Pendidikan Islam Di Jawa Pada Kurun Kolonial

I. PENDAHULUAN
Pendidikan Islam mempunyai sejarah yang panjang. Tidak dapat dipungkiri bahwa Islam merupakan bagian penting yang turut membentuk dan mewarnai corak kehidupan penduduk Indonesia.
Keberhasilan Islam menembus dan mensugesti kehidupan masyarakat Indonesia serta menimbulkan dirinya selaku agama utama bangsa ini ialah prestasi luar biasa. Hal ini terutama jika dilihat dari segi letak geografis dimana jarak Indonesia dengan negara Jazirah Arab cukup jauh. Apalagi bila dilihat sejak dimulainya proses penyebaran Islam itu sendiri di kepulauan Nusantara ini, belum terdapat suatu metode atau organisasi dakwah yang dianggap cukup mapan dan efektif untuk memperkenalkan Islam kepada penduduk luas.
Dari segi sejarahnya, pendidikan Islam sudah dikenal semenjak kehadiran Islam itu sendiri ke Indonesia. Pendidikan ini memakai tata cara sorogan atau perorangan dan berjalan secara sangat sederhana serta tidak mengenal strata atau tingkatan seperti pada pendidikan langgar dan pesantren dan lalu meningkat dengan tata cara kelas mirip pada pendidikan madrasah.
II. PERMASALAHAN
A. Pendidikan Islam Pada Masa Orde Lama
B. Pendidikan Islam di Jawa sebelum Tahun 1900
C. Pergeseran Nilai dalam Kehidupan Sosial Budaya dan Pendidikan
D. Pengembangan Pendidikan Islam
III. PEMBAHASAN
A. Pendidikan Islam Pada Masa Orde Lama
Pada era Orde Lama atau sesudah kemerdekaan Negara Indonesia, adalah pada tahun 1945 – 1965, penyelenggaraan pendidikan agama mendapat perhatian serius dari pemerintah, baik di sekolah negeri maupun swasta. Usaha itu dimulai dengan menunjukkan pemberian kepada lembaga yang dianjurkan oleh Badan Pekerja Komite Nasional Pusat (BPKNP) yaitu pada tanggal 27 Desember 1945 yang menyebutkan bahwa “Madrasah dan pesantren pada hakikatnya ialah satu alat atau sumber pendidikan dan pencerdasan rakyat jelata yang telah berurat akar dalam masyarakat Indonesia biasanya, hendaklah pula mendapat perhatian dan pemberian faktual berbentuktuntunan dan pemberian material dari pemerintah.”[1]
Kenyataan yang demikian timbul sebab kesadaran umat Islam yang dalam sehabis sekian lama mereka terpengaruh di bawah kekuasaan penjajah, alasannya pada zaman penjajahan Belanda pintu masuk pendidikan terbaru bagi umat Islam terbuka secara sempit. Dua hal yang menjadi penyebabnya ialah :
1. Sikap dan kebijaksanaan pemerintah kolonial yang amat diskriminatif kepada kaum muslimin.
2. Politik non aktif para ulama terhadap Belanda yang menfatwakan bahwa ikut serta dalam budaya Belanda tergolong pendidikan modernnya ialah sebuah bentuk penyelewengan agama.
Kaum muslimin Indonesia sangat tercecer dalam sisi intelektualitas ketimbang kalangan lain. Namun keadaan berganti secara radikal setelah kemerdekaan Indonesia tercapai – akan merupakan ganjaran untuk para pendekar nasional sepanjang sejarah yang umumnya berisikan para ulama atau yang dijiwai oleh keislaman itu, kemerdekaan membuahkan sesuatu yang luar biasa besar manfaatnya bagi kaum muslimin, utamanya di bidang pendidikan terbaru.
Dasar negara yang sudah disepakati bareng saat mendirikan negara adalah Pancasila yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 dan merupakan kesatuan yang tak terpisahkan dengan Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945. Pancasila dan UUD 1945 inilah yang lalu dijadikan pangkal tolak pengelolaan negara dalam membangun bangsa Indonesia tersebut. Tujuan Nasional bangsa Indonesia ialah mirip yang dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945, yang berbunyi :
“Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk meningkatkan kesejahteraan biasa , mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian kekal dan keadilan sosial.”
