Sistematika Dan Pertumbuhan Peraturan Wakaf Di Indonesia

 Sistematika dan Perkembangan Peraturan Wakaf di Indonesia

Pengaturan wakaf di Indonesia sebelum kedatangan kaum penjajah dikerjakan menurut fatwa Islam yang bersumber dari kitab fikih bermazhab syafi’i. Oleh alasannya duduk perkara wakaf ini sungguh erat kaitannya dengan dilema sosial dan budpekerti di Indonesia, maka pelaksanaan wakaf itu disesuaikan dengan hukum adab yang berlaku di Indonesia, dengan tidak meminimalkan nilai-nilai ajaran Islam yang terdapat dalam wakaf itu sendiri.

Peraturan ihwal wakaf yang bertujuan untuk mengontrol dan mengawasi tanah wakaf telah banyak dikeluarkan semenjak zaman pemerintah Kolonial Hindia Belanda, pemerintah zaman kemerdekaan hingga terbitnya perundang-undangan yang mengatur ihwal perwakafan, antara lain Undang-undang No. 5 Tahun 1960 (UUPA), Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 perihal Perwakafan Tanah Milik jo. PMDN No. 6 Tahun 1977 dan PMA No, 1 Tahun 1978, dan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 wacana Kompilasi Hukum Islam.

1.     Peraturan Wakaf Zaman Kolonial Hindia Belanda 

Pada zaman Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda telah dikeluarkan peraturan-peraturan, yaitu: 
a. Surat Edaran Sekretaris Gubernemen Pertama tanggal 31 Januari 1905 No. 435 sebagaimana termuat dalam Bijblad 1905 Nomor 6196 perihal Toezict opden bouw van Mohammedaansche bedenhuizen. Surat edaran ini ditujukan kepada para kepala wilayah mengharuskan para Bupati menciptakan daftar rumah-rumah ibadat bagi orang Islam. Dalam daftar itu mesti diangkut asal-ajakan tiap rumah ibadat digunakan shalat jum’at atau tidak, informasi perihal segala benda yang tidak bergerak yang oleh pemiliknya ditarik dari peredaran biasa , baik dengan nama wakaf atau dengan nama lain. 
b.  Surat Edaran Sekretari Gubernemen tanggal 04 Juni 1931 Nomor 1361/A termuat dalam Bijblad No. 125/3 tahun 1931 perihal Toezict van de Regering op Mohammedaansche bedehuizen Vrijdagdiensten en Wakafs. Surat edaran ini ialah kelanjutan dan pergeseran dari Bijblad No. 6196, yakni tentang pengawasan Pemerintah atas rumah-rumah peribadatan orang Islam, sembahyang jum’at dan wakaf. Untuk mewakafkan tanah tetap mesti ada izin Bupati, yang menganggap permohonan itu dari segi daerah wakaf dan maksud pendirian. 
c.  Surat Edaran Sekretari Gubernemen tanggal 24 Desember 1934 Nomor 3088/A termuat dalam Bijblad No. 13390 tahun 1934 perihal Toezict de Regering op Mohammedaansche bedehuizen Vrijdagdiensten en Wakafs. Surat edaran ini mempertegas SE sebelumnya. Di dalamnya antara lain disebutkan seandainya dalam menyelenggarakan shalat jum’at terdapat sengketa dalam penduduk Islam, Bupati boleh memimpin usaha mencari solusi asalkan dimintakan oleh pihak-pihak yang bersangkutan. 
d. Surat Edaran Sekretari Gubernemen tanggal 27 Mei 1935 Nomor 1273/A termuat dalam Bijblad No. 13480 tahun 1935 perihal Toezict van de Regering op Mohammedaansche bedehuizen Vrijdagdiensten en Wakafs. Dalam surat edaran ini antara lain diputuskan bahwa Bijblad No. 61696 mengharapkan pendaftaran tanah wakaf yang dapat mengemban amanah. Maksud untuk mewakafkan tetap harus diberitahukan kepada Bupati semoga beliau menerima kesempatan untuk mendaftarkan wakaf tersebut dan meneliti apakah ada peraturan biasa atau peraturan setempat yang melanggar dalam pelaksanaan maksud itu.

2.      Peraturan Wakaf Zaman Kemerdekaan 

Pada zaman kemerdekaan telah dikeluarkan pula beberapa ketentuan wacana wakaf ini, baik penunjukkan instansi yang mengurusnya dan juga teknis pengurusannya. Antara lain mampu kita lihat dari ketentuan-ketentuan di bawah ini: 
a.  Departemen Agama lahir pada tanggal 03 Januari 1946. Dalam PP. No. 33 Tahun 1949 jo. No. 8 Tahun 1950 disebutkan bahwa peran pokok atau lapangan peran pekerjaan Kementrian Agama RI adalah di antaranya: menyelidiki, menentukan, mendaftar, dan mengawasi pemeliharaan wakaf-wakaf. 
b.     Dalam Peraturan Menteri Agama RI No. 2 Tahun 1958 wacana lapangan peran, susunan, dan Pimpinan Kementrian Agama RI, disebutkan bahwa lapangan tugas kementrian Agama RI yakni: Menyelidiki, memilih, mendaftar, dan mengawasi wakaf-wakaf umum, dan wakaf masjid, dan bahu-membahu dengan Kementrian Agraria dan Dalam Negeri mengatur soal-soal yang bersangkut-paut dengan perwakafan. 
c.     Dalam Peraturan Menteri Agama No. 3 Tahun 1958 disebutkan bahwa lapangan peran Jawatan Urusan Agama (JAURA) yaitu salah satu jawatan dalam Departemen Agama meliputi: Menyelidiki, memilih, mendaftar, dan mengawasi wakaf-wakaf biasa , dan wakaf masjid, dan bersama-sama dengan Kementrian Dalam Negeri menertibkan soal-soal yang bersangkut-paut dengan perwakafan. 
d. Menurut Keputusan Menteri Agama No. 114 Tahun 1969 jo. No. 18 Tahun 1975 disebutkan bahwa di Tingkat Pusat pengurusan wakaf ini termasuk dalam wewenang Direktorat Urusan Agama (DITURA) Sub Direktorat Zakat, Wakaf, dan Ibadah Sosial (Zawaib). Di Tingkat Provinsi/tingkat kawasan tergolong tugas bidang Urusan Agama Islam seksi Zakat, Wakat, dan Ibadah Sosial. Di tingkat Kabupaten menjadi peran wewenang Seksi Urusan Agama Islam dan kesudahannya di tingkat Kecamatan menjadi tugas dan wewenang Kantor Urusan Agama Kecamatan. Berdasarkan ketentuan terakhir, bahwa Kepala KUA Kecamatan ditunjuk selaku PPAIW memiliki peran dan wewenang untuk pengesahan nażir. 
e. Untuk melaksanakan tugasnya di bidang perwakafan ini, Departemen Agama RI telah mengeluarkan aneka macam peraturan dan isyarat yang berhubungan dengan wakaf, antara lain: (1) Surat JAURA No. 3/D/1956 tanggal 08 Oktober 1956, (2) Surat Edaran JAURA No. 5/D/1956, dan (3) Instruksi JAURA No. 6 Tahun 1961 tanggal 31 Oktober 1961.
f.  Tata cara mewakafkan tanag yang berlaku sebelum berlakunya PP. No. 28 Tahun 1977, antara lain dapat dilihat dari bentuk blanko wakaf yang disebut “Surat Pernyataan Wakif” (SPW, model D.2 1960), “Peta Tanah Wakif” (PTW), dan “Surat Pernyataan Nazir” (SPN, model D.3 1960).

