Kajian ini membicarakan ihwal konsep al-Kasb al-Asy’ariyyah dan modernisasi dan Modernisasi dalam Islam. Permasalahan kajian yaitu bagaimanakah keberadaan fatwa al-Asy’ariyyah dalam kehidupan umat Islam, apakah pedoman ini sudah membelenggu fikiran dan kebebasan manusia dan menggiring penganutnya kepada perilaku patalisme, determinisme, atau Jabariyyah, bagaimanakah peranan anutan al-Asy’ariyyah terhadap modernisasi. Temuan kajian menyimpulkan bahwa Teologi al-Asy’ariyyah bersifat terbuka, realistis, dan pragmatis, serta bersikap nyata terhadap pertumbuhan sains dan teknologi. Karena itu, menganggap anutan al-Asy’ariyyah sebagai pedoman fatalisme, determinisme atau Jabariyyah tidaklah sempurna, karena teologi ini sungguh menghormati logika selaku anugerah yang kuasa, juga menghormati dan menjunjung tinggi naqal selaku tuntunan ilahi yang senantiasa faktual.
Desain Al-Kasb Al-Asy’Ariyyah Dan Modernisasi Dalam Islam
Oleh: Syafieh, M.Fil. I[1]
ABSTRAK
A. Pendahuluan
Al-Asy’ariyah yakni pengikut Abu Hasan Ali bin Isma’il al-Asy’ariy,[2] yang kemudian berkembang menjadi salah satu ajaran teologi yang penting dalam Islam, yang berikutnya diketahui dengan aliran al-Asy’ariyah, adalah nama yang dinisbahkan kepada Abu Hasan al-Asy’ariy sebagai peletak dasar-dasar pedoman ini. Al-Asy’ariy hidup antara tahun 260-324 H.[3] atau lahir final kurun III dan permulaan masa IV H. Pada periode ini dikenal ada tiga fatwa dalam peta sejarah pemikiran Islam, ialah pertama, Aliran Salafiah, yang dipelopori oleh al-Imam Ahmad bin Hanbal. Aliran ini diketahui sungguh tekstual, yakni mengakibatkan nash selaku satu-satunya poros dan alat dalam mengerti aqidah-aqidah Islam; kedua, Aliran Filosof Islam yang mengetahui aqidah-aqidah Islam dan membelanya mesti berdasarkan nalar dan naql dengan bertolak pada kebenaran – kebenaran logika sebagai satu – satunya sumber pengetahuan; ketiga, ajaran Mu’tazilah, ajaran yang memadukan antara logika dan naql dengan tetap mengakibatkan logika selaku penentu jikalau lahiriah nash bertentangan dengan kebenaran – kebenaran nalar (dalil – dalil nalar).[4]
Al – Asy’ariy pada awalnya tergolong pengikut pedoman Mu’tazilah hingga ia berumur 40 tahun.[5] dan pada risikonya beliau membentuk ‘orak aliran yang berlawanan dari ketiga aliran tersebut, dia berusaha memadukan keduanya dengan tetap berpedoman bahwa akal harus tunduk pada nash. Metode al-Asy’ariy ini, dibarengi oleh ulama yang tiba setelahnya dan menisbahkan pendapat-pendapat mereka terhadap al-Asy’ariyah, mereka inilah yang berperan dalam menyebarkan pendapat-usulan al-Asy’ariy dengan memakai dalil-dalil akal yang rasional menghampiri kerasionalan Mu’tazilah.[6] Tokoh tersebut yakni al-Baqillani, al-Juwaini, dan al-Ghazali.
Sebagai aliran jalan tengah antara kaum Muktazilah yang rasionalis-metaforis dan kaum ahli Hadis yang ekstrim tekstualis, maka al-Asy’ariyyah dalam metodologi kalamnya di samping menggunakan sumber primer berbentukteks-teks su’i dari al-Qur’an dan al-Sunnah, separti yang dijalankan oleh andal Hadis, juga memakai tata cara rasional berbentukmantik atau logik Aristotle, sehingga beliau menggunakan nalar dan naqal se’ara sebanding.
Beberapa abad sehabis anutan al-Asy’ariyyah meraih pertumbuhan dan penyebarannya yang tepat, umat Islam di bawah Khilafah Uthmaniyyah, mulai mundur, sementara dunia Barat mulai berdiri bersama pertumbuhan ilmu wawasan dan teknologinya. Sebahagian pemikir Islam menyimpulkan bahwa salah satu penyebab yang menjinjing umat Islam terhadap kemunduran itu ialah perilaku fatalisme yang menyelubungi mental umat Islam. Di antara para penulis dan peneliti ada yang menuduh bahwa teologi al-Asy’ariyyahlah yang harus bertanggung jawab atas berkembangnya sikap fatalisme tersebut. Mereka menuduh bahwa teologi al-Asy’ariyyahlah yang membelenggu asumsi dan kebebasan manusia, sehingga umat Islam, yang secara umum dikuasai menjadi penganutnya tergiring terhadap sikap fatalisme atau Jabariyyah.
Berdasarkan latar belakang di atas, pembahasan ini di fokuskan pada eksistensi aliran al-Asy’ariyyah dalam kehidupan umat Islam dan apakah betul pedoman ini sudah membelenggu fikiran dan keleluasaan insan serta menggiring penganutnya terhadap perilaku patalisme, determinisme, atau Jabariyyah.