Sesuai dengan Pancasila, adalah sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa”, dengan demikian bermakna bahwa kehidupan beragama di Indonesia secara konstitusional dijamin keberadaannya mirip termaktub pada pasal 29 UUD 1945, ialah:
“Negara menurut atas Ketuhanan YME. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap masyarakatuntuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
Menteri Pendidikan Pengajar dan Kebudayaan pertama, Ki Hajar Dewantara mengeluarkan kode lazim yang isinya menyuruh kepada semua kepala-kepala sekolah dan guru-guru, ialah:
1. Mengibarkan sang Merah Putih tiap hari di halaman sekolah
2. Menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya
3. Menghentikan pengibaran bendera Jepang dan menghapuskan nyanyian Kimigayo lagu kebangsaan Jepang
4. Menghapuskan pelajaran bahasa Jepang serta segala upacara yang berasal dari pemerintahan bala prajurit Jepang
5. Memberi semangat kebangsaan terhadap semua murid-murid
Pada abad Orde Lama, berbagai insiden dialami oleh Bangsa Indonesia dalam dunia pendidikan, ialah :
a. Dari tahun 1945 – 1950 landasan idiil pendidikan ialah UUD 1945 dan falsafah Pancasila.
b. Pada awal tahun 1949 dengan terbentuknya Negara RIS di negara bagian Timur dianut sebuah sistem pendidikan yang diwarisi dari zaman pemerintahan Belanda.
c. Pada tanggal 17 Agustus 1950 dengan terbentuknya kembali negara kesatuan RI, landasan idiil pendidikan UUDS RI.
d. Pada tahun 1959, Presiden mendekritkan RI kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 dan menetapkan pendidikan ditetapkan Sapta Usaha Tama dan Panca Wardhama.
e. Pada tahun 1965, sehabis peristiwa G 30 S/PKI, kita kembali lagi melakukan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen.[2]
B. Pendidikan Islam di Jawa sebelum Tahun 1900
Sebagaimana diterangkan bahwa pendidikan Islam di Jawa pada jaman penjajahan Belanda, kian lama bertambah mundur juga selaku balasan penjajahan itu. Kemunduran itu hingga ke puncaknya sebelum tahun 1900 M. Bukan saja di Jawa bahkan seluruh kepulauan Indonesia. Tingkatan pelajaran pada kurun itu juga sama mirip di Sumatera, adalah : 
o Pengajian Al-Qur’an
Sistem dan cara pengajian mirip ini, baik di Jawa maupun di seluruh kepulauan Indonesia sama juga keadaannya dengan di Sumatera sebagai balasan penjajahan Belanda atas seluruh kepulauan Indonesia. Yang berlainan cuma nama kitab saja, contohnya kitab Alif, Ba’ , Ta dan Juz Amma. Di Jawa namanya kitab Turutan, mampu jadi nama tersebut alasannya adalah cara mengajarkan kitab itu adalah semata-mata berdasarkan kata guru saja.
Guru berkata “Alif”, murid juga berkata “Alif”
Guru berkata “Ba”, murid juga berkata “Ba”
Guru berkata “Ta”, murid juga berkata “Ta”
Dan begitulah seterusnya seperti diterangkan tentang kondisi pengajian Al-Qur’an di Sumatera. Hal itu sama saja di seluruh kepulauan Indonesia. Selain itu Kitab Perukunan dipelajari juga sebagaimana di tempat-tempat lain. Begitu pula barzanji, qasidah, lagu-lagu Arab dan sebagainya.
o Pengajian Kitab
Pengajian kitab di Jawa dan seluruh Indonesia pun sama juga keadaannya dengan di Sumatera. Pelajaran itu dimulai dengan memanfaatkan kitab Al-‘Awanil dan Al-Kalamu, setelah itu kitab fiqih (Al Minhaj) dan tafsir Jalalain, persis mirip kondisi di Sumatera. Cara mengajarnya yaitu dengan menerjemahkan kata demi kata ke dalam bahasa daerah kemudian mengambarkan maksudnya.
Pendeknya keadaan pendidikan Islam di seluruh Indonesia sebelum tahun 1900 itu sama saja, yakni kemunduran pendidikan Islam selaku akhir penjajahan Belanda.
Cara pelajaran agama seperti itu tentunya ada pada sebelum masa pergantian sebelum tahun 1900, namun pada kurun perubahan di Jawa mulai dari tahun 1900 M, ialah sejak Kyai Haji Hasyim Asy’ari mulai mengajar pada tahun 1319 H (1902 M). Beliaulah yang membawa pergantian baru dalam pendidikan Islam dari Mekkah dengan membuka Pesantren Tebu Ireng di Jombang yang amat masyhur hingga kini. Dari situlah timbul banyak sekali pondok pesantren di Jawa.
