Memasuki abad ke- 21 dunia pendidikan di Indonesia menjadi gempar. Kehebohan tersebut bukan disebabkan oleh kedigdayaan kualitas pendidikan nasional tetapi lebih banyak disebabkan sebab kesadaran akan ancaman keterbelakangan pendidikan di Indonesia. Perasan ini disebabkan sebab beberapa hal yang mendasar.
Salah satunya adalah memasuki abad ke- 21 gelombang globalisasi dirasakan besar lengan berkuasa dan terbuka. Kemajaun teknologi dan perubahan yang terjadi menawarkan kesadaran baru bahwa Indonesia tidak lagi berdiri sendiri. Indonesia berada di tengah-tengah dunia yang baru, dunia terbuka sehingga orang bebas membandingkan kehidupan dengan negara lain.
Yang kita rasakan kini ialah adanya ketertinggalan didalam kualitas pendidikan. Baik pendidikan formal maupun informal. Dan hasil itu diperoleh sehabis kita membandingkannya dengan negara lain. Pendidikan memang telah menjadi penopang dalam memajukan sumber daya insan Indonesia untuk pembangunan bangsa. Oleh alasannya adalah itu, kita sebaiknya dapat mengembangkan sumber daya manusia Indonesia yang tidak kalah bersaing dengan sumber daya manusia di negara-negara lain.
Setelah kita amati, nampak terang bahwa masalah yang serius dalam peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia ialah rendahnya mutu pendidikan di banyak sekali jenjang pendidikan, baik pendidikan formal maupun informal. Dan hal itulah yang menimbulkan rendahnya mutu pendidikan yang menghambat penyediaan sumber daya menusia yang memiliki keahlian dan keahlian untuk memenuhi pembangunan bangsa di berbagai bidang.
Kualitas pendidikan Indonesia yang rendah itu juga ditunjukkan data Balitbang (2003) bahwa dari 146.052 Sekolah Dasar di Indonesia ternyata hanya delapan sekolah saja yang mendapat akreditasi dunia dalam klasifikasi The Primary Years Program (PYP). Dari 20.918 Sekolah Menengah Pertama di Indonesia ternyata juga cuma delapan sekolah yang menerima pengesahan dunia dalam kategori The Middle Years Program (MYP) dan dari 8.036 Sekolah Menengan Atas ternyata cuma tujuh sekolah saja yang menerima pengesahan dunia dalam klasifikasi The Diploma Program (DP).
Rumusan duduk perkara yang mampu dikemukakan yaitu :
1. Apa pemahaman pendidikan dan kebijakan pendidikan
2. Bagaimana kebijakan pendidikan di Indonesia
3. Bagaimana imbas kebijakan pendidikan di Indonesia
Tujuan pnulisan ini yaitu untuk mengetahui :
1. Apa pemahaman pendidikan dan kebijakan pendidikan
2. Bagaimana kebijakan pendidikan di Indonesia
3. Bagaimana efek kebijakan pendidikan di Indonesia
PENGERTIAN PENDIDIKAN
Pendidikan yaitu perjuangan sadar dan berkala untuk merealisasikan suasana belajar dan proses pembelajaran semoga akseptor didik secara aktif mengembangkan kesempatandirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, etika mulia, serta keterampilan yang diharapkan dirinya dan penduduk .
Untuk mengatahui definisi pendidikan dalam perspektif kebijakan, kita sudah memiliki rumusan formal dan operasional, sebagaimana termaktub dalam UU No. 20 Tahun 2003 Tentang SISDIKNAS, yakni:
Pendidikan yakni perjuangan sadar dan berkala untuk mewujudkan suasana berguru dan proses pembelajaran semoga akseptor latih secara aktif membuatkan peluangdirinya untuk mempunyai kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keahlian yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Berdasarkan definisi di atas, saya memperoleh 3 (tiga) pokok anggapan utama yang terkandung di dalamnya, ialah: (1) usaha sadar dan terpola; (2) mewujudkan situasi belajar dan proses pembelajaran semoga akseptor bimbing aktif mengembangkan kesempatandirinya; dan (3) memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, etika mulia, serta kemampuan yang dibutuhkan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Di bawah ini akan dipaparkan secara singkat ketiga pokok fikiran tersebut.
