Acuan Makalah Implementasi Tugas Dan Fungsi Dprd Dalam Rangka Mewujudkan “Good Governance”

Implementasi Peran dan Fungsi DPRD dalam Rangka Mewujudkan “good governance”
A. Pendahuluan 
Kepemerintahan kawasan yang baik (good local governance) ialah issue yang paling mengemuka dalam pengelolaan administrasi publik akil balig cukup akal ini. Tuntutan ide yang dilaksanakan masyarakat terhadap pemerintah untuk pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan tempat yang bagus yakni sejalan dengan meningkatnya wawasan masyarakat di samping adanya globalisasi perubahan paradigma pemerintahan dari “rulling government” yang terus bergerak menuju “good governance” dimengerti sebagai sebuah fenomena berdemokrasi secara adil. Untuk itu perlu memperkuat peran dan fungsi DPRD supaya administrator dapat mengerjakan tugasnya dengan baik.
DPRD yang seharusnya mengendalikan jalannya pemerintahan agar senantiasa sesuai dengan aspirasi masyarakat, bukan sebaliknya menghancurkan dan mengkondisikan Eksekutif untuk melaksanakan penyimpangan-penyimpangan terhadap aturan-hukum yang berlaku, melaksanakan kolusi dalam pembuatan anggaran biar menguntungkan dirinya, serta setiap aktivitas yang sebaiknya digunakan untuk menertibkan administrator, justru sebaliknya dipakai sebagai kesempatan untuk “memeras” administrator sehingga eksekutif perhatiannya menjadi lebih terkonsentrasi untuk memanjakan anggota DPRD daripada masyarakat keseluruhan. 
Untuk menyingkir dari adanya kooptasi politik antara kepala Daerah dengan DPRD maupun sebaliknya perlu dijalankan melalui prinsip “Check and Balances” artinya adanya keseimbangan serta merta adanya pengawasan terus menerus kepada kewenangan yang diberikannya . Dengan demikian anggota DPRD mampu dibilang memiliki akuntabilitas, manakala memiliki “ rasa tanggung jawab “ dan “kesanggupan” yang profesional dalam menjalankan tugas dan fungsinya tersebut. Mekanisme “Check and Balances” memberikan kesempatan administrator untuk mengontrol legislatif. Walaupun mesti diakui oleh DPRD (Legislatif) mempunyai posisi politik yang sungguh kuat dan kerap kali tidak mempunyai akuntabilitas politik alasannya berhubungan bersahabat dengan tata cara pemilihan biasa yang dijalankan. Untuk itu kedepan perlu kiranya Kepala Daerah memiliki keberanian untuk menolak sebuah ajuan dari DPRD terhadap kebijakan yang menyangkut kepentingannya, contohnya peningkatan honor yang tidak masuk masuk akal, permintaan derma yang berlebihan, dan membebani budget daerah untuk acara yang kurang penting. Mekanisme “Check and Balances” ini dapat memajukan relasi administrator dan legislatif dalam mewujudkan kepentingan penduduk . 
DPRD selaku lembaga legislatif yang kedudukannya sebagai wakil rakyat tidak mungkin melepaskan dirinya dari kehidupan rakyat yang diwakilinya . Oleh alasannya itu secara material mempunyai keharusan untuk memperlihatkan pelayanan terhadap rakyat atau publik yang diwakilinya. DPRD selaku wakil rakyat dalam tindakan dan perbuatan harus menyesuaikan dengan norma-norma yang dianut dan berlaku dalam kebudayaan rakyat yang diwakilinya. Dengan demikian DPRD tidak akan melakukan perbuatan yang tidak terpuji, menguntungkan pribadi dan menambah beban budget rakyat untuk kepentingannya. Dengan mengerti budpekerti pemerintahan diharapkan mampu menghemat tindakan-tindakan yang tercela, tidak terpuji dan merugikan masyarakat. Untuk itu perlu kiranya dibuatkan “aba-aba etik” untuk para anggota DPRD yang mampu dijadikan pedoman dalam pelaksanaan peran dan fungsinya, sehingga kewenangan yang besar juga diikuti dengan tanggung jawab yang besar pula. Sosok ideal DPRD yang bermoral, aspiratif dengan kepentingan rakyat , dan selalu memperjuangkan kesejahteraan penduduk mampu terwujud. Kuncinya baik direktur maupun legislatif mesti terjalin komunikasi timbal balik dan adanya keterbukaan diantara para pihak dalam solusi segala urusan dalam mewujudkan kemakmuran rakyatnya. 