Sedangkan pondok pesantren itu sendiri adalah daerah santri-santri atau murid-murid yang mencar ilmu ilmu agama Islam. Pondok yaitu tempat penginapan mereka seperti asrama periode kini. Menurut riwayat, yang mula-mula mengadakan pondok pesantren itu ialah Maulana Malik Ibrahim. Di pondok pesantren inilah beliau mendidik guru-guru agama dan mubaligh-mubaligh Islam yang memberitakan agama Islam ke seluruh pulau Jawa.
Biasanya pesantren itu terdiri dari sekumpulan pondok (surau kecil-kecil) yang terletak erat suatu masjid. Pondok-pondok itu diresmikan dengan uang wakaf atau sedekah yang diberikan oleh orang-orang yang mampu, bahkan ada juga dengan kemauan dan ongkos sendiri dari santri-santri yang datang berguru ke sana. Murid-murid tinggal di pondok pesantren itu bahu-membahu selaku suatu keluarga di bawah pimpinan gurunya. Mereka belajar sendiri-sendiri dan menyuruh hal ihwalnya sendiri.[3] 
C. Pergeseran Nilai dalam Kehidupan Sosial Budaya dan Pendidikan
Bagian kedua dari abad 20 ini masyarakat di sebagian besar permukaan bumi ini terguncang dan terangsang oleh kemajuan ajaran dan penalarana insan-manusia jenius dalam aneka macam bidang keilmuan terutama yang paling memiliki dampak besar yaitu kemajuan dalam ilmu dan teknologi.
Pemikiran dan akal budi (reasoning) mereka makin maju berkat ketabahan dan keuletan dalam menggali, meneliti dan menganalisa serta mensistesakan aneka macam fakta dan fenomena alamiah yang digelarkan oleh Tuhan Yang Maha Esa dalam jagad raya beserta kekayaan alaminya. Semua itu intinya yakni untuk memajukan kemakmuran hidup umat insan di wajah bumi dengan banyak sekali kemudahan. Bersama dengan tahap kemajuan di bidang IPTEK itu timbul pula kecenderungan-kecenderungan hidup insan untuk mengadakan pergeseran sosial dan kultural yang dirasa kurang memperlancar pemenuhan keperluan hidup yang kian meningkat. Namun dampak-imbas sampingan yang bersifat negatif kurang atau tidak diperhitungkan oleh para ilmuwan tersebut. Dampak sampingan yang negatif kepada sikap dan persepsi serta orientasi hidup insan menjinjing pergeseran, lambat atau cepat, menuju ke arah acuan-contoh kehidupan yang kian jauh dari nilai-nilai mental spiritual dan nilai-nilai adat religius serta nilai-nilai tradisional – kultural yang bersifat idealistis.
Prinsipnya yang paling mendasar adalah antara kesenjangan hidup berkat efek-pengaruh pertumbuhan iptek modem ketika ini dengan tuntutan kebutuhan hidup terbaru harus dijembatani atau dipersempit rantangnya dengan keimanan dan katakwaan yang mendasari kakuatan sikap mental dan susila sikap lahiriyah secara perorangan sebagai anggota penduduk . Keimanan dan ketakwaan selaku dasar kekuatan mental dan budpekerti eksklusif tersebut akan menjadi daya tangkal penduduk kepada segenap bentuk dorongan intiltrasi dari pengaruh negatif kamajuan iptek terbaru yang kian canggih.
Kehidupan yang ideal pada masa sekarang dan yang akan tiba adalah bila kekuatan doktrin dan takwa dalam pribadi dan masyarakatnya mampu menjadi pengendali, penyelaras dan penyaring segala bagian pertumbuhan kultural dari luar yang memang secara intrinsik bersifat menghancurkan mental dan budpekerti masyarakat di satu segi, sedang disisi lain ia bisa mengarahkan proses akulturasi dan alih teknologi modern dan sesuai dengan kemanfaatanya sebagai kemajuan hidup penduduk kita.
