close

Makalah Sejarah Masuknya Islam Di Nusantara

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Islam masuk ke Indonesia pada periode pertama Hijrah atau kala ke tujuh/ke delapan masehi. Ini mungkin didasarkan pada inovasi watu nisan seorang perempuan muslimah yang bernama Fatimah binti Maimun di Leran bersahabat Surabaya yang bertahun 475 H atau 1082 M. Sedangkan berdasarkan laporan seorang musafir Maroko Ibnu Batutah yang mendatangi Samudra Pasai dalam perjalanannya ke Negeri Cina pada 1345M, Agama islam yang bermadzhab Syafi’I telah mantap disana selama seabad. Oleh alasannya adalah itu, periode XIII biasanya dianggap sebagai periode awal masuknya agama Islam ke Indonesia.
Adapun tempat pertama yang dikunjungi yakni pesisir Utara pulau Sumatera. Mereka membentuk masyarakat Islam pertama di Peureulak Aceh Timur yang kemudian meluas sampai bisa mendirikan kerajaan Islam pertama di Samudera pasai, Aceh Utara.
Sekitar awal abad XV, Islam telah memperkuat kedudukannya di Malaka, pusat rute perdagangan Asia Tenggara yang kemudian melebarkan sayapnya ke daerah-daerah Indonesia yang lain. Pada permulaan era tersebut, Islam sudah mampu menjejakkan kakinya ke Maluku, dan yang terpenting ke beberapa kota jual beli di Pesisir Utara Pulau Jawa yang selama beberapa kala menjadi pusat kerajaan Hindu yakni kerajaan Majapahit. Dalam waktu ya ng tidak terlampau usang adalah permulaan abad XVII, dengan masuk islamnya penguasa kerajaan Mataram yakni Sulthan Agung, kemenangan agama tersebut nyaris meliputi sebagian besar kawasan Indonesia.
Berbeda dengan masuknya islam ke Negara-negara di bab dunia lainnya yaitu dengan kekuatan militer, masuknya islam ke Indonesia itu dengan cara damai disertai dengan jiwa toleransi dan saling menghargai antara penyebar dan pemeluk agama baru dengan penganut-penganut agama usang (Hindu-Budha). Ia dibawa oleh pedagang-penjualArab dan Ghujarat di India yang tertarik dengan rempah-rempah.
Masuknya Islam melalui India ini menurut sebagian pengamat, menyebabkan bahwa islam yang masuk ke Indonesia ini bukan islam yang murni dari pusatnya di Timur Tengah, tetapi islam yang sudah banyak dipengaruhi paham mistik, sehingga banyak kejanggalan dalam pelaksanannnya .
Berbeda dengan usulan diatas, S.M.N. Al-Attas beropini bahwa pada tahap pertama islam di Indonesia yang menonjol yaitu faktor hukumnya bukan faktor mistiknya sebab ia melihat bahwa kecenderungan penafsiran al-Alquran secara mistik itu gres terjadi antara 1400-1700 M.
Akan namun, semenjak pertengahan kurun XIX, agama islam Indonesia secara bertahap mulai meninggalkan sifat-sifatnya yang sinkretik setelah banyak orang Indonesia yang mengadakan kekerabatan dengan Mekkah dengan cara melaksanakan ibadah haji. Apalagi setelah transportasi bahari yang makin membaik, semakin banyaklah orang Indonesia yang melakukan ibadah haji bahkan sebagian mereka ada yang bertempat tinggal bertahun-tahun lamanya untuk mempelajari anutan islam dari pusatnya, dan ketika kembali ke Indonesia mereka menjadi penyebar ajaran islam yang ortodoks.
B.     Rumusan Masalah
Adapun rumusan  dilema dalam makalah ini adalah:
1.      Apa saja teori-teori masuknya Islam di Nusantara?
2.      Bagaimana cara atau pendekatan penerimaan Islam?
3.      Siapa saja tokoh-tokoh penyebar Islam di Nusantara?
4.      Kerajaan Islam apa saja yang ada di Nusantara?
C.    Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan dari makalah ini adalah:
1.      Memahami teori-teori masuknya Islam di Nusantara.
2.      Memahami cara atau pendekatan penerimaan Islam.
3.      Memahami tokoh-tokoh penyebar Islam di Nusantara.
4.      Memahami Islam apa saja yang ada di Nusantara.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Teori-Teori Masuknya Islam di Nusantara
Mengenai kehadiran Islam di Nusantara, terdapat diskusi dan perdebatan yang panjang di antara jago sejarah, tentang tiga persoalan pokok, adalah kawasan asal kedatangan Islam, para pembawanya, dan waktu kedatangannya. Berbagai teori dan pembahasan yang berupaya menjawab tiga problem pokok ini belum tuntas. Tidak cuma kurangnya data yang mampu mendukung teori tertentu, tetapi juga alasannya sifat sepihak dari berbagai teori yang ada. Terdapat kcenderungan berpengaruh adanya suatu teori yang hanya menekankan sifat-sifat khusus dari ketiga dilema pokok, tetapi mengabaikan aspek-faktor lainnya. Oleh sebab itu, pada umumnya teori yang ada dalam sisi-segi tertentu gagal menerangkan kehadiran Islam, konversi agama yang terjadi, dan proses Islamisasi yang terlibat di dalamnya.[1]
Terdapat beberapa teori yang membahas perihal masuknya Islam di Indonesia diantaranya ialah: teori Gujarat, teori Mekah, teori Persia, teori Bengal dan teori Malabar.
1.      Teori Gujarat
Teori ini berpendapat bahwa agama Islam masuk ke Indonesia pada era 13 dan pembawanya berasal dari Gujarat (cambay), India.[2] Adapun peletak dasar teori ini kemungkinan besar yakni Snouck Hurgronje. Hal ini mampu dilihat dalam bukunya L’Arabie et les Indes Neerlandaises, atau Revua de I’ Histoire des Religious,jilit Ivil. Tokoh lain yakni W.F.Stuterheim dalam bukunya De Islamen Zijn Komst In de Archipel .[3] Dasar dari teori ini ialah selaku berikut:
a.       Kurangnya fakta yang menjelaskan peranan bangsa Arab dalam penyebaran Islam di Indonesia.
b.      Hubungan dagang Indonesia dengan India sudah usang melalui jalur Indonesia-Cambay-Timur Tengah-Eropa.
c.       Adanya kerikil nisan Sultan Samudra Pasai adalah Malik al Saleh tahun 1297 yang bercorak khas Gujarat.
            Para andal yang mendukung teori Gujarat, lebih memusatkan perhatiannya pada ketika timbulnya kekuasaan politik Islam yaitu adanya kerajaan Samudra Pasai. Hal ini juga bersumber dari keterangan Marcopolo dari Venesia (Italia) yang pernah singgah di Perlak tahun 1292. Ia menceritakan bahwa di Perlak sudah banyak masyarakatyang memeluk Islam dan banyak  penjualIslam dari india yang berbagi Islam.[4]
2.      Teori Makkah
Teori Makkah atau yang lebih dikenal dengan teori Makkah ini datang ke Melayu secara langsung dari Arab, alasannya adalah muslim kawasan Melayu berpegang pada madzhab Syafi’I yang lahir di Semenanjung tanah Arab. Teori ini didukung oleh Sir John Crawford.[5]
