Matahari gres muncul dari peraduannya saat Pak Hasan keluar dari rumahnya. Dua orang anaknya ikut bersamanya. Sebelum ke kantor Pak Hasan biasa mengantarkan dahulu anak-anaknya ke sekolah. Husna, istrinya yang sedang hamil, mengantarkannya hingga di pintu gerbang. Sambil mencium tangan suaminya dia berpesan, “Hati-hati di jalan Mas.”
“Insya Allah, baik-baik di rumah ya. Assalaamu’alaikum.” kata suaminya.
“Wa’alaikumussalaam.” jawab Husna.
Husna segera menutup pintu pagar segera sesudah suaminya berlalu. Ia kembali masuk rumah. Tugas berkala telah menunggu, ngurus si kecil yang masih balita, merencanakan makan siang, menata rumah, dan masih banyak lagi. Sebenarnya ada si bibik yang membantunya, tapi tetap saja beliau tidak bisa berlepas tangan. Semenjak menikah dan mengandung anak pertama, Husna memang telah mengundurkan diri dari pekerjaannya selaku karyawati di suatu perusahaan. Ia dan suaminya sudah setuju memprioritaskan yang utama dan berbagi tanggung jawab.
Dari dalam rumah Husna mendengar suara motor Pak Syarif, tetangga depan rumahnya, meledak-ledak knalpotnya. Sementara anaknya terdengar telah mulai merajuk,
“Bapak ayo dong, nanti Alya telat masuk sekolah.”
“Sebentar nak, motornya lagi ngadat.” jawab Pak Syarif.
Tak lama lalu terdengar bel rumah Husna berbunyi, tingtong….tingtong.
“Assalaamu’alaikum!” terdengar seseorang mengucapkan salam.
“Wa’alaikumussalaam!” jawab Husna. Iapun bergegas membukakan pintu. Ternyata Pak Syarif yang tiba.
“Maaf Bu Husna, boleh aku meminjam motor? untuk nganter Alya ke sekolah. Kebetulan motor aku lagi ngadat.”
“Oh ya Pak, silahkan, motor aku juga lagi nganggur kok.” Husna mengambil kunci motor dan menyerahkannya ke Pak Syarif.
“Maaf Bu Husna, jadi ngrepoti ini. Sekalian mau nanya, dimana ya beli jarum sama benang? Alya disuruh bawa untuk pelajaran kemampuan. Ibunya gak sempat nyarikan.”
“Oh, di sana Pak, di toko Warna Warni sebelah utara pasar. Semua bahan-materi keahlian tangan ada di sana, lengkap.” jawab Husna.
“Terima kasih banyak Bu, aku permisi dulu, assalaamu’alaikum.” kata Pak Syarif sambil menyalakan motor, dan secepatnya berlalu.
“Wa’alaikumussalaam, sama-sama Pak.”
Bu Syarifah, istri Pak Syarif, ialah perempuan karir yang berhasil. Pekerjaannya di salah satu perusahaan aneh memang menuntut kedisiplinan dan loyalitas yang tinggi. Apalagi kantornya cukup jauh dari rumah. Berangkat pagi buta dan malam baru pulang. Sementara Pak Syarif, yang berprofesi sebagai guru di sebuah yayasan, tidak terlampau sibuk, cukup punya waktu luang. Makara Pak Syariflah yang lebih banyak menemani dan mengorganisir anak-anaknya. Kadang-kadang jika tidak sedang sibuk, atau sedang libur, Bu Syarifah meluangkan diri mengirim anak-anaknya ke sekolah dengan mobilnya.
Husna segera menutup kembali pintu pagarnya. Belum lagi masuk rumah, langkahnya terhenti alasannya adalah ada yang menyapanya.
“Assalamu’alaikum, permisi Tante, mau anter pesanan kuenya.”
Seorang gadis belia sudah berdiri di luar pagarnya.
“Wa’alaikumussalaam. Eh… Aisyah, pagi bener telah dianter kuenya. Ayo masuk sini!” sahut Husna.
“Iya Tante, pesanan Tante sudah aku bikin dari habis sholat subuh tadi. Maaf Tante gak mampu lama-lama, tergesa-gesa mau ke toko, sudah ditunggu pelanggan.” jawab Aisyah sambil menyerahkan sekotak kue kepada Husna.
“Makasih ya Aisyah”
“Sama-sama Tante. Saya permisi dulu. Assalaamu’alaikum…”
“Wa’alaikumussalam…” jawab Husna menuntaskan pembicaraan.
Aisyah, anak tetangga sebelah, umurnya belum genap 17 tahun. Ceria, energik dan kreatif. Sejak beberapa tahun yang lalu ayahnya sakit, sehingga tidak berpengaruh lagi bekerja. Syukurlah Aisyah dan 2 orang adiknya sangat ulet berupaya. Mereka bersungguh-sungguh dan bersemangat. Dimulai dari jualan kudapan manis skala kecil, keliling kampung, hingga kini bisa menyewa toko di erat pasar. Dengan perjuangan belum dewasa itu, keperluan hidup mereka bisa tercukupi.