3.     UU No. 5 Tahun 1960.
Dalam Undang-undang Pokok Agraria, duduk perkara wakaf dapat dimengerti pada pasal 5, pasal 14 ayat  (1), dan pasal 49 yang menampung rumusan-rumusan sebagai berikut:

a. Pasal 5 UUPA menyatakan bahwa Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air, dan ruang angkasa adalah hukum adab, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara,egala sesuatu dengan mengindahkan bagian yang berstandar pada hukum agama. Dalam rumusan pasal ini, jelaslah bahwa hukum adatlah yang menjadi dasar aturan agraria Indonesia, adalah aturan Indonesia orisinil yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-ajakan RI yang di sana-sini mengandung unsur agama yang telah diresipir dalam lembaga hukum adat terutama forum wakaf. 
b. Pasal 14 ayat (1) menyatakan bahwa pemerintah dalam rangka sosialisme Indonesia, menciptakan sebuah planning biasa mengenai peruntukan dan penggunaan bumi, air, dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk kebutuhan Negara, untuk kebutuhan peribadatan, dan keperluan-kebutuhan suci lainnya, sesuai dengan Ketuhanan Yang Maha Esa dan seterusnya. Dalam rumusan UUPA pasal 14 ini terkandung perintah kepada pemerintah Pusat dan Daerah untuk menciptakan skala prioritas penyediaan peruntukan, dan penggunaan bumi, air, dan ruang angkasa dalam bentuk peraturan yang dibentuk oleh pemerintah Pusat maupun Daerah termasuk pengaturan wacana penggunaan tanah untuk kebutuhan peribadatan dan kepentingan suci yang lain. 
c. Pasal 49 UUPA menyatakan bahwa (1) Hak milik tanah tubuh-tubuh keagamaan dan sosial sepanjang dipergunakan untuk perjuangan dalam bidang keagamaan dan sosial diakui dan dilindungi. Badan-tubuh tersebut dijamin pula akan mendapatkan tanah yang cukup untuk bangunan dan usahanya dalam bidang keagamaan dan sosial. (2) Untuk keperluan peribadatan dan kebutuhan suci lainnya selaku dimaksud pasal 14 mampu diberikan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dengan hak pakai. (3) Perwakafan tanah milik dilindungi dan dikelola oleh Peraturan Pemerintah. Pasal-pasal ini menunjukkan ketegasan bahwa soal-soal yang bersangkut-paut dengan dengan peribadatan dan kebutuhan suci lainnya dalam aturan agraria akan menerima perhatian sebagaimana mestinya. Terkait dengan rumusan tersebut, Pemerintah RI sudah mengeluarkan peraturan ihwal perwakafan tanah hak milik adalah PP. No. 28 Tahun 1977.

4.     Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 

Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 terdiri atas tujuh bab delapan belas pasal yang mencakup pemahaman, syarat-syarat, fungsi, tata cara, dan pendaftararan wakaf, ketersediaan tenaga yang mengatasi pendaftaran wakaf, pergeseran, penyelesaian perselisihan dan pengawasan wakaf, ketentuan pidana, serta ketentuan peralihan.  Menindaklanjuti PP Nomor 28 Tahun 1977 sudah dikeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1977 yang mengendalikan tentang tatacara registrasi perwakafan tanah hak milik yang menampung antara lain standar tanah yang diwakafkan, pejabat pembuat akta ikrar wakaf, proses registrasi, ongkos registrasi, dan ketentuan peralihan. Selanjutnya Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1978 memerinci lebih lanjut wacana tata cara perwakafan tanah milik, antara lain perihal ikrar wakaf dan aktanya, pejabat pembuat akta ikrar wakaf, hak dan keharusan nażir, pergantian perwakafan tanah milik, pengawasan dan panduan, solusi pertengkaran tanah wakaf, serta biaya perwakafan tanah milik. 
Maksud dikeluarkannya PP Nomor 28 Tahun 1977 yaitu untuk menunjukkan jaminan kepastian aturan tentang tanah wakaf serta pemanfaatannya sesuai dengan tujuan wakaf. Berbagai penyimpangan dan sengketa wakaf dengan demikian mampu diminimalkan. Namun demikian, masih dicicipi adanya kendala dan atau masalah terkait dengan PP nomor 28 Tahun 1977 ini, antara lain: 
a. Tanah yang dapat diwakafkan hanyalah tanah hak milik dan badan-tubuh sosial keagamaan dijamin mampu memiliki hak atas tanah dengan hak pakai. Bagaimana wakaf tanah dengan hak guna bagunan atau guna usaha yang di dalam prakteknya dapat diperpanjang waktunya sesuai dengan tujuan pemanfaatan wakaf. 
b. Penerima wakaf (nażir) disyaratkan oleh peraturan memiliki cabang atau perwakilan di kecamatan di mana tanah wakaf terletak. Dalam pelaksanaannya menyebabkan kesulitan dan justru menyebabkan kendala. Terkait dengan duduk perkara tersebut, bagaimana jikalau nażir itu bersifat perorangan atau perkumpulan yang tidak memiliki cabang atau perwakilan. 
c. PP Nomor 28 Tahun 1977 cuma membatasi wakaf benda-benda tetap utamanya tanah. Bagaimana wakaf yang objeknya benda-benda bergerak selain tanah atau bangunan. 
d. Hambatan-kendala lain yang bersifat non-yuridis, antara lain kesadaran aturan masyarakat akan pentingnya sertifikasi wakaf, ketersediaan tenaga yang mengatasi registrasi/sertifikasi wakaf serta peningkatan kesadaran para nażir akan tugas dan tanggung jawabnya.

Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 dibentuk berdasarkan tiga motif utama, ialah: 

a. Motif keagamaan sebagaimana tercermin dalam konsiderannya yang menyatakan bahwa “wakaf selaku lembaga keagamaan yang sifatnya selaku sarana keagamaan”. Dalam hal ini ialah motif agama Islam. Kalau UUPA berlandaskan tujuan untuk mencapai “sosialisme Indonesia”, maka PP ini bermaksud untuk tercapainya kemakmuran spiritual dan material menuju masyarakat adil dan sejahtera menurut Pancasila. 
b. Peraturan perwakafan sebelumnya tidak memadai bagi penertiban hukum perwakafan secara tuntas, bahkan mengakibatkan aneka macam masalah, seperti tidak adanya data tentang perwakafan.
c. Adanya landasan hukum yang kokoh dengan diundangkannya UUPA No. 5 Tahun 1960, terutama pasal 14 (1) huruf b, dan pasal 49 (3).

