirian ini, mirip; “Amal yang paling baik yakni pekerjaan yang dilaksanakan dengan cucuran keringatnya sendiri, ‘amalurrajuli biyadihi”
; “Tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah”; “al yad al ‘ulya khairun min al yad al sufla” (dengan bahasa yang sangat simbolik ini Nabi mendorong umatnya untuk kerja keras semoga mempunyai kekayaan, sehingga dapat memberikan sesuatu pada orang lain), atuzzakah;
“Manusia harus mengeluarkan uang zakat (Allah mengharuskan manusia untuk bekerja keras semoga kaya dan mampu melaksanakan keharusan mengeluarkan uang zakat)”. Dalam suatu ayat Allah menyampaikan, “Bekerjalah kamu, maka Allah dan orang-orang yang beriman akan melihat pekerjaan kau”.
Oleh alasannya adalah itu, kalau shalat sudah ditunaikan maka bertebaranlah kau di muka bumi dan carilah karunia (rizki) Allah.
Bahkan sabda Nabi, “Sesungguhnya bekerja mencari rizki yang halal itu merupakan keharusan sehabis ibadah fardlu”.
Nash ini terperinci menawarkan isyarat biar manusia bersusah payah dan hidup mandiri.
Bekerja keras merupakan esensi dari kewirausahaan. Prinsip jerih payah, berdasarkan Wafiduddin, ialah suatu langkah kasatmata yang dapat menciptakan kesuksesan (rezeki), namun mesti lewat proses yang sarat dengan tantangan (reziko). Dengan kata lain, orang yang berani melewati resiko akan mendapatkan kesempatan rizki yang besar. Kata rizki mempunyai makna bersayap, rezeki sekaligus reziko.
Dalam sejarahnya Nabi Muhammad, istrinya dan sebagian besar sahabatnya adalah para penjualdan entrepre mancanegara yang pawai. Beliau yaitu praktisi ekonomi dan sosok tauladan bagi umat. Oleh alasannya itu, bahu-membahu tidaklah gila bila dibilang bahwa mental entrepreneurship inheren dengan jiwa umat Islam itu sendiri. Bukanlah Islam yakni agama kaum pedagang, disebarkan ke seluruh dunia setidaknya sampai periode ke -13 M, oleh para penjualmuslim.
Dari acara perdagangan yang dilakukan, Nabi dan sebagian besar sobat sudah meubah persepsi dunia bahwa kemuliaan seseorang bukan terletak pada kebangsawanan darah, tidak pula pada jabatan yang tinggi, atau duit yang banyak, melainkan pada pekerjaan.
Oleh alasannya adalah itu, Nabi juga bersabda “Innallaha yuhibbul muhtarif” (sebetulnya Allah sangat mencintai orang yang bekerja untuk menerima penghasilan).
Umar Ibnu Khattab mengatakan sebaliknya bahwa, “Aku benci salah seorang di antara kalian yang tidak mau melakukan pekerjaan yang menyangkut persoalan dunia Keberadaan Islam di Indonesia juga disebarkan oleh para pedagang. Di samping mengembangkan ilmu agama, para penjualini juga mewariskan keterampilan berdagang terutama terhadap penduduk pesisir.
Di kawasan Pantura, misalnya, sebagian besar masyarakatnya memiliki basis keagamaan yang berpengaruh, acara mengaji dan berbisnis telah menjadi satu istilah yang sungguh dekat dan menyatu sehingga muncul istilah yang sangat terkenal jigang (ngaji dan dagang).
Sejarah juga mencatat sejumlah tokoh Islam terkenal yang juga sebagai pengusaha handal, Abdul Ghani Aziz, Agus Dasaad, Djohan Soetan, Perpatih, Jhohan Soelaiman, Haji Samanhudi, Haji Syamsuddin, Niti Semito, dan Rahman Tamin.
