Jika Al Qur’an dipandang selaku mukjizat Nabi saw. yang terbesar dan awet, serta pedoman hidup insan untuk meraih kebahagiaan dunia-darul baka, maka telah sebaiknya cara membaca Al Qur’an diatur sedemikian rupa, sehingga pembaca menerima berkah-Nya, baik berkah yang bersifat hissimaupun yang bersifat maknawi.
Karena itu, Imam Al-Ghazali dalam kitabnya, Ihya’ Ulumud Diin serta Imam Jalaluddin Asy-Syuyuti dalam kitabnya, Al-Itqan fii Ulumil Qur’an merumuskan beberapa etika atau tata krama membaca Al Qur’an, adalah:
Pertama: Dianjurkan atau bahkan diwajibkan bersuci (berwudhu) sebelum membaca Al Qur’an. Menurut Imam Nawawi dalam At-Tibyan dan ijma’ ulama, berwudhu itu hukumnya sunah.
Menurut Imam Haramain, tidak makruh hanya saja meninggalkan keistimewaan. Jika tidak ditemukan air, boleh dengan cara tayamum.
Menurut Imam Malik Orang yang sedang junub dan haid dihentikan membacanya kecuali untuk kepentingan belajar dan zikir atau tahaffuzh (hafalan).
Allah swt. Berfirman:
لا يَمَسُّهُ إِلا الْمُطَهَّرُونَ
“Tidak menyentuhnya (Al Qur’an) kecuali orang-orang yang disucikan.” (Q.S 56, Al-Waqi’ah:79).
Pada ayat diatas, terdapat dua pengertian:
Ketika berhasrat membaca Al Qur’an, mesti berwudhu apalagi dahulu bagi yang mempunyai hadas kecil dan mesti mandi kalau mempunyai hadas besar. Jadi Al Qur’an itu dilarang disentuh seseorang, kecuali beliau telah bersuci dengan mandi dan wudhu.
Penafsiran ayat tersebut yang lebih esensi ialah, bahwa isi kandungan Al Qur’an tidak mampu disentuh oleh seseorang bila hatinya tidak disucikan. Barangsiapa yang hatinya bersih maka ia menerima pesan yang tersirat dan berkah dari isinya. Jika tidak, contohnya karena riya’ (pamer), maka beliau tidak akan memperoleh apa-apa.
Dari uraian diatas, kita dapat mengambil kesimpulan untuk membenarkan kedua-duanya sehingga pembaca mesti bersih secara hissiyah dan maknawiyah.
Kedua: Membaca Al Qur’an dengan asisten atau bahkan dengan kedua tangan. Dengan begitu tampaklah bahwa Al Qur’an sangat mulia dibanding dengan barang atau benda-benda lain. Jika membawanya untuk berjalan, maka diapit pada dada oleh kedua tangan kita.
Ketiga: Membaca Al Qur’an di tempat yang higienis, baik dirumah, musholla maupun masjid. Tempat yang higienis tidak cuma higienis secara hissiyah, contohnya tidak terkena najis, namun juga higienis dalam arti maknawiyah. Yakni dibaca di kawasan yang suci dan terhindar dari daerah-kawasan maksiat sehingga kita sebagai pembaca tidak mencampuradukkan antara perbuatan baik dengan peruatan yang batil.
Keempat: Seyogyanya menghadap kiblat seperti dikala melaksanakan sholat, serta berpakaian yang sopan, higienis dan suci, jika perlu memakai minyak amis agar menambah ketenangan dan kesenangan dalam mambaca Al Qur’an, sehingga tidak merasa cepat jenuh risikonya.
Kelima: Dibaca dengan rasa khusyuk, tenang, tertib, dan niatan yang ikhlas. Hal ini mampu ditempuh dengan aneka macam cara, ialah menyucikan hadas apalagi dulu lalu bersiwak untuk membersihkan gigi, membaca seakan-akan Allah swt. melihatnya, dibaca sesuai dengan ketentuan tajwidnya, tidak tergesa-gesa, dan tidak terlampau mengeraskan suara agar biar tidak mengusik orang lain atau orang yang sedang sholat. Karena jikalau mengusik orang yang sholat wajib, maka bacaannya menjadi haram, karena sesuatu yang sunah tidak boleh mempengaruhi yang wajib.
Jika kita bermaksud membaca Al Qur’an, maka tidak boleh karena rasa riya’ dan mempertimbangkan aktifitas lain, hendaknya memperhatikan bacaan dan mengerti makna serta menghayati isi kandungannya.
Keenam: Diawali dengan bacaan isti’adzah dan Basmalah semoga terhindar dari godaan setan dan menuju pada tindakan yang diridhoi oleh Allah swt. Terlebih lagi makna Basmalah yang mempunyai arti “atas nama Allah” yang mengandung pemahaman bahwa membaca Al Qur’an itu semata-mata mewakili Allah untuk mensyiarkan agama Islam serta mengagungkan nama besar Allah.