Beberapa point penting yang terdapat dalam penjelasan lazim PP no. 28 Tahun 1977 yakni selaku berikut: 

a. Salah satu problem di bidang keagamaan yang menyangkut pelaksanaan peran-tugas keagrariaan yakni perwakafan tanah milik. Masalah perwakafan tanah milik ini sangat penting ditinjau dari sudut pandang Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960. 
b. Bahwa pada waktu yang lampau pengaturan ihwal perwakafan tanah milik tidak dikontrol secara tuntas dalam bentuk peraturan perundang-seruan sehingga memudahkan terjadinya penyimpangan dari hakikat tujuan wakaf itu sendiri, terutama disebabkan sebab banyaknya ragam perwakafan, seperti wakaf keluarga, wakaf lazim, dan lain-lain. Tidak adanya kewajiban mendaftarkan tanah milik yang diwakafkan telah menjadikan, bukan saja tidak tercatatnya tanah wakaf, melainkan juga beralihnya status wakaf menjadi milik individual yang diwariskan turun temurun. 
c. Kejadian-insiden tersebut di atas sudah mengakibatkan kerisauan di kalangan masyarakat Islam yang memiliki kecenderungan kepada perilaku antipati kepada pelaksanaan wakaf. 
d. Penjelasan PP tersebut menyatakan bahwa yang terkandung di dalamnya yaitu bentuk wakaf khairi, dan bentuk wakaf hanyalah wakaf tanah milik. Benda-benda wakaf lainnya belum diatur.

  Hak: Pengertian, Macam, dan Contohnya

Unsur-bagian wakaf yang dijelaskan dalam PP ini adalah: 

a. Wakaf yaitu perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang berbentuktanah milik dan melembagakannya untuk selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau kebutuhan lazim yang lain sesuai dengan pedoman agama Islam.
b. Wakif yaitu orang atau orang-orang ataupun badan aturan yang mewakafkan tanah miliknya.
c. Ikrar yaitu pernyataan keinginandari wakif untuk mewakafkan tanah miliknya.
d. Nażir yakni kelompok orang atau tubuh aturan yang diserahi peran pemeliharaan dan pengurusan benda wakaf.

5.     Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991 ihwal Kompilasi Hukum Islam 

Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 berisi Instruksi Presiden untuk menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam —berikutnya disingkat KHI— yang berisikan Buku I perihal Hukum Perkawinan, Buku II perihal Hukum Kewarisan, dan Buku III perihal Hukum Perwakafan. Hukum Perwakafan berisikan lima bagian dan lima belas pasal yang memuat ketentuan lazim perihal wakaf, fungsi, bagian-unsur dan syarat-syarat wakaf, keharusan dan hak-hak nażir, tata cara perwakafan, registrasi wakaf, perubahan benda wakaf, solusi pertikaian benda wakaf, pengawasan dan ketentuan peralihan. KHI ini disusun dengan maksud untuk dijadikan fatwa dalam menuntaskan duduk perkara-problem yang berhubungan dengan ketiga bidang aturan tersebut, baik oleh instansi pemerintah maupun oleh penduduk yang memerlukannya. 
Dalam penjelasan lazim dinyatakan bahwa anutan yang dipergunakan Peradilan Agama dalam bidang-bidang aturan tersebut ialah tiga belas kitab fiqih Mażhab Syafi’i dipandang tidak cocok lagi dengan perkembangan masyarakat dan bahwa KHI ialah hasil lokakarya yang diselenggarakan pada bulan Februari 1988 di Jakarta yang telah diterima baik oleh para alim ulama Indonesia diikuti perbandingan dengan yurisprudensi peradilan agama maupun perbandingan dengan Negara-negara lain.

Beberapa catatan kepada KHI dan pelaksanaannya mampu disampaikan hal-hal selaku berikut:

1. Dari segi formal, KHI diberi baju dalam bentuk Instruksi Presiden yang oleh sementara pihak dianggap kurang besar lengan berkuasa alasannya adalah tidak memiliki landasan aturan/rujukan konstitusi maupun Ketetapan MPR yang selama ini ada. Namun usulan ini dibantah oleh Prof. DR. Ismail Sunny yang merujuk pada pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 jo. Pasal 17 perihal wewenang Presiden untuk menetapkan peraturan-peraturan dan kebijakan dalam rangka menjalankan pemerintahan serta para menteri Negara sebagai pembantu Presiden memimpin departemen untuk melaksanakan keputusan dan atau instruksi presiden. Oleh karena itu, akan kian besar lengan berkuasa dan mantap apabila KHI yang di dalamnya menertibkan wacana aturan perwakafan dapat ditingkatkan dalam bentuk peraturan perundang-ajakan yang lebih tinggi, contohnya dalam bentuk Peraturan Pemerintah atau Undang-undang. 
2. Dari segi substansial atau materi, KHI hanya memuat beberapa ketentuan masalah wakaf berdasarkan aturan Islam. Oleh sebab itu, seyogyanya merupakan bab yang tidak terpisahkan dengan peraturan perundangan lainnya dalam hal ini PP nomor 28 Tahun 1977 sehingga perlu disatukan dalam bentuk Undang-undang. Dalam konteks perwakafan, maka lembaga hibah dan wasiat ialah cara penyampaian kehendak dari pihak pemberi wakaf terhadap penerima wakaf. Oleh sebab itu selain dikontrol dalam aturan pewarisan, sebaiknya juga dikelola dan dimasukan ke dalam salah satu bagian wacana tunjangan wakaf dengan cara wasiat (baik ekspresi maupun tertulis) serta tunjangan wakaf dengan cara hibah-wakaf. 
3. Dalam kaitannya dengan PP 28 Tahun 1977, maka solusi pertikaian perwakafan tanah milik atau menurut KHI penyelesaian pertikaian benda wakaf, seyogyanya tidak cuma lewat proses perdata (Pengadilan Agama) namun dapat pula diajukan secara pidana sebagaimana dikelola pada pasal 14 dan 15 PP 28 Tahun 1977. 
4. Perlu diatur lebih lanjut ihwal pergantian benda wakaf atas dasar alasan tidak cocok dengan tujuan wakaf dan atau karena adanya alasan kepentingan lazim sebagaimana diatur dalam pasal 225 KHI semoga tidak menyalahi ketentuan-ketentuan Syariat Islam serta tujuan dukungan wakaf semula dalam ikrak wakaf.

Mengenai bagian-unsur wakaf, dalam KHI dijelaskan selaku berikut:
(1) Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kalangan orang badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadat atau kebutuhan biasa lainnya sesuai dengan fatwa agama Islam.
(2) Wakif ialah orang atau orang-orang ataupun tubuh aturan yang mewakafkan benda miliknya.
(3) Ikrar yakni pernyataan keinginandari wakif untuk mewakafkan benda miliknya.
(4) Benda wakaf adalah segala benda, baik benda bergerak atau tidak bergerak yang mempunyai daya tahan yang tidak hanya sekali pakai dan bernilai menurut aliran Islam.
(5) Nażir ialah golongan orang atau badan aturan yang diserahi peran pemeliharaan dan pengurusan benda wakaf.