Untuk menjawab itu semua, penulis memakai akan membahas melalui karya-karya Abū al- Hasan al- Asy’arī, al-Bāqillānī, al-Juwaynī, dan al-Gazālī yang berkaitan dengan metodologi ajaran dan pemikiran teologi mereka. Keempat-empat tokoh ini dianggap selaku tokoh-tokoh utama yang sudah berhasil mengantar mazhab al-Asy’ariyyah kearah lebih tepat sehingga mereka dianggap selaku tokoh-tokoh refresentatif yang dapat mewakili tokoh-tokoh al-Asha’irah yang lain dari segi aspek pertumbuhan, pertumbuhan dan kesempurnaan aliran al-Asy’ariyyah.
B. Modernisasi Dalam Islam
Kata modernisasi lahir dari dunia barat, adanya sejak terkait dengan problem agama. Dalam masyarakat barat kata modernisasi mengandung pemahaman aliran, anutan, gerakan, dan usaha untuk mengubah paham-paham, etika istiadat, institusi-institusi usang dan sebagainya. Agar semua itu dapat diubahsuaikan dengan pendapat-pertimbangan dan keadan gres yang ditimbulkan oleh pertumbuhan ilmu wawasan dan tekhnologi modern.
Pembaharuan Islam adalah upaya untuk menyesuiakan paham keagamaan Islam dengan kemajuan dan yang ditimbulkan perkembangan ilmu wawasan dan terknologi terbaru. Dengan demikian pembaharuan dalam Islam bukan berarti mengganti, meminimalkan atau menambahi teks Al-Quran maupun Hadits, melainkan hanya menyesuaikan paham atas keduanya. Sesuai dengan perkembangannya zaman, hal ini dikerjakan karena betapapun hebatnya paham-paham yang dihasilkan para ulama atau pakar di zaman lampau itu tetap ada kekurangannya dan selalu dipengaruhi oleh kecendrungan, wawasan, situasional, dan sebagainya. Paham-paham tersebut untuk di periode sekarang mungkin masih banyak yang berkaitan dan masih dapat digunakan, namun mungkin sudah banyak yang tidak sesuai lagi.
Kata tajdid sendiri secara bahasa memiliki arti “mengembalikan sesuatu terhadap kondisinya yang sebaiknya”. Dalam bahasa Arab, sesuatu dikatakan “jadid” (baru), kalau bagian-bagiannya masih dekat menyatu dan masih jelas. Maka upaya tajdid seharusnya yakni upaya untuk mengembalikan keutuhan dan kemurnian Islam kembali. Atau dengan perumpamaan yang lebih terperinci, Thahir ibn ‘Asyur menyampaikan,
Pembaharuan agama itu mulai direalisasikan dengan mereformasi kehidupan insan di dunia. Baik dari segi pemikiran agamisnya dengan upaya mengembalikan pengertian yang benar terhadap agama sebagaimana mestinya, dari segi pengamalan agamisnya dengan mereformasi amalan-amalannya, dan juga dari segi upaya menguatkan kekuasaan agama.
Pada kala modern ada fikiran biasa bahwa sekularisme yakni suatu keniscayaan dan agama tidak lagi berperan penting. Bila insan semakin rasional, maka agama tidak lagi diharapkan untuk mengenali mana yang baik dan yang jelek, mana yang layak dan tidak layak. Masa ini yakni era di mana agama mulai terpinggirkan oleh teknologi dan industri. Orang telah jenuh dengan anutan-aliran agama yang menurut mereka adalah mitos dan tidak masuk nalar, logos dan rasio menjadi yang kuasa yang mereka puja dan mereka yakini mampu mengganti kehidupan mereka ke arah yang lebih baik. Trend keagamaan ini bekerjsama sudah tumbuh semenjak era 17 dan 18 yang ditandai dengan munculnya Deisme. Kitab suci, otoritas religious dan agama tidak dibutuhkan lagi untuk mengenali keberadaan yang kuasa. Pada kala itu orang Nasrani di Inggris, Perancis dan Amerika mulai mempertanyakan anutan agama mereka dan meragukan mukjizat, kitab suci dan kepercayaan-iktikad yang tidak masuk logika yang mereka sebut dengan takhayul. Namun di akhir tahun 1970-an kaum agamis atau tepatnya fundamentalis mulai melawan hegemoni kaum sekular.[7]
Modernisasi yang terjadi selama kurang lebih 300 tahun di Barat sudah mengganti barat menjadi negara industri yang kaya. Modernitas Barat lalu menjadi keinginan negara-negara meningkat . Negara yang tidak modern yaitu negara miskin yang kalah dalam pentas dunia. Kita mampu saksikan negara-negara Islam pada abad ke-19 berada dalam garis kemiskinan. Data dari Perserikatan Bangsa-Bangsa, Bank Dunia, dan organisasi lainnya memberikan bahwa negara-negara Arab dalam hal membuat lapangan kerja, pendidikan, teknologi, dan produktifitas sungguh jauh tertinggal dibanding negara-negara Barat. Bahkan masih jauh tertinggal dibanding dengan negara-negara yang baru memodernkan diri dengan cara mengikuti modernitas Barat, seperti Taiwan, Singapore dan Korea.[8]