Apa yang tergambar di atas, setidaknya dapat menjadi bukti positif bahwa etos bisnis yang dimiliki oleh umat Islam sangatlah tinggi, atau dengan kata lain Islam dan berjualan mirip dua segi dari satu keping mata duit. Benarlah apa yang disabdakan oleh Nabi, “Hendaklah kau berdagang sebab di dalamnya terdapat 90 persen pintu rizki”
Peluang dalam Pengembangan Mental Kewirausahaan
1. Bangsa ini mempunyai kekuatan sumber daya alam (maritim, hutan, minyak, dan tambang) yang bekerjsama melimpah dan membutuhkan tenaga-tenaga terampil untuk mampu mengolahnya secara efektif dan produktif. Hanya saja, sumber daya manusia yang ada kurang mencukupi untuk mengurus kekayaan tersebut, yang balasannya harus diserahkan pada pihak ajaib untuk mengorganisir dan mencicipinya, sementara penduduk hanya menjadi penonton.
2. Bangsa ini mempunyai jumlah penduduk yang sungguh besar dan merupakan pangsa pasar (konsumen) yang cukup menjanjikan. Akan tetapi, ironi yang terjadi, etnik cina yang cuma 10 persen dari jumlah penduduk negeri ini justru menguasai 70 persen dari perekonomian di Indonesia.
3. Bangsa ini masih terbelakang dan hany selaku pelanggan, sehingga memberikan kesempatan besar bagi mereka yang mempunyai kemauan kuat dan keras untuk maju. Apresiasi dan atensi pemerintah pun sebenarnya cukup tinggi kepada dunia usaha. Hal ini mampu dilihat dari berbagai kebijakan yang kondusif kepada pengembangan usaha kecil dan menengah.
4. Masyarakat Indonesia yang lebih banyak didominasi muslim, dalam sejarah dikenal sebagai bangsa yang bersungguh-sungguh berjualan. Di sini wirausaha memiliki akar budaya dan sejarah panjang yang cukup berpengaruh, di samping infra struktur yang mendukung dan kesempatan yang banyak Hambatan dalam Pengembangan Mental Wirausahawan Dalam realita dapat dibaca bahwa upaya pengembangan spirit kewirausahaan akan menghadapi banyak sekali hambatan, antara lain sebagai berikut.
1. Belum banyak forum pendidikan yang secara konseptual menyebarkan programprogram kewirausahaan, dan praktik kewirausahaan belum banyak dilaksanakan, kalaupun ada itu merupakan kegiatan yang bersifat impulsif dan masih terbatas pada forum tertentu yang jumlahnya relatif sedikit.
2. Iklim investasi belum aman, baik dalam perizinan, gosip perjuangan, jaringan perjuangan, dan sebagainya, sehingga Wira Usaha Baru (WUB) sulit membaca peluang yang timbul. Dalam konteks ini, pemerintah paling bertanggung jawab untuk menciptakan iklim yang kondusif lewat kebijakan yang longgar. Tetapi yang terjadi adalah hukum yang ada acapkali tidak dijalankan secara konsekuen, alasannya banyak terjadi in-efisiensi (berbagai pungutan liar) yang balasannya menjadikan high cost economic.
5. Kultur masyarakat Indonesia, yang hidup usang berada di bawah kekuasaan penjajah, sudah menyebabkan penduduk ini selalu dibayang-bayangi oleh serba ketidakmampuan (hopeless). Penjajah Belanda yang bercokol selama 350 tahun telah menjauhkan dan membuat image yang sedemikian menakutkan perihal wirausaha sehingga menciptakan masyarakat menjadi sarat ketergantungan (dependen), takut, tidak mampu, dan aneh dari kegiatan wirausaha ini.
6. Hambatan yang bersifat psikologis adalah suasana tidak secure (tidak berani bergandengan dengan orang lain, takut kehilangan kekuasaan, takut dibohongi, selalu memandang orang lain dari sudut dirinya sendiri)
Pendidikan: Pembelajaran yang Menumbuhkan Spirit Entrepreneurship Menumbuhkan jiwa kewirausahaan merupakan ‘pintu gerbang’ dalam membentuk dan menumbuhkan eksklusif ulet, tanggung jawab, dan bermutu yang bermuara pada terwujudnya kompetensi kerja.
Oleh karena itu, mencermati dinamika kehidupan yang makin kompetitif, praktisi pendidikan dituntut untuk cerdas dalam menciptakan ruang yang kondusif bagi tumbuhnya spirit entrepreneurship. Sementara itu, memperkuat mental dan mempertajam minat serta kemampuan kewirausahaan perlu dilakukan melalui proses pembelajaran. Oleh alasannya terkait dengan pembangunan mental, maka perlu adanya revolusi cara berguru yang mengutamakan berguru siswa secara aktif dan mudah.
