Dengan berpijak pada kodifikasi selaku sumber utama hukum pidana, maka aturan pidana merupakan bagian dari aturan publik yang menampung ketentuan wacana :
- Aturan lazim aturan pidana dan (yang dikaitkan/berhubungan dengan) larangan melakukan tindakan-perbuatan (aktif/aktual maupun pasif/negatif) tertentu yang diikuti dengan ancamansanksi berbentukpidana (straf) bagi yang melanggar hal ini.
- Syarat-syarat ketentuan (kapankah) yang harus dipenuhi/harus ada bagi si pelanggar untuk mampu dijatuhkannya sanksi pidana yang diancamkan pada larangan perbuatan yang dilanggarnya.
- Tindakan dan upaya-upaya yang boleh dan mesti dilaksanakan negara lewat alat-alat perlengkapannya (misalnya polisi, jaksa, hakim) terhadap yang didugaatau didakwa sebagai pelanggar hukum pidana dalam rangka perjuangan negara menentukan, menjatuhkan dan melaksanakan hukuman pidana terhadap dirinya, serta tindakan-tindakan dan upaya-upaya yang boleh dan mesti dikerjakan oleh tersangka/terdakwa pelanggar hukum tersebut dalam usaha melindungi dan memmpertahankan hak-haknya dari tindakan negara dalam upaya negara menegakkan hukum pidana.
1. Rumusan pertama terdapat dua faktor yakni ;
a) Aturan Umum Hukum PIDANA
Aturan umum hukum pidana yang dimuat dalam buku I KUHP berupa aturan-hukum dasar hukum pidana yang bersifat dan berlaku umum dalam hal dan yang berafiliasi dengan larangan tindakan-perbuatan tertentu baik tindak kriminal dalam buku II (kejahatan), maupun tindakan melawan hukum yang berada diluar KUHP.
Ketentuan tentang batasan Hubungan antara aturan lazim hukum pidana (Buku I) dengan perbuatan-perbuatan yang dihentikan (Buku II dan III KUHP) dapat digambarkan secara singkat pada contoh selaku berikut. Ketentuan perihal batas-batas berlakunya hukum pidana yang dimuat dalam Bab I buku I yakni berupa batas-batas berlakunya ketentuan aturan pidana tentang larangan-larangan melakukan tindakan yang disertai bahaya pidana bagi si pelanggarnya khususnya sebagaimana yang dimaksud dalam buku II dan Buku III kitab undang-undang hukum pidana. Demikian juga aturan lazim pada BAB IV perihal percobaan (Poging) atau aturan biasa dalam Bab V tentang penyertaan (deelneming) yakni berupa aturan aturan pidana yang menjadi dasar untuk mampu dipidanya percobaan dan penyertaan dalam hal berbuat yang diikuti bahaya pidana (disebut tindak pidana) yang diatur dalam Buku II dan Buku III. Sebagai catatan, mengenai percobaan (53) dan pinjaman (56) cuma berlaku bagi kejahatan saja.
Contoh Kongkretnya yaitu dalam hal pembebanan tanggung jawab pidana bagi si pelanggar aturan pidana dalam Pasal 338 KUHP (larangan perbuatan menghilangkan nyawa orang lain dengan sengaja, Buku II) apabila akhir matinya orang lain itu belum terwujud, maka tidak mampu didasarkan pada rumusan Pasal 338 KUHP semata-mata, melainkan juga mesti menyaksikan aturan dasarnya tentang percobaan sebagaimana di atur dalam Bab IV Buku I KUHP.
b) Aspek Larangan Berbuat Disertai Ancaman Pidana
Aspek larangan berbuat yang dibarengi ancaman pidana dalam artian ini sering disebut dengan tindak pidana atau perbuatan pidana (berasal dari kata (strafbaar feit), yang juga sering disebut delik. Tindak pidana ialah rumusan tentang perbuatan yang dihentikan untuk dikerjakan (dalam peraturan perundang-undangan) yang disertai bahaya pidana bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. Jadi, perbuatan (feit) disini yaitu unsur pokok dari suatu tindak pidana yang dirumuskan tersebut.
Perbuatan-perbuatan yang ditentukan sebagai dihentikan pada garis besarnya terdiri dari dua golongan :
- Perbuatan-perbuatan aktif, yang juga disebut perbuatan materiil yang ada kalanya disebut dengan perbuatan jasmani yakni tindakan yang mewujudkannya disyaratkannya adanya gerakan konkret dari tubuh atau bab badan orang, contohnya memukul dengan gerakan tangan dan menyepak dengan gerakan kaki.
- Perbuatan pasif yaitu tidak melaksanakan perbuatan secara fisik, dimana hal tersebut justru melanggar sebuah kewajiban aturan alasannya dituntut bagi yang bersangkutan untuk melakukan perbuatan tertentu. Misalnya tindakan “ membiarkan dalam keadaan sengsara” (304), maka beliau telah melaksanakan perbuatan pasif. Oleh karena itu, ia di jatuhi pidana. Norma aturan pidana yang berisi kewajiban aturan bagi seseorang yang dalam keadaan dan situasi tertentu untuk melaksanakan tindakan tertentu disebut dengan tindak pidana pasif (tindakan melawan hukum omissionis atau omisiedelicten)
2. Rumusan Kedua
- Aspek hukum pidana dalam rumusan kedua yakni mengenai kesalahan (schuld) dan pertanggung jawaban pidana (toerekeningsvadbaarheid) pada diri si pembuat. Rumusan pertama mengandung aspek larangan melaksanakan tindakan tertentu yang diikuti bahaya pidana bagi siapa yang melanggarnya, yang dalam faktor ini tidak dihubungkan dengan adanya si pembuat dan dipidananya si pembuat tersebut. Bagi si pembuat/petindak tersebut apakah ia benar dapat dijatuhi pidana atau tidak, masih bergantung dari apakah tindakan yang faktual melanggar larangan itu dapat dipersalahkan atau tidak kepadanya. Artinya beliau mempunyai kesalahan atau tidak. Apabila dia tidak mempunyai kesalahan konkret, maka tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya. Artinya tidak boleh dijatuhkan kepadanya.