Menurut pertimbangan Hamka menyatakan bahwa beliau menolak usulan agama Islam masuk ke Nusantara pada periode ke-13 berasal dari Gujarat, Hamka lebih mendasarkan pandangannya pada peranan Bangsa Arab sebagai pembawa agama Islam ke Indonesia. Gujarat dinyatakan seperti tempat singgah semata dan Makkah selaku sentra, atau Mesir sebagai daerah pengambilan anutan Islam. Selain itu Hamka menolak pendapat yang menyatakan bahwa agama Islam masuk ke Nusantara pada kurun ke-13 alasannya adalah di Indonesia pada abad ke-13 telah bangkit kekuasaan politik Islam. Jadi masuknya Islam ke Nusantara terjadi jauh sebelumnya yaitu pada kala ke-7.
Teori ini merupakan teori baru yang timbul selaku sanggahan terhadap teori usang adalah teori Gujarat. Teori mekah berpendapat bahwa Islam msuk ke Indonesia kala ke-7 dan pembawanya berasal dari Arab (Mesir).[6] Dasar teori ini ialah sebagai berikut:
a.       Pada masa ke-7 ialah tahun 674 di pantai barat Sumatra telah terdapat perkampungan Islam (Arab); dengan pendapatbahwa pedagang Arab  sudah mendirikan perkampungan di Kanton semenjak era ke-4. Hal ini juga sesuai dengan berita Cina.
b.      Kerajaan Samudra Pasai menganut fatwa madzhab Syafi’I, dimana pengaruh madzhab Syafi’I terbesar pada waktu itu yaitu Mesir dan Mekah. Sedangkan Gujarat / India ialah penganut madzhab Hanafi.
c.       Raja-raja Samudra Pasai memakai gelar “Al Malik”, yaitu gelar tersebut berasal dari Mesir.
Pendukung teori Mekah ini ialah Hamka, Van Leur dan T.W. Arnold. Para mahir yang mendukung teori ini menyatakan bahwa abad 13 telah bangkit kekuasaan politik Islam, jadi masuknya ke Indonesia terjadi jauh sebelumnya yakni abad ke-7 dan yang berperan besar terhadap proses penyebarannya yakni bangsa Arab sendiri.[7]
3.      Teori Persia
Teori Persia menerangkan bahwa agama Islam ke Indonesia yakni dibawa oleh bangsa Persia yang menurut pada sumber bukti sejarah berupa info Cina yakni adanya koloni para pedagang Islam di Tashih yang berada di Sumatra bagian barat.
Kemudian proses penyebaran Islam dimuali dari pesisir pantai pulau Sumatera, lalu menyebar ke daerah yang lain, mirip Sumatera tengah, Tapanuli, dan Sumatra Selatan. Dari pulau Sumatera dakwah Islam menyebar ke pulau Jawa.
Teori ini berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia kurun 13 dan pembawanya berasal dari Persia (Iran). Dasar teori ini yaitu kesamaan budaya Persia dengan budaya penduduk Islam Indonesia seperti berikut:[8]
a.       Peringatan 10 Muharrom atau Asyura atas meninggalnya Hasan dan Husein, cucu Nabi Muhammad saw., yang sangat dijunjung oleh orang Syiah/Islam Iran. Di Sumatra Barat peringatan tersebut disebut dengan upacara Tabuik/tabut. Sedangkan di pulau Jawa ditandai dengan pembuatan bubur Syuro.
b.      Kesamaan pedoman sufi yang dianut Syaih Siti Jenar dengan sufi dari Iran adalah al hallaj.
c.       Penggunaan istilah bahasa Iran dalam metode mengeja karakter Arab untuk tanda-tanda bunyi harakat.
d.      Ditemukannya makam Maulana Malik Ibrahim tahun 1419 di Gresik.
e.       Adanya kemajuan Leren/Leran di Giri kawasan gresik. Leren yakni nama salah satu penunjang teori ini yakni Umar Amir Husein dan P.A. Husein Jayadiningrat.[9]
4.      Teori Bengal
Teori ini berpendapat bahwa Islam datang dari Bengal. Pendapat ini didasarkan pada adanya batu nisan Fatimah binti Maemun yang didapatkan di leran Gresik Jawa Timur pada tahun 475 H atau 1882 M. mempunyai kesamaan dengan kerikil nisan yang ada di kawasan Bengal.
5.      Teori Malabar.
Teori ini berpendapat bahwa Islam yang tiba ke Indonesia itu berasal dari Colamander dan Malabar. Teori ini didasarkan pada usulan W. Arnold dan Marrison.[10]
B.     Cara atau Pendekatan Penerimaan Islam di Nusantara
Proses masuknya islam ke Indonesia dikerjakan secara tenang dengan cara mengikuti keadaan dengan adab istiadat masyarakatsetempat yang sudah lama ada. Ajaran-aliran Islam yang mengajarkan persamaan derajat, tidak membeda-bedakan si miskin dan si kaya, si kuat dan si lemah, rakyat kecil dan penguasa, tidak adanya tata cara kasta dan menganggap siapa saja sama kedudukannya dihadapan Allah telah membuat agama Islam perlahan-lahan mulai memeluk agama Islam.[11]
Proses masuknya Islam ke Indonesia dijalankan secara tenang dan dilakukan dengan cara- cara sebagai berikut:
1.      Melalui Cara Perdagangan
Indonesia dilalui oleh jalur perdagangan laut yang menghubungkan antara China dan daerah lain di Asia. Letak Indonesia yang sangat strategis ini membuat kemudian lintas jual beli di Indonesia sungguh padat alasannya adalah dilalui oleh para pedagang dari seluruh dunia termasuk para pedagang muslim. Pada pertumbuhan berikutnya, para penjualmuslim ini banyak yang tinggal dan mendirikan perkampungan islam di Nusantara. Para penjualini juga tak jarang memanggil para ulama dan mubaligh dari negeri asal mereka ke nusantara. Para ulama dan mubaligh yang tiba atas usul para pedagang inilah yang diduga mempunyai salah satu peran penting dalam upaya penyebaran Islam di Indonesia.
2.      Melalui Perkawinan
Bagi masyarakat pribumi, para penjualmuslim dianggap sebagai kelangan yang terpandang. Hal ini menjadikan banyak penguasa pribumi tertarik untuk menikahkan anak gadis mereka dengan para penjualini. Sebelum menikah, sang gadis akan menjadi muslim apalagi dulu. Pernikahan secara muslim antara para saudagar muslim dengan penguasa lokal ini makin memperlancar penyebaran Islam di Nusantara.
3.      Melalui Pendidikan
Pengajaran dan pendidikan Islam mulai dikerjakan sesudah masyarakat islam terbentuk. Pendidikan dilaksanakan di pesantren ataupun di pondok yang dibimbing oleh guru agama, ulama, ataupun kyai. Para santri yang sudah lulus akan pulang ke kampung halamannya dan akan mendakwahkan Islam di kampung masing-masing.
4.      Melalui Kesenian
Wayang yaitu salah satu sarana kesenian untuk membuatkan islam terhadap masyarakatsetempat. Sunan Kalijaga adalah salah satu tokoh terpandang yang mementaskan wayang untuk mengenalkan agama Islam. Cerita wayang yang dipentaskan umumnya dipetik dari kisah Mahabrata atau Ramayana yang lalu disisipi dengan nilai-nilai Islam.
5.      Melalui Pengobatan
Pengobatan menjadi salah satu cara para ulama dalam berbagi islam kepada masyarakat Indonesia. Hal ini tidak cuma dilakukan terhadap msyarakat awam pedesaan tetapi juga kepada para ningrat bahkan raja dan keluarganya. Beberapa raja dan keluarganya pun masuk Islam setelah diobati oleh para ulama, yang lalu dibarengi oleh rakyatnya.[12]
C.    Tokoh-tokoh Penyebar dan Pengembang Islam di Indonesia