Modernisasi di negara Islam berlainan prosesnya dengan yang terjadi di Barat. Modernisasi di Barat memiliki proses yang panjang dan alamiah. Umat Islam telah tertinggal sungguh jauh untuk bisa menjadi terbaru mirip Barat. Tahapan-tahapan yang telah dilalui Barat selama 3 ratusan tahun untuk menjadi terbaru mustahil lagi dilaksanakan oleh umat Islam, kecuali umat Islam rela untuk kian jauh tertinggal. Tidak ada pilihan lain bagi pemimpin-pemimpin negara-negara Islam selain melakukan palsu terhadap modernitas Barat. Hal yang terjadi lalu adalah modernisasi yang terlalu dipaksakan sehingga dasarnya ringkih dan mudah runtuh.[9] Oleh karena modernisasi di negara Islam dijalankan dengan cara menjiplak Barat, maka yang terjadi bantu-membantu adalah westernisasi. Winfield menyatakannya dalam kata-katanya “….Western nations modernized themselves while non-western nations were generally subje’ted to a westernization imposed through the yoke of ‘olonial and imperial domination”.[10]
Modernisasi atau tepatnya westernisasi yang dilaksanakan oleh negara-negara Islam tersebut tidak selalu mulus. Prosesnya sungguh susah dan nyaris tak bisa di atasi. Modernisasi ialah proses yang sarat pergolakan yang membutuhkan aneka macam pertumpahan darah serta ketercerabutan spiritual. Modernisasi di Barat saja diterpa topan protes oleh kaum agamis utamanya fundamentalis Nasrani. Fundamentalisme yang muncul di Barat sebagai reaksi atas modernisme juga muncul di negara-negara Islam sesudah Islam bersinggungan dengan modernitas Barat, tetapi yang muncul di dunia Islam bukan hanya sekedar fundamentalisme yang anti sekuler tetapi juga anti Barat. Apa yang dibawa dari Barat ke negara-negara Islam meskipun itu yaitu nilai-nilai universal dipandang sebagai penjajahan. “What is universalism to the west is imperialism to the rest”.[11] Teror kaum fundamentalis kepada Barat, baik berupa perusakan akomodasi, perlawanan kepada pemerintahan negara Barat, atau bahkan kepada yang dicurigai selaku antek-antek Barat ialah bukti positif bahwa perlawanan terhadap sekularisme yang berjalan ialah perlawanan terhadap Barat.[12]
C. Konsep al-Kasb Asy’ariyah
Untuk menengahi kedua faham tersebut Abu Hasan al-Asy’ari mengajukan desain al-kasb, dengan pemahaman bahwa yang mewujudkan tindakan insan yaitu Allah,[13] namun insan diberi daya dan opsi untuk berbuat atas keinginanAllah. Manusia dalam perbuatannya banyak bergantung terhadap hasratdan kekuasaan Allah. Oleh alasannya adalah itu, manusia, dalam persepsi al-Asy’ari, bukan fa’il, namun kasib. Berdasarkan itulah mun’ul teori al-kasb. Al-Shahrustani memperjelas pengertian al-kasb dengan menyatakan bahwa lahirnya perbuatan manusia yakni dengan jalan Allah memperlakukan sunnah-Nya melalui daya yang gres diciptakan bersama-sama dengan terjadinya tindakan. Berkaitan dengan itu, lahirlah desain al-iktisab.[14]
Arti al-iktisab, menurut al-Asy’ari, yakni bahwa sesuatu terjadi dengan perantaraan daya yang diciptakan dan dengan demikian menjadi perolehan atau kasb bagi orang yang dengan dayanya perbuatan itu muncul.[15] Di dalam al-Luma’, al-Asy’ari menunjukkan penjelasan yang sama. Arti yang sesungguhnya dari al-kasb adalah bahwa sesuatu muncul dari al-muktasib (a’quirer, yang mendapatkan) dengan perantaraan daya yang diciptakan.[16]
Argumen yang dimajukan oleh al-Asy’ari wacana diciptakannya kasb oleh Allah yakni firman Allah yang bermaksud: “Dan Allah men’iptakan kamu dan apa yang kamu perbuat”.[17] Berdasarkan ayat ini, mereka beropini bahwa tindakan-tindakan insan diciptakan oleh Allah.[18] Tidak ada pembuat atau fa’il bagi kasb kecuali Allah.[19] Dengan perkataan lain, yang menentukan wujudnya kasb atau perbuatan manusia, dalam pandangan al-Asy’ari, bantu-membantu yakni Allah sendiri.
Dari informasi diatas mampu difahami bahwa; semenjak periode Al-Asy’ari, polemik dan kontroversi tentang perbuatan insan, dalam teologi dikenal dengan ungkapan af’al al-’ibad, hingga sekarang tetap hangat diperbincangkan. Terutama kaum Muktazilah yang selalu memunculkan wangsit qadariyyah atau free will yang menjadi fatwa mereka. Dalam situasi demikian al-Ash’arī, selaku tokoh kalam sunni terpanggil mengemukakan idenya seiring dengan metodologi yang beliau kembangkan untuk menjembatani antara dua kalangan ekstrim, Jabariyyah dan Qadariyyah[20] dengan menunjukkan desain ‘teologi poros tengah’ (moderat).
Dalil naql yang dijadikan dasar diciptakannya kasb[21] itu adalah firman Allah s.w.t.:والله خلقكم وما تعملون “Allah membuat kau dan apa yang kamu perbuat”.[22] Kata وما تعملون dalam ayat tersebut diartikan oleh al-Ash’arī dengan “apa yang kau perbuat” dan bukan “apa yang kau buat”. Hal ini memiliki arti Allah menciptakan kau dan perbuatan-perbuatan kamu. Makara, berdasarkan al-Asy’arī, tindakan-tindakan manusia yakni diciptakan Allah, dan Dia pulalah yang membuat kasb.[23] Dengan kata lain, bahwa Allah yang merealisasikan kasb atas perbuatan manusia. Dengan demikian, memiliki arti Allah sebetulnya yang menjadikan (pembuat) tindakan insan, sedangkan manusia cuma ialah tempat berlakunya tindakan-perbuatan Allah tersebut.
