Janji Al Qardh Dalam Transaksi Pinjam Meminjam

Akad Al Qardh Dalam Transaksi Pinjam Meminjam 
Banyak ayat dalam Al Quran yang mendorong perdagangan dan perniagaan, dan Islam menyatakan sikap bahwa dilarang ada kendala bagi jual beli dan bisnis yang jujur, halal, semoga setiap orang mampu mendapatkan penghasilan, menafkahi keluarga dan memberi sedekah terhadap mereka yang kurang beruntung, sebagaimana Islam menertibkan dan menghipnotis semua bidang kehidupan yang lain. Demikian pula mengendalikan sikap bisnis dan perniagaan. Lembaga keuangan syariah mirip bank syariah, asuransia syariah, pembiayaan syariah merupakan aplikasi dari sistem ekonomi syariah yang merupakan bab dari nilai-nilai dari fatwa Islam yang mengendalikan bidang perkonomian umat dan tidak terpisahkan dari aspek-aspek lain ajaran Islam yang komprehensif dan universal. Komprehensif mempunyai arti pedoman Islam merangkum seluruh aspek kehidupan, baik ritual maupun sosial kemasyarakatan tergolong bidang universal. Universal memiliki arti bahwa syariah Islam dapat dipraktekkan dalam setiap waktu dan tempat tanpa menatap ras, suku, kelompok dan agama sesuai prinsip Islam selaku ” rahmatan lil alamin” . 
Al Alquran sungguh banyak mendorong insan untuk melaksanakan bisnis. (QS. Al Jumuah:10). Al Quran juga memberi isyarat biar dalam bisnis tercipta hubungan yang serasi; saling ridha dan tidak ada komponen eksploitasi ( QS. Al Nisa:29) dan bebas dari kecurigaan atau penipuan, seperti keharusan membuat administrasi transaksi kredit. (QS. Al Baqarah:282). Prinsip-prinsip bisnis yang ideal dilaksanakan oleh Nabi Muhammad Saw dan para sahabatnya, beberapa isyarat perihal etika bisnis yang diberikan oleh Nabi Muhammad Saw, diantaranya yakni :
1. Prinsip esensial dalam bisnis yakni kejujuran
2. Pelaku bisnis tidak hanya sekedar mengejar-ngejar laba sebanyak-banyaknya tetapi juga berorientasi kepada sikap ta’awun (menolong orang lain) selaku implikasi sosial dalam kegiatan bisnis
3. Tidak melakukan sumpah palsu
4. Pelaku bisnis harus bersikap ramah dalam melaksanakan bisnis
5. Tidak boleh berpura-pura menawar dengan harga tinggi agar orang lain tertarik berbelanja dengan harga tersebut
6. Tidak boleh menjelek-jelekkan bisnis orang lain
7. Tidak boleh melakukan ihtikar
8. Takaran,ukuran dan timbangan yang benar
9. Bisnis dilarang menganggu aktivitas ibadah
10. Membayar upah sebelum keringat karyawan kering
11. Tidak monopoli
12. Tidak boleh melaksanakan bisnis dalam kondisi mudharat yang mampu merugikan dan merusak kehidupan individu dan sosial.
