Inilah fenomena ritual baru kaum muslimin ketika ini yang harus diluruskan semoga terwujud saling menasihati didalam kebenaran dan keteguhan. Sebab tidak layak seseoarang yang mengetahui berdiam diri terhadap sesuatu yang menyalahi. Jadi memberi pesan yang tersirat merupakan keharusan dan kewajiban sesama mulim. Oleh karena itu sikapilah dengan konkret dan memperbesar ilmu. Lalu tentang siapakah yang paling benar, maka sarankanlah terhadap Allah, Rasul dan pemikiran para sahabatnya.
Rasullulah saw bersabda; “ikutilah sunahku dan sunah khulafaur-rasyidin.” Nasyid merupakan nyayian sya’ir. Hal ini mampu dianggap mubah bila dilakukan diluar masjid. Tetapi kalau dilakukan didalam masjid, maka ini terlarang berdasarkan hadits: dari tsauban ra., beliau berkata: sudah bersabda Rasullulah Saw: “barang siapa yang kalian melihat seseoarang menasyidkan suatu syair didalam masjid, maka ucapkanah oleh kalian supaya Allah memecahkan mulutnya.”
Hadits ini dikutif oleh imam safaraini, seseorang andal hadits dan fiqih dari madzab as-Syaifi’iy. Apabila menyaikan suatu sya’ir dimasjid sudah terlarang. Apalagi menari. Dan mengapa kita mesti merasa renadah dari dikala orang-orang kafir mampu menari, lalu kita mengikuti jejak mereka, bahkan kita melakukannya didalam masjid? Barang kali hadits di atas belum samapai kepada mereka. Demikian pula hadits dibawah ini, Rasullulah saw bersabda: “sekelompok wanita akan menjadi penghuni neraka dan tidak akan masuk nirwana ialah mereka yang berpakaian namun telanjang dan menggoyang-goyangkan kepalanya.”
Hadits tersebut diriwayatkan oleh imam muslim dalam kitab shaihnya. Bisa dibaca dalam kitab majmu fatwa ibnu taimyyah jilid 11 dan juga hijabul mar’ah syaikh Muhammad Nasruddin al-Albani. Iamam ibnu Hajar as-Syafi’iy menyampaikan bahwa tarian diharamkan baik bagi laki-laki maupun perempuan (ajaran syaikh Muhammad Rasyid Ridha juz 2 hal. 766). Imam malik menyebutkan prilaku fasiq. Kemudian menurut syaikh Ibnu Taimiyyah, bahwa laki-laki yang melaksanakan tarian ialah maknuts adalah waria (majmu’fatwa Ibnu Taimiyyah juz 11 hal. 577).
Jadi, dengan riwayat diatas maka tidak ada nilai ibadah bagi siapapun yang menyanyikan nasyid atau sya’ir baik sya’ir dalam bentuk shalawat seperti shalawat badar, shalawat munfarijah, atau pula sya’ir Abu Nawas ilabi lastu lil firdausi abla. . . semua itu tidak diajarkan oleh nabi saw dan juga tidak dilakukan oleh para sahabatnya.
Lalu apakah kita lebih menerima isyarat dibandingkan dengan mereka ? dan haruskah kita mirip kebiasaan orang-orang Kristen yang menyayikan sya’ir puja-kebanggaan yesus dan tuhannya digreja mereka? lalu mendatangkan alat musik ke dalam masjid sebagai mana mereka melakukannya di gereja mereka? maka kepada siapakah kita akan menjiplak dalam masalah ini. Apakah akan mengikuti jejak para teman Nabinya yang tidak menyayikan do’a, shalawat, dzikir, dan asmaul husna serta nasyid di dalam masjid? Ataukah kita lebih menyukai harapan penduduk yang lebih senang meniru sekelilingnya dan mudah terpengaruh alasannya sesuai dengan selera mereka tanpa mengembalikan problem ini kepada atsar-atsar para sobat? Sementara nabi saw mengatakan bahwa generasi yang terbaik dari umat ini ialah generasi para sobat?
Dzikir Do’a, Shalawat dan Asmaul Husna.
