Contoh cerpen terkenal:
“Siang, sepulang sekolah, Olga dan Wina nongkrong di fastfood PI Mall. Olga sibuk membaca formulir penda..aran jadi penyiar di TV Swasta. Sedang Wina menemani sambil matanya jelalatan ngeceng pemuda-pemuda melalui.
Suasana PI Mall siang itu cukup ramai. Ya, pusat pertokoan memang senantiasa ramai. Ramai oleh sampaumur. Yang kerjanya hanya window shopping. Ngelihat-lihat barang mewah tanpa punya duit buat beli. Mungkin sebab memang telah kehabisan hiburan yang inovatif. Ya, habis mau ngapain lagi? Ada tanah kosong sedikit, eksklusif dibuat plaza.
Kayaknya rakyat Indonesia itu makmur banget. Senang buang-buang duit. Buktinya pusat belanja ada di mana-mana. Sampai ke tempat terpencil. Padahal kalo diliat-liat, yang bisa beli orangnya yang itu-itu juga. Anak dewasa lainnya sih cuma numpang ngase (ngase lho, bukan ngaso! Maksudnya numpang ngademin di-AC).”
Contoh pecahan novel sastra nonpopuler:
“Kabar untuk Sofi”
Betul kamu bilang, Sofi. Kata orang puisi ialah nurani. Demikianlah panyair-penyair di Negeri Bayang sepertimu akan disertai oleh para orang bernurani setiap mereka akan mati.
Katamu, akan ada penyair yang dikala kematiannya, orang tua dan anak muda yang berhati nurani pun akan menangis dan rela menjadi pelayatnya walau sebelumnya tak pernah mengenal biografi si penyair.
Katamu, mereka akan mengirimkan jenazah si penggubah kata sampai ke lubang makam. Kau bilang suara doa, untaian puisi, lagu kerakyatan, akan terdengar ketika tanah digali dan bunga-bunga akan secepatnya menyusul. Bunga mawar dan bunga doa untuk kaummu, Sofie terkasih.
Puisi adalah nurani, bisikmu. Demikianlah, kau yakin kata-kata akan menyusup ke pendengaran para penghuni kota yang menangis dan tersisih. Yang tertidur akan bangun, karena tergugah oleh kata-kata perlawanan dari beberapa untai syair.
Tapi engkau tahu. Betapa syair belum bisa menusuk kuping-telinga para penjaga pintu peradilan dan para pengawal gedung badan legislatif.
Betapa pasal-pasal di kitab undang-undang negeri Bayang saja sudah disulap menjadi untaian kata-kata tak mempunyai arti yang orang-orang akan mudah terjebak oleh para pembuat undang-undangnya.
…………………….
(Dikutip dari cerpen Sihar Ramses Simatupang, Kompas, 28 Oktober 2007)
Pada puisi, penggunaan kata mempunyai arti denotasi dan konotasi harus lewat penelaahan pada isi puisi keseluruhan. Diksi atau kata yang diseleksi oleh penyair tidak berdiri sendiri. Sebuah kata mampu mengandung banyak makna alasannya adalah prinsip kepadatan serta komponen lisan pada puisi.
Penyair dapat saja mengungkapkan wanita yang dikasihinya dengan istilah bernilai rasa bernafsu mirip istilah betina, tetapi tidak bermakna kekasihnya wanita pembangkang, malahan sebaliknya alasannya intensitas kemesraannya. Untuk puisi semua dapat sah-sah saja bergantung pada kemauan dan maksud penulisnya.
Contoh potongan puisi:
“PAHLAWAN TAK DIKENAL”
Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring
Tetapi bukan tidur, sayang
Sebuah lubang peluru lingkaran di dadanya
Senyum bekunya mau berkata, kita sedang perang
………………………………………………………………….
Oleh: Toto Sudarto Bachtiar
Puisi di atas memakai kata berkonotasi halus seperti, terbaring, lubang peluru lingkaran di dadanya, dan senyum beku yang memiliki arti mati, tertembak dan sarat ikhlas.
Jadi, pemakaian kata-kata berkonotasi halus merefleksikan perilaku hormat penyairnya kepada satria yang tulus mengorbankan jiwa dan raganya untuk membela tanah air.
Bandingkan dengan puisi berikut:
“TAK SEPADAN”
Aku kira:
Beginilah nanti balasannya
Kau kawin, beranak, dan berbahagia
Sedang aku mengembara serupa Ahasveros.
…………………………………………….
…………………………..
Melayang kenangan ke biniku
Lautan yang belum terduga
Biar lebih kami tujuh tahun bersatu
……………………………..
Perhatikan penggalan puisi Chairil Anwar: Yang pertama memakai kata-kata berkonotasi kasar seperti: kawin dan beranak. Dan pada puisi kedua terdapat pemakaian kata bini.
Penggunaan bahasa sehari-hari banyak terdapat pada puisi Mbeling (suatu fatwa puisi terbaru yang dimotori oleh Remy Silado).