Sejarah Wali Songo

Wali Songo sangat dikenal selaku penyebar agama Islam di tanah Jawa pada abad ke-14 Masehi. Mereka tinggal di tiga wilayah penting pantai utara Pulau Jawa, adalah Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, dan Cirebon di Jawa Barat. Wali sanga adalah golongan syiar dakwah Islam yang kerap juga disebut dengan Waliyullah atau wakil Allah. 
Songo atau sanga berasal dari bahasa Jawa yang bermakna “sembilan”. Sehingga wali songo memiliki arti wali sembilan. Para wali ini juga memiliki gelar “sunan”. Sunan berasal dari kata Susuhunan yang artinya “yang dijunjung tinggi” atau panutan masyarakat lokal. Ada juga yang menyampaikan Sunan berasal dari kata Suhu Nan, artinya Guru Besar atau orang yang berakal tinggi.

Berikut klarifikasi wacana sejarah Wali Songo selengkapnya.

1. Teori Hadramaut /Yaman

Menurut teori ini, para wali songo berasal dari Hadramaut, Yaman. Walaupun masih ada pertimbangan yang menyebut wali songo ialah keturunan Samarkand (Asia Tengah), Champa atau daerah yang lain, tetapi tampaknya daerah-tampat tersebut lebih merupakan jalur penyebaran para mubaligh dari pada sebagai asal-muasal mereka yang sebagian besar adalah kaum Sayyid atau Syarif (keturunan Nabi). 
Muhammad al Baqir dalam bukunya Thariqah Menuju Kebahagiaan, cukup mendukung bahwa wali songo ialah keturunan Hadramaut (Yaman). Selain itu, L.W.C Van Den Berg, Islamolog dan hebat hukum Belanda yang menyelenggarakan riset pada 1884-1886, dalam bukunya Le Hadhramout Et Les Colonies Arabes Dans L’archipel Indien (1886) mengatakan: ”Adapun hasil yang nyata dalam penyiaran agama Islam (ke Indonesia) ialah dari para Sayyid atau Syarif. 
Dengan perantara mereka agama Islam tersiar di antara raja-raja Hindu di Jawa dan yang lain. Selain dari mereka ini, walaupun ada juga suku­suku lain Hadramaut (yang bukan golongan Sayyid atau Syarif), tetapi mereka ini tidak meninggalkan pengaruh sebesar itu. Hal ini disebabkan mereka (kaum Sayyid atau Syarif) yaitu keturunan dari tokoh pembawa Islam (Nabi Muhammad SAW).
Selain itu, Van Den Berg juga menulis dalam buku yang sama (hal 192-­204): Pada abad ke­15, di Jawa telah terdapat masyarakatbangsa Arab atau keturunannya, yakni sehabis kala kerajaan Majapahit yang kuat itu. Orang­orang Arab bercampur dengan penduduk, dan sebagian mereka mempuyai jabatan­jabatan tinggi. Mereka terikat dengan pergaulan dan kekeluargaan tingkat atas. 
Rupanya pembesar­-pembesar Hindu di kepulauan Hindia telah terpengaruh oleh sifat­-sifat kemampuan Arab, oleh sebab sebagian besar mereka berketurunan pendiri Islam (Nabi Muhammad SAW). Orang­-orang Arab Hadramaut menenteng terhadap orang-­orang Hindu asumsi baru yang diteruskan oleh peranakan­peranakan Arab, mengikuti jejak nenek moyangnya.
Pernyataan Van Den Berg secara lebih spesifik menyebut era ke-15 sebagai kala kedatangan atau kelahiran sebagian besar wali songo di pulau Jawa. Abad ke-15 ini jauh lebih awal dari masa ke-18 yang ialah dikala kedatangan gelombang selanjutnya, ialah kaum Hadramaut yang bermarga Assegaf, Al-Habsyi, Al-Hadad, Alaydrus, Al-Attas, Al-Jufri, Syihab, Syahab, dan banyak marga Hadramaut yang lain. 
Hingga dikala ini umat Islam di Hadramaut sebagian besar bermadzhab Syafi’i, sama mirip dominan muslim di Sri langka, pesisir India Barat (Gujarat dan Malabar), Malaysia dan Indonesia. Hal ini bisa dibandingkan dengan umat Islam di Uzbekistan dan seluruh Asia Tengah, Pakistan dan India pedalaman (non-pesisir) yang sebagian besar bermadzhab Hanafi. 
Pengamalan madzhab Syafi’i dengan corak tasawuf dan menghormati Ahlul Bait (seperti menyelenggarakan peringatan Maulid Nabi, membaca Diba’ & Barzanji, bermacam-macam Shalawat Nabi, doa Nur Nubuwwah dan banyak amalan lainnya) hanya terdapat di Hadramaut, Mesir, Gujarat, Malabar, Srilangka, Sulu & Mindanao, Malaysia dan Indonesia. 
Kitab fiqh madzhab Syafi’i Fathul Muin yang terkenal di Indonesia dikarang oleh Zainuddin al-Malabary dari Malabar, isinya memasukkan pendapat-pertimbangan baik kaum Fuqaha maupun kaum Sufi. Hal tersebut mengindikasikan adanya kesamaan sumber yaitu Hadramaut, sebab Hadramaut yaitu sumber pertama dalam sejarah Islam yang memadukan fiqh Syafi’i dengan pengamalan tasawuf dan penghormatan terhadap Ahlul Bait (keturunan Nabi). 
Di periode ke-15, raja-raja Jawa yang berkerabat dengan wali songo mirip Raden Fatah dan Pati Unus sama-sama menggunakan gelar Alam Akbar. Gelar tersebut juga ialah gelar yang sering dikenakan oleh keluarga besar Jamaluddin Akbar di Gujarat pada kurun ke-14, ialah cucu keluarga besar Azhamat Khan (atau Abdullah Khan) bin Abdul Malik bin Alwi, seorang anak dari Muhammad Shahib Mirbath, ulama besar Hadramaut abad ke-13 Masehi. 
Keluarga besar ini populer selaku mubaligh musafir yang berdakwah jauh hingga pelosok Asia Tenggara, dan memiliki putra-putra dan cucu-cucu yang banyak menggunakan nama Akbar, mirip Zainal Akbar, Ibrahim Akbar, Ali Akbar, Nur Alam Akbar dan banyak yang lain.