Al-Asy’ari membagi perbuatan atau gerakan insan terbahagi kepada idtirar (perbuatan tanpa sengaja, di luar kesanggupan) dan tindakan kasb. Masing-masing perbuatan itu mempunyai dua unsur. Bagi idtirar mempunyai unsur penggagas yang merealisasikan gerak, dan bagian tubuh yang bergerak. Penggerak adalah Allah, sementara badan yang bergerak ialah manusia, alasannya adalah badan yang bergerak mengharapkan tempat yang bersifat jasmani. Sedangkan Allah mustahil mempunyai daerah jasmani.[24] Adapun komponen bagi kasb, mengikut al-Asy’ari, adalah pembuat dan yang menemukan perbuatan sebagaimana yang terjadi pada gerakan idtirar. Oleh itu, pembuat kasb yang sebenarnya yakni Allah, sedangkan yang mendapatkan kasb yaitu insan.[25]
Al-Asy’ari berupaya membedakan antara tindakan idtirar dan kasb. Pada perbuatan pertama terdapat bagian ‘keterpaksaan’ manusia melaksanakan sesuatu tanpa dapat dihindarinya, walaupun dia berusaha semaksimal mungkin untuk melakukan hal itu. Sedangkan dalam perbuatan yang kedua, tidak terdapat bagian ‘paksaan’ di dalamnya. Namun keduanya itu yakni tindakan Allah.[26] Argumen ini, sesuai dengan firman Allah: وما تشاءون الا أن يشاء الله [27] “Kamu tidak mengharapkan kecuali jikalau diharapkan oleh Allah”. Maksud ayat ini, berdasarkan al-Asy’ari, yaitu bahwa manusia tidak mampu mengharapkan sesuatu tanpa diharapkan oleh Allah. Jika seseorang berkehendak untuk pergi ke Mekkah, maka kehendaknya ini akan terealisasi bila Allah menghendakinya. Makara kehendak manusia satu dengan hasratAllah, dan hasratyang ada dalam diri manusia itu tidak lain yakni hasratAllah.[28]
Al-Asy’ari bahu-membahu tidak menginginkan umat terjatuh dalam bulat Jabariyyah dan juga Qadariyyah. Oleh karena itulah beliau mengemukakan suatu pemikiran yang mengambil posisi jalan tengah, dalam goresan pena ini diistilahkan dengan teologi ‘Poros Tengah’, melalui teori kasb tersebut. Sebagai anutan pertengahan, pasti yang dimaksudkan oleh al-Asy’ari yakni bahwa insan, dalam perbuatannya, bebas tapi terikat; terpaksa tapi masih memiliki kebebasan. Demikianlah maksud al-Asy’ari tersebut. Namun demikian, dapat dibilang bahwa di sinilah letak keunikan teologi al-Asy’ari. Ia memberi kesempatan kepada generasi selanjutnya untuk menawarkan interpretasi dan penjelasan-penjelesan nyata, khususnya dari tokoh-tokoh al-Asy’ariyyah.
Al-Bāqillāni dan al-Juwayni, contohnya, beropini bahwa perbuatan terjadi dengan daya manusia, dengan demikian tindakan manusia bantu-membantu yaitu tindakan manusia itu sendiri.[29] Namun, ada perbuatan yang manusia itu terpaksa melakukannya. Misalnya, insan manpu bangkit, duduk dan bicara dengan keinginannya sendiri, tetapi insan tidak mampu bergerak ketika dia lunpuh dan Sakit. Sehubungan dengan itu, al-Bāqillāni menyatakan bahwa manusia cuma bisa berbuat dengan kudrat yang diciptakan Allah padanya. Ini terlihat bahwa seseorang hanya mampu berbuat sesuatu pada sebuah waktu, namun tidak mampu berbuat yang sama pada waktu lainnya.[30]
Selanjutaya, berdasarkan al-Bāqillāni, insan tidak bisa berbuat sebelum terjadi tindakan (iktisab). Manusia hanya manpu berbuat saat terjadi tindakan (fi hal al-iktisāb), alasannya adalah ia tidak diberikan kudrat sebelumnya.[31] Berkaitan dengan itu, al-Bāqillāni menyampaikan bahwa kudrat yang ada pada insan tidak tetap. Karena, jika beliau tetap dengan sendirinya mestilah beliau tetap ada pada waktu yang sama atau pada waktu yang berbeda, hal ini ialah mustahil.[32] Karena itu, kemampuan insan cuma ada serempak dengan tindakan. Apabila insan telah mempunyai kemampuan sebelum terjadi perbuatan, maka pada waktu terjadi tindakan itu dia tidak lagi membutuhkan pemberian Allah. Maka yang demikian itu, menurut al-Bāqillāni, tidak mungkin.[33] Kaprikornus, mampu dibilang bahwa Allah lah yang menciptakan daya pada insan dan kebebasan manusia terletak pada penggunaan daya tersebut. Allah s.w.t. menunjukkan kudrat tidak untuk dua tindakan yang berlawanan atau yang serupa, atau yang berlawanan. Dengan kata lain, Allah memberikan satu kudrat untuk satu perbuatan.[34] Pandangan separti ini, berdasarkan al-Bāqillāni, tidak menunjukkan seseorang terpaksa dalam perbuatannya. Orang yang terpaksa berbuat yaitu orang yang dibebani sesuatu yang tidak disukainya. Sementara orang yang dibilang mampu berbuat yaitu orang yang berbuat dengan kemauannya sendiri. Orang yang terpaksa berbuat dan yang bisa berbuat berbeda dengan orang yang tidak mampu berbuat sama sekali. Maka dalam hal ini, orang yang tidak berbuat apa yang ditugaskan kepadanya ialah orang yang tidak mampu melakukannya.[35] Selain itu, al-Bāqillani mengatakan bahwa Allah menunjukkan kudrat untuk berbuat kepada insan yang sebelumnya tidak ada. Kudrat itu ada bersamaan dengan terlaksananya tindakan. Sebagaimana suatu cincin bergerak berbarengan dengan kejadian gerakan tangan. Begitu juga seseorang gres mengetahui rasa sakit serentak dengan adanya sakit itu sendiri.