1. Usaha sadar dan terencana.
Pendidikan selaku perjuangan sadar dan berkala menawarkan bahwa pendidikan yaitu suatu proses yang disengaja dan dipikirkan secara matang (proses kerja intelektual). Oleh sebab itu, di setiap level manapun, aktivitas pendidikan mesti disadari dan direncanakan, baik dalam tataran nasional (makroskopik), regional/provinsi dan kabupaten kota (messoskopik), institusional/sekolah (mikroskopik) maupun operasional (proses pembelajaran oleh guru).
Berkenaan dengan pembelajaran (pendidikan dalam arti terbatas), pada dasarnya setiap acara pembelajaran pun mesti direncanakan terlebih dahulu sebagaimana diisyaratkan dalam Permendiknas RI No. 41 Tahun 2007. Menurut Permediknas ini bahwa perencanaan proses pembelajaran meliputi penyusunan silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang memuat identitas mata pelajaran, kriteria kompetensi (SK), kompetensi dasar (KD), indikator pencapaian kompetensi, tujuan pembelajaran, bahan asuh, alokasi waktu, sistem pembelajaran, acara pembelajaran, penilaian hasil berguru, dan sumber berguru.
2. Mewujudkan situasi mencar ilmu dan proses pembelajaran biar peserta latih aktif berbagi peluangdirinya
Pada pokok pikiran yang kedua ini aku menyaksikan adanya pengerucutan perumpamaan pendidikan menjadi pembelajaran. Jika dilihat secara sepintas mungkin seperti pendidikan lebih dimaknai dalam setting pendidikan formal semata (persekolahan). Terlepas dari benar-tidaknya pengerucutan makna ini, pada pokok pikiran kedua ini, aku menangkap pesan bahwa pendidikan yang diinginkan ialah pendidikan yang bercorak pengembangan (developmental) dan humanis, yakni berusaha menyebarkan segenap potensi bimbing, bukan bercorak pembentukan yang bergaya behavioristik. Selain itu, aku juga menyaksikan ada dua kegiatan (operasi) utama dalam pendidikan: (a) merealisasikan situasi mencar ilmu, dan (b) mewujudkan proses pembelajaran.
3. Memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, adat mulia, serta keahlian yang dibutuhkan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Pokok pikiran yang ketiga ini, selain merupakan bagian dari definisi pendidikan sekaligus menggambarkan pula tujuan pendidikan nasional kita , yang menurut irit aku sudah demikian lengkap. Di sana tertera tujuan yang berdimensi ke-Tuhan-an, pribadi, dan sosial. Artinya, pendidikan yang dikehendaki bukanlah pendidikan sekuler, bukan pendidikan individualistik, dan bukan pula pendidikan sosialistik, namun pendidikan yang mencari keseimbangan diantara ketiga dimensi tersebut.
Jika belakangan ini gencar disosialisasikan pendidikan aksara, dengan melihat pokok pikiran yang ketiga dari definisi pendidikan ini maka bahu-membahu pendidikan karakter telah implisit dalam pendidikan, jadi bukanlah sesuatu yang baru.
Selanjutnya tujuan-tujuan tersebut dijabarkan ke dalam tujuan-tujuan pendidikan di bawahnya (tujuan level messo dan mikro) dan dioperasionalkan lewat tujuan pembelajaran yang dilakukan oleh guru dalam proses pembelajaran. Ketercapaian tujuan – tujuan pada tataran operasional memiliki arti yang strategis bagi pencapaian tujuan pendidikan nasional.
Berdasarkan uraian di atas, kita melihat bahwa dalam definisi pendidikan yang tertuang dalam UU No. 20 Tahun 2003, tampaknya tidak hanya sekedar menggambarkan apa pendidikan itu, namun memiliki makna dan implikasi yang luas wacana siapa sesunguhnya pendidik itu, siapa penerima ajar (siswa) itu, bagaimana sebaiknya mendidik, dan apa yang ingin dicapai oleh pendidikan.
2.2. PENGERTIAN KEBIJAKAN
Kebijakan pendidikan mempunyai makna yang begitu luas dan beragam, sehingga perlu ditinjau dari banyak sekali macam sudut pandang.
