Arsitektur Jawa Sebagai Bentuk Internalisasi Islam

I. PENDAHULUAN
Islam jawa sering dipandang sebagai islam sinkretik atau islam nominal, yang konsekuensinya islam jawa bukanlah islam dalam arti bantu-membantu. Atau “kurang islam” bahkan “tidak islam”[1] pendapat ini dibuktikan dari usulan beberapa ilmuan seperti Robert F. Hefner,[2] C.C. Berg, dan Geertz.[3]
Sementara itu Mark R Woodward menunjukkan antitesis kepada persepsi yang relatif mapan ini dengan mengatakan bahwa islam jawa bagaimanapun berakar pada tradisi dan teks suci islam itu sendiri.[4] Dalam memahami keislaman orang jawa beliau menatap penting diketahui bagaimana contoh relasi simbolik antara teks suci dan suasana historis umat islam. Islam di jawa lebih merupakan tradisi yang diejawantahkan dari korelasi teks suci, sunah Rasul, dan keadaan historis. Semua tradisi dalam islam bagaimanapun juga merupakan interpretasi teks dalam lingkup sosio historis tertentu, dan ini dipandangnya sebagai legitimasi bahwa budaya jawa yang terbukti merupakan produk dari proses inisah untuk disebut islam.
Islam ialah agama rahmatan lil alamin, rahmat bagi sekalian alam. Seorang muslim harus mampu menjadi lentera yang mampu menyinari sekitarnya. Begitu pula dengan desain Islam, desain Islam mampu dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari penduduk kita. Islam juga mengendalikan hubungan untuk saling menghormati dengan penganut agama lain dan menjamin kepentingannya.
Ketika Islam masuk ke tanah jawa dengan ditemukannya bukti-bukti asli yang dapat diandalkan kebenarannya, di situlah kita dapat menyaksikan bahwa adanya dampak antara kebudayaan jawa yang sebelumnya. Dengan kebudayaan Islam yang tiba sesudahnya. Salah satu produk dari budaya ialah arsitektur di jawa juga merupakan bab dari interpretasi teks dalam kehidupan orang jawa yang menyejarah.
Terkait dengan bidang arsitektural, desain arsitek Islam tidak cuma terbatas pada bangunan-bangunan yang bersifat religius saja, tetapi dapat pula diterapkan di bangunan-bangunan lainnya mirip akomodasi lazim. Akan namun dalam makalah ini lebih banyak dibahas wacana bangunan-bangunan yang sifatnya religius, kalaupun ada yang lain cuma sekilas pembahasannya.
II. PEMBAHASAN
A. Arti Arsitektur Islam
Secara irit, arsitektur adalah pengetahuan seni merancang (mendesain) bangunan. Adapula yang mengartikan, arsitektur ialah perkara bangkit membangun, perkara merangkai dan menegakkan bahan satu dengan bahan lain untuk melawan gravitasi yang condong menawan rebah ke tanah.
Sedangkan arsitektur Islam yakni arsitektur yang berangkat dari konsep aliran Islam. Inti dari pemikiran Islam yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadist, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa arsitektur Islam juga memiliki inti yang sama. Dalam kategori ini arsitektur Islam yang dimaksud terkait dan terikat dengan sebuah zaman atau kala tertentu atau kaum tertentu, jadi mampu dikatakan arsitektur Islam ialah kekal dan borderless atau tidak terbatas pada kawasan tertentu bagi kaum tertentu.
Arsitektur Islam selaku cerminan budaya sosial kultural ummah (penduduk Islam) yang tengah meningkat pada abad waktu dan daerah yang tertentu (selanjutnya kita sebut arsitektur budaya Islam jawa).
B. Sejarah Arsitektur Dalam Islam 
Dalam sejarah peradaban Islam, masjid di anggap selaku cikal bakal arsitektur dalam Islam, ialah dengan di bangunnya masjid Quba oleh rasulullah SAW sebagai masjid yang pertama.[5]
Masjid Quba ialah masjid yang pertama di jadikan kiblat (panutan) oleh masjid-masjid yang ada sesudahnya. Masjid Quba ini menampilkan contoh dasar arsitektur masjid yang lebih mengedepankan makna dan fungsi minimal yang mesti terpenuhi dalam sebuah bangunan masjid adalah lapangan yang luas untuk daerah berkumpul dan beribadah. Masjid Quba ini awalnya cuma terdapat lapangan terbuka, penempatan mimbar pada segi dinding ke arah kiblat dan pemasangan lantai.