2. Teori Keturunan China /Hui

Sejarahwan Slamet Muljana mengundang pembahasan kontroversi dalam buku: Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa (1968), dengan menyatakan bahwa wali songo yaitu keturunan Tionghoa Muslim. Pendapat tersebut mengundang reaksi keras masyarakat yang beropini bahwa wali songo adalah keturunan Arab-Indonesia. 
Pemerintah Orde Baru sempat melarang terbitnya buku tersebut. Referensi-referensi yang menyatakan bahwa wali songo berasal dari keturunan Tionghoa hingga ketika ini masih menjadi hal yang kontroversial. Referensi yang dimaksud cuma mampu diuji melalui sumber akademik yang berasal dari Slamet Muljana, yang merujuk terhadap goresan pena Mangaraja Onggang Parlindungan, yang lalu merujuk kepada seseorang yang bernama Resident Poortman. 
Namun, Resident Poortman sampai sekarang belum mampu diketahui identitasnya serta kredibilitasnya selaku sejarahwan, misalnya jikalau ketimbang Snouck Hurgronje dan L.W.C. Van Den Berg. 
Sejarahwan Belanda kala kini yang banyak mengkaji sejarah Islam di Indonesia adalah Martin Van Bruinessen, bahkan tak pernah sekali pun menyebut nama Poortman dalam buku-bukunya yang diakui sangat detail dan banyak dijadikan referensi. Salah satu ulasan atas goresan pena H.J. De Graaf, Th.G.Th. Pigeaud, M.C. Ricklefs berjudul Chinese Muslims in Java in The 15th and 16th Centuries yaitu yang ditulis oleh Russel Jones. 
Di sana, dia mewaspadai pula tentang eksistensi seorang Poortman. Bila orang itu ada dan bukan bernama lain, seharusnya dapat dengan gampang dibuktikan mengenang ceritanya yang cukup lengkap dalam tulisan Parlindungan. Era wali songo adalah kala berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara dan digantikan dengan kebudayaan Islam. 
Mereka yaitu simbol penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan penduduk secara luas serta dakwah secara langsung, menciptakan para wali songo ini lebih banyak disebut dibandingkan dengan tokoh lainnya. 
Pendapat lain mengatakan bahwa wali songo adalah sebuah majelis dakwah yang pertama kali dibentuk oleh Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim) pada tahun 1404 Masehi (808 Hijriah). Wali songo yaitu pembaharu masyarakat pada masanya. 
Pengaruh mereka dicicipi dalam beragam bentuk manifestasi peradaban gres masyarakat Jawa, mulai dari kesehatan, bercocok-tanam, perniagaan, kebudayaan, kesenian, kemasyarakatan, sampai kepemerintahan. 
Demikianlah pembahasan bahan perihal sejarah Wali Songo.