Harapan-keinginan tersebut dapat terwujud dengan adanya penyeleksian Kepala daerah secara langsung, yang akan memperkuat posisi Kepala Daerah sehingga mampu menjadi mitra yang baik bagi DPRD dalam menangani berbagai duduk perkara yang dihadapi. Peran dan fungsi DPRD akan terjadi pergantian yang cukup signifikan seiring dengan penghematan kewenangan yang dimilikinya tersebut. Dengan adanya keseimbangan hak dan kewenangan tersebut antara eksekutif dan legislatif diharapkan yang marak 4 terjadi di DPRD (legislatif) mampu berkurang seiring dengan pematangan demokrasi dalam kehidupan penduduk . Terwujudnya “Clean and good governance” merupakan impian semua masyarakat. 
B. Peran dan Fungsi DPRD 
Penyelenggaraan pemerintahan dalam sebuah negara tidak hanya terdapat di sentra pemerintahan saja. Pemerintahan pusat menunjukkan wewenangnya kepada pemerintah daerah untuk mengadakan pemerintahannya sendiri, dan di Indonesia yang dimaksud dengan pemerintahan daerah yakni penyelenggaraan persoalan pemerintahan oleh pemerintah kawasan dan DPRD berdasarkan asas otonomi dan peran pembantuan dengan prinsip otonomi yang seluas-luasnya dalam metode dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945. 
Sedangkan dalam penyelenggaraan pemerintahan di kawasan, dikerjakan dengan asas Desentralisasi, yaitu penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada kawasan otonomi untuk mengendalikan dan mengelola urusan pemerintahan dalam tata cara Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di samping itu juga melaksanakan Dekonsentrasi, ialah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur selaku wakil pemerintah dan / atau kepada instansi vertikal, dan serta melaksanakan Tugas Pembantuan, adalah penunjukkandari pemerintahan kepada tempat dan/atau desa dari pemerintahan propinsi kepada kabupaten/kota kepada desa untuk melakukan peran tertentu. 
Dalam menyelenggarakan pemerintahan di daerah, dibutuhkan perangkatperangkat dan forum-forum untuk mengadakan jalannya pemerintahan di tempat sehari-hari. Sebagaimana hanya di pusat negara, perangkat-perangkat dan  lembaga-forum daerah umumnya ialah refleks dari tata cara yang ada di sentra negara. Untuk menyanggupi fungsi perwakilan dalam melaksanakan kekuasaan legislatif daerah sebagaimana di sentra negara di kawasan dibentuk pula Lembaga Perwakilan Rakyat, dan forum ini biasa diketahui atau dinamakan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dewan Perwakilan Daerah yakni lembaga perwakilan rakyat tempat sebagai bagian penyelenggaraan pemerintahan tempat. 
Secara lazim tugas ini diwujudkan dalam tiga fungsi, yakni: 
  1. Regulator. Mengatur seluruh kepentingan daerah, baik yang tergolong urusanurusan rumah tangga daerah (otonomi) maupun permasalahan-urusan pemerintah sentra yang diserahkan pelaksanannya ke daerah (peran pembantuan); 
  2. Policy Making. Merumuskan kebijakan pembangunan dan penyusunan rencana programprogram pembangunan di wilayahnya; 
  3. Budgeting. Perencanaan angaran daerah (APBD) Dalam kiprahnya selaku tubuh perwakilan, DPRD menempatkan diri selaku kekuasaan penyeimbang (balanced power) yang mengimbangi dan melaksanakan kendali efektif terhadap Kepala Daerah dan seluruh jajaran pemerintah kawasan. 
Peran ini diwujudkan dalam fungsi-fungsi berikut: 
  1. Representation. Mengartikulasikan keprihatinan, tuntutan, keinginan dan melindungi kepentingan rakyat ketika kebijakan dibentuk, sehingga DPRD selalu berbicara “atas nama rakyat”; 
  2. Advokasi. Anggregasi aspirasi yang komprehensif dan memperjuangkannya melalui negosiasi kompleks dan sering alot, serta tawar-menawar politik yang sungguh kuat. Hal ini wajar mengingat aspirasi masyarakat mengandung banyak kepentingan atau tuntutan yang acap kali berbenturan satu sama lain. Tawar  menawar politik dimaksudkan untuk meraih titik temu dari berbagai kepentingan tersebut. 
  3. Administrative oversight. Menilai atau menguji dan jika perlu berusaha mengganti tindakan-tindakan dari badan direktur. Berdasarkan fungsi ini adalah tidak dibenarkan apabila DPRD bersikap “lepas tangan” terhadap kebijakan pemerintah daerah yang bermasalah atau dipersoalkan oleh penduduk . Apalagi dengan kalimat naif, “Itu bukan wewenang kami”, mirip yang kerap terjadi dalam praktek. Dalam masalah seperti ini, DPRD dapat mengundang dan meminta keterangan, melakukan angket dan interpelasi, bahkan pada jadinya dapat meminta pertanggung balasan Kepala Daerah. 