Proses penyebaran Islam di daerah Nusantara tidak mampu dilepaskan dari peran aktif yang dilakukan oleh para ulama. Melalui merekalah Islam dapat diterima dengan baik dikalangan penduduk Nusantara. Para ulama yang pertama kali mengembangkan Islam di Nusantara antara lain selaku berikut:[13]
1.      Hamzah Fansuri
Hamzah Fansuri hidup pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, sekitar tahun 1590. Pengembaraan intelektualnya tidak cuma di Fansur, Aceh. Tetapi juga ke India, Persia, Makkah dan Madinah. Karena itu beliau menguasai aneka macam bahasa selain bahasa Melayu. Dalam pengembaraannya itu, beliau sempat mempelajari ilmu fiqih, tauhid, tasawuf, sejarah dan sastra Arab. Usai menjalani pengembaraan intelektualnya, Hamzah Fansuri kembali ke kampung halamannya di Fansur, Aceh,untuk mengajarkan keilmuan Islam yang diperolehnya dari guru-guru yang didatanginya di negeri-negeri yang sudah disinggahi. Ia mengajarkan keilmuan Islam tersebut di Dayah (pesantren) di Obob Simpangkanan, Singkel.
2.      Syamsudin Al-Sumatrani
Syamsudin Al-Sumatrani ialah salah seorang ulama terkemuka di Aceh dan Nusantara yang hidup pada kurun ke-16. Syamsudin Al-Sumatrani mempunyai peran dan posisi penting di istana kerajaan Aceh Darussalam, sebab is berprofesi selaku Qadli (Hakim Agung), juga kedekatannya dengan Sultan Iskandar Muda sebagai seorang Syeikh Al Islam. Syeikh Al Islam merupakan gelar tertinggi untuk ulama, kadi, imam atau syeikh, penasihat raja, imam kepala, anggota tim negosiasi dan juru bicara Kerajaan Aceh Darussalam. Karya-karya Syamsudin Al-Sumatrani adalah Jaubar Al-Haqaid, Risalah Al-Baiyyin al-Mulahaza Al-Muwahhidin Wa Al-Mubiddinfi Dzikr Allah, Mir’ah Al-Mukminin, Syarah Ruba’i Hamzah Fansuri, Syarah Syair Ikan Tongkol.[14]
3.      Nuruddin Ar-Raniri
Nuruddin Ar-Raniri dilahirkan di Ranir (sekarang Render), suatu pelabuhan bau tanah di Gujarat. Ayahnya berasal dari keluarga imigran Arab Hadramy, Arab Selatan, yang menetap di Gujarat India. Meskipun beliau keturunan Arab, Ar-Raniri dianggap lebih diketahui selaku seorang ulama Melayu dari pada India atau Arab.[15]
Ar-raniri diangkat selaku Syeikh Al Islam, pada periode pemerintahan Sultan Iskandar Tsani. Dengan menemukan bantuan dari sultan, Ar-Raniri mulai melancarkan aneka macam pembaruan aliran Islam di tanah Melayu, khususnya di Aceh. Selama lebih kurang tujuh tahun, beliau menentang akidah wujudiah yang diajarkan oleh Hamzah Fansuri dan Syamsudin Al-Sumatrani. Diantara karya Ar-Raniri adalah Shiratal Mustaqiem dalam bidang tasawuf, dan Durratul Aqaid bisyarbil-Aqaid dalam bidang dogma Islam.
4.      Syeikh Muhammad Yusuf Al-Makassari
Muhammad Yusuf bin Abdullah Abul Mahasin Al-Tajul-Khalwati Al-Makassari, dilahirkan di Moncong Loe, Gowa, Sulawesi Selatan pada tanggal 3 Juli 1626 M/1037 H. Ia berasal dari keluarga yang taat beragama. Ia berguru bahasa Arab, fikih, tauhid, dan tasawuf terhadap Sayid Ba Alwi bin Abdullah Al-‘Allaham Al-Thahir, seorang Arab yang menetap di Bontoala. Setelah berusia 15 tahun, ia melanjutkan pelajarannya di Cikoang dengan Jalaluddin Al-Aydid, seorang guru pengembara yang datang dari Aceh ke Kutai, sebelum hingga di Cikoang. Diantara karyanya yaitu menyalin kitab Ad-Durrah Al-Fakbira (Mutiara yang Membanggakan), dan Risalah fil-Wujud (Tulisan wacana Wujud)
5.      Syeikh Muhammad bin Umar An-Nawawi Al-Bantani
Muhammad bin Umar An-Nawawi Al-Bantani lahir di Tanara, Serang, Banten pada tahun 1230 H/1813 M. Sejak kecil dia dan kedua saudaranya, Tamim dan Abmad, di didik ayahnya dalam bidang agama, ilmu kalam, ilmu nahwu, fikih dan tafsir. Selain itu ia juga berguru dari Haji Sabal, ulama terkenal dikala itu, dan dari Raden Haji Yusuf di Purwakarta Jawa Barat.
Syeikh Nawawi A-Bantani tergolong salah seorang ulama Nusantara yang cukup berpengaruh dan sangat dihormati, bukan hanya di kalangan komunitas melayu Nusantara namun juga oleh penduduk Haramain secara keseluruhan. Posisi sosial keagamaan dan intelektual yang dimilikinya memberi peluang kepadanya untuk mengajar pada aneka macam halaqah di Masjidil Haram sejak tahun 1860, khususnya di Ma’had Nashr Al-Ma’akil Ad-Diniyah, hingga kesannya beliau menemukan gelar selaku “Syeikh Al-Hijaz”
6.      Syeikh Ahmad Khatib Minangkabau
Syeikh Ahmad Khatib Minangkabau lahir di Bukittinggi, Sumatra Barat pada tahun 1276 H/1855 M. Ayahnya yaitu seorang jaksa di Padang, sedangkan ibunya yakni anak dari Tuanku Nan Renceh, seorang ulama terkemuka dari kelompok Padri. Ahmad Khatib kecil memperoleh pendidikan awal pada sekolah pemerintah yang didirikan Belanda, adalah sekolah rendah dan sekolah guru di kota kelahirannya. Kemudian pada tahun 1876, Ahmad Khatib melanjutkan pendidikan agamanya di Makkah, kawasan kelak beliau mendapatkan kedudukan tinggi dalam mengajarkan agama dan imam dari madzhab Syafi’i di Masjidil Haram.
7.      Wali Songo
Walisongo diketahui sebagai penyebar agama Islam di tanah Jawa pada masa ke-14 M. Mereka tinggal ditiga daerah penting pantai utara pulau Jawa, yakni Surabaya-Gresik-Lamongan-Tuban di Jawa Timur, Demak, Kudus, Muria di Jawa Tengah, dan Cirebon di Jawa Barat. Walisongo ialah kala berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka ialah simbol penyebaran agama Islam di Indonesia, khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang berperan. Namun tugas mereka yang sangat besar dalam mendirikan kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara pribadi membuat para Walisongo ini banyak disebut dibanding yang lain.[16]
Pendapat lain yang mengatakan bahwa walisongo adalah sebuah majelis dakwah yang pertama kali diresmikan oleh Sunan Gresik pada tahun 1404 M. Walisongo ialah pembaruan masyarakat pada masanya. Pengaruhnya mereka terasakan dalam berragam bentuk manifestasi peradaban gres masyarakat Jawa, mulai dari kesehatan, bercocok tanam, perniagaan, kebudayaan, kesenian, kemasyarakatan, hingga ke pemerintahan. Adapun sembilan nama yang diketahui Walisongo tersebut ialah Sunan Gresik, Sunan Drajat, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang dan Sunan Gunung Jati.
a.       Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim
Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim yakni nama salah seorang Walisongo, yang dianggap yang pertama kali berbagi agama Islam di tanah Jawa. Ia dimakamkan di desa Gapurosukolilo Kota Gresik Jawa Timur. Maulana Malik Ibrahim dianggap termasuk salah seorang yang pertama-tama berbagi agama Islam di tanah Jawa, dan merupakan wali senior di antara para Walisongo lainnya. Beberapa vers babad menyatakan bahwa kedatangannya diikuti beberapa orang. Daerah yang ditujunya pertama kali yaitu desa Sembalo, kini ialah daerah Leran, Kecamatan Manyar, adalah 9 kilometer ke arah utara kota Gresik. Ia kemudian mulai menyiarkan agama Islam di tanah Jawa bagian timur, dengan mendirikan mesjid pertama di desa Pasucinan, Manyar.