[36] Argumen ini diperkuat dengan firman Allah : لا يكلف الله نفسا إلا وسعــهــا [37] “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”. Firman Allah: لا يكلف الله نفســا إلا مــا ءاتاهـــا [38] “Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang diberikan Allah kepadanya”. Kedua-dua ayat ini, menurut al-Bāqillani, menawarkan bahwa tidak ada kudrat sebelum tindakan.[39] Dan dalam al-Quran dijelaskan kewajipan bagi orang yang berat melakukan sebuah perbuatan untuk mengeluarkan uang fidyah.[40] Hal ini, kata al-Bāqillani terperinci memperlihatkan tidak adanya kudrat.[41]
Dari informasi di atas, mampu dikatakan bahwa al-Asy’ari dan al-Bāqillāni sependapat dalam menatap tindakan manusia sebagai ciptaan Allah, namun al-Bāqillāni sudah menyempurnakan usulan gurunya, al-Asy’ari, dengan menyampaikan bahwa manusia mempunyai kebebasan di dalam perbuatannya. al-Bāqillāni menatap al-kasb selaku gerakan orang yang diikuti kudrat pada waktu terjadinya perbuatan, berbeda dengan orang yang lumpuh, yang tidak mampu bergerak. Ia membedakan antara gerakan tangan orang yang sehat, sebagai gerakan yang tidak terpaksa, dengan gerakan orang yang gementar alasannya sakit, ialah yang bergerak alasannya adalah terpaksa. Oleh alasannya adalah al-kasb merupakan perbuatan lewat jalan ikhtiar, maka al-kasb bukan perbuatan yang terpaksa.[42] Dengan demikian, rancangan al-kasb al-Bāqillāni mengandung faham keleluasaan. Manusia memiliki tugas efektif di dalam perbuatannya, Allah cuma menciptakan gerak di dalam diri manusia, sedangkan bentuk dari gerakan itu, yang kemudian disebut tindakan mirip duduk, bangkit, berbicara dan sebagainya, adalah tindakan insan.[43]
Pandangan teologis al-Bāqillāni di atas diteruskan oleh al-Juwayni dengan formulasi bahwa manusia mempunyai pemberian yang efektif dalam mewujudkan perbuatannya,[44]alasannya dia diberi hak untuk memilih pilihan, memanfaatkan daya yang sudah diciptakan Allah di dalam dirinya dan megamalkan wawasan yang diberikan Allah secara global kepadanya biar direalisasikan dalam bentuk tindakan. Selanjutnya, al-Juwayni menyatakan bahwa Allah menciptakan daya di dalam diri insan sebelum terjadinya tindakan. Daya itu bersifat ‘ard (a’’identil) dan setiap ‘ard tidak baka. Makara, sebab ‘ard sifatnya tidak abadi (al-’ard la yabqā), tidak mampu digunakan untuk mewujudkan berbagai macam perbuatan.[45] Untuk terwujudnya suatu tindakan, harus ada daya Allah yang menyertainya. Manusia, berdasarkan al-Juwayni, bebas mengarahkan daya yang diciptakan Allah itu untuk mewujudkan perbuatan perbuatannya sesuai dengan hasratdan kemauannya. Jadi, terperinci bahwa manusia, berdasarkan al-Juwayni, mempunyai peranan efektif untuk mengarahkan daya dan merealisasikan perbuatan-perbuatan yang dikehendakinya, sedangkan daya untuk mewujudkan perbuatan itu dengan menggunakan daya Allah. Hal ini terjadi alasannya adalah Allah selalu menawarkan tambahan energi terhadap manusia.
Al-Ghazali juga menunjukkan keterangan yang serupa. Menurutnya, Allah lah yang menciptakan tindakan insan dan kudrat untuk berbuat dalam diri manusia.[46] Perbuatan insan terjadi dengan kudrat Allah dan bukan dengan kudrat manusia, sungguhpun yang disebutkan terakhir ini akrab keterkaitannya dengan tindakan itu. Oleh karena itu, tidak dapat dibilang bahwa manusialah yang menciptakan perbuatannya. Untuk itu, kata al-Ghazālī, sesuai dengan apa yang disebutkan dalam al-Qur’an, tindakan insan itu disebut al-kasb.[47]
Al-Ghazali memperjelas adanya kemungkinan dua kudrat dalam satu perbuatan, yakni kudrat Allah dan kudrat insan, alasannya adalah keterkaitan antara kedua kudrat itu dengan perbuatan insan berlainan. Kudrat Allah berhubungan dengan al-khalq (penciptaan), sementara kudrat manusia berkaitan dengan al-kasb. AI-KhaIq berasal dari Allah sedangkan al-kasb berasal ketimbang manusia. Karena itu, perbuatan manusia disebut al-kasb.[48]
D. Teori Kasb Dalam Modernisasi Islam
Dari pemaparan diatas jelaslah bahwa teologi al-Asy’ariyyah ialah teologi yang yang mementingkan amalan (ikhtiar), sebagaimana yang diisyaratkan dalam teori al-Kasb. Untuk itu, dalam konteks keimanan, bukan cuma mengenali atau membenarkan bahwa Allah itu ada, namun juga menaruh posisi amal (ikhtiar) amat penting dalam kehidupan. Statement ini menawarkan bahwa yang dimaksud oleh al-Asy’ariyyah dengan teori al-kasb itu ialah “perolehan” seperangkat alat untuk infrastruktur yang diberikan terhadap manusia untuk diproyeksikan dalam berbagai faktor kehidupan di dunia. Seperangkat alat itu yaitu “ikhtiar dan daya” dalam perbuatan yang lalu mengakibatkan apa yang disebut dengan ‘pahala’ dan ‘dosa’.