13. Komoditi bisnis yang dijual ialah barang yang suci dan halal bukan barang yang haram
14. Bisnis yang dikerjakan dengan suka rela tanpa paksaan
15. Segera melunasi kredit yang menjadi kewajibannya
16. Memberikan batas waktu tenggang kalau pengutang belum mampu membayar
17. Bisnis yang dijalankan bersih dari unsur riba
Sedangkan dalam aktivitas perbankan syariah ada empat prinsip utama yang senantiasa mendasari jaringan kerja perbankan adalah :
1. Perbankan non riba
2. Perniagaan halal tidak haram
3. Keridhaan pihak-pihak dalam berkontrak
4. Pengurusan dana yang amanah, jujur, dan bertanggung jawab
Sedangkan Mervyn K Lewis dan Lativa M Algoud mengemukakan bahwa prinsip-prinsip dalam pembiayaan Islam yakni : 
  • Tidak ada transaksi keuangan berbasis bunga (riba) 
  • Pengenalan pajak religius atau pertolongan sedekah, zakat 
  • Pelarangan produksi barang dan jasa yang berlawanan dengan metode nilai Islam (haram) 
  • Penghindaran aktivitas ekonomi yang melibatkan maysir dan gharar (ketidakpastian) 
  • Penyedian takaful (asuransi Islam) 
Demikian juga yang dikemukakan oleh Abdul Ghofur Anshori menekankan pada prinsip-prinsip yang melandasi operasional lembaga keuangan Islam meliputi :
1. Prinsip ta’awun (tolong menolong), ialah prinsip saling menolong sesama dalam mengembangkan taraf hidup lewat prosedur koordinasi ekonomi dan bisnis. Hal ini sesuai dengan proposal Al Qur’an : “ Dan tolong menolonglah kamu dalam berbuat kebajikan dan takwa serta janganlah bertolong menolong dalam berbuat keji dan permusuhan”. ( QS. Al-Maidah:2).
2. Prinsip tijaroh (bisnis), ialah prinsip mencari keuntungan dengan cara yang dibenarkan oleh syariah. Lembaga keuangan syariah mesti dikontrol secara professional, sehingga mampu meraih prinsip efektif dan efisien.
3. Prinsip menyingkir dari iktinaz (penimbunan uang), ialah menahan uang agar tidak berputar, sehingga tidak memberikan faedah kepada masyarakat umum. Hal ini jelas terlarang, sebab dapat menjadikan terhentinya perekonomian.
4. Prinsip pelarangan riba, yaitu menghindarkan setiap transaksi ekonomi dan usahanya dari unsur ribawi dengan menggantikannya melalui mekanisme kolaborasi (mudharabah) dan perdagangan ( al-buyu). Hal ini ditegaskan oleh Allah dalam Al Qur’an: “ Sesungguhnya orang-orang yang menyantap riba tidak mampu bangkit melainkan seperti berdirinya orang yang terkena/kemasukan syetan. Yang demikian ini disebabkan mereka mengatakan bahwa perdagangan itu sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan perdagangan dan mengharamkan riba”. (QS.Al Baqarah:275).
5. Prinsip pembayaran zakat. Disamping selaku lembaga bisnis, forum keuangan syariah juga melaksanakan fungsinya sebagai lembaga sosial. Ia melakukan fungsi selaku lembaga amil yang mengurus zakat, baik yang bersumber dari dalam maupun dari luar. 
Dalam fiqih muamalah janji dibedakan dalam aneka macam penggolongan dilihat dari beberapa sudut pandang, salah satunya membagi kesepakatan dalam dua macam ialah kesepakatan tijarah/mu’awadah dan akad tabarru’. Akad tijarah/mu’awadah yakni akad yang bermaksud untuk menerima keuntungan, atau akad yang menyangkut transaksi bisnis dengan motif untuk menemukan keuntungan (profit oriented). Contoh kesepakatan tijarah ialah kesepakatan yang menurut prinsip jual-beli (murabaha, salam dan istishna), janji yang berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah dan musyarakah), kesepakatan yang berdasarkan prinsip sewa-menyewa (ijarah dan ijarah wa iqtina/ ijarah muntahia bittamlik).
Akad tabarru’ ialah jenis komitmen yang berkaitan dengan transaksi non profit. Transaksi ini pada hakikatnya bukan transaksi bisnis yang mencari keuntungan. Akad yang menitik beratkan pada prinsip tolong menolong tidak memprioritaskan mencari untung. Melakukan kebaikan yang menginginkan akhir dari Allah SWT semata. Contoh akad tabarru’ yakni akad qardh, rahn, hiwalah,wakalah, kafalah, wadiah dan lain-lain. Salah satu komitmen tabarru ialah janji pinjam meminjam (Al Qardh). Berdasarkan uraian di atas maka problem yang mau dikaji ialah Bagaimana konsep pinjam meminjam dengan janji Al Qardh menurut Islam?