Bila perwakafan yang diatur dalam PP Nomor 28 Tahun 1977 dibandingkan dengan perwakafan yang dikelola dalam KHI intinya sama. Dalam beberapa hal, aturan perwakafan dalam Kompilasi tersebut merupakan pengembangan dan penyempurnaan pengaturan perwakafan sesuai dengan aturan Islamm di antaranya:

a. Obyek wakaf.
Menurut KHI, bahwa obyek wakaf tersebut tidak hanya berbentuktanah milik sebagaimana disebutkan dalam PP No. 28 Tahun 1977. Obyek wakaf berdasarkan kompilasi lebih luas. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam pasal 215 (4) yang berbunyi: “Benda wakaf adalah segala benda baik benda bergerak atau tidak bergerak yang mempunyai daya tahan yang tidak hanya sekali pakai dan bernilai berdasarkan fatwa Islam”.

b. Sumpah Nażir
Nażir sebelum melaksanakan peran harus melakukan sumpah di hadapan Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan. Hal ini dikelola dalam pasal 219 ayat 4 yang berbunyi:
Nażir sebelum melaksanakan peran mesti mengucapkan sumpah di hadapan Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan disaksikan oleh sekurang-kurangnya oleh dua orang saksi.

c. Jumlah Nażir
Jumlah nażir yang diperbolehkan untuk satu unit perwakafan sekurang-kurangnya berisikan tiga orang dan sebanyak-banyaknya sepuluh orang yang diangkat oleh Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan atas dasar Majelis Ulama dan Camat setempat.

d. Perubahan Benda Wakaf
Menurut pasal 225 pergantian benda wakaf cuma dapat dikerjakan kepada hal-hal tertentu setelah apalagi dulu menerima kesepakatan tertulis dari Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan menurut rekomendasi dari Majelis Ulama Kecamatan, dan camat setempat.

e. Pengawasan Nażir
Pengawasan terhadap pelaksanaan peran dan tanggung jawab nażir dijalankan secara bahu-membahu oleh Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan, Majelis Ulama Kecamatan, dan Pengadilan Agama yang mewilayahinya.

f. Peranan Majelis Ulama dan Camat
KHI dalam hal perwakafan memberikan kedudukan dan peranan yang lebih luas terhadap Majelis Ulama Indonesia Kecamatan dan Camat setempat dibanding dengan ketentuan yang dikontrol oleh perundang-undangan sebelumnya.

6.     UU Nomor 41 Tahun 2004 perihal Wakaf
BAB I KETENTUAN UMUM
•    Terdiri dari 1 pasal, ialah pasal 1
DASAR-DASAR WAKAF
•    Terdiri dari 30 pasal, yaitu pasal 2 sampai pasal 31
BAB III BAB II
PENDAFTARAN DAN PENGUMUMAN HARTA WAKAF
•    Terdiri dari 8 pasal, yaitu pasal 32 sampai pasal 39
BAB IV PERUBAHAN STATUS HARTA BENDA WAKAF
•    Terdiri dari 2 pasal, yaitu pasal 40 dan pasal 41
BAB V PENGELOLAAN DAN PENGEMBANGAN HARTA BENDA WAKAF
•    Terdiri dari 5 pasal, adalah pasal 42 hingga pasal 46
BAB VI BADAN WAKAF INDONESIA
•    Terdiri dari 15 pasal, yakni pasal 47 sampai pasal 61
BAB VII PENYELESAIAN SENGKETA
•    Terdiri dari 1 pasal, adalah pasal 62
BAB VIII PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
•    Terdiri dari 4 pasal, adalah pasal 63 hingga pasal 66
BAB IX KETENTUAN DAN SANKSI ADMINISTRATIF
•    Terdiri dari 2 pasal, adalah pasal 67 dan pasal 68
BAB X KETENTUAN PERALIHAN
•    Terdiri dari 2 pasal, ialah pasal 69 dan pasal 70
BAB XI KETENTUAN PENUTUP
•    Terdiri dari 1 pasal, yakni pasal 71.

Undang-undang Wakaf Nomor 41 Tahun 2004 diterangkan bahwa : ‘’ Wakaf yakni perbuatan hukum wakif untuk memisahkan sebagian benda miliknya, untuk dimanfaatkan selamanya atau dalam rentang waktu – waktu tertentu sesuai kepentingan guna kebutuhan ibadah dan/atau kemakmuran umum menurut syari’ah.’’  Sedangkan yang menjadi maksudnya menurut Pasal 4 UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Perwakafan ‘’ Wakaf ialah memanfaatkan harta benda wakaf sesuai dengan fungsinya’’ dan fungsinya menrut Pasal 5 UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Perwakafan ‘’ mewujudkan potensi dan manfaar ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk memajuka kemakmuran umum’’.