Berjalannya waktu, bangunan-bangunan masjid lainnya tumbuh di banyak sekali daerah Islam sejalan dengan perkembangan wilayah Islam. Bangunan-bangunan masjid itupun mengalami penambahan menara, makam disekitar masjid, maksura, hiasan kaligrafi, interior yang indah yang menawarkan perbedaan performa fisiknya. Hal tersebut terlihat pada kubah masjid jami’ di Busra dengan model setengah bola, menara spiral di Samin, minaret masjid sultan Kait Bey, interior masjid ibnu Thoulun, termasuk bentuk atap bersirap pada bangunan masjid di jawa.
Masjid menjadi bangunan yang penting dalam sajian Islam seiring dengan tumbuhnya Islam di berbagai daerah. Masjid juga mampu dijadikan selaku fasilitas penanaman budaya Islam sehingga terjadilah konferensi dua unsure kebudayaan, yaitu kebudayaan yang dibawa penyebar Islam dengan kebudayaan penduduk sekitar. Maka terjadilah asimilasi yang ialah keterpaduan antara kecerdasan kekuatan adab yang diikuti oleh spirit Islam yang lalu memunalkan kebudayaan yang gres. 
C. Pola Internalisasi Arsitektur Islam Jawa
Internalisasi islam dalam arsitektur di jawa sesungguhnya sudah mampu dilihat semenjak awal islam masuk di jawa. Mengingat bahwa salah satu jalan masuk penyebaran islam di jawa dikerjakan lewat karya seni arsitektur, diantaranya ialah bangunan masjid.[6] Arsitektur dalam Islam ialah cerminan budaya sosial cultural ummah yang tengah meningkat di abad waktu dan tempat tertentu (budaya Islam). Ada beberapa aspek yang menghipnotis corak arsitektur budaya Islam diantaranya era kebudayaan teknologi dan iklim setempat. Islam telah mengalami banyak kurun kebudayaan. Ketika Islam baru meningkat di Arab, kebudayaan arab banyak memberikan corak dalam arsitekturnya. Kemudian saat ke kholifahannya menguasai Andalusia, corak kebudayaannya memperlihatkan warna pada arsitektur tersebut. Begitu pula dengan imbas letak geografis dan iklim pada bangunan arsitektur Islam setempat. Di Arab bangunan memakai dinding yang tebal dan bentuk yang relatif sederhana (kotak), hal ini ialah proses penyesuaian kepada iklim gurun yang memiliki perbedaan temperatur yang sungguh ekstrim antara waktu siang dan malam harinya.
Ketika Islam meningkat di tempat lain di seluruh dunia, khususnya di Indonesia, sintesa dengan budaya jawa melahirkan corak arsitektur yang berbeda (internalisasi Islam). Internalisasi Islam dalam arsitektur di jawa bantu-membantu telah dilihat sejak awal Islam masuk ke jawa. Mengingat bahwa salah satu terusan penyebaran Islam di jawa dilaksanakan lewat karya seni arsitektur di antaranya yakni bangunan masjid. Masjid di jawa biasanya dilengkapi bedug dan kentongan sebagai menerangkan masuknya waktu shalat, yang pada masanya dianggap sungguh efektif sebagai sarana komunikasi. Ciri-ciri bangunan masjid seperti itu mampu kita jumpai hampir dalam semua bangunan masjid antik di jawa, mirip dekat masjid akrab makam Kuta Gede dan Imogiri, Masjid di Giri, Masjid di Demak, dan pada umumnya masjid di jawa.
Bentuk bangunan masjid dengan model atap tingkat tiga diterjemahkan selaku lambang keislaman seorang yang ditopang oleh tiga aspek, yakni Iman, Islam, dan Ikhsan. Adapun Nur Cholis Majid mengartikan sebagai lambang tiga jenjang kemajuan penghayatan keagamaan manusia, ialah tingkat dasar atau permulaan (Purwa), tingkat menengah (Madya), dan tingkat final yang maju dan tinggi (Wusana), yang sejajar dengan jenjang vertikal islam, akidah, ihsan. Selain itu dianggap pula sejajar dengan syariat, tarakat dan makrifat.[7]
Dalam kondisi mirip ini masjid selaku bentuk arsitektur jawa islam hadir dengan sosok fisik budaya usang yang penuhdengan muatan nilai gres (islam) dan sekaligus mengukuhkan usulan G F Pijper yang mengatakan bahwa gaya tersebut ialah orisinil dari Indonesia (jawa) sementara itu, HJ. De Graf menyampaikan bahwa bentuk bangunan masjid tersebut alasannya adalah imbas gaya masjid di India dari Malabar, sedangkan WF Stutterheim berpendapat bahwa bentuk tersebut dipengaruhi oleh seni bangunan di Bali yang mirip dengan bangunan Wantilan.[8]
Akan halnya bangunan pawestren pada masjid-masjid di jawa, pawestren di masjid kudus kulon tidak berada di sebelah selatan, namun berada di sebelah utara dengan melalui gerbang kecil. Di masjid Mantingan tidak kita peroleh pawastren ini, namun jika dilihat dari bangunannya kini, masjid Mantingan ini ialah bangunan baru, walaupun bekas-bekas bangunan kunonya masih ada seperti watu kecil dengan gambar binatang yang ditempelkan di tembok dan berasal dari peralihan agama.[9] Menurut Tujimah ada kemungkinan masjid mantingan lama dahulu juga mempunyai pawestren seperti masjid giri yang memiliki pawestren yang kontek muamalah, bukan pada doktrin, pada tataran historis sosiologis, bukan pada tataran normatif. Realitas tersebut kalau dilihat dari sudut pandang arsitektur merupakan konsekuensi dari tingginya karya seni manusia muslim jawa yang terinspirasikan oleh kehalusan karya seni insan jawa dan tingginya nilai aliran agamanya (islam).