Dapat dilihat dari sisi pandang agama semawi, utamanya islam, umat insan yang dibudayakan melalui pedoman agama yang sarat dengan nilai-nilai etnik dan budpekerti, perubahan sosial beserta nilai-nilainya adalah merupakan misi sentralnya agama. Agama yang diwahyukan oleh Tuhan terhadap utusannya yakni untuk merubah pandangan sikap hidup manusia yang telah menyimpang dari garis-garis normatif dan iman yang bersumber keimanan kepada ke Esaan Tuhan, yang kian berpaham paganistik dan politeistis serta animistis dan sebagainya menjadi insan yang berpandang monoteisme, moralisme, dan humanisme berketuhanan Esa.
Makara masalah terjadinya pergeseran sosial pendidikan di dalam masyrakat itu pada hakikatnya adlah hasratTuhan. Oleh kerena itu pergeseran nasib hidup yang idealistis berdasarkan tuntunan Tuhan sungguh didorong oleh Nya sepanjang masa utamanya perubahan yang didorong oleh semangat koreksi dan instropeksi kepada dirinya sendiri.[4] 
D. Pengembangan Pendidikan Islam
Dalam duduk perkara ini sebetulnya pengembangan aktifis kependidikan Islam di Indonesia intinya sudah berjalan semenjak sebelum Indonesia merdeka sampai sekarang dan hingga yang hendak datang. Hal ini dapat dilihat dari fenomena tumbuh kembangnya acara dan praktek pendidikan Islam yang dilakukan di nusantara. Buchori (1989) memetakan struktur internal pendidikan islam di Indonesia, kalau dilihat dari faktor acara dan praktek pendidikan itu ada 4 (empat) jenis yaitu:
a. Pondok Pesantren
b. Pendidikan Madrasah
c. Pendidikan Umum yang bernafaskan Islam
d. Pelajaran agama Islam yang diselenggarakan di lembaga-forum pendidikan lazim selaku sebuah mata pelajaran atau mata kuliah saja.
Dan penulis menambahkan satu lagi yakni: Pendidikan Islam di keluarga atau di tempat-daerah ibadah, dan / atau diforum-lembaga kajian keislaman, majelis Ta’lim, dan institusi yang lain yang kini digalakkan oleh penduduk . Jenis yang kelima tersebut bisa disebut pendidikan Islam luar sekolah (non formal).
Kelima jenis pendidikan Islam tersebut pada dasarnya bermuara pada satu pemahaman yang utuh, bahwa yang dimaksud pendidikan Islam adalah: pendidikan yang diselenggarakan atas dasar hasrat, motivasi, niat. (rencana yang betul-betul ) dan semangat untuk memanifestasikan atau mengejawantahkan nilai-nilai islam, yang diwujudkan dalam wisi, misi, tujuan maupun program pendidikan.
Dalam perjalanan sejarahnya. Pengembangan kelima jenis pendidikan Islam tersebut ternyata telah menjadi ihwal yang serius dikalangan tokoh pendidikan islam semenjak sebelum indonesia merdeka, khususnya semenjak permulaan periode 20 sampai menjelang masa kemerdekaannya (1945).
Menurut Asyumi, pendidikan islam di Indonesia, khususnya itu pada masa sebelum Indonesia merdeka (1900 menjelang 1945) pada era tersebut diduga muncul aneka macam dilema dan berita-berita yang menonjol.
1. Format Pengembangan pendidikan sebelum Indonesia merdeka
Pada permulaan periode 20 M, pendidikan di indonesia terpecah menjadi dua golongan, yakni: (1) pendidikan yang diberikan oleh sekolah-sekolah barat yang tidak memedulikan aliran agama, (2) Pendidikan yang diberikan oleh pondok pesantren yang hanya mengenal agama saja.[5]
Hasil observasi Steanbring (1986) memberikan bahwa pendidikan kolonial sungguh berlainan dengan pendidikan islam di indonesia yang tradisional. Pendidikan yang dikontrol oleh pemerintah kolonial terutama berpusat pada wawasan dan ketrampilan duniawi yakni pendidikan lazim. Sedangkan pendidikan islam lebih ditekankan pada wawasan dan ketrampilan berguna bagi agama. Wirjosukarto (1985) pada periode ini terdapat 2 corak pendidikan adalah: (a) Corak lama berpusat di pondok, (b) corak baru dari sekolah tinggi (sekolah-sekolah). Dan ciri-ciri corak lama yakni (1) mempersiapkan calon kyai atau ulama’ yang cuma menguasai agama, (2) kurang diberikan wawasan, (3) Sikap isolasi yang disebabkan alasannya sikap non koprasi. Sedangkan ciri-ciri corak baru: (1) Hanya menonjolkan intelek, (2) Pada lazimnya bersikap negatif kepada agama, (3) alam pikirannya terasing dari kehidupan bangsanya.