Lebih khusus berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (UU Susduk dan UU Pemerintahan Daerah), implementasi kedua peran DPRD tersebut lebih disederhanakan perwujudannya ke dalam tiga fungsi, adalah : 

  Pemberdayaan Penduduk Dan Keluarga Dalam Pendidikan Anak Usia Dini (Paud)
  • Fungsi legislasi 
  • Fungsi anggaran; dan 
  • Fungsi pengawasan 
Pelaksanaan ketiga fungsi tersebut secara ideal diharapkan mampu melahirkan output, sebagai berikut: 
  1. PERDA-PERDA yang aspiratif dan responsif. Dalam arti PERDA-PERDA yang dibuat sudah mengakomodasi tuntutan, kebutuhan dan harapan rakyat. Hal itu tidak mungkin terwujud bila mekanisme penyusunan Peraturan Daerah bersifat ekslusif dan tertutup. Untuk itu mekanisme penyusunan PERDA yang dituangkan dalam Peraturan Tata Tertib DPRD harus dibuat sedemikian rupa biar bisa menampung aspirasi rakyat secara optimal. 
  2. Anggaran belanja kawasan (APBD) yang efektif dan efisien, serta terdapat kesesuaian yang logis antara kondisi kesanggupan keuangan kawasan dengan keluaran (output) kinerja pelayanan masyarakat. 
  3. Terdapatnya suasana pemerintahan daerah yang transparan dan akuntabilitas, baik dalam proses pemerintahan maupun dalam penganggaran. Untuk melaksanaan ketiga fungsi yang ideal tersebut, DPRD dilengkapi dengan modal dasar yang cukup besar dan kuat, adalah peran dan wewenang, alat-alat kelengkapan DPRD, Hak-hak DPRD/anggota, dan anggaran DPRD yang mandiri. 
C. Mewujudkan Good Governance 
Secara analogi, governance dalam konteks organisasi secara biasa , baik berbentukorganisasi perusahaan maupun organisasi publik atau sosial lainnya, maka mampu diartikan pula selaku suatu metode dan struktur yang baik dan benar yang menciptakan kejelasan prosedur kekerabatan organisasi baik secara internal maupun eksternal. Good governance terwujud dalam implementasi dan penegakan (enforcement) dari sistem dan struktur yang sudah tersusun dengan baik. Implementasi dan penegakan tersebut bertumpu pada, biasanya, lima prinsip yang universal ialah: responsibility, accountability, fairness, independency, dan transparency. 
Kelima prinsip fundamental tersebut dapat dijelaskan secara singkat berikut ini: 
  • Responsibility: kesesuaian di dalam pengelolaan perusahaan terhadap prinsip korporasi yang sehat serta peraturan perundangan yang berlaku; 
  • Accountability: kejelasan fungsi, struktur, metode dan mekanisme pertanggungjawaban organ perusahaan sehingga pengelolaan perusahaan terealisasi secara efektif; 
  • Fairness: perlakuan yang adil dan setara di dalam memenuhi hak-hak stakeholder yang timbul menurut perjanjian dan peraturan perundangan yang berlaku; 
  • Independency: pengelolaan secara profesional, menyingkir dari benturan kepentingan dan tekanan pihak manapun sesuai peraturan perundangan yang berlaku; 
  • Transparency: keterbukaan isu di dalam proses pengambilan keputusan dan di dalam mengungkapkan berita material dan relevan tentang perusahaan. 
Kelima prinsip tersebut bukanlah harga mati atau one size fits all, artinya dalam menerapkan dan menegakkan good governance kelima prinsip tersebut diubahsuaikan dengan budaya dan duduk perkara masing-masing institusi yang hendak menjalankannya. Disamping itu, apabila mengusut aneka macam code of conduct ataupun best practice dari aneka macam institusi di aneka macam negara, maka kelima prinsip dasar tersebut nyaris senantiasa mampu didapatkan sebab sifatnya yang universal. Namun demikian, perlu diperhatikan pula bahwa kelima prinsip ini sifatnya evolutionary in nature, artinya meningkat sesuai kebutuhan dan dinamika penduduk yang menerapkan dan menegakkannya. 
Juga, praktik good governance di berbagai institusi di beberapa negara mengajarkan bahwa good governance is about time as well, artinya penerapan dan penegakan good governance tidak semudah membalikkan telapak tangan, melainkan akan terkait dekat dengan waktu, mengenang perubahan yang hendak dijalankan yaitu tidak sedikit dan tidak sederhana, terutama pada aspel mental dan budaya masyarakat yang hendak menerapkan dan menegakkan good governance. 
1. Public Governance 
Perspektif sektor publik terhadap good governance menempatkan proses pencapaian tujuan bareng dalam bernegara yang melibatkan pemerintah, dunia perjuangan, dan masyarakat melalui tata cara manajemen negara. Untuk mampu tercapainya tujuan tersebut, maka pastinya masing-masing institusi/lembaga negara harus secara berbarengan menerapkan dan menegakkan good governance. 