Tiga keluarga, hidup bertetangga, dengan model kehidupan yang berlainan. Dalam satu keluarga, setiap anggotanya punya kemampuan dan juga kesempatan yang berlainan-beda dalam meraih sesuatu. Termasuk dalam hal mendapatkan penghasilan. Allah memperlihatkan rejeki dari arah mana dan melalui siapa, tidak sama untuk setiap keluarga. Seperti keluarga Hasan-Husna, Allah menghadirkan rejeki melalui pekerjaan suami. Sementara keluarga Syarif-Syarifah, Allah lebih banyak mendatangkan rejeki melalui istri. Lain lagi dengan keluarga Aisyah yang mana melalui perjuangan anak-anaknya Allah menghadirkan rejeki.
Masalahkah itu? Harusnya tidak. Asalkan tiap-tiap individu dalam keluarga itu saling memahami, menghormati dan tahu kedudukannya masing-masing.
Hasan selaku kepala keluarga telah sepatutnya berkewajiban mencari nafkah untuk anak dan istrinya. Sebagaimana yang Allah SWT firmankan dalam QS. An-Nisa’ ayat 34:
Kaum pria (suami) adalah pemimpin bagi kaum perempuan (istri), oleh alasannya adalah Allah telah melebihkan kelompok mereka (laki-laki) atas golongan lainnya (wanita), dan alasannya adalah mereka (laki-laki) sudah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, yaitu yang taat kepada Allah lagi memelihara diri dikala suaminya tidak ada, oleh alasannya adalah Allah sudah memelihara (istri). Wanita-wanita yang kau khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di kawasan tidur mereka,dan pukullah mereka. Kemudian kalau mereka menaatimu,maka janganlah kau mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.
Sebagai suami tanggung jawab materiilnya yaitu berusaha dengan sekuat kemampuannya untuk menyanggupi kebutuhan anak dan istrinya. Sedangkan tanggung jawab morilnya ialah dia mesti terpelajar menyeleksi dan menentukan, semoga nafkah yang diberikan kepada keluarganya betul-betul halal.
Di kantornya Hasan dianggap arogan dan sok suci, bahkan ada beberapa yang sungguh tidak menyukainya. Lho, kok bisa? Ini diantara sebabnya. Ketika sobat-temannya mengajaknya keluar kantor di jam kerja, ia menjawab, “Maaf, aku tidak berani meninggalkan kantor, meskipun sudah tidak ada pekerjaan. walaupun pak kepala juga tidak tahu.” Kenapa begitu? Karena beliau berprinsip bahwa dirinya digaji untuk kerja dari jam 8 pagi hingga jam 5 sore, lima hari dalam sepekan. Kalau ia keluar kantor bukan untuk permasalahan kerja, berarti korupsi waktu, nanti di akhir bulan, ada yang tidak halal di gajinya, begitu prinsipnya.
Demikian pula dikala ada seseorang yang memberinya bingkisan, Hasan mengajukan pertanyaan, “Untuk apa bingkisan ini Pak?”
Orang itu menjawab, “Ini untuk Bapak, saya berterima kasih, bapak sudah membantu saya, sudah memberi pelayanan yang bagus dan cepat di kantor ini.”
Hasan menjelaskan, “Pak, saya memang digaji untuk melayani semua orang yang datang ke sini. Melayani dengan baik itu memang peran saya pak, itu artinya aku belum menolong bapak, aku baru melakukan peran saja. Terimakasih apresiasinya dan silahkan dibawa kembali bingkisannya.” Subhanallah, andai saja semua pegawai mirip itu.
Sedangkan selaku istri, Husna bertanggung jawab urusan rumahtangga. Hasan memintanya untuk fokus dengan tanggungjawab itu. Husna rela meninggalkan pekerjaannya di kantor dan beralih meniti karir sebagai ibu rumah tangga. Husna sadar betul dengan kedudukannya yang sekarang. Mengingat perintah Allah SWT dalam QS. Al-Ahzab ayat 33:
Dan hendaklah kau tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan berperilaku laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menetralisir dosa dari kau, hai ahlul bait dan membersihkan kau sebersih-bersihnya.
Jaman kini menjadi ibu rumah tangga yakni profesi yang ‘sepi peminat’. Tidak percaya? Tanya saja sama belum dewasa yang masih sekolah, “Apa cita-citamu nak?” Jawabannya akan sungguh bermacam-macam mulai dari jadi guru, dokter, pramugari, pilot sampai pengusaha. Tapi adakah yang menjawab, “Cita-citaku menjadi ibu rumah tangga yang sukses.” Sulit kita temukan.
Di pihak lain, yang berprofesi selaku ibu rumah tangga dikala ditanya, “Ibu melakukan pekerjaan di mana?” merasa malu ketika mesti menjawab, “Saya tidak ngantor, aku di rumah saja, jadi ibu rumah tangga.” Apalagi yang nanya akan melanjutkan dengan perkataan, “Kenapa ibu tidak melakukan pekerjaan ? Tidak lezat lho tak memiliki penghasilan sendiri itu, mau apa-apa harus minta suami, sedikit-sedikit harus ijin suami. Kepengen ini tidak mampu, kepengen itu tidak kesampaian, repot!”