Pada transaksi pinjam meminjam bukan termasuk selaku perjuangan pengembangan modal, akan tetapi hubungan bisnis dalam fatwa Islam tidak hanya didasari kepentingan semata, namun juga di dasari atas tolong membantu. Terkadang dalan bisnis tidak selalu untung bahkan merugi sehingga tidak menutup kemungkinan untuk berhutang untuk menutup kerugian tersebut. 
Mengenai persoalan hutang, Rasulullah SAW membenci membiasakan umatnya berhutang. Hutang dalam persepsi Islam ialah ialah kesusahan pada waktu malam dan sebuah penghinaan di waktu siang. Justru itu, nabi selalu berdoa kepada Allah SWT biar terhindar dari berhutang. Islam amat menitikberatkan duduk perkara hutang dan nilai melakukan pembayarannya, sebab orang mati meninggalkan hutang akan dibalas pada hari kiamat. Walaupun Islam masih memperlihatkan ruang dan kelonggaran untuk berhutang terutama dalam keadaan darurat dan amat memerlukannya yaitu dalam dilema yang menjinjing kebaikan. Tetapi, perlu diingat di samping Islam memberi kelonggaran tersebut, setiap hutang itu wajib diterangkan dan dibayar
Pinjam meminjam yaitu menunjukkan sesuatu yang halal terhadap orang lain untuk diambil keuntungannya dengan tidak merusak zatnya, dan akan mengembalikan barang yang dipinjamnya tadi dalam keadaan utuh. Para fuqaha mendefinisikan Al’Ariah sebagai pembolehan oleh pemilik akan miliknya untuk dimanfaatkan oleh orang lain dengan tanpa ganti kerugian (imbalan) untuk Ariah diisyaratkan tiga hal, selaku berikut : 
  • Bahwa orang yang meminjamkan adalah pemilik yang berhak untuk menyerahkannya 
  • Bahwa materi yang dipinjamkan mampu dimanfaatkan 
  • Bahwa pemanfaatan itu dibolehkan. 
  Ini Sebetulnya Arti Kata Uttaran
Dari definisi ini menawarkan bahwa pinjam meminjam dalam Islam cuma untuk diambil keuntungannya tanpa diperbolehkan bagi pihak yang meminjamkan untuk mengambil laba dari pihak yang meminjamkan. Dalam hal pinjam meminjam uang atau dalam ungkapan Arabnya dikenal dengan Al Qardh dibedakan menjadi dua macam yakni : 
  • Qardh – Al Hasan, yakni meminjamkan sesuatu terhadap orang lain, dimana pihak yang dipinjami sesungguhnya tidak ada kewajiban mengembalikan. Adanya Qardh al hasan ini sejalan dengan ketentuan Al Quran surat At Taubah ayat 60 yang memuat ihwal target atau orang-orang yang berhak atas zakat, yang salah satunya yaitu Gharim ialah pihak yang mempunyai utang di jalan Allah. Melalui Qardh Al hasan maka dapat menolong sekali orang yang berutang di jalan Allah untuk mengembalikan utangnya kepada orang lain tanpa adanya keharusan baginya untuk mengembalikan utang tersebut terhadap pihak yang meminjami. Keberadaan kesepakatan ini merupakan karakteristik dari kegiatan usaha perbankan syariah yang berdasarkan pada prinsip tolong membantu. 
  • Al Qardh yakni meminjamkan sesuatu kepada orang lain dengan keharusan mengembalikan pokoknya kepada pihak yang meminjami. 