Akan namun kalaupun Islam belum masuk ke jawa, penduduk jawa telah mampu melahirkan karya seni arsitektur, baik yang dijiwai oleh nilai asli jawa ataupun yang sudah dipengaruhi oleh hindu budha. Oleh karenanya arsitektur jawa yang telah berkembang dalam konsep dan filosofi jawa tidak dapat dinafikan walaupun agama yang rahmah (Islam) ini mulai berkembang di jawa. Hal ini dimaksudkan semoga nilai-nilai ke-Islaman mampu diterima oleh masyarakat, symbol-simbol Islam hadir dalam bingkai budaya dan rancangan jawa sehingga timbul kreatifitas selaku bentuk hasil asimilasi dua budaya dan sebagai pengesahan akan eksistensi Islam dalam karya arsitektur, selaku contoh yaitu masjid kudus (masjid Al-Aqsha).
Masjid yang berdasarkan sejarah di dirikan tahun 956 H atau 1549 M dengan nama orisinil masjid Al-Aqsha yang konon Sunan Kudus (Ja’far Sodiq) pernah menjinjing kenang-ingatan dari Baitul Maqdis di palestina untuk batu pertama pendirian masjid tersebut. Bentuk masjid ini tidak akan kita jumpai kemiripannya dengan banyak sekali menara masjid di seluruh dunia, dengan demikian menaranya mendekati kualitas genius locy.
Keunikan seni masjid ini mempunyai ciri khas tersendiri contohnya:
1. Bercorak candi
Masjid ini secara besar lengan berkuasa menawarkan system, bentuk, bagian bangunan jawa hindu yaitu bercorak candi hindu majapahit. Pada penggunaan material batu bata yang dipasang tanpa perekat semen seperti selasar yang biasa disebut pradaksinapatta pada kaki menara yang sering didapatkan pada bangunan candi dll. 
2. Detail menara
Permukaan bidang menara yang nampak menjadi seni tersendiri dari penataan susunan material bata ekspos. GH Pijper dalam the Minaret in Java (India Antiqua, Leiden, 1947) mengemukakan bahwa menara tersebut mengingatkan pada menara kul-kul di Bali, jelaslah bercorak bangunan candi. Meskipun menara masjid ini tertua di jawa, namun hingga dikala ini belum ada yang mampu memberikan keterangan kapan waktu di bangunnya secara jelas.
3. Gerbang Kori Agung
Bentuk gerbang terperinci mengingatkan gerbang-gerbang bangunan hindu, yaitu sekuensialnya yang berkelok alasannya adalah terdapat aling-aling yang juga biasa terdapat pada kompleks bangunan hindu. Gerbang-gerbang itu menandai dan memberi batas makna ruang profan dan sacral. Gerbang-gerbang tersebut yaitu kori Agung dan bentar yang keduanya mirip seperti gapura di Bali sehingga gerbang tersebut diberi nama “lawang kembar”. 
4. Pancuran Wudlu Kuno
Lubang pancuran antik yang berupa kepala arca yang dipakai selaku tempat wudlu. Bentuk arcanya kadang-kadang dikaitkan dengan kepala sapi yang diberi nama “kerbau gumarang”, sebab hewan sapi dulunya di agungkan oleh orang-orang hindu di kudus, bahkan sampai sekarang mereka sudah menjadi muslim.
Selain masjid kudus, juga ditemukan bangunan masjid yang memiliki arsitektur yang berbeda pula seperti “Masjid Istri” di kampung Pengkolan. Dimana masjid ini berbentuktembok putih tanpa jendela yang dikelilingi pagar bambu.