Pertama-tama yang dilakukannya ialah mendekati masyarakat lewat pergaulan. Budi bahasa yang ramah-tamah senantiasa diperlihatkannya di dalam pergaulan sehari-hari. Ia tidak menentang secara tajam agama dan kepercayaan hidup dari penduduk asli, melainkan hanya memperlihatkan keindahan dan kebaikan yang dibawa oleh agama Islam. Berkat keramah-tamahannya, banyak masyarakat yang tertarik masuk ke dalam agama Islam. Sebagaimana yang dilakukan para wali awal lainnya, acara pertama yang dijalankan Maulana Malik Ibrahim yaitu berjualan. Ia berdagang di tempat pelabuhan terbuka, yang sekarang dinamakan desa Roomo, Manyar.
Perdagangan membuatnya mampu berinteraksi dengan masyarakat banyak, disamping itu raja dan para ningrat dapat pula turut serta dalam aktivitas perdagangan tersebut sebagai pelaku jual-beli, pemilik kapal atau pemodal. Setelah cukup mapan di masyarakat, Maulana Malik Ibrahim kemudian melakukan kunjungan ke ibukota Majapahit di Trowulan. Raja Majapahit walaupun tidak masuk Islam namun mendapatkannya dengan baik, bahkan memberikannya sebidang tanah di pinggiran kota Gresik. Wilayah itulah yang sekarang diketahui dengan nama desa Gapura. Cerita rakyat tersebut disangka mengandung bagian-unsur kebenaran mengenang menurut Groeneveldt pada dikala Maulana Malik Ibrahim hidup, di ibukota Majapahit telah banyak orang asing tergolong dari Asia Barat.
Demikianlah, dalam rangka menyiapkan kader untuk melanjutkan usaha menegakkan pemikiran-fatwa Islam, Maulana Malik Ibrahim membuka pesantren-pesantren yang ialah kawasan mendidik pemuka agama Islam di kurun selanjutnya. Hingga dikala ini makamnya masih diziarahi orang-orang yang menghargai usahanya berbagi agama Islam berabad-kurun yang silam. Setiap malam Jumat Legi, masyarakat setempat ramai berkunjung untuk berziarah. Ritual ziarah tahunan atau haul juga diadakan setiap tanggal 12 Rabi’ul Awwal, sesuai tanggal wafat pada prasasti makamnya. Pada program haul biasa dijalankan khataman Al-Alquran, mauludan (pembacaan riwayat Nabi Muhammad), dan disajikan masakan khas bubur harisah.
b.      Sunan Ampel 
Dengan nama asli Raden Rahmat mengembangkan Islam di tempat Ampel Surabaya. Ia disebutkan masih berkerabat dengan salah seorang istri atau selir dari Brawijaya raja Majapahit. Sunan Ampel umumnya dianggap sebagai sesepuh oleh para wali yang lain. Ia menikah dengan Nyai Ageng Manila, putri adipati Tuban berjulukan Arya Teja.
c.       Sunan Bonang
Sunan Bonang dilahirkan pada tahun 1465 M, dengan nama Raden Maulana Makdum Ibrahim. Dia adalah putra Sunan Ampel dan Nyai Ageng Manila. Bonang yaitu suatu desa di Kabupaten Rembang. Sunan Bonang wafat pada tahun 1525 M, dan dikala ini makam aslinya berada di Desa Bonang. Namun, yang sering diziarahi adalah makamnya di kota Tuban.
Lokasi makam Sunan Bonang ada dua karena konon, dikala dia meninggal, kabar wafatnya beliau sampai pada seorang muridnya yang berasal dari Madura. Sang murid sungguh mengagumi beliau hingga ingin menjinjing mayat dia ke Madura. Namun, murid tersebut tak mampu membawanya dan hanya dapat menenteng kain kafan dan busana-pakaian ia.
Saat melalui Tuban, ada seorang murid Sunan Bonang yang berasal dari Tuban yang mendengar ada murid dari Madura yang menjinjing jenazah Sunan Bonang. Mereka memperebutkannya. Dalam Serat Darmo Gandhul, Sunan Bonang disebut Sayyid Kramat merupakan seorang Arab keturunan Nabi Muhammad.
d.      Sunan Drajat 
Dia juga putra dari Sunan Ampel nama aslinya adalah Syarifuddin, mengembangkan Islam di kawasan Gresik/Sedayu. Ia yakni putra Sunan Ampel dengan Nyai Ageng Manila, putri adipati Tuban berjulukan Arya Teja. Sunan Drajat banyak berdakwah kepada masyarakat kebanyakan Ia menekankan kedermawanan, kerja keras, dan peningkatan kesejahteraan penduduk , sebagai pengamalan dari agama Islam. Pesantren Sunan Drajat dikerjakan secara mandiri sebagai wilayah perdikan, bertempat di Desa Drajat, Kecamatan Paciran, Lamongan. Tembang macapat Pangkur disebutkan selaku ciptaannya. Gamelan Singomengkok peninggalannya terdapat di Musium Daerah Sunan Drajat, Lamongan. Sunan Drajat diperkirakan wafat wafat pada 1522.
e.       Sunan Giri
Sunan Giri yakni nama salah seorang Walisongo dan pendiri kerajaan Giri Kedaton, yang berkedudukan di daerah Gresik Jawa Timur. Ia lahir di Blambangan tahun 1442. Sunan Giri mempunyai beberapa nama panggilan, adalah Raden Paku, Prabu Satmata, Sultan Abdul Faqih,Raden ‘Ainul Yaqin dan Joko Samudra. Ia dimakamkan di desa Giri, Kebomas, Gresik.
Sunan Giri ialah buah pernikahan dari Maulana Ishaq, seorang mubaligh Islam dari Asia Tengah, dengan Dewi Sekardadu, putrid Menak Sembuyu penguasa wilayah Blambangan pada periode-era akhir Majapahit. Namun kelahirannya dianggap sudah menenteng kutukan berbentukwabah penyakit di wilayah tersebut.
Maka beliau dipaksa ayahandanya untuk mencampakkan anak yang gres dilahirkannya itu, Lalu Dewi Sekardadu dengan rela menghanyutkan anaknya itu ke laut/selat bali sekarang ini. Kemudian, bayi tersebut ditemukan oleh sekelompok awak kapal (pelaut) dan dibawa ke Gresik. Di Gresik, ia diadopsi oleh seorang saudagar perempuan pemilik kapal, Nyai Gede Pinatih. Karena ditemukan di laut, beliau menamakan bayi tersebut Joko Samudra.
Ketika sudah cukup sampaumur, Joko Samudra dibawa ibunya ke Ampeldenta (sekarang di Surabaya) untuk mencar ilmu agama kepada Sunan Ampel. Tak berapa usang sesudah mengajarnya, Sunan Ampel mengenali identitas sebenarnya dari murid kesayangannya itu. Kemudian, Sunan Ampel mengirimnya dan Makdhum Ibrahim (Sunan Bonang), untuk mendalami ajaran Islam di Pasai. Mereka diterima oleh Maulana Ishaq yang tak lain yaitu ayah Joko Samudra. Di sinilah, Joko Samudra, yang ternyata berjulukan Raden Paku, mengenali asal-muasal dan alasan mengapa beliau dulu dibuang.
f.       Sunan Kudus 