Adapun unsur-komponen dari wakaf itu sendiri yakni :
1.    Wakif
2.    Nazhir
3.    Harta Benda Wakaf
4.    Ikrar wakaf
5.    Peruntukan harta benda wakaf
6.    Jangka waktu wakaf
Dasar Pemikiran Lahirnya Undang- Undang No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf
Munculnya gagasan wakaf tunai memang mengejutkan banyak kelompok, terutama para jago dan praktisi ekonomi Islam. Karena wakaf tunai berlawanan dengan pandangan umat Islam yang terbentuk beberapa tahun lamanya, bahwa wakaf itu berupa benda-benda tak bergerak. Wakaf tunai bukan ialah aset tetap yang berupa benda tak bergerak mirip tanah, melainkan aset tanpa hambatan. Diakomodirnya wakaf tunai dalam rancangan wakaf selaku hasil interpretasi radikal yang mengganti definisi atau pemahaman tentang wakaf. Tafsiran gres ini dimungkinkan sebab berkembangnya teori-teori ekonomi.
Benda Bergerak yang mampu diwakafkan ialah :
1.    Uang
2.    Logam Mulia
3.    Surat Berharga
4.    Kendaraan
5.    Hak atas Kekayaan Intelektual
6.    Hak Sewa
7.    Benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang-ajakan.
Pemberdayaan dan pengembangan wakaf produktif merupakan hal yang gres dalam perkembangan wakaf di Indonesia. Agar hal ini mampu terlaksana dengan baik, maka dibutuhkan organisasi pengurus wakaf yang mampu menjalin kemitraan dengan forum lain yang peduli terhadap dunia wakaf. Selama ini terlihat pemberdayaan dan pengembangan wakaf mengalami banyak hambatan dan rintangan, khususnya dalam hal pengelolaan wakaf yang tidak produktif sehingga kurang dinikmati keuntungannya terhadap penduduk yang memerlukannya. Oleh sebab itu pemberdayaan pemberdayaan dan pengembangan wakaf mesti diarahkan terhadap wakaf produktif lewat administrasi yang cocok dengan syariat Islam dengan menggerakkan seluruh potensi yang terkait. Organisasi wakaf yang dikembangkan dalam PERPU ketika ini harus menyikapi segala duduk perkara yang dihadapi masyarakat pada umumnya dan umat Islam pada utamanya. Persoalan masyarakat yang paling mendasar adalah kemiskinan, yang memiliki pengaruh kepada problem lain mirip kesehatan, pendidikan, dan pemenuhan HAM pada umumnya.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka perlu mengganti teladan pikir masyarakat tentang pemahaman wakaf yang dikala ini lebih terkonsentrasi terhadap hal yang konsumtif seperti untuk kepentingan pembangunan fasilitas dan prasarana ibadah, misalnya mesjid, mushola, madrasah, majelis taklim, yayasan yatim piatu, kuburan dan sebagainya. Pemahaman wakaf dikala ini harus berorientasi terhadap wakaf produktif, tidak hanya untuk kepentingan peribadatan namun lebih ditekankan kepada kepentingan penduduk seperti pembangunan perumahan, perkantoran, pasar supermarket, industri, penanaman hibrida, perikanan, dan sebagainya yang jadinya dipakai untuk kepentingan masyarakat dalam menuntaskan kemiskinan.
UU Nomor 41 Tahun 2004 ihwal wakaf sudah mengakomodir segala hal yang berhubungan tentang wakaf menuju kepada wakaf produktif. PERPU ini sudah mempersiapkan seluruh kesempatanwakaf yang ada di tanah air secara produktif bersamaan dengan lajunya perubahan struktur masyarakat modern yang lebih banyak bertumpu pada sektor industri. Wakaf harus dikembangkan secara optimal dengan pengelolaan profesional produktif untuk meraih hasil yang kasatmata dalam kehidupan penduduk . Langkah permulaan dalam melaksanakan wakaf produktif ini yakni dengan menghilangkan segala hambatan yang dihadapi selama ini dalam mengelola wakaf terutama tidak produktifnya harta benda wakaf nadir yang kurang profesional dan manajemen pengelola wakaf yang tidak tertib. Semua harta wakaf yang memiliki nilai komersial yang tinggi harus ditata kembali dan jadinya disalurkan untuk kemakmuran masyarakat.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 41 TAHUN 2004
TENTANG
WAKAF
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
a.     bahwa lembaga wakaf selaku pranata keagamaan yang mempunyai potensl dan faedah
ekonoml perlu dikelola secara efektif dan efisien untuk kepentingan ibadah dan untuk
mengembangkan kemakmuran biasa ;
b.     bahwa wakaf merupakan perbuatan aturan yang sudah lama hidup dan dikerjakan
dalam penduduk , yang pengaturannya belum lengkap serta masih tersebar dalam
aneka macam peraturan perundang-ajakan;
c.     bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada abjad a dan karakter b, dipandang perlu membentuk Undang-Undang wacana Wakaf;

Mengingat:
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 29, dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;

Dengan persetujuan bersama
DEWAN PERWAKlLAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG WAKAF.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
1. Wakaf yakni tindakan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan
sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka
waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna kebutuhan ibadah dan/atau
kesejahteraan biasa berdasarkan syariah.
2. Wakif yakni pihak yang mewakafkan harta benda miliknya.
3. Ikrar Wakaf yakni pernyataan hasratwakif yang diucapkan secara lisan dan/atau
goresan pena kepada Nazhir untuk mewakafkan harta benda miliknya.
4. Nazhir yaitu pihak yang mendapatkan harta benda wakaf dari Wakif untukdikelola dan
dikembangkan sesuai dengan peruntukannya.
5. Harta Benda Wakaf adalah harta benda yang mempunyai daya tahan lama dan/atau
faedah jangka panjang serta mempunyai nilai ekonomi berdasarkan syariah yang
diwakafkan oleh Wakif .
6. Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf, berikutnya disingkat PPAIW, yakni pejabat
    berwenang yang ditetapkan oleh Menteri untuk menciptakan sertifikat ikrar wakaf.
7. Badan Wakaf Indonesia ialah forum independen untuk membuatkan
perwakafan di Indonesia.
8. Pemerintah ialah perangkat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas
Presiden beserta para menteri.
9. Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab di bidang agama.

BAB II
DASAR-DASAR WAKAF
Bagian Pertama
Umum

Pasal 2
Wakaf sah jika dilakukan berdasarkan syariah.

Pasal 3
Wakaf yang telah diikrarkan tidak mampu dibatalkan.

Bagian Kedua
Tujuan dan Fungsi Wakaf

Pasal 4
Wakaf bermaksud mempergunakan harta benda wakaf sesuai dengan fungsinya.
Pasal 5
Wakaf berfungsi merealisasikan potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk
kepentingan ibadah dan untuk meningkatkan kemakmuran biasa .

Bagian Ketiga
Unsur Wakaf

Pasal 6
Wakaf dijalankan dengan memenuhi bagian wakaf sebagai berikut:
a. Wakif;
b. Nazhir;
c. Harta Benda Wakaf;
d. Ikrar Wakaf;
e. peruntukan harta benda wakaf;
f. jangka waktu wakaf.

Bagian Keempat
Wakif

Pasal 7
Wakif mencakup:
a. perseorangan;
b. organisasi;
c. badan aturan.
Pasal 8
(1)     Wakif perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a hanya dapat
melaksanakan wakaf kalau memenuhi kriteria:
a. sampaumur;
b. bakir sehat;
c. tidak terhalang melakukan perbuatan aturan; dan
d. pemilik sah harta benda wakaf.
(2)     Wakif organisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 aksara b cuma dapat
melaksanakan wakaf kalau memenuhi ketentuan organisasi untuk mewakafkan harta
benda wakaf milik organisasi sesuai dengan budget dasar organisasi yang
bersangkutan.
(3)     Wakif tubuh aturan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf c cuma dapat
melakukan. wakaf jika memenuhi ketentuan tubuh hukum untuk mewakafkan
harta benda wakaf milik badan aturan sesuai dengan budget dasar tubuh hukum
        yang bersangkutan.

Bagian Kelima
Nazhir

Pasal 9
Nazhir meliputi:
a. perseorangan;
b. organisasi; atau
c. badan hukum.

Pasal 10
(1) Perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 abjad a hanya mampu menjadi
Nazhir kalau menyanggupi patokan:
a. warga negara Indonesia;
b. beragama Islam;
c. akil balig cukup akal;
d. amanah;
e. mampu secara jasmani dan rohani; dan
f. tidak terhalang melakukan perbuatan aturan.
(2) Organisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 karakter b hanya dapat menjadi Nazhir
apabila menyanggupi tolok ukur :
a.     pengelola organisasi yang bersangkutan memenuhi tolok ukur nazhir
perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan
b.     organisasi yang bergerak di bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan, dan/atau
keagamaan Islam.
(3) Badan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 aksara c hanya mampu menjadi
Nazhir bila menyanggupi patokan:
a.     penguru badan aturan yang bersangkutan memenuhi tolok ukur nazhir perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1 ); dan
b.     badan aturan Indonesia yang dibuat sesuai dengan peraturan
perundang.permintaan yang berlaku; dan
c.     tubuh hukum yang bersangkutan bergerak di bidang sosial, pendidikan,
kemasyarakatan, dan/atau keagamaan Islam.