Ada pula beraneka macam ciri arsitektur masjid jawa yang mana di sekeliling kompleks masjid juga terdapat makam. Biasanya makam yang terdapat di sekeliling masjid yaitu makam para tokoh pemuka agama Islam yang tinggal atau hidup di sekeliling masjid tersebut berada. Ada juga para keluarganya, punggawa keraton, temenggung, pangeran, dan sebagainya. Seperti halnya Masjid Kudus yang berada satu kompleks dengan makam Sunan Kudus, Begitu pula dengan Masjid Demak yang berada satu kompleks dengan makam Raden Fatah.
Makam yaitu salah satu daerah yang disakralkan, bahkan ada yang mengeramatkannya. Adapun bentuknya berlawanan, contohnya mirip : makam Fatimah binti Maimun dengan hanya ditandai watu nisan, makam para sunan yang diberi cungkup dan diberi dekorasi-hiasan dan kelambu dan ada yang di kijing. Adapun penempatan makam ada yang menyatu dengan kompleks masjid, adapula yang diposisikan di puncak bukit menyerupai bangunan pura yang di dalamnya terdapat abu pembakaran mayit yang diletakkan di kawasan tinggi pada tradisi Hindu.
Arsitektur-arsitektur yang ada di Jawa juga mencakup arsitektur dalam bidang penataan kota, yang merupakan pasca dari kerajaan Hindu Majapahit yang dipengaruhi oleh nilai setempat dan tata nilai baru yang dibawa Islam.
Pola pengaturan bangunan dengan menempatkan posisi keraton, masjid, pasar dan penjara dalam satu komunitas bangunan yang berpusat pada alun-alun. Dimana desain tata ruang kota tersebut berlandaskan pada filosofi jiwa yang muatan isinya menggunakan desain Islam. Pusat pemerintahannya berada di sentra kota yang terdapat alun-alun di depannya, masjid sebelah baratnya, penjara dan pasar di sekitarnya.
III. KESIMPULAN 
Arsitektur di Jawa ialah cerminan dari budaya Jawa pra Islam yang kemudian diinternalisasikan dalam budaya-budaya Islam tanpa meninggalkan nilai-nilai orisinil Jawa sebelumnya. Hal ini dimaksudkan agar Islam dapat diterima dengan baik oleh penduduk Jawa. Dari bentuk-bentuk arsitektur tersebut, kita mampu mendeskripsikan bahwa arsitektur di Jawa mencakup bentuk bangunan masjid yang dipadukan dengan budaya penduduk setempat, juga pada bentuk tatanan kota yang keraton sebagai sentra pemerintahan diposisikan di tengah, yang diikuti alun-alun dan serta penjara yang berada di sekelilingnya.
Berangkat dari hal tersebut maka pada saat kini dengan tidak meminimalkan pelestarian nilai-nilai budaya pada arsitektur jawa islam kuno kita masih bisa dan terus melakukan taktik pengembangan islam dengan melaksanakan pemaduan dengan perkembangan teknologi arsitektur sepanjang masih fungsional, mengsimbolkan tugas islam dan tidak berbicara dalam tataran kepercayaan dan pasti ini tidak hanya berlaku untuk perkara di jawa saja.
IV. PENUTUP
Demikianlah makalah yang mampu kami sampaikan semoga mampu berguna, kami sadar dalam penyusunan makalah ini masih banyak kelemahan. Oleh karena itu, kami sangat menghendaki kritik dan anjuran demi kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
  • Hendro Prasetyo, Mengislamkan Orang Jawa, Antropologi Baru Islam Indonesia, dalam Jurnal ISLAMIKA No 3 Januari-Maret 1994.
  • Robert W. Hefner, Hindu Javanese: Tengger Tradition and Islam, Princeton Press, Princeton, 1985.
  • Drs. Abdul Rochym, Sejarah Arsitektur Islam, Angkasa: Bandung, 1983.
  • Marwati Djoened P. dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia III, Balai Pustaka: Jakarta, 1984.
  • Budhy Munawar Rahman, Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, yayasan Wakaf Paramadina, Jakarta.
  • andrasasmita, Uka Dr H. Kota-Kota Muslim di Indonesia, Menara Kudus, Kudus, 2000.
  • Sofwan, Fidin, Drs.dkk. Merumuskan Kembali Interelasi Islam-Jawa, Semarang: Gema Media, 2004.
  • Jamil, Abdul H. dkk. Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Gema Media, 2000. 
  • Arismunandar, Agoes, Arsitektur, Jakarta: PT Widyadara, 2002.
  • Wiryomartono, A Bagoes P. Seni Bangunan dan Seni Binakota di Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1995
  Dinamika Islam Dan Budaya Jawa Dalam Menghadapi Modernitas