Padahal bila kita cermati profesi sebagai ibu rumah tangga bukanlah pekerjaan ringan, ini pekerjaan hampir tidak ada istirahatnya, juga tidak ada jatah cutinya. Setiap harinya mulai bertugas paling permulaan dan simpulan paling simpulan. Tidak tanggung-tanggung beberapa posisi dan jabatan diborong. Mulai dari cleaning service, chef, baby sitter, guru privat, purchasing manager, sekretaris pribadi, dan satu lagi, dikala malam tiba harus mampu bermetamorfosis menjadi bidadari bagus untuk menyambut sang pangeran, heem……..
Di kantor manapun tidak ada jabatan segitu banyak di pegang satu orang, tidak akan ada yang akan. Apalagi profesi ini tidak ada salarynya. Lengkaplah sudah…Tapi jangan khawatir dapatnya jauh lebih baik dari sekedar salary, adalah pahala yang berlimpah, subhanallaah.
Apabila seorang wanita sholat lima waktu, puasa sebulan (Ramadhan), menjaga kemaluannya, dan taat kepada suaminya, maka dibilang kepadanya, “Masuklah engkau ke dalam nirwana dari pintu mana saja yang engkau sukai.” (HR Ahmad 1/191 dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimullah dalam Shahilul Jami’ no. 660, 661)
Keutamaan-keistimewaan lainnya mampu kita baca di hadist panjang rekomendasi Rosulullah SAW kepada putrinya, Fatimah Az-Zahro ra.
Sementara untuk pasangan Syarif-Syarifah yang mana istrinya punya kesanggupan dan potensi yang lebih dibandingkan suaminya dalam berkarir. Di kurun kini ini hal itu tidak mustahil. Karena pendidikan dan peluang sudah sungguh terbuka bagi wanita, sehingga untuk beberapa posisi karir seorang wanita bisa lebih cepat melejit dibandingkan kaum laki-laki.
Jika hal itu yang terjadi dalam sebuah rumahtangga, maka bagaimana cara menatap dan memahaminya, menjadi sangat penting. Sebagai seorang istri amatlah terpuji jikalau dia menerima dan ikhlas dengan apapun dan seberapapun nafkah yang diberikan suaminya. Namun kalau ‘terpaksa’ alasannya adalah satu dan lain hal, maka tidak mengapa jika seorang istri melakukan pekerjaan di luar rumah.. Ada beberapa hal yang mungkin menimbulkan keterpaksaan itu contohnya:
1. Kebutuhan ekonomi yang mendesak.
2. Ada orangtua atau saudara yang mesti dinafkahi.
3. Ada rencana yang memerlukan dana, misalnya biaya pendidikan anak, menunaikan ibadah haji, menyantuni anak yatim dan dhu’afa, membangun pesantren, atau yang yang lain.
4. Profesi yang digeluti sungguh diperlukan oleh orang banyak.
5. Mempunyai ilmu dan ketrampilan yang sungguh berfaedah.
6. Menghindarkan diri dari meminta-minta pertolongan pada orang lain (menjaga kehormatan diri dan keluarga).
Jika keterpaksaan itu mesti diambil maka sangat dibutuhkan adanya saling pengertian dari masing-masing pihak. Istri wajib mengantongi ijin dari suami dan mesti menerima ridlonya untuk menekuni karirnya. Yang terpenting yakni istri mesti bisa mendudukkan dirinya pada tempat yang sebaiknya. Misalnya seorang istri walaupun di kantornya punya kedudukan tinggi, namun di dalam rumah tetaplah seorang istri, yang mesti menghargai, melayani dan taat pada suaminya. Bagaimanapun juga seorang istri bisa mirip itu alasannya adalah perlindungan dari suaminya, tak jarang pula alasannya adalah suaminya bersedia mengambil alih beberapa tugas atau kewajiban istrinya.
Diberi peluang dan ijin untuk menjadi perempuan karir jangan hingga mengakibatkan istri durhaka pada suami. Alangkah baiknya jika potensi itu dipakai untuk sebanyak-banyaknya mengambil faedah. Dengan memiliki penghasilan sendiri seorang istri mampu berbuat lebih banyak dibandingkan yang tidak berpenghasilan. Lebih besar peluang untuk bersedekah, lebih banyak peluang untuk membantu sesama, dan terbuka lebar jalan untuk beramal jariah dengan ilmunya. Jika bagi seorang suami menafkahi keluarga yaitu wajib, maka bagi istri memberi nafkah keluarga ialah sedekah.
Selain itu perlu juga diseleksi pekerjaan yang tidak melanggar ketentuan syar’i. Yaitu pekerjaan yang halal dan menciptakan yang halal pula, juga dalam bekerja tetap mampu mengerjakan keharusan sebagai muslimah dengan baik. Misalnya ibadah fadlu ‘ainnya tidak terganggu, keharusan utama sebagai istri tidak terbengkalai, dan akhlaqnya tetap terjaga dengan adat pergaulan dan cara berpakaian yang syar’i.