Di samping itu, membaca isti’adzah dan Basmalah memiliki dua fungsi:
Fungsi Hissiyah, ialah pembaca terhindar dari kesusahan dalam pengucapan lafal-lafal Al Qur’an sehingga dengan membaca isti’adzah dan Basmalah ini, diperlukan terhindar dari godaan setan dan dapat melafalkannya sesuai dengan sistem ilmu tajwid.
Fungsi Hukmiyah, adalah pembaca terhindar dari godaan setan yang berkaitan dengan bisikan hati nurani sehingga sesudah mengucapkan isti’adzah dan Basmalah tidak memiliki sifat riya’, ujub (membanggakan amal baiknya), serta menghadirkan rasa ikhlas dan bersih hati.
Allah swt. Berfirman:
فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
“Maka jikalau kamu membaca Al Qur’an, hendaklah meminta santunan terhadap Allah dari (godaan) setan yang terkutuk.” (Q.S. 16, An-Nahl:98)
وَقُلْ رَبِّ أَعُوذُ بِكَ مِنْ هَمَزَاتِ الشَّيَاطِينِ , وَأَعُوذُ بِكَ رَبِّ أَنْ يَحْضُرُونِ
“Aku meminta pinjaman kepada-Mu (Allah) dari bisikan setan dan saya berlindung kepada-Mu (Allah) dari kedatangannya.” (Q.S. 23, Al-Mu’minun: 97-98).
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ
“Bacalah dengan nama Tuhanmu yang membuat”. (Q.S. , Al-Alaq:1).Nabi saw. bersabda:
كُلُّ اَمْرٍ ذِى بَالٍ لاَيُبْدَأُ فِيْهِ بِبِسْمِ اللهِ فَهُوَ اَقْطَعُ . رواه داود
“Setiap problem yang penting tanpa dimulai dengan bacaan Basmalah, maka putus berkahnya.” (H.R. Abu Dawud).
Ketujuh: Bagi pembaca yang sudah mengerti artinya, maka mesti betul-betul menghayati isi kandungannya, sehingga Al Qur’an mampu memberi makna hidup yang betul-betul mampu membahagiakan kehidupan pembaca. Sedangkan bagi yang belum mengerti artinya, mesti berupaya belajar lewat terjemahan atau kepada orang yang ahli.
Kedelapan: Al Qur’an dialunkan dengan suara yang merdu dan lezat didengar, sehingga mampu menarik minat baca bagi dirinya dan juga pendengan yang lain.
Kesembilan: Jangan membaca Al Qur’an selagi melakukan aktifitas yang lain. Contoh: mengatakan dengan orang yang tidak berkaitan dengan bacaan yang kita baca, bermain-main serta aktifitas yang mampu merendahkan derajatnya. Mengingat Al Qur’an itu firman Allah dan dengan menghormati Al Qur’an bermakna menghormati juga pembuatnya (Allah). Sebaliknya, bila merendahkannya maka sama halnya merendahkan Allah swt.
Kesepuluh: Menghentikan bacaan Al Qur’an kalau pembaca sudah capek dengan maksud biar bacaannya tidak gampang keliru, serta jikalau pembaca menguap, kentut (keluar angin), dan mempunyai aktifitas lain yang lebih penting, misalkan sholat dan sebagainya.
Kesebelas: Hendaklah membaca Al Qur’an secara istiqamah (kontinue) walaupun pada setiap harinya hanya satu makra’. Karena istiqamah itu lebih baik ketimbang seribu karamah. Demikian juga seseorang yang hari esoknya lebih baik, maka ia menjadi orang yang beruntung, tetapi jika sama maka menjadi orang yang merugi, apalagi lebih buruk maka beliau menjadi orang yang zalim.
Keduabelas: Seusai membaca Al Qur’an diiringi doa tertentu, misalnya:
َصَدَقَ اللهُ الْعَظِيْمُ وَبَلَّغَ رَسُولُهُ الْحَبِيْبُ الكَرِيْمُ وَنَحْنُ عَلَى ذلِكَ مِن الشَّاهِدِيْنَ وَالشَّاكِرِيْنَ وَالحَمْدُللهِ رَبِّ العَالَمِيْن
“Maha Benar dan Maha Besar Allah, dan sudah hingga Rasul-Nya yang tersayang dan mulia, dan kami atas demikian itu selaku saksi dan orang-orang yang bersyukur. Dan segala puji bagi Allah, Tuhan sekalian alam.”
Namun jikalau menamatkan bacaan Al Qur’an secara keseluruhan, maka terdapat doa tersendiri,cek disini.
Demikian 12 budbahasa membaca Al Qur’an beserta dalilnya merujuk Imam Ghazali dan Imam Jalaluddin Asy-Syuyuti. Semoga kita dapat megamalkannya sehingga kebaikan dari Al Qur’an dapat kita raih, amin.