Pada Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/46/PBI/2005 Tentang Qardh diartikan selaku pinjam meminjam dana tanpa imbalan dengan keharusan pihak peminjam mengembalikan pokok bantuan secara sekaligus atau cicilan dalam waktu tertentu. Adapun landasan syariahnya pada Surat Al Hadid ayat 11 :
“ Siapakah yang hendak meminjamkan terhadap Allah dukungan yang bagus, Allah akan melipatgandakan (akhir) sumbangan itu untuknya dan beliau akan mendapatkan pahala yang banyak”
Pinjam meminjam ialah akad yang menitikberatkan pada sikap tolong membantu atau ta’awun dan dengan demikian maka risikonya akan berupa pahala dari Allah Swt. Salah satu prinsip yang mendasari janji yaitu prinsip ta’awun (saling menguntungkan) setiap kesepakatan yang dikerjakan harus bersifat saling menguntungkan semua pihak yang berakad. Suatu komitmen harus mengamati kebersamaan. Dalam surat Al Maidah ayat 2 pertanda : “ … Hendaklah kau tolong membantu dalam kebaikan dan takwa dan janganlah kamu tolong menolong untuk berbuat dosa dan permusuhan”. Ayat ini menunjukan bahwa tolong menolong dalam ketaqwaan merupakan salah satu aspek penegak agama sebab saling tolong membantu akan menciptakan rasa saling memiliki di antara umat sehingga akan lebih mengikat persaudaraan. Sedangkan dalam hadits nabi dikatakan bahwa ariah (barang dukungan) yakni barang yang wajib dikembalikan ( HR. Abu Daud dan At-Tirmizi). Kaidah fiqh:“Setiap utang piutang yang menghadirkan manfaat (bagi yang berpiutang, muqridh) yakni riba.”
Menurut bahasa Al Qardh adalah memangkas. Dikatakan contohnya. “ aku melakukan qardh terhadap sesuatu dengan memakai gunting.” Qardh yaitu sesuatu yang engkau berikan terhadap seseorang yang sebuah saat akan anda minta kembali. Seolah-olah engkau memotongnya dari harta milikmu. Pinjaman itu sendiri acap kali berupa harta dan seringkali berupa kehormatan. Secara terminologis arti peminjaman ialah menyerahkan harta kepada orang yang menggunakannya untuk dikembalikan gantinya sebuah ketika. Menurut istilah para hebat fikih, al qardh yakni memberikan suatu harta kepada orang lain untuk dikembalikan tanpa ada aksesori. Al Qardh (pinjam meminjam) hukumnya boleh dan dibenarkan secara syariat. Tidak ada perbedaan pertimbangan di antara para ulama dalam hal ini. Orang yang membutuhkan boleh menyatakan ingin meminjam. Ini bukan sesuatu yang jelek, bahkan orang yang akan dipinjami justru disarankan (mandub). Dalil mengenai hal ini terdapat dalam Al Alquran : surat Al Baqarah ayat 245.
Dari dalil-dalil ihwal disyariatkannya al qardh dikenali bahwa pada dasarnya hukum pinjam-meminjam yaitu sunah bagi orang yang meminjamkan dan mubah bagi orang yang meminjam. Ini adalah hukum al qardh dalam situasi biasa. Terkadang ada situasi-situasi yang mengubah hukumnya, bergantung pada sebab seorang meminjam. Oleh alasannya adalah itu, hukumnya bisa berganti selaku berikut :
Haram bila seseorang memperlihatkan sumbangan, padahal dia mengenali bahwa pemberian itu akan dipakai untuk tindakan haram mirip untuk berbelanja minuman khamar, Makruh bila yang memberi bantuan mengenali bahwa peminjam akan memakai hartanya bukan untuk kemaslahatan, namun untuk berfoya-foya dan menghambur-hamburkannya. Begitu juga peminjam mengetahui bahwa dirinya tidak akan mampu mengembalikan bantuan itu.
Wajib, kalau dia mengetahui bahwa peminjam membutuhkan harta untuk menafkahi diri, keluarga, dan kerabatnya sesuai dengan ukuran yang disyariatkan, sedangkan peminjam itu tidak mempunyai cara lain untuk menerima nafkah itu selain dengan meminjam.