Artinya, bahwa dalam proses pembelajaran yang memiliki peran aktif adalah siswa, atau dalam preferensi yang sedang ramai diwacanakan ialah pembelajaran individual, individual learning. Terkait dengan proses pembelajaran mental entrepreneurship, bahu-membahu tidak ada kunci yang bersifat deterministic bagi aktivitas pendidik dalam mendesain proses pembelajaran ini, tetapi ada beberapa hal penting yang mesti diamati, antara lain sebagai berikut.
1. Dalam setiap proses pembelajaran hendaknya lebih banyak menekankan dan membiasakan kepada proses mencar ilmu yang mampu menumbuhkan ide, kreativitas berfikir (memacu pertumbuhan otak kanan dan kiri), kemandirian (menekankan model latihan, peran berdikari dengan bobot tanggung jawab yang lebih besar) iktikad diri, pemecahan persoalan, mengambil keputusan, mendapatkan potensi , dst. Model pembelajaran dengan pendekatan active learning yang dipraktekkan oleh beberapa forum pendidikan di Indonesia belakangan ini sesungguhnya mengadopsi dari strategi pembelajaran alternatif yang sering dipakai pada lembaga-forum pendidikan profesi yang menyelenggarakan acara entrepreneurship di Amerika.
Tentu saja penggunaan pendekatan active learning yang telah berlangsung itu harus terus dipertahankan, bahkan ditingkatkan lagi, baik dari sisi kualitas, kuantitas, maupun intensitasnya. Secara jujur, adopsi terhadap berbagai taktik pembelajaran aktif dari luar yang bisa menumbuhkan jiwa berdikari mesti terus diupayakan, meskipun model active learning ini banyak menghadapi kendala kalau dipraktekkan pada pendidikan dengan versi tata cara klasikal mirip yang ada di Indonesia.
2. Menanamkan perilaku dan sikap jujur selaku hal yang penting dalam konteks membangun mental wirausaha. Sikap jujur akan memanggil banyak simpati, senang, dan kekerabatan, serta membuat orang lain dengan bahagia hati untuk meletakkan dan memperlihatkan iman. Kejujuran akan menjadi modal utama dan kunci berhasil dalam acara wiraswasta, mengenang orang melakukan pekerjaan itu dengan hati dan jiwa.
3. Pendidikan mental merupakan proses yang memerlukan waktu panjang atau lama, bahkan menurut Nurkholis Madjid bisa memakan waktu sampai satu generasi. Oleh sebab itu, proses pembentukan mental entrepreneurship yang lebih alami (natural) harus dikerjakan saat akseptor asuh mulai masuk forum pendidikan dasar hingga sekolah tinggi tinggi.
4. Seperti dikatakan oleh Toto Tasmara, bahwa jiwa (mental) entrepeneurship mempunyai ciriciri 10 C: Commitment (niat yang sangat berpengaruh dan lingkaran), Confident (rasa yakin yang total pada kemampuan yang ada pada dirinya), Cooperative (terbuka untuk bekerjasama dengan siapapun), Care (perhatian kepada hal yang sungguh kecil sekalipun), Creative (tidak pernah merasa puas dengan apa yang sudah diraih dan senantiasa berusaha keras untuk terus berkembang, seperti diasumsikan oleh Ralph Stacey, kreativitas cenderung meningkat kalau suasana kian parah/kepepet), Challenge (melihat kesulitan sebagai tantangan dan pelajaran untuk lebih maju), Calculaty (dalam melangkah selalu didasarkan pada perkiraan yang masak), Communication (berilmu berkomunikasi dan mensugesti orang lain), Competitivenes (bahagia berhadapan dengan pesaing lainnya) dan Change (selalu mendambakan adanya pergantian yang lebih baik dan maju).
5. Sejak dalam pendidikan, peserta latih perlu membiasakan diri bersikap dengan sarat friendship, persahabatan dan kesejajaran, memakai kata yang cukup mengundang simpati, seperti perumpamaan terima kasih dan ungkapkan selalu kata maaf dan tolong, ketika berjabat tangan gunakan dua tangan dan saat mulai pekerjaan buatlah penyusunan rencana. Kebiasaan tersebut akan mempunyai imbas psikis yang sangat kasatmata bagi orang yang mau menekuni aktivitas wirausaha.