Dengan teori al-Kasb maka yakin terhadap takdir sama sekali tidak mengandung kesan fatalisme, karena fatalisme itu mengandung sikap Jabariyyah, menyerah kalah, kepada nasib atau fate yang mengandung tidak ada usaha (inactivity). Karena itu, percaya kepada takdir yang diinginkan dalam pedoman al-Ash’ariyyah ialah memerintahkan manusia beramal dan berusaha, dan tidak mungkin ‘takdir’ memiliki makna menentang kegiatan dan amal perbuatan. Dengan kata lain, adanya ikhtiar dalam perbuatan, di samping tidak menafikan adanya takdir, beliau juga membuat manusia agresif dan dinamis dalam melakukan kegiatan.
Dengan demikian, al-kasb bermakna insan tetap memiliki peranan, adalah berupaya melakukan pekerjaannya, walaupun bisnisnya itu berada dalam ‘batas-batas’ kekuasaan mutlak Allah. Dalam perkataan lain, insan tidak dalam keadaan terpaksa, tetapi ia juga tidak bebas. Ringkasnya, insan dalam perbuatannya tidak terpaksa secara mutlak, tetapi juga tidak bebas tanpa batas. Makara, secara teori al-kasb mengandung aspek dinamisme. Menilai aspek kedinamisan dan kestatisan, keaktifan dan kepasifan sesorang, standard yang biasa digunakan yaitu sejauh mana akal mendapat peranan. Dalam konteks ini, teologi al-Asy’ariyyah, di samping menggunakan argument tekstual, beliau juga memakai argument rasional. Di dalam Istihsan al-khawd fi ‘ilmi al-kalam, al-Asy’ari menjelaskan betapa pentingnya penggunaan logika dalam soal ‘aqliyyah sebagaimana pentingnya memakai nas dalam dilema syari’at.
Kenyataan diatas semakin memperkuat kepercayaan kita bahwa di dalam faham teologi al-Asy’ariyyah terdapat faktor dinamisme, suatu faktor yang memotifasi pengikutnya untuk senantiasa berfikir dan berkarya serta menciptakan penemuan-penemuan baru; mendorong atau setidak-tidaknya, membiarkan umat untuk melaksanakan reinterpretasi dan reaktualisasi kepada banyak sekali anutan agama demi mengantisipasi perkembangan zaman dan pola kehidupan sosial yang selalu dinamis.
Dengan demikian, teori al-Kasb dalam system teologi al-Asy’ariyyah dapat merefleksikan sebuah perilaku dan kreatifitas diri dalam menghadapi hidup dan kehidupan sehari-sehari, bahkan yang lebih penting dari itu adalah memberi spirit untuk berbuat dan melakukan fungsi kekhalifahan dalam merespons segala imbas kemajuan tamaddun (peradaban) dunia saat ini. Oleh itu, konsep al-Kasb Asy’ariyah sama sekali tidak menghambat pembaharuan dalam Islam, justru sebaliknya Konsep al-Kasb Asy’ariyah memperlihatkan spirit bagi umat Islam untuk senantiasa melakukan pembaharuan dalam Islam.
Argumen di atas semakin mempertegas bahwa betapa pemahaman seseorang terhadap nilai-nilai yang tertanam dalam teori al-Kasb al-Asy’ariyyah akan memberi dampak kasatmata terhadap pengembangan dan pembaharuan dalam Islam. Karena teori ini selalu mengorientasikan penganutnya untuk senatiasa merasa erat dengan Allah yang pada risikonya melahirkan suatu kesadaran selaku manusia yang paling lemah dihadapan kekuasaan mutlak Allah, dan pada kurun yang sama beliau merasa paling besar lengan berkuasa dan yakin diri, jika berhadapan dengan makhluk ciptaan Allah, alasannya adalah beliau menyadari bahwa beliau sedang bareng (معية الله) dengan zat Yang Maha Kuat dan Maha Berkuasa.
Dalam teologi al-Asy’ariyyah, prinsip separti itu diketahui dengan ungkapan “aqidah atau tauhid”. Landasan inilah yang seharusnya mendasari perilaku, gerak, dan contoh pikir (ittijah) setiap Muslim. Komitmen seseorang kepada aqidah atau tauhid ini terimplementasi dalam bentuk sikap (suluk), moraliti (akhlaq), visi (wijhah al-Nazr), dalam meniti kehidupan positif. Pemahaman yang kuat kepada desain seperti ini akan membentuk suatu perilaku dan jati diri yang kuat dalam memproyeksikan suatu pranata kehidupan yang dinamis, produktif, dan cinta kemajuan.