1.Kebijakan pendidikan dalam kebijakan publik
Pada makalah ini dimengerti makna tentang kebijakan pendidikan, adalah kebijakan pendidikan selaku kebijakan publik dan kebijakan pendidikan sebagai bagian dari kebijakan publik atau dalam kebijakan publik. Pada pembahasan disini, kebijakan pendidikan merupakan bagian dari kebijakan publik. Pemahaman ini dimulai dari ciri-ciri kebijakan publik secara biasa .
Pertama, kebijakan publik ialah kebijakan yang dibentuk oleh Negara, yakni berkenaan dengan lembaga ekskutif, legislatif, dan yudikatif.
Kedua, kebijakan publik yakni kebijakan yang mengatur kehidupan bareng atau kehidupan publik, dan bukan mengendalikan orang seorang atau kalangan.
Disini kebijakan publik dimengerti selaku keputusan-keputusan yang dibentuk oleh intitusi Negara dalam rangka mencapai visi dan misi Negara.
Kebijakan pendidikan yakni kebijakan publik di bidang pendidikan. Sebagaimana dikemukakan oleh Mark Olsen, Jhon Codd, dan Anne-Mari O’Neil, kebijakan pendidikan ialah kunci bagi keunggulan, bahkan keberadaan, bagi Negara-bangsa dalam kompetisi global, sehingga kebijakan perlu menerima prioritas utama dalam ere-globalisasi. Salah satu argument utamanya yaitu bahwa globalisasi menjinjing nilai demokrasi. Dmokrasi yang menawarkan hasil yaitu demokrasi yang didukung oleh pendidikan.
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, kebijakan pendidikan dimengerti sebagai bagian dari kebijakan publik, adalah kebijakan public dibidang pendidikan. Maka kebijakan pendidikan merupakan kebijakan pendidikan yang ditujukan untuk meraih tujuan pembangunan Negara-bangsa di bidang pendidikan, selaku salah satu dari tujuan pembangunan Negara bangsa secara keseluruhan.
2. Kebijakan pendidikan berdasarkan Carte V. Good (1959) menyatakan, Educational policy is judgment, derived from some system of values and some assessment of situational factors, operating within institutionalized education as a general plan for guiding decision regarding means of attaining desired educational objectives.
Pengertian pernyataan di atas ialah, bahwa kebijakan pendidikan yaitu sebuah evaluasi kepada metode nilai dan aspek-aspek kebutuhan situasional, yang dioperasikan dalam sebuah lembaga selaku penyusunan rencana lazim untuk panduan dalam mengambil keputusan, semoga tujuan pendidikan yang diharapkan mampu dicapai.
3. Hough (1984) sebagaimana dikutip oleh Mudjia Rahardjo juga memastikan sejumlah arti kebijakan. Kebijakan bias menunjuk pada seperangkat tujuan, rencana atau anjuran, acara-program, keputusan-keputusan, menghadirkan sejumlah pengaruh, serta undang-undang atau peraturan-peraturan.
4. Kebijakan pendidikan menurut hakikat pendidikan
Kebijakan pendidikan ialah keseluruhan proses dan hasil perumusan langkah-langkah strategis pendidikan yang dijabarkan dari visi, misi pendidikan, dalam rangka untuk mewujudkaan tercapainya tujuan pendidikan dalam sebuah masyarakat untuk suatu abad waktu tertentu.
2.3. KEBIJAKANPENDIDIKAN DI INDONESIA
Cara melakukan pendidikan di Indonesia sudah pasti tidak terlepas dari tujuan pendidikan di Indonesia, karena pendidikan Indonesia yang dimaksud di sini yaitu pendidikan yang dilakukan di bumi Indonesia untuk kepentingan bangsa Indonesia.
Aspek ketuhanan telah dikembangkan dengan banyak cara mirip melalui pendidikan-pendidikan agama di sekolah maupun di perguruan tinggi, lewat ceramah-ceramah agama di masyarakat, lewat kehidupan beragama di asrama-asrama, lewat mimbar-mimbar agama dan ketuhanan di televisi, melalui radio, surat kabar dan sebagainya. Bahan-materi yang diserap melalui media itu akan berintegrasi dalam rohani para siswa/mahasiswa.
Pengembangan anggapan sebagian besar dijalankan di sekolah-sekolah atau sekolah tinggi-akademi tinggi lewat bidang studi-bidang studi yang mereka pelajari. Pikiran para siswa/mahasiswa diasah melalui pemecahan soal-soal, pemecahan berbagai persoalan, menganalisis sesuatu serta menyimpulkannya.