Nama aslinya Syeikh Ja’far Shodik membuatkan aliran Islam di kawasan Kudus. Sebagai seorang wali, Sunan Kudus memiliki peran yang besar dalam pemerintahan Kesultanan Demak, yakni sebagai panglima perang dan hakim peradilan negara. Ia banyak berdakwah di golongan kaum penguasa dan bangsawan Jawa. Diantara yang pernah menjadi muridnya, ialah Sunan Prawoto penguasa Demak, dan Arya Penangsang adipati Jipang Panolan. Salah satu peninggalannya yang terkenal adalah Mesjid Menara Kudus, yang arsitekturnya bergaya adonan Hindu dan Islam. Sunan Kudus diperkirakan wafat pada tahun 1550.
g.      Sunan Kalijaga 
Nama aslinya Raden Mas Syahid atau R. Setya berbagi ajaran Islam di kawasan Demak. Ia ialah murid Sunan Bonang. Sunan Kalijaga menggunakan kesenian dan kebudayaan selaku sarana untuk berdakwah, antara lain kesenian wayang kulit dan tembang suluk. Tembang suluk Ilir-Ilir dan Gundul-Gundul Pacul biasanya dianggap selaku hasil karyanya. Dalam satu riwayat, Sunan Kalijaga disebutkan menikah dengan Dewi Saroh binti Maulana Ishaq.
h.      Sunan Muria
Sunan Muria dilahirkan dengan nama Raden Umar Said atau Raden Said. Menurut beberapa riwayat, ia yakni putra dari Sunan Kalijaga yang menikah dengan Dewi Soejinah, putrid Sunan Ngudung. Nama Sunan Muria sendiri diperkirakan berasal dari nama gunung (Gunung Muria), yang terletak di sebelah utara kota Kudus, Jawa Tengah, tempat dia dimakamkan.
i.        Sunan Gunung Jati 
Nama aslinya Syarif Hidayatullah, ialah putra Syarif Abdullah putra Nurul Alam putra Syekh Jamaluddin Akbar. Dari pihak ibu, ia masih keturunan keraton Pajajaran lewat Nyai Rara Santang, yaitu anak dari Sri Baduga Maharaja. Sunan Gunung Jati membuatkan Cirebon selaku pusat dakwah dan pemerintahannya, yang sesudahnya lalu menjadi Kesultanan Cirebon. Anaknya yang bernama Maulana Hasanuddin, juga berhasil berbagi kekuasaan dan berbagi agama Islam di Banten, sehingga lalu menjadi cikal-bakal berdirinya Kesultanan Banten.
D.    Kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia
Beberapa kerajaan Islam yang pernah berdiri di Indonesia yaitu:[17]
1.      Kerajaan Perlak
Perlak yaitu kerajaan Islam tertua di Indonesia. Perlak ialah sebuah kerajaan dengan kurun pemerintahan cukup panjang. Kerajaan yang bangkit pada tahun 840 ini rampung pada tahun 1292 alasannya adalah bergabung dengan Kerajaan Samudra Pasai. Sejak bangkit hingga bergabungnya Perlak dengan Samudrar Pasai, terdapat 19 orang raja yang memerintah. Raja yang pertama ialah Sultan Alaidin Saiyid Maulana Abdul Aziz Syah (225 – 249 H / 840 – 964 M). Sultan bernama asli Saiyid Abdul Aziz pada tanggal 1 Muhharam 225 H dinobatkan menjadi Sultan Kerajaan Perlak. Setelah pengangkatan ini, Bandar Perlak diubah menjadi Bandar Khalifah.
Kerajaan ini mengalami abad jaya pada kurun pemerintahan Sultan Makhdum Alaidin Malik Muhammad Amin Syah II Johan Berdaulat (622-662 H/1225-1263 M).
2.      Kerajaan Samudera Pasai
Kerajaan ini diresmikan oleh Sultan Malik Al-saleh dan sekaligus sebagai raja pertama pada kurun ke-13. Kerajaan Samudera Pasai terletak di sebelah utara Perlak di daerah Lhok Semawe sekarang (pantai timur Aceh).
Sebagai suatu kerajaan, raja silih berubah memerintah di Samudra Pasai. Raja-raja yang pernah memerintah Samudra Pasai ialah seperti berikut.
(1) Sultan Malik Al-saleh
(2) Sultan Muhammad (Sultan Malik al Tahir I) yang memerintah semenjak 1297-1326.
(3) Sultan Malik al Tahir II (1326 – 1348 M). .
3.      Kerajaan Malaka
Iskandar Syah merupakan raja pertama Kerajaan Malaka. Iskandar Syah awalnya adalah seorang pangeran dari kerajaan Majapahit yang melarikan diri sehabis Majapahit kalah dalam perang Paregreg. Nama orisinil Iskandar Syah adalah Parameswara. Ia melarikan diri bersama pengikutnya ke Semenanjung Malaya dan membangun kerajaan gres yang kemudian diberi nama Malaka.
Kerajaan Malaka ialah kerajaan Islam kedua sehabis Kerajaan Samudra Pasai. Berkembangnya acara jual beli dan pelayaran di Kerajaan Malaka banyak didukung para pedagang Islam dari Arab dan India. Kerajaan Malaka pun banyak mendapatkan imbas budaya Islam dari kedua tempat ini. Nama Iskandar Syah sendiri merupakan nama Islam, yang diperoleh sesudah dia menjadi pemeluk agama Islam. Pada periode kekuasaan Raja Iskandar Syah (1396-1414), Kerajaan Malaka meningkat selaku salah satu kerajaan Islam paling besar yang disegani kerajaan lain di sekitarnya.
Muhammad Iskandar Syah ialah putra mahkota, Kerajaan Malaka yang naik tahta menggantikan ayahnya, Selama memerintah Malaka, Muhammad Iskandar Syah sukses meningkatkan bidang perdagangan dan pelayaran. Ia juga sukses menguasai jalur perdagangan di daerah Selat Malaka dengan taktik perkawinan politik. Muhammad Iskandar Syah menikahi putri raja Kerajaan Samudra Pasai dengan tujuan menundukkan Kerajaan Samudra Pasai secara politis. Setelah mendapatkan kekuasaan politik Kerajaan Samudra Pasai, beliau baru menguasai daerah jual beli disekitarnya. Muhammad Iskandar Syah berkuasa dari tahun 1414-1424.
Sultan Mudzafat Syah memerintah Kerajaan Malaka dari tahun 1424-1458. Ia menggantikan Muhammad Iskandar Syah sesudah menyingkirkannya dari tahta Kerajaan Malaka lewat sebuah kemelut politik. Pada kurun pemerintahannya Sultan Mudzafat Syah juga berhasil memperluas kekuasaannya sampai ke Pahang, Indragiri, dan Kampar.
Setelah Sultan Mudzafat Syah wafat, dia digantikan oleh putranya Sultan Mansyur Syah. Pada era pemerintahannya, Kerajaan Malaka berhasil menguasai kerajaan Siam selaku bab taktik memperluas daerah kekuasaan dan mengokohkan kebesarannya di antara kerajaan-kerajaan lain disekitarnya.
4.      Kerajaan Aceh
Kerajaan Islam selanjutnya di Sumatra adalah Kerajaan Aceh. Kerajaan yang didirikan oleh Sultan Ibrahim yang bergelar Ali Mughayat Syah (1514-1528), menjadi penting karena mundurnya Kerajaan Samudera Pasai dan berkembangnya Kerajaan Malaka.
Pusat pemerintahan Kerajaan Aceh ada di Kutaraja (Banda Acah sekarang). Corak pemerintahan di Aceh terdiri atas dua sistem: pemerintahan sipil di bawah kaum bangsawan, disebut kelompok teuku; dan pemerintahan atas dasar agama di bawah kaum ulama, disebut golongan tengku atau teungku.
Aceh meraih jaman keemasan di bawah pemerintah Sultan Iskandar Muda yang memerintah tahun 1607-1936. ia adalah orang yang piawai dan pemeluk Islam yang taat. Wilayah di Semenanjung Malaya, seperti Johor, Kedah, pahang berhasil dikuasai. Demikian juga daerah Perlak, Pulau Bintan dan Nias.
Iskandar muda bersikap anti penjajah. Ia bercita-cita mampu menghalau Portugis dari Malaka. Oleh alasannya adalah itu Iskandar Muda beberapa kali menyerang Portugis di Malaka. Contoh, tahun 1629, dia melakukan serangan besar-besaran ke Malaka. Namun alasannya persenjataan yang tidak sepadan belum sukses. Portugis pun juga menyerang dan berusaha menguasai Aceh, namun senantiasa dapat dipukul mundur oleh serdadu Aceh.