Sesungguhnya, bagian-bagian tertentu dari kerangka konseptual teologis ‘tesis Max Weber’ telah banyak diapresiasi untuk mendorong umat supaya bersusah payah dalam menanggulangi kemunduran mereka dalam bidang ekonomi. Sakralisasi kerja dengan formulasi “kerja yakni bagian dari ibadah” mampu daripada “perjuangan yaitu panggilan dan harus terealisasi dalam kehidupan duniawi”. Kesuksesan hidup di dunia ini selaku konsekwensi logis dibandingkan dengan kerja keras, dan itu ialah menandakan bahwa orang itu terpilih dan mendapat keselamatan.[49]
Keterangan di atas mengirim kita kepada sebuah keyakinan bahwa dalam menata kehidupan yang cerah dan cemerlang di hari esok, maka yang paling produktif untuk kita lakukan ialah memperbaiki kualitas perjuangan ikhtiar kita (al-kasb) kepada sesuatu yang lebih berarti, produktif, dan prosfektif dalam mengantisifasi kemajuan dan pertumbuhan ilmu pengetahuan dan teknologi.
E. PENUTUP
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa desain teologi al-Asy’ariyyah sama sekali tidak mengandung kesan fatalisme, alasannya fatalisme itu mengandung perilaku Jabariyyah, mengalah kalah, kepada nasib atau fate yang mengandung tidak ada usaha (inactivity). Karena itu, percaya kepada takdir yang diharapkan dalam anutan al-Asy’ariyyah ialah menyuruh manusia beramal dan berupaya. Dengan demikian, konsep al-kasb berarti insan tetap memiliki peranan, berusaha melaksanakan pekerjaannya, walaupun usahanya itu berada dalam ‘batas-batas’ kekuasaan mutlak Allah.
DAFTAR PUSTAKA
al-Asy’ari, Abu al-Hasan ‘Ali ibn Isma’il. 1950. Maqalat al-Islamiyyin wa ikhtilaf al-musallin. al-Qahirah: Maktabat al-Nahdah al-Misriyyah.
al-Asy’ari, Abu al-Hasan ‘Ali ibn Isma’il. 1985. al-Ibanah ‘an permintaan al-diyanah. Bayrut: Dar al-Kitab al-’Arabi.
al-Baghdadi, 1928M/1346H, Kitab undangan al-din, Bayrut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah.
al-Baghdadi, Abu Mansur ‘Abd al-Qadir ibn Tahir al-Tamimi. 1928. Kitab seruan al-din. ‘onstatinople: Madrasat al- Misriyyah.
al-Baqillani, al-Qadi Abu Bakr. 1957. Kitab al-tamhil al-awa’il wa talkhis al-dala’il. Bayrut: al-Maktabah al-Sharqiyyah.
al-Baqillani. 1963. al-Insaf fi ma yajib i’tiqaduh wa la yajuz al-jahl bih. Tahqiq Muhammad Dhahib al-Kawthari, al-Qahirah: Mu’assasat al-Khanji.
al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad. 1962. Al-iqtisad fi al-i’tiqad. Masr: Maktabat Muhammad Subayh.
al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad. 1970. “Iljam al-’awam ‘an ‘ilm al-kalam” Masr: Maktabat al-Jundi, Jil. 1.
al-Ghurabi., ‘Ali Mustafa. 1958. Tarikh al-firaq al-Islamiyyah wa nash’at ‘ilm al-kalam. al-Qahirah: Maktabat Muhammad ‘Ali Sabih, ‘et. 2.
al-Ghurabi., ‘Ali Mustafa. 1958. Tarikh al-firaq al-Islamiyyah wa nash’at ‘ilm al-kalam. al-Qahirah: Maktabat Muhammad ‘Ali Sabih, ‘et. 2.
al-Juwayni, Abu al-Ma’ali Abd al-Malik ibn al-Shaykh Abi Muhammad. 1959. al-Irshad ‘ala qawati’ al-adillah fi ajakan al-i’tiqad. Misr: Matba’at al-Sa’adah.
al-Juwayni, Abu al-Ma’ali ‘Abd al-Malik ibn al-Shaykh Abi Muhammad. 1979. al-’Aqidah al-nizamiyyah. al-Qahirah: Maktabat al-Kulliyyah al-Azhariyyah.
al-Shahrastāni. t.th.al-Milal-wa al-nihal, Bayrut: Dār al-Fikr
Ahmad Amin. 1975. Zuhr al-Islam. Al-Qahirah: Maktabat al-Nahdah al-Misriyyah, ‘et. 4.
Ahmad Amin, 1964, Duha al-Islam, al-Qahirah: al-Nahdah, Jil. 3
‘Ali Sami al-Nashar. t.th. Nash’ah al-fikr al-falsafi fi al-Islam, Masr: Dar al-Fikr al-’Arabi.
Amstrong, Karen, Berperang Demi Tuhan, Bandung: Mizan, 2002
D.B. Ma’donald, 1903,.Deplopment of Muslim Theologi, Jurispruden’e and ‘onstitusional Theory, London: George Routledge & Sons Ltd
Fazlur Rahman. 1979. Islam, ‘hi’ago and London: University of ‘hi’ago Press, Se’ond edition
Ibn ‘Asakir, Abu al-Qasim ‘Ali ibn al-Hasan ibn Hibatullah al-Dimashqi. 1979. Tabyin kadhb al-muftari fi ma nusiba ila al-Imam Abi al-Hasan al-Asy’ari. Bayrut: Dar al-Kitab al-’Arabi.