Hal ini dapat efektif diraih lewat administrasi publik/birokrasi yang bisa dalam menjalankan peran, peran dan fungsinya secara betul-betul , sarat rasa tanggungjawab, yang dikerjakan secara efektif, efisien, kongkalikong, dan nepotisme, untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan seluruh penduduk dan warga negara. Seperti halnya pada sektor privat, maka penerapan dan penegakan prinsip-prinsip good governance pada sektor publik menjadi prasyarat mutlak pula dalam merealisasikan good governance atau clean government. 
Prinsip-prinsip good governance pada dasarnya mengandung nilai yang bersifat obyektif dan universal yang menjadi acuan dalam memilih standar atau indikator dan ciri-ciri/karekteristik penyelenggaraan pemerintahan negara yang bagus. Prinsipprinsip good governance dalam praktek penyelenggaraan Negara dituangkan dalam 7 (tujuh) asas-asas biasa penyelenggaraan negara sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Kolusi dan Nepotisme. 
Adapun prinsip atau asas lazim dalam penyelenggaraan negara meliputi : 
  1. Asas Kepastian Hukum yaitu asas dalam negara hukum yang memprioritaskan landasan peraturan perundang-usul, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan Penyelenggara Negara.
  2. Asas Tertib Penyelenggaraan Negara ialah asas yang menjadi landasan keteraturan, keharmonisan, dan keseimbangan, dalam pengendalian Penyelenggara Negara. 
  3. Asas Kepentingan Umum adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif. 
  4. Asas Keterbukaan ialah asas yang membuka diri terhadap hak penduduk untuk menemukan isu yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif, ihwal penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan tunjangan atas hak asasi langsung, kalangan, dan diam-diam negara. 
  5. Asas Proporsionalitas yaitu asas yang memprioritaskan keseimbangan antara hak dan keharusan Penyelenggara Negara. 
  6. Asas Profesionalitas adalah asas yang mengutamakan kemampuan yang berlandaskan aba-aba etik dan ketentuan peraturan perundang-ajakan yang berlaku. 
  7. Asas Akuntabilitas yakni asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil simpulan dari kegiatan Penyelenggara Negara mesti mampu dipertanggungjawabkan kepada penduduk atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-ajakan yang berlaku. 
Good governance pada sektor publik di Indonesia diamanatkan terhadap tiga bagian ialah: 
• Eksekutif; 
• Yudikatif; dan 
• Legislatif. 
Tulisan ini difokuskan pada pembahasan good governance yang diamanatkan kepada legislatif yang diemban oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Dalam mengerjakan perannya selaku wakil rakyat, DPRD melaksanakan tiga fungsi utama, yakni: 
  • Fungsi legislasi; 
  • Fungsi penganggaran; dan 
  • Fungsi pengawasan. 
Ketiga fungsi tersebut mesti dikerjakan dengan baik/sempurna/layak, sebagaimana diinspirasikan dari analogi seaworthy pada kapal Titanic sebelumnya. Penerapan dan penegakan tersebut bertumpu pada asas fiduciary duty: ialah bahwa pengangkatan setiap anggota dewan perwakilan rakyat/DPRD didasarkan pada asas keyakinan (dari rakyat) bahwa setiap anggota yang diangkat akan melaksanakan fungsi dan kiprahnya dengan menjunjung tinggi duties sbb: 
  • Duty of skill and care;
  • Duty to act in bona fide; 
  • Duty of good faith; 
  • Duty of loyalty; 
  • Duty of honesty. 
Singkatnya, bahwa para wakil rakyat tersebut diyakini oleh rakyat yang memilihnya mempunyai kesanggupan yang bagus untuk perform tugas, tugas, dan kewenangan yang diamanatkan. Dalam mengemban amanah tersebut, diyakini rakyat bahwa para wakil tersebut memiliki kemampuan/kompetensi dan integritas tinggi, akan melakukan tugasnya dengan profesional dan akad sarat , serta selalu menjunjung niat baik, kesetiaan, dan kejujuran. 12 Fungsi Legislasi Fungsi legislasi ialah sebuah proses untuk mengakomodasi banyak sekali kepentingan para pihak (stakeholders), untuk menetapkan bagaimana pembangunan di daerah akan dilakukan. 