Barangsiapa yang mengerjakan amal sholeh, baik pria maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka bantu-membantu akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sebetulnya akan Kami beri balasan terhadap mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang sudah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl: 97)
Lain Syarif-Syarifah lain pula halnya dengan Aisyah. Tatkala kepala keluarga tak lagi mampu mencari nafkah, Allah tidak berhenti untuk menawarkan rejeki-Nya. Melalui anak-anaknya Allah menurunkannya. Kondisi ini justru memberi potensi bagi anak-anaknya untuk berbakti pada orangtua lebih baik lagi.
Dan Tuhanmu sudah menyuruh supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kau berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kau membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu kepada mereka berdua dengan sarat kesayangan dan ucapkanlah, ‘Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik saya waktu kecil.’ Tuhanmu lebih mengenali apa yang ada dalam hatimu; jikalau kamu orang-orang yang baik, maka sesungguhnya Dia Maha Pengampun bagi orang-orang yang bertobat.” (QS Al-Isra’ [17]: 23-25)
Jika anak-anaknya ikhlas, Insya Allah keberkahan akan menaungi mereka, dan nirwana telah menunggu mereka, Insya Allah.
Rasulullah telah menghimbau dengan sabdanya: “Barangsiapa ingin panjang umur dan beroleh rizki melimpah ruah, maka hendaklah dia berbakti terhadap orangtua dan menyambung tali persaudaraan.” (HR Imam Ahmad dari Anas bin Malik).
Rasulullah sudah menegaskan, bahwa barangsiapa berbakti terhadap orangtua, maka dia akan menemukan kebahagiaan panjang umur yang penuh keberkatan. (HR. Imam Abu Ya’la dan Thabrani bersumber dari Mu’adz bin Jabal)
Suatu dikala tiba seseorang lalu berkata terhadap Rasulullah, “Ya Rasulullah, aku ingin ikut berjihad, namun aku tidak mampu!” Rasulullah bertanya, “Apakah orangtuamu masih hidup?” Orang itu menjawab,“Ibu saya masih hidup.”
Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallammenjelaskan: “Temuilah Allah dengan berbakti kepada kedua orangtuamu (birrul walidain). Jika engkau melakukannya, samalah dengan engkau berhaji, berumrah dan berjihad.”(HR. Thabrani).
Setiap alur kehidupan mempunyai keunggulan masing-masing, sekaligus juga memiliki kekurangannya sendiri-sendiri. Yang terpenting adalah bagaimana mengurus kelebihan tersebut sehingga menghadirkan faedah yang sebesar-besarnya, dan meminimalisir kelemahan yang ada agar tidak mendatangkan madhorot. Setiap insan diberi jatah waktu yang serupa, adalah 24 jam sehari, tidak lebih tidak kurang. Di jangka waktu itu banyak hal yang bisa kita kerjakan. Sulit bagi kita untuk bisa mengambil semua pekerjaan itu sekaligus, maka harus diseleksi mana yang manfaatnya lebih besar dibandingkan dengan madhorotnya. Untuk tiap individu atau keluarga mampu berbeda-beda jalan yang ditempuh, tentunya diadaptasi dengan suasana dan keadaan masing-masing. Tiap pilihan pasti ada sisi baiknya dan ada sisi buruknya, ada kelebihannya ada kekurangannya.
Jika alasannya adalah aktivitas di luar rumah seorang istri tidak sempat menyebarkan dan menghidangkan makanan dan minuman untuk suaminya, padahal pahala untuk itu lebih baik daripada berhaji dan puasa setahun penuh, maka lakukanlah sesuatu yang pahalanya setara atau lebih dari itu.
Jika banyak yang tidak inginrepot hamil dan melahirkan banyak anak, padahal pahala perempuan yang hamil sama dengan orang yang senantiasa puasa di siang hari dan sholat sepanjang malam, dan ketika melahirkan hapuslah segala dosa sebelumnya, kecuali dosa syirik. Belum lagi pahalanya merawat anak, maka ambillah sesuatu yang lebih utama dari itu. Bukan berencana hitung-hitungan tetapi hanya mempergunakan waktu dengan maksimal, bukankah umur kita di dunia ini sungguh terbatas? Kita hanya berusaha untuk melaksanakan amalan yang paling utama dan menghindari kesia-siaan, biar tidak tergolong orang-orang yang merugi.
Barangsiapa yang bekerja (dengan niat atau tujuan) untuk kedua orang-tuanya, maka ia berada dalam jalan Allah, dan barang-siapa yang melakukan pekerjaan untuk keluarganya, maka dia berada dalam jalan Allah, dan barang-siapa yang melakukan pekerjaan untuk dirinya, untuk menjaga kehormatannya maka beliau berada dalam jalan Allah. Dan barang-siapa yang melakukan pekerjaan (dengan niat atau tujuan) menumpuk-numpuk harta, maka dia berada di jalan yang sesat atau di jalan syaithan.
(Diriwayatkan oleh Al-Bazzar, Abu Nu’aim dan Ash-Bahani. Lihat Al-Ahaditsush-Shahihah oleh Syaikh Muhammad Nashiruddîn Al-Albani jilid V hal. 272 no.: 2232)
Insya Allah tidak ada yang berat jika semua kita kerjakan dengan penuh harap akan pemberian Allah, dan Allah juga sudah memberi kita keringanan dengan firman-Nya:
Maka bertakwalah kamu terhadap Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu. Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang mujur. (QS. At-Taghobun: 16)
“Insya Allah, baik-baik di rumah ya. Assalaamu’alaikum.” kata suaminya.