6. Fenomena yang meningkat di sebagian Pondok Pesantren di tanah air bahu-membahu sudah menawarkan warna tersendiri dalam konteks pengembangan kewirausahaan ini. Secara teoretis, Pondok Pesantren memang tidak memiliki program kewirausahaan, tetapi dalam praktiknya banyak pondok pesantren yang secara spontanitas berbagi acara kewirausahaan. Pada waktu sore dan malam hari para santri mengaji, namun di waktu siang mereka menggunakan kesempatan yang bagus untuk melaksanakan banyak sekali aktivitas pengembangan keterampilan (bengkel, bata, home industri, dll). Kegiatan ini terjadi di Pondok Pesantren yang berada di pelosok atau pinggiran perkotaan. Mereka berguru sambil bekerja, learning by doing, dengan sebuah keinginan kelak menjadi bidang keahliannya sesudah simpulan dari pondok. Pengembangan mental kemandirian di sini sangat ditekankan. Oleh alasannya itu, Pondok Pesantren tidak membekali santrinya dengan formalitas ijazah setelah mereka keluar dari pondok. Model pengembangan keterampilan seperti ini sesungguhnya sudah banyak ditiru oleh forum pendidikan formal, walaupun dengan penyesuaian gres yang disebut dengan ungkapan life school/skill life.
7. Para praktisi pendidikan juga perlu sharing dan memberi support atas akad pendidikan mental entrepreneurship ini terhadap lembaga-lembaga terkait dengan pelayanan bidang perjuangan yang muncul di penduduk semoga sungguh-sungguh berfungsi dan sungguh-sungguh merencanakan kebijakan untuk memudahkan dan melayani masyarakat. Praktisi pendidikan penting juga menjalin relasi akrab dengan dunia perjuangan supaya sungguh-sungguh terjadi proses learning by doing.
8. Dalam konteks kehidupan manusia yang sedang berikhtiar menuju sukses, tidak dilupakan pula faktor yang bersifat non-teknis, yang dimaksudkan yaitu meningkatkan intensitas dan kualitas spiritual. Dorongan untuk melaksanakan upaya yang bersifat sepiritual ini tercermin dalam firman Allah, “Barang siapa yang bertakwa dan bertawakal kepada Allah, maka akan diberi jalan keluar, fasilitas, dan diberi rizki dengan jalan yang tiada disangka-sangka”
Sementara dalam ayat lainnya juga diterangkan, “Barang siapa yang bertakwa pada Allah, pasti Allah akan menimbulkan baginya fasilitas dalam segala problem.”
Dengan mutu takwa dan tawakkal yang ada pada dirinya, insan tidak gampang tertekan. Demikian juga dalam sebuah Hadis, Nabi bersabda, “Lau tatawakkalun ‘alallah haqqattawakkul larazaqakumullahu kama ruziqa attairu yaruhu himashan wa ya’udu bithanan” (Jika kalian bertawakal pada Allah dengan benar-benar, niscaya Allah akan memberi kalian rizki sebagaimana Allah memberi rizki pada burung, di mana pagi-pagi burung pergi perut dalam kondisi kosong dan pulang dalam kondisi kenyang).
Sementara itu, dalam suatu Hadis Qudsi dinyatakan, “Sesungguhnya Allah ta’ala berfirman; ‘Wahai anak Adam! Beribadahlah sepenuhnya terhadap-Ku, pasti Aku penuhi (hatimu yang ada) di dalam dada dengan kekayaan dan Aku penuhi kebutuhanmu. Jika tidak kalian kerjakan, niscaya Aku penuhi tanganmu dengan kesibukan dan tidak Aku penuhi kebutuhanmu. Tuhan kalian juga berfirman’ Wahai anak Adam! Beribadahlah kepadaKu sepenuhnya, pasti Aku penuhi hatimu dengan kekayaan dan Aku penuhi tanganmu dengan rizki. Wahai anak Adam, Jangan jauhi Aku, sehingga Aku penuhi hatimu dengan kefakirandan Aku penuhi kedua tanganmu dengan kesibukan.”
Pesan moral yang terkandung dalam ayat maupun Hadis di atas dapat menjadi sumber motivasi dan spirit untuk bangkit menjangkau berhasil, dan bisa juga menjadi sumber optimisme dalam mempergunakan banyak sekali potensi untuk menuju sukses.