Fungsi legislasi bermakna penting dalam beberapa hal berikut: 
  • Menentukan arah pembangunan dan pemerintahan di kawasan; 
  • Dasar perumusan kebijakan publik di kawasan; 
  • Sebagai kesepakatan sosial di tempat; 
  • Pendukung Pembentukan Perangkat Daerah dan Susunan Organisasi Perangkat Daerah 
  Teladan Jurnal Peranan Bauran Pemasaran (Marketing Mix) Terhadap Kenaikan Pemasaran (Suatu Kajian Kepada Bisnis Restoran)
Disamping itu, dalam melaksanakan fungsi legislasi ini DPRD berperan pula sebagai policy maker, dan bukan policy implementer di kawasan. Artinya, antara DPRD selaku pejabat publik dengan penduduk selaku stakeholders, ada persetujuan sosial yang dilandasi dengan fiduciary duty. Dengan demikian, fiduciary duty ini harus dijunjung tinggi dalam setiap proses fungsi legislasi. Dalam praktik dan realita saat ini, proyeksi good public governance pada fungsi legislasi saat ini masih memerlukan banyak penataan dan transformasi ke arah yang lebih baik. 
Peningkatan tampilan tersebut mampu dilakukan antara lain dengan: 
  • Peningkatan pengertian wacana perencanaan dalam fungsi legislasi; 
  • Optimalisasi anggota DPRD dalam mengakomodasi aspirasi stakeholders; 
  • Ditumbuhkannya inisiatif DPRD dalam penyusunan RAPERDA; 
  • Ditingkatkannya kemmapuan analisis (kebijakan publik & aturan) dalam proses penyusunan RAPERDA; 
  • Pemahaman yang lebih baik atas fungsi perwakilan dalam fungsi legislasi; dll. 
Fungsi Penganggaran 
Fungsi penganggaran merupakan penyusunan dan penetapan anggaran pendapatan dan belanja tempat bahu-membahu pemerintah kawasan. Dalam melaksanakan fungsi ini, DPRD mesti terlibat secara aktif, proaktif, dan bukan reaktif & selaku legitimator ajuan APBD proposal pemerintah tempat; 
Fungsi penganggaran ini perlu memperoleh perhatian sarat , mengenang makna pentingnya selaku berikut:
  • APBD sebagai fungsi kebijakan fiskal (fungsi alokasi, fungsi distribusi, & fungsi stabilisasi); 
  • APBD selaku fungsi investasi daerah; 
  • APBD selaku fungsi manajemen pemerintahan tempat (fungsi penyusunan rencana, fungsi otorisasi, fungsi pengawasan). 
Dalam konteks good governance, maka tugas serta DPRD harus diwujudkan dalam tiap proses penyusunan APBD dengan menjunjung fiduciary duty. Prinsip-prinsip universal good governance dalam konteks GCG, ialah TARIF/RAFIT principles, sungguh sempurna kalau dapat diterapkan secara faktual dalam melaksanakan fungsi penganggaran ini. 
Adapun good public governance pada fungsi penganggaran saat ini dapat lebih berperan secara konkrit apabila menemukan perhatian dan ketelitian dalam beberapa hal berikut: 
  • Penyusunan KUA (Kebijakan Umum APBD), antara lain: Efektifitas pembentukan jaring asmara; Eliminasi kepentingan individu, golongan, dan kelompok; Pembenahan penyusunan RPJMD dan Renstra-SKPD; Peningkatan kapasitas pemerintah tempat dan DPRD dalam merumuskan KUA 
  • Penyusunan PPAS, antara lain: Akuntabilitas kepada nilai budget; Kelengkapan data-data penunjang; Peningkatan kapasitas anggota DPRD dan pemerintah kawasan dalam menyusun prioritas permasalahan dan program; Kesesuaian antara prioritas acara dengan kebutuhan rakyat 
  • Raperda APBD 
  • Sosialisasi Perda APBD 

Fungsi Pengawasan 

Fungsi pengawasan ialah salah satu fungsi administrasi untuk menjamin pelaksanaan kegiatan sesuai dengan kebijakan dan planning yang sudah ditetapkan serta memutuskan tujuan mampu tercapai secara efektif dan efisien. 
Fungsi ketiga ini mempunyai arti penting, baik bagi pemerintah daerah maupun pelaksana pengawasan. Bagi pemerintah daerah, fungsi pengawasan merupakan sebuah mekanisme perayaan dini (early warning system), untuk menemani pelaksanaan acara mencapai tujuan dan sasaran. Sedangkan bagi pelaksana pengawasan, fungsi pengawasan ini merupakan tugas mulia untuk menawarkan telaahan dan usulan, berupa langkah-langkah perbaikan. 
Disamping itu, pengawasan mempunyai tujuan utama, antara lain: 
  • Menjamin agar pemerintah tempat berjalan sesuai dengan planning; 
  • Menjamin kemungkinan tindakan koreksi yang cepat dan sempurna kepada penyimpangan dan penyelewengan yang ditemukan; 
  • Menumbuhkan motivasi, perbaikan, penghematan, abolisi penyimpangan; 
  • Meyakinkan bahwa kinerja pemerintah daerah sedang atau sudah meraih tujuan dan target yang telah ditetapkan. 