Seperti yang telah kita pahami, kualitas pendidikan di Indonesia semakin memburuk. Hal ini terbukti dari kualitas guru, fasilitas mencar ilmu, dan murid-muridnya. Guru-guru tentuya punya cita-cita terpendam yang tidak mampu mereka sampaikan kepada siswanya. Memang, guru-guru ketika ini kurang kompeten. Banyak orang yang menjadi guru alasannya tidak diterima di jurusan lain atau kelemahan dana. Kecuali guru-guru usang yang sudah lama mendedikasikan dirinya menjadi guru. Selain berpengalaman mengajar murid, mereka memiliki pengalaman yang dalam mengenai pelajaran yang mereka ajarkan. Belum lagi dilema gaji guru. Jika fenomena ini dibiarkan berlanjut, tidak usang lagi pendidikan di Indonesia akan hancur mengingat banyak guru-guru terlatih yang pensiun.
Sarana pembelajaran juga turut menjadi aspek semakin terpuruknya pendidikan di Indonesia, terutama bagi penduduk di kawasan kolot. Namun, bagi penduduk di tempat udik tersebut, yang paling penting yaitu ilmu terapan yang benar-benar digunakan buat hidup dan kerja. Ada banyak problem yang menimbulkan mereka tidak berguru secara wajar seperti pada umumnya siswa pada umumnya, antara lain guru dan sekolah.
“Pendidikan ini menjadi tanggung jawab pemerintah sepenuhnya,” kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono usai rapat kabinet terbatas di Gedung Depdiknas, Jl Jenderal Sudirman, Jakarta, Senin (12/3/2007).
Presiden memaparkan beberapa langkah yang akan dilaksanakan oleh pemerintah dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, antara lain yakni:
- Langkah pertama yang hendak dijalankan pemerintah, ialah mengembangkan jalan masuk terhadap penduduk untuk bisa menikmati pendidikan di Indonesia. Tolak ukurnya dari angka partisipasi.
- Langkah kedua, menetralisir ketidakmerataan dalam terusan pendidikan, mirip ketidakmerataan di desa dan kota, serta jender.
- Langkah ketiga, mengembangkan kualitas pendidikan dengan meningkatkan kualifikasi guru dan dosen, serta meningkatkan nilai rata-rata kelulusan dalam cobaan nasional.
- Langkah keempat, pemerintah akan memperbesar jumlah jenis pendidikan di bidang kompetensi atau profesi sekolah kejuruan. Untuk menyiapkan tenaga siap pakai yang diperlukan.
- Langkah kelima, pemerintah bermaksud membangun infrastruktur mirip memperbesar jumlah komputer dan perpustakaan di sekolah-sekolah.
- Langkah keenam, pemerintah juga meningkatkan anggaran pendidikan. Untuk tahun ini dianggarkan Rp 44 triliun.
- Langkah ketujuh, adalah penggunaan teknologi info dalam aplikasi pendidikan.
- Langkah terakhir, pembiayaan bagi penduduk miskin untuk mampu menikmati fasilitas pendidikan.
2.4. DAMPAK KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI INDONESIA
Dalam menyusun sebuah kebijakan utamanya yang dilakukan pemerintah tentunya mampu menyebabkan efek-pengaruh baik pengaruh nyata maupun negativ. Adapun yang efek-pengaruh tersebut sesuai dengan kebijakan yang dikeluarkan pemrintah diantaranya dalam :
Bidang Pemerataan Kesempatan Pendidikan
Kesempatan menemukan pendidikan masih terbatas pada tingkat SD. Data Balitbang Departemen Pendidikan Nasional dan Direktorat Jenderal Binbaga Departemen Agama tahun 2000 menerangkan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia Sekolah Dasar pada tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini tergolong kategori tinggi. Angka Partisipasi Murni Pendidikan di SLTP masih rendah adalah 54, 8% (9,4 juta siswa). Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas. Kegagalan training dalam usia dini nantinya pasti akan menghalangi pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan dan seni manajemen pemerataan pendidikan yang sempurna untuk menangani masalah ketidakmerataan tersebut.