Apabila transaksi pinjam meminjam telah sah, konsekuensi hukumnya mesti dilakukan yaitu berpindahnya kepemilikan harta yang dipinjam dari pemberi derma terhadap peminjam. Dengan ketentuan peminjam mesti mengubah harta tersebut saat orang yang meminjamkan menagihnya.
Keberadaan dari pembiayaan Qardh  Al Hasan merupakan pembeda dengan kredit pada bank konvensional sebab salah satu fungsi bank syariah yaitu berfungsi sosial. Pembiayaan Qardh  Al Hasan ini sumber dananya berasal dari zakat, infaq dan shodaqah dan diberikan atas dasar tolong menolong, peminjam hanya berkewajiban mengembalikan jumlah pokok yang diterima pada waktu yang telah disepakati. Tidak ada imbalan yang diberikan oleh si peminjam terbatas pada ongkos manajemen. Apabila si peminjam tidak bisa mengembalikan dan ditentukan ketidakmampuannya maka dihapus seluruh kewajibannya. Sebagaimana dalam hadits nabi SAW : “ Orang yang melepaskan seorang muslim dari kesulitannya di dunia, Allah akan melepaskan kesulitannya di hari kiamat; dan Allah senantiasa membantu hambaNya selama beliau (suka) menolong saudaranya.” (HR.Muslim) 
Al-Quran tidak mencela hutang, dengan merekomendasikan secara terinci cara mencatat hutang, sebagaimana dalam surat Al Baqarah ayat 282 :
“ Hai orang-orang yang beriman, apabila kau bermuámalah (jual-beli, utang-piutang dan sebagainya) tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kau menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah beliau menulis, dan hendaklah orang yang berutang itu mengimlakkan (apa yang mau ditulis itu), dan hendaklah dia bertakwa terhadap Allah Tuhannya, dan janganlah ia meminimalisir sedikitpun dari pada utangnya. Jika yang berutang itu orang lemah akalnya atau lemah mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang laki-laki diantaramu. Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang laki-laki dan dua orang perempuan dari saksi saksi yang kau ridhai, semoga bila seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi informasi) jika mereka dipanggil: dan janganlah kau jemu menuliskan utang itu, baik kecil maupun besar hingga deadline membayarnya. Yang demikian itu adalah lebih adil di sisi Allah dan lebih mampu menguatkan persaksian dan lebih bersahabat untuk tidak menyebabkan keraguanmu, (catatlah muamalahmu itu ). Kecuali dalam hal jual beli tunai yang kamu lakukan di antara kau, tidak ada dosa bagi kamu kalau tidak menuliskannya. Dan persaksikanlah jika kau berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling susah menyulitkan. jika kau kerjakan (yang demikian) maka sebetulnya hal itu ialah kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah terhadap Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” 
M.Quraish Shihab dalam Tafisr Al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Alquran menyebutkan ayat ini diketahui oleh para ulama dengan nama ayat al-Mudayanah (ayat utang-piutang). Ayat ini menegaskan perihal proposal atau menurut sebagian ulama kewajiban menulis utang piutang dan mempersaksikannya di hadapan pihak ketiga yang diandalkan/notaris, sambil menekankan perlunya menulis utang walau sedikit, diikuti dengan jumlah dan ketetapan waktunya. Perintah ayat ini secara redaksional ditujukan terhadap orang-orang yang beriman, namun yang dimaksud ialah mereka yang melaksanakan transaksi utang piutang, bahkan secara lebih khusus yaitu berutang. Ini biar yang memberi piutang merasa lebih damai dengan penulisan itu. Menuliskannya yaitu perintah atau tuntunan yang sangat diusulkan, walau kreditor tidak memintanya. Muamalah yang dimaksud adalah muamalah yang tidak secara tunai ialah utang piutang. Apabila bertransaksi utang piutang tidak ditulis maka transaksi tersebut tetap sah sepanjang menyanggupi rukun dan syarat akad.