Dengan terpecahnya dunia pendidikan menjadi dua corak yang berbeda, pastinya tidak akan menguntungkan kemajuan penduduk Indonesia yang hendak datang bahkan merugikan penduduk muslim sendiri. Karena itu, perbedaan tersebut perlu dihilangkan atau setidaknya dikurangi supaya tidak tajam dengan jalan (1) mendirikan daerah-kawasan pendidikan yang dimana ilmu agama dan ilmu pengetahuan umum di ajarkan bersama-sama, (2) menyertakan pelengkap pelajaran agama pada sekolah-sekolah lazim yang sekuler.
2. Model-model pengembangan pendidikan Islam
Uraian terdahulu menggaris bawahi adanya tiga versi pendidikan yakni: versi pendidikan pondok pesantren, model kolonial dan versi sintesis, kajian berikut berupaya memahami lebih jauh terhadap corak pendidikan yang pertama (pendidikan pondok pesantren) dan pendidikan ketiga (sintesis) sedangkan corak pendidikan kedua tidak banyak menjadi perhatian dalam kajian ini alasannya adalah beliau tidak pendidikan islam.
Hasil kajian Wirjosukarto (1985) bahwa tujuan utama pendidikan pondok pesantren ialah mempersiapkan kandidat lulusan yang cuma menguasai persoalan agama semata.
Pada tingkat awal isi pendidikan islam mencakup (1) belajar membaca Al-Qur’an dan belum dirasakan perlunya memahami isinya, (2) pelajaran dan praktek shalat, (3) pelajaran ketuhanan (teologis) atau ketauhidan yang pada garis besarnya berpusat pada sifat dua puluh. Bagi mereka yang ingin mendalami agamanya diberikan pelajaran bahasa Arab, ushul dan fiqih yang pada umumnya ditulis dalam bahasa arab.
Menurut Mahmud Yunus (1979) bahwa isi pendidikan islam pada pondok pesantren utamanya pada kurun pergantian (1900-1908) meliputi: (1) pengajian al-qur’an, (2) Pengajian kitab yang terdiri atas beberapa tingkat yakni:
a. Mengaji nahwu sharaf dan fiqh dengan menggunakan kitab al-jurmiyah
b. Mengaji tauhid, nahwu sharaf dengan menggunakan kitab kitab sanusi
c. Mengaji tauhid, nahwu sharaf, fiqh dan yang lain dengan menggunakan kifayatul awam (ummul barahin)
Sedangkan pendidikan sinstesis muncul bersamanya dengan madrasah-madrasah yang elegan yang timbul sejak tahun 1909. hasil observasi mahmud yunus menunjukkan bahwa pendidikan islam yang mula-mula mewah , ialah sekolah madrasah adabiya (adabiyah scool) di padang, madrasah ini yang pertama kali diminang kabau, bahkan di seluruh indonesia yang diresmikan syekh Abdul Ahmad pada tahun 1909 madrasah ini hingga 1914 lalu diubah menjadi HIS Adabiyah tahun 1915, yang pertama di Minangkabau.
Menurut Steanbriuk, sekolah adabiyah mula-mula diresmikan di Padang Panjang (1907) tetapi belum genap setahun sekolah ini ditutup dan dipindahkan di Padang. Sebab kegagalannya karena letaknya kurang menguntungkan untuk penjualkain dan untuk menerbitkan koran dan kemudahan yang anggun juga terdapat di Padang dan di Padang Panjang juga ada perlawanan terhadap pendirian sekolah tersebut.
Steanbriuk (1986) menggambarkan masa awal kurun 20 itu selaku kurun kebangkitan, pembaharuan bahkan pencerahan pendidikan di Indonesia. Diantara aspek pendorongnya yakni: beberapa orang Indonesia yang mempelajari islam di Malaysia, Hindia, atau Mesir. Hal ini yang membedakan HIS yang diselenggarakan oleh Belanda dengan HIS yang diselenggarakan oleh Abdullah Ahmad, terletak pada ajarannya pelajaran agama, al-qur’an sebagai pelajaran wajib.