Bidang Kualitas Guru
Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum mempunyai profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 ialah merencanakan pembelajaran, melakukan pembelajaran, menganggap hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan training, melakukan observasi dan melakukan pengabdian penduduk .
Bukan itu saja, sebagian guru di Indonesia bahkan dinyatakan tidak pantas mengajar. Persentase guru berdasarkan kelayakan mengajar dalam tahun 2002-2003 di aneka macam satuan pendidikan sbb: untuk SD yang pantas mengajar hanya 21,07% (negeri) dan 28,94% (swasta), untuk SMP 54,12% (negeri) dan 60,99% (swasta), untuk Sekolah Menengan Atas 65,29% (negeri) dan 64,73% (swasta), serta untuk Sekolah Menengah kejuruan yang layak mengajar 55,49% (negeri) dan 58,26% (swasta).
Kelayakan mengajar itu terang bekerjasama dengan tingkat pendidikan guru itu sendiri. Data Balitbang Depdiknas (1998) menawarkan dari sekitar 1,2 juta guru SD/MI cuma 13,8% yang berpendidikan diploma D2-Kependidikan ke atas. Selain itu, dari sekitar 680.000 guru SLTP/MTs baru 38,8% yang berpendidikan diploma D3-Kependidikan ke atas. Di tingkat sekolah menengah, dari 337.503 guru, gres 57,8% yang mempunyai pendidikan S1 ke atas. Di tingkat pendidikan tinggi, dari 181.544 dosen, baru 18,86% yang berpendidikan S2 ke atas (3,48% berpendidikan S3).
Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya aspek penentu kesuksesan pendidikan tetapi, pengajaran ialah titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar memperlihatkan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya. Kualitas guru dan pengajar yang rendah juga dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat kemakmuran guru.
Bidang Sarana Fisik
Untuk sarana fisik contohnya, berbagai sekolah dan akademi tinggi kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media mencar ilmu rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak patokan, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak mempunyai gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.
Data Balitbang Depdiknas (2003) menyebutkan untuk satuan SD terdapat 146.052 lembaga yang menampung 25.918.898 siswa serta mempunyai 865.258 ruang kelas. Dari seluruh ruang kelas tersebut sebanyak 364.440 atau 42,12% berkondisi baik, 299.581 atau 34,62% mengalami kerusakan ringan dan sebanyak 201.237 atau 23,26% mengalami kerusakan berat. Kalau keadaan MI dipertimbangkan angka kerusakannya lebih tinggi alasannya keadaan MI lebih jelek daripada SD kebanyakan. Keadaan ini juga terjadi di SMP, MTs, Sekolah Menengan Atas, MA, dan SMK walaupun dengan persentase yang tidak sama.
Bidang Standardisasi Pendidikan Di Indonesia
Jika kita ingin mengembangkan kualitas pendidikan di Indonesia, kita juga berbicara tentang standardisasi pengajaran yang kita ambil. Tentunya sesudah melalui proses untuk menentukan kriteria yang mau diambil.
Dunia pendidikan terus berudah. Kompetensi yang dibutuhka oleh masyarakat terus-menertus berunah terlebih di dalam dunia terbuka ialah di dalam dunia modern dalam ere globalisasi. Kompetendi-kompetensi yang mesti dimiliki oleh seseorang dalam forum pendidikan haruslah menyanggupi persyaratan.
Seperti yang kita lihat sekarang ini, standar dan kompetensi dalam pendidikan formal maupun informal terlihat hanya keranjingan kepada standar dan kompetensi. Kualitas pendidikan diukur oleh standard an kompetensi di dalam berbagai model, demikian pula sehingga dibentuk badan-tubuh baru untuk melaksanakan standardisasi dan kompetensi tersebut mirip Badan Standardisasi Nasional Pendidikan (BSNP).
Tinjauan kepada standardisasi dan kompetensi untuk meningkatkan kualitas pendidikan balasannya membawa kami dalam pengunkapan adanya ancaman yang tersembunyi yaitu kemungkinan adanya pendidikan yang terkekung oleh kriteria kompetensi saja sehngga kehilangan makna dan tujuan pendidikan tersebut.