“Wa’alaikumussalaam.” jawab Husna.
Husna segera menutup pintu pagar segera sesudah suaminya berlalu. Ia kembali masuk rumah. Tugas berkala telah menunggu, ngurus si kecil yang masih balita, merencanakan makan siang, menata rumah, dan masih banyak lagi. Sebenarnya ada si bibik yang membantunya, tapi tetap saja beliau tidak bisa berlepas tangan. Semenjak menikah dan mengandung anak pertama, Husna memang telah mengundurkan diri dari pekerjaannya selaku karyawati di suatu perusahaan. Ia dan suaminya sudah setuju memprioritaskan yang utama dan berbagi tanggung jawab.
Dari dalam rumah Husna mendengar suara motor Pak Syarif, tetangga depan rumahnya, meledak-ledak knalpotnya. Sementara anaknya terdengar telah mulai merajuk,
“Bapak ayo dong, nanti Alya telat masuk sekolah.”
“Sebentar nak, motornya lagi ngadat.” jawab Pak Syarif.
Tak lama lalu terdengar bel rumah Husna berbunyi, tingtong….tingtong.
“Assalaamu’alaikum!” terdengar seseorang mengucapkan salam.
“Wa’alaikumussalaam!” jawab Husna. Iapun bergegas membukakan pintu. Ternyata Pak Syarif yang tiba.
“Maaf Bu Husna, boleh aku meminjam motor? untuk nganter Alya ke sekolah. Kebetulan motor aku lagi ngadat.”
“Oh ya Pak, silahkan, motor aku juga lagi nganggur kok.” Husna mengambil kunci motor dan menyerahkannya ke Pak Syarif.
“Maaf Bu Husna, jadi ngrepoti ini. Sekalian mau nanya, dimana ya beli jarum sama benang? Alya disuruh bawa untuk pelajaran kemampuan. Ibunya gak sempat nyarikan.”
“Oh, di sana Pak, di toko Warna Warni sebelah utara pasar. Semua bahan-materi keahlian tangan ada di sana, lengkap.” jawab Husna.
“Terima kasih banyak Bu, aku permisi dulu, assalaamu’alaikum.” kata Pak Syarif sambil menyalakan motor, dan secepatnya berlalu.
“Wa’alaikumussalaam, sama-sama Pak.”
Bu Syarifah, istri Pak Syarif, ialah perempuan karir yang berhasil. Pekerjaannya di salah satu perusahaan aneh memang menuntut kedisiplinan dan loyalitas yang tinggi. Apalagi kantornya cukup jauh dari rumah. Berangkat pagi buta dan malam baru pulang. Sementara Pak Syarif, yang berprofesi sebagai guru di sebuah yayasan, tidak terlampau sibuk, cukup punya waktu luang. Makara Pak Syariflah yang lebih banyak menemani dan mengorganisir anak-anaknya. Kadang-kadang jika tidak sedang sibuk, atau sedang libur, Bu Syarifah meluangkan diri mengirim anak-anaknya ke sekolah dengan mobilnya.
Husna segera menutup kembali pintu pagarnya. Belum lagi masuk rumah, langkahnya terhenti alasannya adalah ada yang menyapanya.
“Assalamu’alaikum, permisi Tante, mau anter pesanan kuenya.”
Seorang gadis belia sudah berdiri di luar pagarnya.
“Wa’alaikumussalaam. Eh… Aisyah, pagi bener telah dianter kuenya. Ayo masuk sini!” sahut Husna.
“Iya Tante, pesanan Tante sudah aku bikin dari habis sholat subuh tadi. Maaf Tante gak mampu lama-lama, tergesa-gesa mau ke toko, sudah ditunggu pelanggan.” jawab Aisyah sambil menyerahkan sekotak kue kepada Husna.
“Makasih ya Aisyah”
“Sama-sama Tante. Saya permisi dulu. Assalaamu’alaikum…”
“Wa’alaikumussalam…” jawab Husna menuntaskan pembicaraan.
Aisyah, anak tetangga sebelah, umurnya belum genap 17 tahun. Ceria, energik dan kreatif. Sejak beberapa tahun yang lalu ayahnya sakit, sehingga tidak berpengaruh lagi bekerja. Syukurlah Aisyah dan 2 orang adiknya sangat ulet berupaya. Mereka bersungguh-sungguh dan bersemangat. Dimulai dari jualan kudapan manis skala kecil, keliling kampung, hingga kini bisa menyewa toko di erat pasar. Dengan perjuangan belum dewasa itu, keperluan hidup mereka bisa tercukupi.