Namun demikian, praktik good public governance pada fungsi pengawasan saat ini masih memerlukan beberapa improvement semoga mampu mencapai maksudnya tersebut. 
Fungsi pengawasan dapat diselaraskan dengan tujuannya, antara lain dengan melakukan beberapa hal berikut: 
  • Memaknai secara benar fungsi dan tujuan pengawasan, sehingga mampu menjadi mekanisme check & balance yang efektif; 
  • Optimalisasi pengawasan supaya dapat menunjukkan bantuan yang diperlukan pada pengelolaan pemerintahan daerah; 
  • Penyusunan jadwal pengawasan DPRD; 
  • Perumusan patokan, tata cara, dan prosedur baku pengawasan DPRD; 
  • Dibuatnya prosedur yang efisien untuk partisipasi masyarakat dalam proses pengawasan, dan saluran penyampaian isu masyarakat mampu berfungsi efektif sebagai salah satu alat pengawasan
Disadari pula bahwa untuk mampu mengadakan perbaikan, penataan, reformasi, atau transformasi dari existing performance ke future performance DPRD diperlukan seni manajemen yang tepat. Lembaga Administrasi Negara dalam kertas kerjanya mengajukan beberapa seni manajemen yang diharapkan mampu diterapkan secara efektif pada sektor publik, adalah sebagai berikut: 
1. Pemberantasan KKN. Sebagai prasyarat penerapan good governance yakni adanya pemerintah yang higienis (clean government). Untuk merealisasikan clean government perlu adanya kesepakatan dari seluruh unsur bangsa dalam upaya pemberantasan KKN. Namun upaya Pemberantasan KKN tidak cukup dikerjakan hanya dengan kesepakatan semata, diharapkan pula upaya konkret yang sungguhsungguh baik dalam pencegahan, penanggulangan, dan pemberantasannya.
2. Reformasi birokrasi/administrasi publik. Pemerintah merupakan bagian yang paling berperan dalam penyelenggaraan negara. Pemerintah dari tingkat pusat, propinsi maupun kabupaten/kota melakukan fungsi-fungsi pengaturan dan bantuan pelayanan. Upaya merealisasikan good governance perlu dilakukan terlebih dulu dengan menempatkan pemerintah dalam fungsi yang sesungguhnya melalui reformasi birokrasi sehingga akan terwujud clean government yang menjadi prasyarat utama untuk merealisasikan good governance. Reformasi birokrasi mampu dijalankan antara lain lewat upaya managerial efficiency and effectiveness dalam penggunaan sumber-sumber daya, kemitraan dengan sektor swasta dalam penyediaan pelayanan, desentralisasi, dan penggunaan teknologi informasi. 
3. Penyempurnaan aneka macam peraturan perundang-permintaan. Salah satu fungsi DPRD adalah fungsi legislasi yakni meyusun peraturan perundang-seruan yang menertibkan kehidupan penduduk dan negara. Namun demikian, tidak serta merta seluruh kehidupan masyarakat dikelola melalui peraturan perundang-undangan. Peraturan cuma dibuat bila perlu intervensi pemerintah untuk menertibkan. Penyusunan peraturan yang efisien akan memiliki efek pada efektivitas dalam hal penegakan hukumnya. 
4. Kejelasan fungsi dan peran setiap instansi pemerintah. Kejelasan fungsi dan tugas yang dijalankan oleh setiap instansi pemerintah dalam penyelenggaraan negara. Hal tersebut diwujudkan dalam korelasi antar instansi pemerintah, antara instansi pemerintah dengan legislatif, antara instansi pemerintah dengan masyarakat (publik), dengannya akan menyingkir dari terjadinya tumpang tindih peran yang dilaksanakan. 
5. Peningkatan kapasitas dan kapabilitas. The right man on the right place menjadi usulanutama dalam menempatkan orang-orang yang tepat pada setiap posisi manajerial dan fungsional untuk menjamin DPRD berfungsi efektif dan mampu menghasilkan kinerja yang optimal. Pengembangan sumber daya manusia sesuai dengan kebutuhan peningkatan kinerja organisasi. Hal ini perlu diikuti pula dengan evaluasi kinerja. Tentunya biar dapat berlangsung dengan baik sesuai rencana dan harapan, maka harus dimulai sejak penyeleksian calon anggota dewan.
6. Peningkatan akuntabilitas. Setiap instansi pemerintah dituntut untuk mempertanggungjawabkan setiap amanah yang diberikannya tergolong penggunaan anggaran yang dipercayakan kepadanya. Untuk mampu melakukan tugas yang akuntabel tentunya perlu disusun terlebih dulu planning strategis dan planning operasional tahunan, membuatkan contoh-contoh pelaksanaan, pengawasan, pengendalian, serta penilaian dan pelaporan pelaksanaan tugas-tugas yang transparan. 