Peserta ajar Indonesia terkadang cuma mempertimbangkan bagaiman supaya meraih tolok ukur pendidikan saja, bukan bagaimana biar pendidikan yang diambil efektif dan mampu dipakai. Tidak perduli bagaimana cara supaya mendapatkan hasil atau lebih spesifiknya nilai yang diperoleh, yang terpentinga ialah memenuhi nilai di atas kriteria saja.
Hal seperti di atas sangat disayangkan sebab mempunyai arti pendidikan mirip kehilangan makna saja sebab terlalu menuntun patokan kompetensi. Hal itu terperinci salah satu penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia.
Selain itu, akan lebih baik jikalau kita mempertanyakan kembali apakah patokan pendidikan di Indonesia sudah sesuai atau belum. Dalam kasus UAN yang hampir selalu menjadi kontrofesi contohnya. Kami menganggap adanya sistem penilaian seperti UAN sudah cukup baik, namun yang kami sayangkan adalah evaluasi pendidikan mirip itu yang menentukan lulus tidaknya peserta bimbing mengikuti pendidikan, hanya dilakukan sekali saja tanpa menyaksikan proses yang dilalu penerima asuh yang sudah menenpuh proses pendidikan selama beberapa tahun. Selain hanya berlanhsug sekali, evaluasi mirip itu hanya mengevaluasi 3 bidang studi saja tanpa menganalisa bidang studi lain yang telah didikuti oleh akseptor didik.
Banyak hal lain juga yang sesungguhnya mampu kami bahas dalam pembahasan sandardisasi pengajaran di Indonesia. Juga masalah yang ada di dalamnya, yang tentu lebih banyak, dan memerlukan observasi yang lebih dalam lagi
Penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia juga tentu tidah hanya sebatas yang kami diskusikan di atas. Banyak hal yang mengakibatkan rendahnya kualitas pendidikan kita. Tentunya hal mirip itu mampu kita dapatkan kalau kita menggali lebih dalam akar permasalahannya. Dan biar kalau kita mengetehui akar permasalahannya, kita dapat memperbaiki mutu pendidikan di Indonesia sehingga jadi kebih baik lagi.
Bidang Relevansi Pendidikan Dengan Kebutuhan
Hal tersebut mampu dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur. Data BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan semenjak tahun 1990 mengambarkan angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada kurun yang serupa perkembangan potensi kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan adalah 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data Balitbang Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak mempunyai keahlian hidup sehingga menimbulkan persoalan ketenagakerjaan tersendiri. Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang funsional kepada kemampuan yang diperlukan ketika peserta latih memasuki dunia kerja.
Bidang Kesejahteraan Guru
Rendahnya kemakmuran guru memiliki tugas dalam menciptakan rendahnya mutu pendidikan Indonesia. Berdasarkan survei FGII (Federasi Guru Independen Indonesia) pada pertengahan tahun 2005, idealnya seorang guru mendapatkan honor bulanan serbesar Rp 3 juta rupiah. Sekarang, pemasukan rata-rata guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5 juta. guru bantu Rp, 460 ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata Rp 10 ribu per jam. Dengan pemasukan seperti itu, terang saja, banyak guru terpaksa melaksanakan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, penjualbuku/Lomba Kompetensi Siswa, penjualpulsa ponsel, dan sebagainya (Republika, 13 Juli, 2005).
Dengan adanya UU Guru dan Dosen, barangkali kesejahteraan guru dan dosen (PNS) agak lumayan. Pasal 10 UU itu telah menunjukkan jaminan kelayakan hidup. Di dalam pasal itu disebutkan guru dan dosen akan mendapat penghasilan yang patut dan memadai, antara lain mencakup gaji pokok, santunan yang melekat pada honor, dukungan profesi, dan/atau tunjangan khusus serta penghasilan lain yang berhubungan dengan tugasnya. Mereka yang diangkat Pemerintah Kota/pemkab bagi daerah khusus juga berhak atas rumah dinas.
Tapi, kesenjangan kemakmuran guru swasta dan negeri menjadi duduk perkara lain yang muncul. Di lingkungan pendidikan swasta, persoalan kesejahteraan masih sukar mencapai taraf ideal. Diberitakan Pikiran Rakyat 9 Januari 2006, sebanyak 70 persen dari 403 PTS di Jawa Barat dan Banten tidak mampu untuk menyesuaikan kemakmuran dosen sesuai dengan amanat UU Guru dan Dosen (Pikiran Rakyat 9 Januari 2006).