Pasal 11
Nazhir memiliki tugas:
a.     rnelakukan pengadministrasian harta benda wakaf;
b.     mengurus dan membuatkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi, dan
peruntukannya;
c.     memantau dan melindungi harta benda wakaf;
d.     melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia.

Pasal 12
Dalam melaksanakan peran sebagaimana.dimaksud dalam Pasal 11, Nazhir mampu mendapatkan imbalan dari hasil bersih atas pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf yang besarnya tidak melebihi 10% (sepuluh persen).

Pasal 13
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Nazhir mendapatkan
training dari Menteri dan Badan Wakaf Indonesia.

Pasal 14
(1)     Dalam rangka pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Nazhir harus
terdaftar pada Menteri dan Badan Wakaf Indonesia.
(2)     Ketentuan lebih lanjut mengenai Nazhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 Pasal
10, Pasal 11, Pasal 12, dan Pasal 13, dikelola dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Keenam
Harta Benda Wakaf

Pasal 15
Harta benda wakaf hanya dapat diwakafkan jika dimiliki dan dikuasai oleh Wakif
secara sah.
Pasal 16
(1) Harta benda wakaf terdiri dari:
a. benda tidak bergerak; dan
b. benda bergerak.
(2) Benda tidak bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) karakter a mencakup:
a. hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-usul yang berlaku baik yang telah maupun yang belum terdaftar;
b. bangunan atau bab bangunan yang berdiri di atas tanah sebagaimana dimaksud pada aksara a;
c. flora dan benda lain yang berhubungan dengan tanah;
d. hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang.undangan yang berlaku;
e. benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang.usul yang berlaku.
(3) Benda bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah harta benda yang
tidak bisa habis alasannya dikonsumsi, mencakup:
a. uang;
b. logam mulia;
c. surat berguna;
d. kendaraan;
e. hak atas kekayaan intelektual;
f. hak sewa; dan
g. benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan
perundang.usul yang berlaku.

Bagian Ketujuh
Ikrar Wakaf

Pasal 17
(1) Ikrar wakaf dijalankan oleh Wakif kepada Nadzir di hadapan PPAIW dengan
disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi.
(2) Ikrar Wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan secara lisan dan/atau
tulisan serta dituangkan dalam sertifikat ikrar wakaf oleh PPAIW.

Pasal 18
Dalam hal Wakif tidak dapat menyatakan ikrar wakaf secara verbal atau tidak dapat hadir
dalam pelaksanaan ikrar wakaf alasannya adalah argumentasi yang dibenarkan oleh aturan, Wakif mampu
menunjuk kuasanya dengan surat kuasa yang diperkuat oleh 2 (dua) orang saksi.

Pasal 19
Untuk mampu melaksanakan ikrar wakaf, wakif atau kuasanya menyerahkan surat dan/atau
bukti kepemilikan atas harta benda wakaf terhadap PPAIW.

Pasal 20
Saksi dalam ikrar wakaf harus menyanggupi kriteria:
a. remaja;
b. beragama Islam;
c. bakir sehat;
d. tidak terhalang melaksanakan perbuatan hukum.

Pasal 21
(1) Ikrar wakaf dituangkan dalam akta ikrar wakaf .
(2) Akta ikrar wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
a. nama dan identitas Wakif;
b. nama dan identitas Nazhir;
c. data dan keterangan harta benda wakaf;
d. peruntukan harta benda wakaf;
e. jangka waktu wakaf .
(3) Ketentuan lebih lanjut tentang akta ikrar wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kedelapan
Peruntukan Harta Benda Wakaf

Pasal 22
Dalam rangka meraih tujuan dan fungsi wakaf 1 harta benda wakaf cuma mampu
diperuntukan bagi:
a. sarana dan aktivitas ibadah;
b. fasilitas dan kegiatan pendidikan serta kesehatan;
c. pertolongan terhadap fakir miskin anak terlantar, yatim piatu, bea siswa;
d. pertumbuhan dan peningkatan ekonomi umat; dan/atau
e. kemajuan kemakmuran lazim lainnya yang tidak berlawanan dengan syariah dan
peraturan perundang-ajakan.

Pasal 23
(1) Penetapan peruntukan harta benda wakaf sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22
dikerjakan oleh Wakif pada pelaksanaan ikrar wakaf .
(2) Dalam hal Wakif tidak memutuskan peruntukan harta benda wakaf Nazhir mampu
menetapkan peruntukan harta benda wakaf yang dilaksanakan sesuai dengan tujuan dan
fungsi wakaf .

Bagian Kesembilan
Wakaf dengan Wasiat

Pasal 24
Wakaf dengan wasiat baik secara verbal maupun secara tertulis hanya dapat dikerjakan
apabila disaksikan oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi yang memenuhi patokan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20.
Pasal 25
Harta benda wakaf yang diwakafkan dengan wasiat paling banyak 1/3 (satu pertiga) dari
jumlah harta warisan sehabis dikurangi dengan utang pewasiat, kecuali dengan kesepakatan seluruh hebat waris.

Pasal 26
(1) Wakaf dengan wasiat dijalankan oleh peserta wasiat setelah pewasiat yang
bersangkutan meninggal dunia.
(2) Penerima wasiat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertindak selaku kuasa wakif .
(3) Wakaf dengan wasiat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan
sesuai dengan metode perwakafan yang dikelola dalam Undang-Undang ini.

Pasal 27
Dalam hal wakaf dengan wasiat tidak dikerjakan oleh penerima wasiat, atas usul pjhak yang berkepentingan, pengadilan dapat menyuruh akseptor wasiat yang bersangkutan untuk melaksanakan wasiat.

Bagian Kesepuluh
Wakaf Benda Bergerak Berupa Uang

Pasal 28
Wakif mampu mewakafkan benda bergerak berupa duit lewat lembaga keuangan syariah
yang ditunjuk oleh Menteri.

Pasal 29
(1) Wakaf benda bergerak berupa duit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 dilakukan oleh Wakif dengan pernyataan keinginanWakif yang dilaksanakan secara tertulis.
(2) Wakaf benda bergerak berupa duit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan dalam bentuk sertifikat wakaf uang.
(3) Sertifikat wakaf uang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterbitkan dan disampaikan oleh forum keuangan syariah kepada Wakif dan Nazhir selaku bukti penyerahan harta benda wakaf .

Pasal 30
Lembaga keuangan syariah atas nama Nazhir mendaftarkan harta benda wakaf berupa duit terhadap Menteri selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja semenjak diterbitkannya Sertifikat Wakaf Uang.