Huntington, Samuel P, The Clash of Civilizations and The Remaking of The World Order, New York: Simon and Schuster Paperbacks, 2003
Ibn Taymiyyah. 1980. Dar’ ta’arud al-’aql wa al-naql, Juz VI, Riyad: Jami’ah al-Imam Muhammad bin Sa’ud al-Islamiyyah,
Imarah, Muhammad Tarayat al-Fikr al-Islamiy. Cairo: Dar al-Syuruq, 1991
Jalal Musa. 1975. Nash’at al-Asy’ariyyah wa al-tatawwuruha, Bayrut: Dar al-Kitab al-Lubnani.
Katsir, Ibnu Al-Bidayah wa al-Nihayah. juz VII. ‘et. I. Beirut: Dar al-Fikr, 1996
Lewis, Bernard, The ‘risis of Islam, New York: Modern Library, 2003
Nur’holish Masid, 1984. Khasanah Intelektual Islam, Jakarta: Bulan Bintang.
Shubhi, Ahmad Mahmud, Fi ‘Ilm al-Kalam. juz 2. Alexandaria: Muassasah al-Tsaqafah al-Jami’iyah, 1992
Tibi, Bassam, Ancaman Fundamentamentalisme, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2000
Winfield, Ri’hard Dien, Modernity, Religion, and The War on Terror, London: Ashgate, 2007
[1] Dosen Prodi Mu’amalah Jurusan Syari’ah STAIN Zawiyah ‘ot Kala Langsa
[2] Al-Syahrastani, Abu al-Fath Muhammad bin Abd al-Karim, Al-Milal wa al-Nihal. (Tahqiq Muhammad Sayid al-Kailani. juz 1, Beirut: Dar Sh’ab, 1986), hal. 94
[3] Ibnu Katsir. Al-Bidayah wa al-Nihayah. juz VII. ‘et. I. (Beirut: Dar al-Fikr, 1996), hal. 581
[4] Muhammad Imarah , Tarayat al-Fikr al-Islamiy. (‘airo: Dar al-Syuruq, 1991), hal. 165
[5] Shubhi, Ahmad Mahmud, Fi ‘Ilm al-Kalam. juz 2. (Alexandaria: Muassasah al-Tsaqafah al-Jami’iyah, 1992), hal. 45
[6] Imarah , Tarayat al-Fikr al-Islamiy…, hal.171
[7]Karen Amstrong, Berperang Demi Tuhan, (Bandung: Mizan, 2002), h. x
[8]Bernard Lewis, The ‘risis of Islam, (New York: Modern Library, 2003), h. 85-86
[9]Modernisasi Mesir yang dilakukan Muhammad Ali Pasha. Lihat Karen Armstrong, Berperang…, h. 178-180
[10]Ri’hard Dien Winfield, Modernity, Religion, and The War on Terror, (London: Ashgate, 2007), h.78
[11]Samuel P. Huntington, The Clash of Civilizations and The Remaking of The World Order, (New York: Simon and Schuster Paperbacks, 2003), h. 184
[12]Bassam Tibi, Ancaman Fundamentamentalisme, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2000), h. 3-5
[13] al-Asy’ari, Maqalat al-Islamiyyin, Jil. 1, hal. 315. Al-Bazdawi, Usul al-din, hal. 100.
[14] al-Shahrastani, al-Milal wa al-nihal, hal. 97
[15] al-Asy’ari, Maqalat al-Islamiyyin, Jil. 2, hal. 221.
[16] al-Asy’ari, al-Luma’, hal. 76.
[17] Maksud al-Qurān, al-Saffat 37: 96.
[18] al-Asy’ari, al-Luma’, hal. 70
[19] Ibid hal. 72.
[20] Abū Zahrah, Tarikh al-madhahib al-Islāmiyyah, Jil. 1, hal. 187.
[21] al-Asy’ari, al-Ibānah, hal. 243
[22] Al-Qur’an, al-Sāffāt 37:96.
[23] al-Asy’ari, al-Luma’, hal. 70, 72
[24] Ibid, hal. 73-74.
[25] Ibid.
[26] Ibid., hal. 75-76.
[27] Al-Qur’an, al-Insan 76:30
[28] al-Asy’ari, al-Luma’, hal. 93.
[29] al-Bāqillānī, al-Tamhid, hal. 346; al-Juwaynī, al-Aqīdah al-nizamiyyah, hal. 34.
[30] Ibid., hal. 324
[31] Ibid.
[32] Ibid., hal. 324
[33] Ibid.
[34] lbid, hal. 326
[35] Ibid., hal. 331-332.
[36] Ibid., hal. 328.
[37] Al-Qur’an, al-Baqarah (2):286.
[38] Al-Qur’an, al-Talāq (65):7.
[39] Ibid., hal. 239,
[40] Al-Qur’an, al-Baqarah 2:184
[41] Al-Bāqillānī, al-Tamhid…, hal. 239
[42] Ibid, hal. 347
[43] al-Shahrustani, hal. 97-98.
[44] al-Juwaynī, al-’Aqīdah al-nizāmiyyah, hal. 34.
[45] al-Juwaynī, al-Irshād, hal. 217.
[46] al-Ghazālī, al-Iqtisād fī al-i’tiqād, hal. 49.
[47] Ibid 314
[48] al-Ghazali, al-Iqtisad fi al-I’tiqad…, hal. 49.
[49] Dalam tesisnya, Max Weber menegaskan adanya kekerabatan antar Etika Protestan dengan etos kerja para penganut Protestan. Lihat Taufik Abdullah, Ethos kerja dan perkembangan ekonomi, Jakarta, LP3ES, 1979, hal. 4-10.