Bidang Biaya Pendidikan
Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang mesti dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) menciptakan masyarakat miskin tidak mempunyai pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.
Untuk masuk TK dan SDN saja dikala ini diharapkan biaya Rp 500.000, — sampai Rp 1.000.000. Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA mampu meraih Rp 1 juta hingga Rp 5 juta.
Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai selaku upaya untuk melaksanakan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang ialah organ MBS selalu disyaratkan adanya komponen pengusaha.
Asumsinya, pebisnis mempunyai akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, sehabis Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang selalu berkedok, “sesuai keputusan Komite Sekolah”. Namun, pada tingkat implementasinya, beliau tidak transparan, alasannya yang diseleksi menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah yaitu orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah cuma menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap persoalan pendidikan rakyatnya.
Kondisi ini akan lebih jelek dengan adanya RUU ihwal Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi hemat dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu Pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan aturan yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun bermetamorfosis Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS yakni beberapa acuan kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri memiliki dampak pada melambungnya ongkos pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit.
Privatisasi atau makin melemahnya tugas negara dalam sektor pelayanan publik tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan aspek pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan besar mirip pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005).
Dari APBN 2005 cuma 5,82% yang dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan dengan dana untuk membayar hutang yang menguras 25% belanja dalam APBN (www.kau.or.id). Rencana Pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah peraturan, seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) wacana Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP tentang Wajib Belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, contohnya, tampakdalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 ihwal Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau penduduk berupa tubuh aturan pendidikan.
Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Koordinator LSM Education Network for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan bermakna Pemerintah telah melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah mempunyai otonomi untuk memilih sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk memajukan dan menjaga kualitas. Akibatnya, saluran rakyat yang kurang bisa untuk menikmati pendidikan bermutu akan terbatasi dan penduduk semakin terkotak-kotak menurut status sosial, antara yang kaya dan miskin.
Hal senada dituturkan pengamat ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut ia, privatisasi pendidikan merupakan jadwal Kapitalisme global yang sudah dirancang sejak usang oleh negara-negara donor melalui Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), Pemerintah bermaksud memprivatisasi pendidikan. Semua satuan pendidikan kelak akan menjadi badan aturan pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD sampai sekolah tinggi tinggi.
Bagi masyarakat tertentu, beberapa Perguruan Tinggi Negeri yang sekarang berubah status menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) itu menjadi momok. Jika alasannya adalah bahwa pendidikan berkualitas itu mesti mahal, maka argumen ini cuma berlaku di Indonesia. Di Jerman, Prancis, Belanda, dan di beberapa negara berkembang yang lain, banyak perguruan tinggi tinggi yang berkualitas tetapi ongkos pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada yang menggratiskan ongkos pendidikan.
Pendidikan berkualitas memang mustahil murah, atau tepatnya, tidak mesti murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang semestinya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya menemukan pendidikan dan menjamin terusan penduduk bawah untuk menerima pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal kekurangan dana tidak mampu dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk ‘basuh tangan’.
KESIMPULAN
Kualitas pendidikan di Indonesia memang masih sangat minim bila di bandingkan dengan kualitas pendidikan di negara-negara lain. Hal-hal yang menjadi penyebab utamanya ialah kebijakan pendidikan di negara kita belum dapat mengembangkan atau mendongkrak kualitas mutu pendidikan.
Masalah-masalah lainya yang menjadi penyebabnya yaitu:
(1). Rendahnya fasilitas fisik,
(2). Rendahnya mutu guru,
(3). Rendahnya kesejahteraan guru,
(4). Rendahnya prestasi siswa,
(5). Rendahnya peluang pemerataan pendidikan,
(6). Rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan,
(7). Mahalnya biaya pendidikan.
Adapun penyelesaian yang dapat diberikan dari masalah di atas yaitu dibuatnya kebijakan-kebijakan pendidikan yang berhubungan dengan kondisi dan kebutuha dunia pendidikan. Adapun cara lain yakni dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan, dan memajukan mutu guru serta prestasi siswa.
DAFTAR PUSTAKA
http://forum.detik.com.
http://tyaeducationjournals.blogspot.com/2008/04/efektivitas-dan-efisiensi-anggaran.