Tiga keluarga, hidup bertetangga, dengan model kehidupan yang berlainan. Dalam satu keluarga, setiap anggotanya punya kemampuan dan juga kesempatan yang berlainan-beda dalam meraih sesuatu. Termasuk dalam hal mendapatkan penghasilan. Allah memperlihatkan rejeki dari arah mana dan melalui siapa, tidak sama untuk setiap keluarga. Seperti keluarga Hasan-Husna, Allah menghadirkan rejeki melalui pekerjaan suami. Sementara keluarga Syarif-Syarifah, Allah lebih banyak mendatangkan rejeki melalui istri. Lain lagi dengan keluarga Aisyah yang mana melalui perjuangan anak-anaknya Allah menghadirkan rejeki.
Masalahkah itu? Harusnya tidak. Asalkan tiap-tiap individu dalam keluarga itu saling memahami, menghormati dan tahu kedudukannya masing-masing.
Hasan selaku kepala keluarga telah sepatutnya berkewajiban mencari nafkah untuk anak dan istrinya. Sebagaimana yang Allah SWT firmankan dalam QS. An-Nisa’ ayat 34:
Kaum pria (suami) adalah pemimpin bagi kaum perempuan (istri), oleh alasannya adalah Allah telah melebihkan kelompok mereka (laki-laki) atas golongan lainnya (wanita), dan alasannya adalah mereka (laki-laki) sudah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, yaitu yang taat kepada Allah lagi memelihara diri dikala suaminya tidak ada, oleh alasannya adalah Allah sudah memelihara (istri). Wanita-wanita yang kau khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di kawasan tidur mereka,dan pukullah mereka. Kemudian kalau mereka menaatimu,maka janganlah kau mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.
Sebagai suami tanggung jawab materiilnya yaitu berusaha dengan sekuat kemampuannya untuk menyanggupi kebutuhan anak dan istrinya. Sedangkan tanggung jawab morilnya ialah dia mesti terpelajar menyeleksi dan menentukan, semoga nafkah yang diberikan kepada keluarganya betul-betul halal.
Di kantornya Hasan dianggap arogan dan sok suci, bahkan ada beberapa yang sungguh tidak menyukainya. Lho, kok bisa? Ini diantara sebabnya. Ketika sobat-temannya mengajaknya keluar kantor di jam kerja, ia menjawab, “Maaf, aku tidak berani meninggalkan kantor, meskipun sudah tidak ada pekerjaan. walaupun pak kepala juga tidak tahu.” Kenapa begitu? Karena beliau berprinsip bahwa dirinya digaji untuk kerja dari jam 8 pagi hingga jam 5 sore, lima hari dalam sepekan. Kalau ia keluar kantor bukan untuk permasalahan kerja, berarti korupsi waktu, nanti di akhir bulan, ada yang tidak halal di gajinya, begitu prinsipnya.
Demikian pula dikala ada seseorang yang memberinya bingkisan, Hasan mengajukan pertanyaan, “Untuk apa bingkisan ini Pak?”
Orang itu menjawab, “Ini untuk Bapak, saya berterima kasih, bapak sudah membantu saya, sudah memberi pelayanan yang bagus dan cepat di kantor ini.”
Hasan menjelaskan, “Pak, saya memang digaji untuk melayani semua orang yang datang ke sini. Melayani dengan baik itu memang peran saya pak, itu artinya aku belum menolong bapak, aku baru melakukan peran saja. Terimakasih apresiasinya dan silahkan dibawa kembali bingkisannya.” Subhanallah, andai saja semua pegawai mirip itu.
Sedangkan selaku istri, Husna bertanggung jawab urusan rumahtangga. Hasan memintanya untuk fokus dengan tanggungjawab itu. Husna rela meninggalkan pekerjaannya di kantor dan beralih meniti karir sebagai ibu rumah tangga. Husna sadar betul dengan kedudukannya yang sekarang. Mengingat perintah Allah SWT dalam QS. Al-Ahzab ayat 33:
Dan hendaklah kau tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan berperilaku laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menetralisir dosa dari kau, hai ahlul bait dan membersihkan kau sebersih-bersihnya.
Jaman kini menjadi ibu rumah tangga yakni profesi yang ‘sepi peminat’. Tidak percaya? Tanya saja sama belum dewasa yang masih sekolah, “Apa cita-citamu nak?” Jawabannya akan sungguh bermacam-macam mulai dari jadi guru, dokter, pramugari, pilot sampai pengusaha. Tapi adakah yang menjawab, “Cita-citaku menjadi ibu rumah tangga yang sukses.” Sulit kita temukan.
Di pihak lain, yang berprofesi selaku ibu rumah tangga dikala ditanya, “Ibu melakukan pekerjaan di mana?” merasa malu ketika mesti menjawab, “Saya tidak ngantor, aku di rumah saja, jadi ibu rumah tangga.” Apalagi yang nanya akan melanjutkan dengan perkataan, “Kenapa ibu tidak melakukan pekerjaan ? Tidak lezat lho tak memiliki penghasilan sendiri itu, mau apa-apa harus minta suami, sedikit-sedikit harus ijin suami. Kepengen ini tidak mampu, kepengen itu tidak kesampaian, repot!”