7. Transparan dalam pengambilan keputusan. Transparan ihwal bagaimana keputusan diambil. Keputusan diambil dengan menimbang-nimbang gosip yang berkualitas, rekomendasi stakeholders, nara sumber/andal serta memikirkan banyak sekali efek yang mungkin ditimbulkan. Agar setiap keputusan yang telah diambil dapat dipertanggungjawabkan secara proses, maka perlu dikerjakan dokumentasidokumentasi tertentu berhubungan dengan proses tersebut, sehingga setiap kesalahankesalahan atau penyimpangan-penyimpangan dalam pengambilan keputusan mampu dideteksi dari hasil dokumentasi tersebut. Dokumentasi ini mempunyai arti penting dalam upaya secara terus menerus memperbaiki metode manajemen pemerintahan dalam rangka menciptakan pemerintahan yang higienis. 
8. Penerapan nilai budaya kerja dalam praktek penyelengaraan negara. Pengembangan nilai budaya kerja dengan mengadopsi nilai-nilai sopan santun dan budpekerti yang dianggap baik dan aktual, yang mencakup nilai sosial budaya yang positif yang relevan, norma atau kaidah, etika dan nilai kinerja yang produktif yang bersumber dari agama, falsafah, tradisi, dan sistem kerja terbaru sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Nilai tersebut dipedomani dalam upaya memajukan produktivitas dan kinerja dalam penyelenggaraan pemerintahan negara. 
9. Pemanfaatan Teknologi Informasi. Pemanfaatan teknologi informasi dalam setiap proses penyelenggaraan pemerintahan akan mendorong: 
  • Transparansi, aksesibilitas berita, dan akuntabilitas; 
  • Pengambilan keputusan yang didukung dengan informasi yang akurat; 
  • Partisipasi publik; dan 
  • Meningkatkan kualitas pelayanan. 
  Penyuluhan Keahlian Batik Tulis
10. Code of Conducts. Upaya lain yang dilaksanakan untuk mewujudkan good governance yakni dengan menerapkan code of conducts bagi para pejabat publik. Code of conducts ialah prinsip-prinsip yang mesti ditaati oleh setiap pejabat publik secara perorangan baik dalam tingkah laris dikala mereka bekerjasama dengan publik dan pihak legislatif, maupun dalam pelaksanaan tugas sehari-hari sehingga terhindar dari praktek diskriminasi dan pelecehan, praktek pengelolaan isu yang dapat disampaikan terhadap publik dan yang harus dirahasiakan, praktek penggunaan kemudahan-akomodasi yang diberikan dalam pelaksanaan tugas pemerintahan untuk kepentingan langsung, keterlibatan dalam organisasi politik, praktek penggunaan imbas untuk kepentingan pribadi, keterlibatan dengan pekerjaan di luar kantor pada jam kerja, praktek KKN, dan larangan mendapatkan aneka macam sumbangan dari pihak lain yang mempunyai kaitan dengan pelaksanaan tugas. 
Penyusunan seni manajemen dibutuhkan untuk memilih arah pergantian yang akan dikerjakan. Namun demikian, taktik juga akan menjadi sekedar penyusunan kertas kerja saja jika tidak diikuti kebulatan tekad dan semangat untuk betul-betul menerapkan dan menegakkannya. Setiap pengangkatan anggota dewan tidak bersifat “gratis”, namun kelak di ujung era jabatannya akan dimintai pertanggungjawaban atau akuntabilitasnya.
Pada dasarnya akuntabilitas merupakan salah satu bentuk konsekwensi dari penerimaan sebuah tugas. Pertanggungjawaban ini mesti disampaikan kepada pihak yang sudah mengangkat/menunjukya untuk melaksanakan peran tersebut, dalam hal ini yakni rakyat. DPRD harus mampu menjelaskan setiap langkah strategis yang sudah dicanangkan dibarengi klarifikasi atas pencapaian atau realisasinya. 
Hambatan dalam pelaksanaan good governance antara lain : 
  1. Belum adanya tata cara akuntansi pemerintahan kawasan yang bagus yang dapat mendukung pelaksanaan pencatatan dan pelaporan secara tangguh. 
  2. Sangat terbatasnya jumlah personil pemerintah kawasan yang berlatar belakang pendidikan Akuntansi, sehingga mereka tidak begitu peduli dengan masalah ini. 