- Bila aspek hukum dalam rumusan pertama dan ketiga dimuat secara lebih sempurna dan lengkap dalam KUHP dan KUHAP, tidak demikian dengan aspek hukum pidana sebagaimana rumusan yang kedua.
3. Rumusan Ketiga
- hukum pidana pada faktor yang pertama dan yang kedua (aturan Materiil) tidak ada faedahnya dalam kerangka mencapai tujuan aturan pidana, ialah ketertiban umum kalau tidak dilakukan. Untuk dapat melaksanakan aturan pidana, haruslah melalui dan dikelola dengan aturan pidana pula. Hukum pidana yang berfungsi selaku dasar-dasar untuk melaksanakan hukum pidana materiil yakni aturan pidana dalam arti yang ketiga. Atau hukum pidana dalam arti bergerak.
- Salah satu pola masalah yang mampu diambil ialah masalah inovasi mayit di pinggir jalan yang disangka tewas akhir perbuatan seseorang. Tindakan-tindakan yang berkaitan dengan hal tersebut seperti tindakan yang harus dan boleh dikerjakan oleh negara lewat alat-alat perlengkapannya mirip polisi untuk memperjelas penyebab kematiannya, tindakan untuk mencari pelaku yang bertanggungjawab, juga bagaimana perlakuan kepada pelaku tersebut. Begitu juga dengan wacana bagaimana mencari alat-alat bukti untuk pertanda kebenaran dugaan tersebut baik oleh penyidik (polisi) maupun oleh penuntut umum (jaksa), dan bagaimana hakim mesti bersikap dalam rangka penjatuhan atau tidaknya pidana kepadanya agar tercapai keadilan. Semuanya ini dikelola dalam hukum pidana dalam arti yang ketiga ini.
PEMBAGIAN HUKUM PIDANA
1. Hukum Pidana Materiil dan Hukum Pidan Formil :
Ò Hukum Pidana Formil atau Hukum Acara Pidana menurut Simons : secara singkat dapat dirumuskan sebagai hukum yang menetapkan cara negara mempergunakan haknya untuk melaksanakan pidana .
Ò Hukum Pidana Materiil menurut Simons : ialah isyarat -petunjuk dan uraian ihwal strafbare faiten (delik; tindakan pidana; tindakan melawan hukum) peraturan ihwal syarat-syarat strafbarheid (hal dapat dipidananya seseorang), penunjukan orang yang dapat dipidana dan ketentuan ihwal pidananya; ia menetapkan siapa dan bagaimana orang itu mampu dipidana .
2. Hukum Pidana dalam Arti Objektif dan Subjektif
Hukum Pidana dalam arti objektif sering juga disebut Ius Poenale meliputi :
- Perintah dan larangan, yang atas pelanggarannya atau pengabdiannya sudah ditetapkan hukuman terlebih dulu oleh tubuh-tubuh negara yang berwenang ; peraturan-peraturan yang harus ditaati dan diindahkan oleh setiap orang.
- Ketentuan-Ketentuan yang menetapkan dengan cara apa atau alat apa mampu diadakan reaksi kepada pelanggaran peraturan-peraturan itu.
- Kaidah-kaidah yang memilih ruang lingkup berlakunya peraturan-peraturan itu pada waktu dan di kawasan negara tertentu.
Hukum Pidana Subjektif atau Ius Poeniendi :
Merupakan hukum yang berisi atau perihal hak atau kewenangan negara :
- Untuk menentukan larangan-larangan dalam upaya mencapai ketertiban lazim;
- Untuk memberlakukan (sifat memaksanya) hukum pidana yang wujudnya dengan menjatuhkan pidana terhadap si pelanggar larangan tersebut; serta
- Untuk menjalankan hukuman pidana yang sudah dijatuhkan oleh negara pada si pelanggar hukum pidana.
3. Hukum Pidana Atas Dasar Pada Siapa Berlakunya
Hukum Pidana Umum yakni aturan pidana yang mampu diperlakukan kepada setiap orang kebanyakan.
Hukum Pidana Khusus didedikasikan bagi orang-orang tertentu saja, contohnya anggota Militer dalam KUHP Militer atau dalam buku kedua kitab undang-undang hukum pidana perihal kejahatan jabatan yang cuma didedikasikan dan diberlakukan bagi pegawai negeri saja.
4. Hukum Pidana Atas Dasar Sumbernya
Hukum Pidana Umum ialah hukum pidana yang bersumber dari KUHP dan KUHAP atau yang berada dalam kodifikasi.
Hukum Pidana Khusus ialah hukum pidana yang bersumber dari luar kodifikasi.
5. Hukum Pidana Atas Dasar Wilayah Berlakunya
Hukum Pidana Umum ialah aturan pidana yang dibentuk oleh pemekrintah pusat yang berlaku bagi subjek hukum yang berada dan berbuat melanggar larangan aturan pidana di seluruh wilayah hukum negara.
Hukum Pidana Lokal ialah aturan pidana yang dibentuk oleh Pemda yang berlaku bagi subjek hukum yang melakukan perbuatan yang tidak boleh oleh aturan pidana di dalam wilayah aturan pemerintahan tempat tersebut.
Lembaga Sosial Dan Pergeseran Sosial