Pada kala kekuasaan Iskandar Muda disusun sebuah Undang-undang ihwal tata Pemerintah. Undang-undang itu disebut Adat Mahkota Alam.
Tahun 1636 Sultan Iskandar Muda Wafat lalu digantikan Sultan Iskandar thani. Sultan Iskandar Thani memerintah hingga tahun 1641. raja-raja yang berkuasa berikutnya lemah. Sementara tahun 1641 Belanda sudah berhasil menguasai Malaka. Lama kelamaan Belanda pun sukses memasukkan pengaruhnya ke Aceh.
Peninggalan sejarah dari kerajaan Aceh antara lain berupa koin emas, stempel kerajaan, makam Sultan Iskandar Muda, Rencong, juga beberapa karya sastra. Dalam bidang kesusasteraan dan ilmu agama, Aceh telah melahirkan beberapa ulama ternama, yang karangan mereka menjadi acuan utama dalam bidang masing-masing, mirip Hamzah Fansuri dalam bukunya Tabyan Fi Ma’rifati al-U Adyan, Syamsuddin al-Sumatrani dalam bukunya Mi’raj al-Muhakikin al-Iman, Nuruddin Al-Raniri dalam bukunya Sirat al-Mustaqim, dan Syekh Abdul Rauf Singkili dalam bukunya Mi’raj al-Tulabb Fi Fashil.
5.      Kerajaan Demak dan Kerajaan Pajang
Demak ialah kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa. Kerajaan yang diresmikan oleh Raden Patah ini pada awalnya yakni suatu wilayah dengan nama Glagah atau Bintoro yang berada di bawah kekuasaan Majapahit. Majapahit mengalami kemunduran pada final abad ke-15. Kemunduran ini memberi peluang bagi Demak untuk bermetamorfosis kota besar dan pusat jual beli. Dengan derma para ulama Walisongo, Demak menjelma sentra penyebaran agama Islam di Jawa dan kawasan timur Nusantara.
Sebagai kerajaan, Demak diperintah silih berganti oleh raja-raja. Demak didirikan oleh Raden Patah (1500-1518) yang bergelar Sultan Alam Akhbar al Fatah. Raden Patah bergotong-royong ialah Pangeran Jimbun, putra raja Majapahit. Pada era pemerintahannya, Demak meningkat pesat. Daerah kekuasaannya mencakup daerah Demak sendiri, Semarang, Tegal, Jepara dan sekitarnya, dan cukup kuat di Palembang dan Jambi di Sumatera, serta beberapa daerah di Kalimantan. Karena mempunyai bandar-bandar penting mirip Jepara, Tuban, Sedayu, Gresik.
Raden Patah memperkuat armada lautnya sehingga Demak bermetamorfosis negara maritim yang kuat. Dengan kekuatannya itu, Demak menjajal menyerang Portugis yang pada dikala itu menguasai Malaka. Demak membantu Malaka alasannya adalah kepentingan Demak turut terusik dengan hadirnya Portugis di Malaka. Namun, serangan itu gagal.
Dalam bidang budaya banyak hal yang menawan yang merupakan peninggalan dari kerajaan Demak. Salah satunya ialah Masjid Demak, di mana salah satu tiang utamanya terbuat dari pecahan-pecahan kayu yang disebut Soko Tatal. Masjid Demak dibangun atas pimpinan Sunan Kalijaga. Di serambi depan Masjid (pendopo) itulah Sunan Kalijaga menciptakan dasar-dasar perayaan Sekaten (Maulud Nabi Muhammad saw) yang sampai sekarang masih berjalan di Yogyakarta dan Cirebon.[18]
6.      Kerajaan Mataram 
Sutawijaya yang mendapat limpahan Kerajaan Pajang dari Sutan Benowo lalu memindahkan sentra pemerintahan ke daerah kekuasaan ayahnya, Ki Ageng Pemanahan, di Mataram. Sutawijaya kemudian menjadi raja Kerajaan Mataram dengan gelar Panembahan Senopati Ing Alaga Sayidin Panatagama.
Pemerintahan Panembahan Senopati (1586-1601) tidak berjalan dengan mulus karena diwarnai oleh pemberontakan-pemberontakan. Kerajaan yang berpusat di Kotagede (sebelah tenggara kota Yogyakarta sekarang) ini senantiasa terjadi perang untuk menundukkan para bupati yang ingin melepaskan diri dari kekuasaan Mataram, seperti Bupati Ponorogo, Madiun, Kediri, Pasuruan bahkan Demak. Namun, semua tempat itu mampu ditundukkan. Daerah yang terakhir dikuasainya adalah Surabaya dengan sumbangan Sunan Giri.
7.      Kerajaan Banten
Kerajaan yang terletak di barat Pulau Jawa ini pada mulanya ialah bab dari Kerajaan Demak. Banten direbut oleh pasukan Demak di bawah pimpinan Fatahillah. Fatahillah yakni menantu dari Syarif Hidayatullah. Syarif Hidayatullah adalah salah seorang wali yang diberi kekuasaan oleh Kerajaan Demak untuk memerintah di Cirebon. Syarif Hidayatullah mempunyai 2 putra pria, pangeran Pasarean dan Pangeran Sabakingkin. Pangeran Pasareaan berkuasa di Cirebon. Pada tahun 1522, Pangeran Saba Kingkin yang lalu lebih dikenal dengan nama Hasanuddin diangkat menjadi Raja Banten.
8.      Kerajaan Cirebon
Kerajaan yang terletak di perbatasan antara Jawa Barat dan Jawa Tengah didirikan oleh salah seorang anggota Walisongo, Sunan Gunung Jati dengan gelar Syarif Hidayatullah.
Syarif Hidayatullah menjinjing kemajuan bagi Cirebon. Ketika Demak mengantarkan pasukannya di bawah Fatahilah (Faletehan) untuk menyerang Portugis di Sunda Kelapa, Syarif Hidayatullah menawarkan pertolongan sepenuhnya. Bahkan pada tahun 1524, Fatahillah diambil menantu oleh Syarif Hidayatullah. Setelah Fatahillah sukses menghalau Portugis dari Sunda Kelapa, Syarif Hidayatullah meminta Fatahillah untuk menjadi Bupati di Jayakarta. Syarif Hidayatullah lalu digantikan oleh putranya yang bernama Pangeran Pasarean.
9.      Kerajaan Gowa-Tallo
Kerajaan yang terletak di Sulawesi Selatan bekerjsama terdiri atas dua kerjaan: Gowa dan Tallo. Kedua kerajaan ini kemudian bersatu. Raja Gowa, Daeng Manrabia, menjadi raja bergelar Sultan Alauddin dan Raja Tallo, Karaeng Mantoaya, menjadi perdana menteri bergelar Sultan Abdullah. Karena pusat pemerintahannya terdapat di Makassar, Kerajaan Gowa dan Tallo sering disebut selaku Kerajaan Makassar.
Karena posisinya yang strategis di antara daerah barat dan timur Nusantara, Kerajaan Gowa dan Tallo menjadi bandar utama untuk memasuki Indonesia Timur yang kaya rempah-rempah. Kerajaan Makassar memiliki pelaut-pelaut yang handal terutama dari kawasan Bugis. Mereka inilah yang memperkuat barisan pertahanan laut Makassar. Raja yang populer dari kerajaan ini ialah Sultan Hasanuddin (1653-1669).
10.  Kerajaan Ternate dan Tidore
Ternate merupakan kerajaan Islam di timur yang bangkit pada kala ke-13 dengan raja Zainal Abidin (1486-1500). Zainal Abidin yaitu murid dari Sunan Giri di Kerajaan Demak. Kerajaan Tidore bangkit di pulau lainnya dengan Sultan Mansur selaku raja.
Kerajaan yang terletak di Indonesia Timur menjadi incaran para pedagang sebab Maluku kaya akan rempah-rempah. Kerajaan Ternate cepat meningkat berkat hasil rempah-rempah terutama cengkih.