Menurut Stoddard (1966) bahwa lembaga Pendidikan HIS adabiyah merupakan Strarting point (babak gres) pendidikan yang mensugesti berdirinya forum pendidikan Islam modern yang tidak terbatas pada tingkat sekolah dasar, namun juga tingkat sekolah menengah pertama dan menengah atas hingga tingkat tinggi dengan berbagai nama.
Hasil penelitian Wirjosukarto (1985) wacana pondok Muhammadiyah yang bangkit sekitar tahun (1920) telah menggunakan tata cara penyelenggaraan pendidikan modern yang berbeda dengan pondok pesantren yang usang, perbedaan itu dapat dilihat dari beberapa faktor, ialah:
a. Cara mengajar dan belajar untuk pesantren lama dengan sistem sorogan sedangkan pondok Muhammadiyah sistem Hasikan dengan cara-cara gres.
b. Bahan pelajaran pesantren lama hanya problem agama sedangkan pondok Muhammadiyah tetap agama tetapi juga diajarkan ilmu wawasan biasa
c. Rencana pelajarannya pesantren lama belum ada planning pelajaran yang terencana sedangkan pondok Muhammadiyah sudah diatur dengan planning pelajaran sehingga efisien berguru terjamin.
Disamping itu terdapat tokoh yang berperan dalam pembaharuan pendidikan islam di Jawa ialah K.H. Hasyim Asy’ari yang sudah memperkenalkan pada pendidikan madrasah di lingkungan pesantren tebu ireng jombang jawa timur. Pesantren ini didirikan pada tahun 1899 yang pengajarannya yang lebih menonjol pada ilmu agam dan bahasa arab dengan metode sorogan dan bandongan. Pada tahun 1919 pesantren ini menjalani pembaharuan terutama dari metode pengajarannya yang semula dengan metode sorogan dan bandongan ditingkatkan dengan memakai metode klasikal, yang populer dengan metode Madrasah. Dengan demikian madrasah ialah sub-sistem dari sistem pendidikan pesantren tebu ireng.[6]
IV. KESIMPULAN

Dari uraian di atas dapat disimpulkan prinsip-prinsip umum pendidikan islam, tujuan pendidikan islam yang dilakukan Nabi di Makkah, prototype. Yang bertujuan untuk membina langsung muslim biar menjadi kader yang berjiwa kuat dan disediakan menjadi masyarakat islam.
Dari penjelasan di atas dapatlah dikemukakan beberapa prinsip yang terkandung dalam tujuan pendidikan islam diantaranya:
a. Universal (menyeluruh). Ajaran Islam yang menjadi dasar pendidikan Islam itu bersifat menyeluruh dalam pandangannya terhadap agama.
b. Keseimbangan dan sederhana pendidikan dalam prinsip ini memiliki arti mewujudkan keseimbangan antara aspek-aspek.
c. Kejelasan. Prinsip ini menawarkan jawaban yang terang dan tegas pada jiwa dan akal dalam memecahkan persoalan; tantangan dan prinsip.
d. Realisme dan realisasi. Kedua prinsip ini berupaya mencapai tujuan melalui tata cara yang simpel dan realistis.
e. Prinsip dinamisme. Pendidikan islam tidak beku dalam tujuan, kurikulum, dan metode-metodenya tetapi selalu memperbarui dan berkembang.[7]
V. PENUTUP
Demikianlah makalah yang mampu saya paparkan, kurang lebihnya mohon ma’af yang sebesar-besarnya. Kritik dan rekomendasi sangat saya harapkan demi kesempurnaan makalah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Drs. Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1996. 
H. Nata, Abudin, M.A, (ed), Sejarah Pendidikan Islam. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004. 
Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam, Nusantara, Bandung, 2003. 
Arifin, M, Kapita Selekta Pendidikan, Bumi Angksara, Jakarta 1991. 
Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Mutiara Sumber Widya, Jakarta, 1996. 
[1] Drs. Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1996, hlm. 71. 
[2] Ibid, hlm. 76. 
[3] Prof. H. Mahmoud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Mutiara Sumber Widya, Jakarta, 1996, hlm. 231. 
[4] Prof. H. M. Arifin, M. Ed, Kapita Selekta Pendidikan, Bumi Angksara, Jakarta 1991, Hal. 60
[5] Drs. H. Muhaimin, M.A, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam, Nusantara, Bandung, 2003, hlm. 14.
[6] Ibid, hlm. 23.
[7] Prof. Dr. H. Abudinnata, M.A, (ed), Sejarah Pendidikan Islam. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm. 14.