Padahal bila kita cermati profesi sebagai ibu rumah tangga bukanlah pekerjaan ringan, ini pekerjaan hampir tidak ada istirahatnya, juga tidak ada jatah cutinya. Setiap harinya mulai bertugas paling permulaan dan simpulan paling simpulan. Tidak tanggung-tanggung beberapa posisi dan jabatan diborong. Mulai dari cleaning service, chef, baby sitter, guru privat, purchasing manager, sekretaris pribadi, dan satu lagi, dikala malam tiba harus mampu bermetamorfosis menjadi bidadari bagus untuk menyambut sang pangeran, heem……..
Di kantor manapun tidak ada jabatan segitu banyak di pegang satu orang, tidak akan ada yang akan. Apalagi profesi ini tidak ada salarynya. Lengkaplah sudah…Tapi jangan khawatir dapatnya jauh lebih baik dari sekedar salary, adalah pahala yang berlimpah, subhanallaah.
Apabila seorang wanita sholat lima waktu, puasa sebulan (Ramadhan), menjaga kemaluannya, dan taat kepada suaminya, maka dibilang kepadanya, “Masuklah engkau ke dalam nirwana dari pintu mana saja yang engkau sukai.” (HR Ahmad 1/191 dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimullah dalam Shahilul Jami’ no. 660, 661)
Keutamaan-keistimewaan lainnya mampu kita baca di hadist panjang rekomendasi Rosulullah SAW kepada putrinya, Fatimah Az-Zahro ra.
Sementara untuk pasangan Syarif-Syarifah yang mana istrinya punya kesanggupan dan potensi yang lebih dibandingkan suaminya dalam berkarir. Di kurun kini ini hal itu tidak mustahil. Karena pendidikan dan peluang sudah sungguh terbuka bagi wanita, sehingga untuk beberapa posisi karir seorang wanita bisa lebih cepat melejit dibandingkan kaum laki-laki.
Jika hal itu yang terjadi dalam sebuah rumahtangga, maka bagaimana cara menatap dan memahaminya, menjadi sangat penting. Sebagai seorang istri amatlah terpuji jikalau dia menerima dan ikhlas dengan apapun dan seberapapun nafkah yang diberikan suaminya. Namun kalau ‘terpaksa’ alasannya adalah satu dan lain hal, maka tidak mengapa jika seorang istri melakukan pekerjaan di luar rumah.. Ada beberapa hal yang mungkin menimbulkan keterpaksaan itu contohnya:
1. Kebutuhan ekonomi yang mendesak.
2. Ada orangtua atau saudara yang mesti dinafkahi.
3. Ada rencana yang memerlukan dana, misalnya biaya pendidikan anak, menunaikan ibadah haji, menyantuni anak yatim dan dhu’afa, membangun pesantren, atau yang yang lain.
4. Profesi yang digeluti sungguh diperlukan oleh orang banyak.
5. Mempunyai ilmu dan ketrampilan yang sungguh berfaedah.
6. Menghindarkan diri dari meminta-minta pertolongan pada orang lain (menjaga kehormatan diri dan keluarga).
Jika keterpaksaan itu mesti diambil maka sangat dibutuhkan adanya saling pengertian dari masing-masing pihak. Istri wajib mengantongi ijin dari suami dan mesti menerima ridlonya untuk menekuni karirnya. Yang terpenting yakni istri mesti bisa mendudukkan dirinya pada tempat yang sebaiknya. Misalnya seorang istri walaupun di kantornya punya kedudukan tinggi, namun di dalam rumah tetaplah seorang istri, yang mesti menghargai, melayani dan taat pada suaminya. Bagaimanapun juga seorang istri bisa mirip itu alasannya adalah perlindungan dari suaminya, tak jarang pula alasannya adalah suaminya bersedia mengambil alih beberapa tugas atau kewajiban istrinya.
Diberi peluang dan ijin untuk menjadi perempuan karir jangan hingga mengakibatkan istri durhaka pada suami. Alangkah baiknya jika potensi itu dipakai untuk sebanyak-banyaknya mengambil faedah. Dengan memiliki penghasilan sendiri seorang istri mampu berbuat lebih banyak dibandingkan yang tidak berpenghasilan. Lebih besar peluang untuk bersedekah, lebih banyak peluang untuk membantu sesama, dan terbuka lebar jalan untuk beramal jariah dengan ilmunya. Jika bagi seorang suami menafkahi keluarga yaitu wajib, maka bagi istri memberi nafkah keluarga ialah sedekah.
Selain itu perlu juga diseleksi pekerjaan yang tidak melanggar ketentuan syar’i. Yaitu pekerjaan yang halal dan menciptakan yang halal pula, juga dalam bekerja tetap mampu mengerjakan keharusan sebagai muslimah dengan baik. Misalnya ibadah fadlu ‘ainnya tidak terganggu, keharusan utama sebagai istri tidak terbengkalai, dan akhlaqnya tetap terjaga dengan adat pergaulan dan cara berpakaian yang syar’i.
Barangsiapa yang mengerjakan amal sholeh, baik pria maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka bantu-membantu akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sebetulnya akan Kami beri balasan terhadap mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang sudah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl: 97)
Lain Syarif-Syarifah lain pula halnya dengan Aisyah. Tatkala kepala keluarga tak lagi mampu mencari nafkah, Allah tidak berhenti untuk menawarkan rejeki-Nya. Melalui anak-anaknya Allah menurunkannya. Kondisi ini justru memberi potensi bagi anak-anaknya untuk berbakti pada orangtua lebih baik lagi.