Dzikir, shalawat dan asmaul husna, semuanya ialah do’a. Dan semua itu sudah diajarkan oleh Nabi saw dengan sempurna. Maka jikalau melaksanakan sesutu selebih dari yang nabi ajarkan, adalah melampaui batas, cuma Nabilah yang lebih mengetahui jalan darul baka dan petunjuk dari agama ini. Oleh alasannya itu sudah semestinya kita menyerahkan segala kasus yang berhubungan dengan agama terhadap nabi saw. Al-Qur’an menerangkan “Ud’uu rabbaka. Tadlarru’an wa khufyatan”;berdo’alah kepada tuhanmu dengan tadlarru’ dan bunyi lirih. Tadlarru’ yakni memohon kepada alloh dengan perasaan sangat membtuh-kan tunjangan-nya, mengiba-ngiba, dan khusu. Sedang khufyatan yaitu dengan suara pelan, dihentikan keras. Nabi saw bersabda: “dzikir yang paling baik yaitu dengan suara khafi, pelan (tidak mesti terdengar oleh orang lain), dan rizki yang paling baik yakni yang merasa cukup.”
Hadits ini diriwayatkan oleh imam Ahmad dalam kitabnya Al-musnad juz 1. Dengan isyarat diatas maka dzikir atau do’a, baik shalawat atau asmaul husna hendaklah dibaca secara tadlaru’ dan khufiyah. Apakah ketika kita menyanyikan do’a seperti astagfirullah rabbalbaraya. . . atau shalwat dan asmaul husna, tersirat dalam hati kita rasa tadlarru’ diucapkan secara lirih dan khusyu’? sementara dalam hadits lain disebutkan, Allah tidak mendapatkan do’a dengan hati yang tidak khusyu’, dan dalam riwayat addarakuthniy, Allah tidak mendapatkan do’a dengan cara talhin, dinyanyikan.
Jangan dalam berdo’a dan berdzikir, bahkan dalam membaca Al-Qur’an pun tidak boleh membaca secara talhin atau dinyanyikan. Imam Ahmad memandangnya makruh, yakni di benci membaca Al-Qur’an secara talhin. Dan pada riwayat lain dikala ditanya bagaimana hukumnya, dia menjawab bid’ah. Imam As-Safaraini sesudah menguti dari perkataan Imam Ahmad di atas, dia kemudian menukil suatu hadits dari nabi saw, bahwasannya beliau bersabda:
“salah satu ciri as-sa’ab (kiamat atau kehancuran) yakni mereka menimbulkan Al-Qur’an selaku mazamir yaitu seruling-seruling, lalu menyerahkan Al-Qur’an itu bukan kepada ahlinya, dan juga tidak kepada orang yang lebih utama dari mereka, selain membuatnya selaku nyanyian untuk mereka.”
Dzikir berjama’ah
Dzikir bejama’ah pun pernah tidak boleh oleh Abdullah ibn Mas’ud. Adalah bubuk musa al-Asy’ariy datang melaporkan terhadap abdullah ibn mas’ud bahwa disalah satu masjid di kufah ada sekelompok orang sedang berdzikir berjama’ah dan dipimpin oleh seorang imam mereka. mereka mengucapkan takbir seratus kali, tahmid seratus kali, tahlil seratus kali dengan penggunaan kerikil kecil selaku alat penghitung dzikir.
Setelah dilaporkan demikian, maka abdulah ibnu mas’ud datang menemui mereka, menegur mereka, dan membubarkan dzikir tersebut. Lalu imam mereka berkata, “apakah salah kami brdzikir, bukankah berdzikir diperintahkan oleh Al-Qur’an?” abdulah ibnu mas’ud menjawab: “betapa banyak orang berencana baik namun salah dalam mengamalkannya, apakah kalian lebih mendapatkan isyarat dibanding dengan para sobat Nabi?”
Mereka membubarkan diri kemudian bergabung lalu brgabung dengan golongan khawarij menerangi para sobat Nabi saw. Sebagai penutup, berikut yakni usulan ibnu taimiyyah, bahwa bekumpul manusia di demam isu ini untuk isyaadzul ghina’i, menasyidka nyanyian (menyanyikan nasyid atau syair) dan menghantam rebana didalam masjid al-Aqsha dan yang yang lain yakni ialah aqbabil munkarat’, kemunkaran paling jelek.
Munkin hanya itu yang bisa aku sampaikan biar bemanfaat bagi kalian yang membaca dan juga bisa menimbulkan sebuah teladan bukan cuma untuk dibaca saja namun cobalah kalian terapkan dalam kehidupan sehari-hari, yang tadinya begitu kini harus begini. terimakasih