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Setelah islam masuk di nusantara, islam eksklusif meningkat dengan sungguh pesat dan kian banyak orang yang masuk islam alasannya adalah cara penyebaran islam sungguh bagus dan tanpa paksaan. Karena bertambah banyak orang yang memeluk agama islam sehingga hal ini menimbulkan  mulai banyak kerajaan-kerajaan islam yang bangkit di nusantara. 
Sejarah Awal Masuknya Islam di Indonesia sudah dikenal semenjak zaman dulu oleh bangsa-bangsa baik di timur maupun di barat, sebab menjadi jalur lalulintas perjalanan. Sebagai wilayah yang mudah dijangkau dan menciptakan banyak hasil bumi, maka amat logis bila Indonesia menjadi kawasan untuk menemukan pengaruh, dan tidak terkecuali untuk penyebaran agama Islam.
            Perkembangan Islam di Indonesia dengan membawa peradaban baru yang memiliki corak keislaman secara khusus. Akulturasi antara peradaban Islam dan peradaban penduduk lokal menjadi terpadu yang menenteng efek aktual bagi kemajuan budaya Islam Indonesia
B.     Saran
Penulis menyadari bahwa, dalam goresan pena ini terdapat banyak kekurangan. Di samping itu juga terbatas alasannya hanya merupakan makalah, yang mustahil memuat segala hal perihal pembahasan sebagaimana dalam judul. Dengan demikian, kiranya ke depan ada studi lanjut yang dapat memaparkan sejarah masuknya Islam ke Indonesia dengan lebih baik dan Menyeluruh.


DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah, Jakarta: Cahaya Gemilang, 1996
Asnawi, Muh. Sejarah Kebudayaan Islam, Semarang: CV. Aneka Ilmu, 2009.
Hamka, Sejarah Masuknya Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pustaka 1982
Hasjmy, A. 1990. Sejarah Kebudayaan Islam di Indonesia, cet.1. Jakarta: PT. Bulan Bintang.
Mundzirin Yusuf, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia Cet1 (Yogyakarta: Penerbit Pustaka, 2006)
Munir Amin, Samsul. 2010. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Amzah.
Murodi.  1994. Sejarah Kebudayaan Islam. Semarang: PT. Karya Toha Putra.
Suminto, Aqid. Politik Islam Hindia Belanda. Jakarta: Pustaka LP3ES.
Supriyadi, Dedi. Sejarah Peradaban Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2008.
Suryanto, Bahroin. dan  Syarifudin Juhri, Sejarah Kebudayaan Islam, Bogor:Yudhistira, 2010.
Thohir, Ajid. 2004. Perkembangan Peradaban Di Kawasan Dunia Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

  17 Pupuh Sunda : Guru Lagu Jeung Guru Wilangan

[1] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm 188

[2] Bahroin Suryanto dan Syarifudin Juhri, Sejarah Kebudayaan Islam, (Bogor:Yudhistira, 2010), hlm 2.

[3] Muh.Asnawi, Sejarah Kebudayaan Islam, (Semarang: CV. Aneka Ilmu, 2009), hlm  4.

[4] Bahroin Suryanto dan Syarifudin Juhri, Sejarah Kebudayaan Islam, hlm. 2-3.

[5] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 191.

[6] Bahroin Suryanto dan Syarifudin Juhri, Sejarah Kebudayaan Islam, hlm. 3.

[7] Bahroin Suryanto dan Syarifudin Juhri, Sejarah Kebudayaan Islam, hlm. 3.

[8] Bahroin Suryanto dan Syarifudin Juhri, Sejarah Kebudayaan Islam, hlm. 3-4.

[9] Bahroin Suryanto dan Syarifudin Juhri, Sejarah Kebudayaan Islam, hlm  4.

[10] Bahroin Suryanto dan Syarifudin Juhri, Sejarah Kebudayaan Islam, hlm 4-5.

[11] Hamka, Sejarah Masuknya Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pustaka 1982 hal 45

[12] Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah, Jakarta: Cahaya Gemilang, 1996 hal 38

[13] Suminto, Aqid. Politik Islam Hindia Belanda. Jakarta: Pustaka LP3ES. Hal 76

[14] Hasjmy, A. 1990. Sejarah Kebudayaan Islam di Indonesia, cet.1. Jakarta: PT. Bulan Bintang. Hal 88

[15] Murodi.  1994. Sejarah Kebudayaan Islam. Semarang: PT. Karya Toha Putra. Hal 76

[16] Thohir, Ajid. 2004. Perkembangan Peradaban Di Kawasan Dunia Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Hal 56

[17] Munir Amin, Samsul. 2010. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Amzah. Hal 98

[18] Mundzirin Yusuf, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia Cet1 (Yogyakarta: Penerbit Pustaka, 2006) hal 76