  3. Belum adanya tolok ukur akuntansi keuangan sektor publik yang baku. 
Penguatan fungsi pengawasan mampu dijalankan melalui optimalisasi tugas DPRD sebagai kekuatan penyeimbang (balance of power) bagi eksekutif kawasan dan partisipasi masyarakat secara eksklusif maupun tidak langsung melalui LSM dan organisasi sosial kemasyarakatan di daerah (social control) 
D. Penutup 
Optimalisasi tugas DPRD ialah keperluan yang harus secepatnya diupayakan jalan keluarnya, agar mampu melaksanakan tugas, wewenang, dan hak-haknya secara efektif sebagai forum legislatif tempat. Optimalisasi tugas ini oleh alasannya adalah sungguh tergantung dari tingkat kesanggupan anggota DPRD, maka salah satu upaya yang dijalankan mampu diidentikkan dengan upaya peningkatan kualitas anggota DPRD. Buah dari peningkatan kualitas mampu diukur dari seberapa besar tugas DPRD dari sisi kemitra sejajaran dengan forum direktur dalam menyusun anggaran, menyusun dan memutuskan berbagai perda, serta dari sisi kendali yakni sejauhmana DPRD telah melaksanakan pengawasan secara efektif kepada Kepala Daerah dalam pelaksanaan APBD atau kebijakan publik yang sudah ditetapkan. 
Namun yang juga tidak kalah pentingnya, optimalisasi tugas DPRD ini alangkah lebih baik jikalau diikuti dengan peningkatan pemehaman tentang “adat politik” bagi anggota DPRD, biar pelaksanaan fungsi-fungsi budget, legislasi, dan pengawasan dapat berjalan secara etis dan proporsional. Dengan pengertian yang mendalam tentang budpekerti politik, setiap anggota DPRD tentu akan bisa menempatkan dirinya secara proporsional, baik dalam mengatakan maupun bersikap atau bertindak, serta tidak melupakan posisinya selaku wakil rakyat yang telah memilihnya. Sebagai salah satu contoh adalah tidak etis kalau dalam situasi krisis yang multidimensional ini, anggota DPRD lebih mementingkan diri dan golongannya, dibandingkan dengan memperjuangkan nasib rakyat yang diwakilinya. Isue “money politics” dalam penyeleksian Kepala Daerah di beberapa daerah dan derasnya arus demontrasi yang menyoroti usaha anggota DPRD dalam memaksimalkan gaji dan kesejahteraannya, mesti ditangkap sebagai pengalaman berguna untuk perbaikan di abad-kala mendatang.
Adanya kemungkinan implikasi, baik yang bersifat politik maupun yang bersifat negatif seperti yang diuraikan di atas adalah didasarkan pada perkiraan bhe Pimpinan dan anggota-anggota DPRD berada dalam kualifikasi ideal dalam arti memahami hak, peran, dan wewenangnya serta bisa mengaplikasikannya secara baik, didukung dengan tingkat pendidikan dan pengalaman (kematangan) di bidang politik dan pemerintahan yang memadai. Dengan asumsi ini, adanya situasi kondusif yang memungkinkan terlaksananya kemitraan dan pengawasan, atau bahkan terjadi konflik antara kedua lembaga tersebut, menunjukkan dinamika politik alasannya adalah DPRD mampu memainkan perannya secara baik
Tetapi yang perlu diantisipasi adalah bila kenyataan yang ada memperlihatkan tingkat kualitas dan kemampuan anggota DPRD berkebalikan dengan kualifikasi ideal selaku anggota legislatif, sehingga : 
  1. Jika implikasinya bersifat nyata, maka ada kemungkinan besar telah terjadi kongkalikong di antara pemain film-pemeran yang mendominasi kedua forum tersebut. Dengan kata lain, bisa jadi DPRD kembali tidak berperanan sebagaimana mestinya alasannya adalah tanpa disadari sudah disub-ordinasi oleh Pemda. 
  2. Jika implikasinya bersifat negatif, maka ada kemungkinan kedua belah pihak memang tidak mengerti dan tidak bisa memainkan kiprahnya secara sebaiknya
Kita tentu berharap bahwa yang terjadi yaitu DPRD betul-betul mampu berperanan dalam arti bisa menggunakan hak-haknya secara tepat, melakukan tugas dan kewajibannya secara efektif dan menempatkan kedudukannya secara proporsional. Hal ini dimungkinkan jika setiap anggota DPRD bukan saja piawai dalam berpolitik, melainkan juga menguasai wawasan yang cukup dalam hal konsepsi dan teknis penyelenggaraan pemerintahan, teknis pengawasan, penyusunan budget, dan lain sebagainya.
REFERENSI: 
1. H.A. Kartiwa, Good Local Governance : Membangun Birokrasi Pemerintah yang Bersih dan Akuntabel, (makalah), 2006. 
2. Indra Perwira, Tinjauan Umum Peran dan Fungsi DPRD, KPK Jakarta, 2006. 
3. Mardiasmo, Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. 
4. Materi Lokakarya Peningkatan Peran Anggota DPRD, diselenggarakan oleh KPK, Jakarta, 7-8 Juni 2006. 
5. Yusuf Anwar, Good Governance dalam Rangka Optimalisasi Fungsi dan Peran DPRD, KPK, Jakarta 2006.