Pasal 31
Ketentuan lebih lanjut tentang wakaf benda bergerak berupa duit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 29, dan Pasal 30 dikontrol dengan Peraturan Pemerintah.

BAB III
PENDAFTARAN DAN PENGUMUMAN HARTA BENDA WAKAF

Pasal 32
PPAIW atas nama Nazhir mendaftarkan harta benda wakaf terhadap Instansi yang berwenang paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak akta ikrar wakaf ditandatangani.

Pasal 33
Dalam pendaftaran harta benda wakaf sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32, PPAIW
menyerahkan:
a. salinan sertifikat ikrar wakaf;
b. surat-surat dan/atau bukti-bukti kepemilikan dan dokumen terkait lainnya.

Pasal 34
Instansi yang berwenang menerbitkan bukti registrasi harta benda wakaf.

Pasal 35
Bukti pendaftaran harta benda wakaf sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 disampaikan
oleh PPAIW kepada Nazhir.

Pasal 36
Dalam hal harta benda wakaf ditukar atau diubah peruntukannya Nazhir lewat PPAIW mendaftarkan kembali kepada Instansi yang berwenang dan Badan Wakaf Indonesia atas harta benda wakaf yang ditukar atau diubah peruntukannya itu sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam sistem registrasi harta benda wakaf.

  Materi Kuliah Wacana Profesi Akuntan Publik

Pasal 37
Menteri dan Badan Wakaf Indonesia mengadministrasikan registrasi harta benda wakaf.

Pasal 38
Menteri dan Badan Wakaf Indonesia mengumumkan kepada penduduk harta benda wakaf yang telah terdaftar.

Pasal 39
Ketentuan lebih lanjut tentang PPAIW, tata cara registrasi dan pengumuman harta
benda wakaf dikontrol dengan Peraturan Pemerintah.

BAB IV
PERUBAHAN STATUS HARTA BENDA WAKAF

Pasal 40
Harta benda wakaf yang telah diwakafkan dilarang:
a. dijadikan jaminan;
b. disita;
c. dihibahkan;
d. dijual;
e. diwariskan;
f. ditukar; atau
g. dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya.

Pasal 41
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf f dikecualikan kalau harta benda wakaf yang sudah diwakafkan dipakai untuk kepentingan lazim sesuai dengan rencana biasa tata ruang (RUTR) berdasarkan ketentuan peraturan perundang-ajakan yang berlaku dan tidak berlawanan dengan syariah.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) cuma dapat dikerjakan sehabis mendapatkan izin tertulis dari Menteri atas kesepakatan Badan Wakaf Indonesia.
(3) Harta benda wakaf yang telah diubah statusnya karena ketentuan pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib ditukar dengan harta benda yang manfaat dan nilai tukar sekurang. kurangnya sama dengan harta benda wakaf semula.
(4) Ketentuan mengenai perubahan status harta benda wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1 ), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

BAB V
PENGELOLAAN DAN PENGEMBANGAN
HARTA BENDA WAKAF

Pasal 42
Nazhir wajib mengurus dan menyebarkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan,
fungsi, dan peruntukannya.

Pasal 43
(1) Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf oleh Nazhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 dijalankan sesuai dengan prinsip syariah.
(2) Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara produktif.
(3) Dalam hal pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf yang dimaksud pada ayat (1) diperlukan penjamin, maka dipakai lembaga penjamin syariah.

Pasal 44
(1) Dalam mengorganisir dan membuatkan harta benda wakaf, Nazhir tidak boleh melakukan pergantian peruntukan harta benda wakaf kecuali atas dasar izin tertulis dari Badan Wakaf Indonesia.
(2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) cuma dapat diberikan bila harta benda wakaf ternyata tidak dapat dipergunakan sesuai dengan peruntukan yang dinyatakan dalam ikrar wakaf.

Pasal 45
(1) Dalam mengorganisir dan berbagi harta benda wakaf, Nazhir diberhentikan dan diganti dengan Nazhir lain bila Nazhir yang bersangkutan:
a. meninggal dunia bagi Nazhir perseorangan;
b. bubar atau dibubarkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang.undangan
yang berlaku untuk Nazhir organisasi atau Nazhir tubuh aturan;
c. atas seruan sendiri;
d. tidak melakukan tugasnya selaku Nazhir dan/atau melanggar ketentuan
larangan dalam pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang.undanganyang berlaku;
e. dijatuhi eksekusi pidana oleh pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum
tetap.
(2) Pemberhentian dan penggantian Nazhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikerjakan oleh Badan Wakaf Indonesia.
(3) Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf yang dilaksanakan oleh Nazhir lain karena pemberhentian dan penggantian Nazhir, dilakukan dengan tetap memperhatikan peruntukan harta benda wakaf yang ditetapkan dan tujuan serta fungsi wakaf.

Pasal 46
Ketentuan lebih lanjut tentang pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, dan Pasal 45 dikontrol dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VI
BADAN WAKAF INDONESIA
Bagian Pertama
Kedudukan dan Tugas

Pasal 47
(1) Dalam rangka mengembangkan dan mengembangkan perwakafan nasional, dibuat Badan Wakaf Indonesia.
(2) Badan Wakaf Indonesia ialah lembaga independen dalam melakukan tugasnya.

Pasal 48
Badan Wakaf Indonesia berkedudukan di ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia
dan mampu membentuk perwakilan di Provinsi dan/atau Kabupaten/Kota sesuai dengan
keperluan.

Pasal 49
(1) Badan Wakaf Indonesia mempunyai peran dan wewenang:
a.     melaksanakan training kepada Nazhir dalam mengorganisir dan membuatkan
harta benda wakaf;
b.     melakukan pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf berskala nasional
dan internasional;
c.     menawarkan persetujuan dan/atau izin atas perubahan peruntukan dan status harta
benda wakaf;
d.     memberhentikan dan mengganti Nazhir;
e.     memberikan persetujuan atas penukaran harta benda wakaf;
f.     memperlihatkan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah dalam penyusunan kebijakan di bidang perwakafan.
(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Badan Wakaf Indonesia mampu bekerjasama dengan instansi Pemerintah baik Pusat maupun Daerah, organisasi penduduk , para jago, badan internasional, dan pihak lain yang dipandang perlu.

Pasal 50
Dalam melaksanakan peran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49, Badan Wakaf Indonesia mengamati usulan dan pendapatMenteri dan Majelis Ulama Indonesia.

Bagian Kedua
Organisasi

Pasal 51
(1) Badan Wakaf Indonesia terdiri atas Badan Pelaksana dan Dewan Pertimbangan.
(2) Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan komponen pelaksana
peran Badan Wakaf Indonesia.
(3) Dewan Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan komponen
pengawas pelaksanaan peran Badan Wakaf Indonesia.

Pasal 52
(1) Badan Pelaksana dan Dewan Pertimbangan Badan Wakaf Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 51, masing-masing dipimpin oleh 1 (satu) orang Ketua dan 2
(dua) orang Wakil Ketua yang diseleksi dari dan oleh para anggota.
(2) Susunan keanggotaan masing-masing Badan Pelaksana dan Dewan Pertimbangan
Badan Wakaf Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh para
anggota.