Dan Tuhanmu sudah menyuruh supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kau berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kau membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu kepada mereka berdua dengan sarat kesayangan dan ucapkanlah, ‘Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik saya waktu kecil.’ Tuhanmu lebih mengenali apa yang ada dalam hatimu; jikalau kamu orang-orang yang baik, maka sesungguhnya Dia Maha Pengampun bagi orang-orang yang bertobat.” (QS Al-Isra’ [17]: 23-25)
Jika anak-anaknya ikhlas, Insya Allah keberkahan akan menaungi mereka, dan nirwana telah menunggu mereka, Insya Allah.
Rasulullah telah menghimbau dengan sabdanya: “Barangsiapa ingin panjang umur dan beroleh rizki melimpah ruah, maka hendaklah dia berbakti terhadap orangtua dan menyambung tali persaudaraan.” (HR Imam Ahmad dari Anas bin Malik).
Rasulullah sudah menegaskan, bahwa barangsiapa berbakti terhadap orangtua, maka dia akan menemukan kebahagiaan panjang umur yang penuh keberkatan. (HR. Imam Abu Ya’la dan Thabrani bersumber dari Mu’adz bin Jabal)
Suatu dikala tiba seseorang lalu berkata terhadap Rasulullah, “Ya Rasulullah, aku ingin ikut berjihad, namun aku tidak mampu!” Rasulullah bertanya, “Apakah orangtuamu masih hidup?” Orang itu menjawab,“Ibu saya masih hidup.”
Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallammenjelaskan: “Temuilah Allah dengan berbakti kepada kedua orangtuamu (birrul walidain). Jika engkau melakukannya, samalah dengan engkau berhaji, berumrah dan berjihad.”(HR. Thabrani).
Setiap alur kehidupan mempunyai keunggulan masing-masing, sekaligus juga memiliki kekurangannya sendiri-sendiri. Yang terpenting adalah bagaimana mengurus kelebihan tersebut sehingga menghadirkan faedah yang sebesar-besarnya, dan meminimalisir kelemahan yang ada agar tidak mendatangkan madhorot. Setiap insan diberi jatah waktu yang serupa, adalah 24 jam sehari, tidak lebih tidak kurang. Di jangka waktu itu banyak hal yang bisa kita kerjakan. Sulit bagi kita untuk bisa mengambil semua pekerjaan itu sekaligus, maka harus diseleksi mana yang manfaatnya lebih besar dibandingkan dengan madhorotnya. Untuk tiap individu atau keluarga mampu berbeda-beda jalan yang ditempuh, tentunya diadaptasi dengan suasana dan keadaan masing-masing. Tiap pilihan pasti ada sisi baiknya dan ada sisi buruknya, ada kelebihannya ada kekurangannya.
Jika alasannya adalah aktivitas di luar rumah seorang istri tidak sempat menyebarkan dan menghidangkan makanan dan minuman untuk suaminya, padahal pahala untuk itu lebih baik daripada berhaji dan puasa setahun penuh, maka lakukanlah sesuatu yang pahalanya setara atau lebih dari itu.
Jika banyak yang tidak inginrepot hamil dan melahirkan banyak anak, padahal pahala perempuan yang hamil sama dengan orang yang senantiasa puasa di siang hari dan sholat sepanjang malam, dan ketika melahirkan hapuslah segala dosa sebelumnya, kecuali dosa syirik. Belum lagi pahalanya merawat anak, maka ambillah sesuatu yang lebih utama dari itu. Bukan berencana hitung-hitungan tetapi hanya mempergunakan waktu dengan maksimal, bukankah umur kita di dunia ini sungguh terbatas? Kita hanya berusaha untuk melaksanakan amalan yang paling utama dan menghindari kesia-siaan, biar tidak tergolong orang-orang yang merugi.
Barangsiapa yang bekerja (dengan niat atau tujuan) untuk kedua orang-tuanya, maka ia berada dalam jalan Allah, dan barang-siapa yang melakukan pekerjaan untuk keluarganya, maka dia berada dalam jalan Allah, dan barang-siapa yang melakukan pekerjaan untuk dirinya, untuk menjaga kehormatannya maka beliau berada dalam jalan Allah. Dan barang-siapa yang melakukan pekerjaan (dengan niat atau tujuan) menumpuk-numpuk harta, maka dia berada di jalan yang sesat atau di jalan syaithan.
(Diriwayatkan oleh Al-Bazzar, Abu Nu’aim dan Ash-Bahani. Lihat Al-Ahaditsush-Shahihah oleh Syaikh Muhammad Nashiruddîn Al-Albani jilid V hal. 272 no.: 2232)
Insya Allah tidak ada yang berat jika semua kita kerjakan dengan penuh harap akan pemberian Allah, dan Allah juga sudah memberi kita keringanan dengan firman-Nya:
Maka bertakwalah kamu terhadap Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu. Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang mujur. (QS. At-Taghobun: 16)
Penulis : Santi Harmoetadji
Ibu Rumah Tangga yang berusaha untuk menjadi manusia mulia