Dari ayat-ayat tersebut terdapat dua rekomendasi pokok untuk setiap orang yang melaksanakan transaksi utang piutang, yaitu :
a. Dikandung oleh pernyataan untuk waktu yang diputuskan. Ini bukan saja mengisyaratkan bahwa dikala berutang periode pelunasannya mesti ditentukan, namun juga mengesankan saat berutang semestinya sudah tergambar dalam benak pengutang, bagaimana serta dan dari sumber mana pembayarannya dipercaya. Ini secara tidak langsung mengantar sang muslim untuk berhati-hati dalam berutang. Sedemikian keras tuntunan kehati-hatian hingga-sampai Nabi SAW enggan menshalati mayit yang berutang tanpa ada yang menjamin utangnya. 
b. Perintah menulis utang piutang dipahami oleh banyak ulama sebagai tawaran, bukan keharusan. Demikian praktek para sahabat Nabi saat itu, demikian juga yang terbaca pada ayat berikut. Memang sungguh sulit perintah itu diterapkan oleh kaum muslimin ketika turunnya ayat ini jika perintah menulis utang piutang bersifat wajib, karena kepandaian tulis menulis dikala itu sangat langka. Namun demikian ayat ini mengisyaratkan perlunya mencar ilmu tulis menulis alasannya adalah dalam hidup ini setiap orang mampu mengalami kebutuhan pinjam dan meminjamkan. Perintah menulis mampu mencakup perintah kepada kedua orang yang bertransaksi, dalam arti salah seorang menulis, dan apa yang ditulisnya diserahkan terhadap mitranya bila mitra arif tulis baca. Bila mitranya tidak pandai, atau keduanya tidak terpelajar, maka mereka hendaknya mencari orang ketiga sebagaimana bunyi lanjutan ayat. Dan” hendaklah seorang penulis di antara kamu menulisnya dengan adil”. Yakni dengan benar, tidak menyalahi ketentuan Allah dan perundangan yang berlaku dalam penduduk . Dengan ditulis utang tersebut dan disaksikan oleh dua orang saksi maka ada kepastian aturan dan menghindari sengketa dikemudian hari. Bukti goresan pena ialah salah satu dari alat-alat bukti sebagaimana dikelola pada pasal 1866 BW. 
Dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional No: 19/DSN-MUI/IV/2001 Tentang AL-QARDH. Ditentukan bahwa Al-Qardh yaitu derma yang diberikan terhadap nasabah (muqtaridh) yang membutuhkan. Dan Nasabah al-Qardh wajib mengembalikan jumlah pokok yang diterima pada waktu yang sudah disepakati bersama. Biaya administrasi dibebankan terhadap nasabah. Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dapat meminta jaminan kepada nasabah bilamana dipandang perlu. Nasabah al-Qardh dapat memperlihatkan suplemen (sumbangan) dengan sukarela kepada Lomba Kompetensi Siswa selama tidak diperjanjikan dalam komitmen. Jika nasabah tidak mampu mengembalikan sebagian atau seluruh kewajibannya pada ketika yang sudah disepakati dan Lomba Kompetensi Siswa telah memutuskan ketidakmampuannya, LKS dapat:
a. memperpanjang rentang waktu pengembalian, atau
b. menghapus (write off) sebagian atau seluruh kewajibannya.
LKS mampu memperlihatkan sanksi terhadap nasabah bila :
1. Dalam hal nasabah tidak memberikan impian mengembalikan sebagian atau seluruh kewajibannya dan bukan karena ketidakmampuannya, LKS dapat menjatuhkan sanksi terhadap nasabah.
2. Sanksi yang dijatuhkan terhadap nasabah sebagaimana dimaksud butir 1 dapat berbentukdan tidak terbatas pada penjualan barang jaminan. Jika barang jaminan tidak mencukupi, nasabah tetap harus menyanggupi kewajibannya secara penuh.