Bagian Ketiga
Anggota

Pasal 53
Jumlah anggota Badan Wakaf Indonesia berisikan paling sedikit 20 (dua puluh) orang dan paling banyak 30 (tiga puluh) orang yang berasal dari bagian masyarakat.

Pasal 54
(1) Untuk mampu diangkat menjadi anggota Badan Wakaf Indonesia, setiap kandidat anggota
harus memenuhi kriteria:
a. warga negara Indonesia;
b. beragama Islam;
c. dewasa;
d. amanah;
e. bisa secara jasmani dan rohani;
f. tidak terhalang melakukan perbuatan aturan;
g. memiliki pengetahuan, kesanggupan, dan/atau pengalaman di bidang perwakafan dan/atau ekonomi, utamanya di bidang ekonomi syariah; dan
h. mempunyai komitmen yang tinggi untuk mengembangkan perwakafan nasional.
(2) Selain standar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ketentuan perihal
standar lain untuk menjadi anggota Badan Wakaf Indonesia ditetapkan oleh
Badan Wakaf Indonesia.

Bagian Keempat
Pengangkatan dan Pemberhentian

Pasal 55
(1) Keanggotaan Badan Wakaf Indonesia diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
(2) Keanggotaan Perwakilan Badan Wakaf Indonesia di tempat diangkat dan diberhentikan oleh Badan Wakaf Indonesia.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengangkatan dan pemberhentian anggota
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan Badan
Wakaf Indonesia.

Pasal 56
Keanggotaan Badan Wakaf Indonesia diangkat untuk kala jabatan selama 3 (tiga) tahun
dan mampu diangkat kembali untuk 1 (satu) kali abad jabatan.

Pasal 57
(1) Untuk pertama kali, pengangkatan keanggotaan Badan Wakaf Indonesia direkomendasikan
terhadap Presiden oleh Menteri.
(2) Pengusulan pengangkatan keanggotaan Badan Wakaf Indonesia kepada Presiden
untuk berikutnya dikerjakan oleh Badan Wakaf Indonesia.
(3) Ketentuan tentang metode penyeleksian calon keanggotaan Badan Wakaf Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikelola oleh Badan Wakaf Indonesia, yang
pelaksanaannya terbuka untuk biasa .

Pasal 58
Keanggotaan Badan Wakaf Indonesia yang berhenti sebelum berakhirnya kala jabatan
dikontrol oleh Badan Wakaf Indonesia.

Bagian Kelima
Pembiayaan

Pasal 59
Dalam rangka pelaksanaan tugas Badan Wakaf Indonesia, Pemerintah wajib membantu
biaya operasional.

Bagian Keenam
Ketentuan Pelaksanaan

Pasal 60
Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan organisasi, tugas, fungsi, kriteria, dan tata
cara pemilihan anggota serta susunan keanggotaan dan tata kerja Badan Wakaf Indonesia
diatur oleh Badan Wakaf Indonesia.

Bagian Ketujuh
Pertanggungjawaban

Pasal 61
(1) Pertanggungjawaban pelaksanaan tugas Badan Wakaf Indonesia dijalankan melalui
laporan tahunan yang diaudit oleh lembaga audit independen dan disampaikan terhadap
Menteri.
(2) Laporan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diumumkan terhadap
masyarakat.

BAB VII
PENYELESAIAN SENGKETA

Pasal 62
(1)     Penyelesaian sengketa perwakafan ditempuh lewat musyawarah untuk meraih
mufakat.
(2)     Apabila penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berhasil,
sengketa mampu teratasi lewat mediasi, arbitrase, atau pengadilan.

BAB VIII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Pasal 63
(1) Menteri melakukan training dan pengawasan kepada penyelenggaraan wakaf
untuk mewujudkan tujuan dan fungsi wakaf.
(2) Khusus perihal pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Menteri
mengikutsertakan Badan Wakaf Indonesia.
(3) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
dilaksanakan dengan memperhatikan anjuran dan pendapatMajelis Ulama Indonesia.

Pasal 64
Dalam rangka pembinaan, Menteri dan Badan Wakaf Indonesia mampu melaksanakan kerja
sama dengan organisasi penduduk , para hebat, tubuh internasional, dan pihak lain yang
dipandang perlu.

Pasal 65
Dalam pelaksanaan pengawasan, Menteri dapat memakai akuntan publik.

Pasal 66
Ketentuan lebih lanjut perihal bentuk pembinaan dan pengawasan oleh Menteri dan
Badan Wakaf Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63, Pasal 64, dan Pasal 65
dikelola dengan Peraturan Pemerintah.

BAB IX
KETENTUAN PIDANA DAN SANKSI ADMINISTRATIF
Bagian Pertama
Ketentuan Pidana

Pasal 67
(1) Setiap orang yang dengan sengaja menjaminkan, menghibahkan, memasarkan, mewariskan, mengalihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya harta benda wakaf yang sudah diwakafkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 atau tanpa izin menukar harta benda wakaf yang telah diwakafkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, dipidana dengan pidana penjara paling usang 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Setiap orang yang dengan sengaja menghibah peruntukan harta benda wakaf tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44, dipidana dengan pidana penjara paling usang 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 400.000.000,00
(empat ratus juta rupiah).
(3) Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan atau mengambil fasilitas atas hasil
pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf melebihi jumlah yang diputuskan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3
(tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta
rupiah).
Bagian Kedua
Sanksi Administratif

Pasal 68
(1) Menteri dapat mengenakan hukuman administratif atas pelanggaran tidak didaftarkannya
harta benda wakaf oleh lembaga keuangan syariah dan PPAIW sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dan Pasal 32.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. perayaan tertulis;
b. penghentian sementara atau pencabutan izin acara di bidang wakaf bagi lembaga keuangan syariah;
3)     Ketentuan lebih lanjut perihal pelaksanaan hukuman administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB X
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 69
(1) Dengan berlakunya Undang-Undang ini, wakaf yang dijalankan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-usul yang berlaku sebelum dtundangkannya Undang-Undang ini, dinyatakan sah sebagai wakaf berdasarkan Undang-Undang ini.
(2) Wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib didaftarkan dan diumumkan paling
usang 5 (lima) tahun semenjak Undang-Undang ini diundangkan.

Pasal 70
Semua peraturan perundang-permintaan yang mengontrol mengenai perwakafan masih tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum diganti dengan peraturan yang baru
berdasarkan Undang-Undang ini.

BAB XI
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 71
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, menyuruh pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 27 Oktober 2004
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 27 Oktober 2004
MENTERI SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
PROF. DR. YUSRIL IHZA MAHENDRA

DAFTAR PUSTAKA
http://www.pa-purworejo.go.id/web/9-tahun-usia-undang-undang-wakaf-di-indonesia/

http://bolmerhutasoit.wordpress.com/tag/uu-no-41-tahun-2004-tetang-perwakafan/