Anutan Feminisme


ALIRAN FEMINISME 
 Ada beberapa anutan dalam gerakan feminisme di dunia antara lain :
1.    Feminisme Liberal. Gerakan ini timbul di permulaan era 18, bersama-sama dengan lahirnya zaman pencerahan. Tuntutannya ialah kebebasan dan kesamaan terhadap terusan pendidikan, pembaruan aturan yang bersifat diskriminatif. Sedangkan dasar pemikirannya ialah persepsi rasionalis serta pemisahan ruang privat dan publik. Kaum feminis liberal menuntut kesempatan yang sama bagi setiap individu, tergolong perempuan. Apa yang disebut selaku Feminisme Liberal adalah persepsi untuk menempatkan wanita yang mempunyai kebebasan secara sarat dan perorangan. Aliran ini menyatakan bahwa keleluasaan dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Setiap insan -demikian menurut mereka- punya kapasitas untuk berpikir dan bertindak secara rasional, begitu pula pada perempuan. Akar ketertindasan dan keterbelakngan pada perempuan yaitu karena disebabkan oleh kesalahan wanita itu sendiri. Perempuan mesti menyiapkan diri biar mereka mampu berkompetisi di dunia dalam kerangka “persaingan bebas” dan punya kedudukan setara dengan lelaki.
Feminis Liberal memilki pandangan perihal negara selaku penguasa yang tidak memihak antara kepentingan golongan yang berlawanan yang berasl dari teori pluralisme negara. Mereka menyadari bahwa negara itu didominasi oleh kaum Pria, yang terlefleksikan menjadi kepentingan yang bersifat “maskulin”, tetapi mereka juga menganggap bahwa negara dapat didominasi besar lengan berkuasa oleh kepentiangan dan pengaruh kaum laki-laki tadi. Singkatnya, negara yakni cerminan dari kalangan kepentingan yang memeng mempunyai kontrol atas negara tersebut. Untuk kebanyakan kaum Liberal Feminis, perempuan cendrung berada “didalam” negara cuma sebatas warga negara bukannya selaku pembuat kebijakan. Sehingga dalam hal ini ada ketidaksetaraan perempuan dalam politik atau bernegara. Pun dalam kemajuan berikutnya, persepsi dari kaum Feminist Liberal tentang “kesetaraan” setidaknya mempunyai pengaruhnya tersendiri terhadap perkembangan “imbas dan kesetaraan perempuan untuk melakukan acara politik seperti menciptakan kebijakan di sebuah negara”.Tokoh pemikiran ini adalah Naomi Wolf, sebagai “Feminisme Kekuatan” yang merupakan penyelesaian. Kini perempuan sudah memiliki kekuatan dari sisi pendidikan dan pendapatan, dan wanita mesti terus menuntut persamaan haknya serta saatnya sekarang perempuan bebas berkehendak tanpa tergantung pada laki-laki.
Feminisme liberal mengusahakan untuk menyadarkan perempuan bahwa mereka ialah golongan tertindas. Pekerjaan yang dilaksanakan wanita di sektor domestik dikampanyekan selaku hal yang tidak produktif dan menempatkab wanita pada posisi sub-ordinat. Budaya penduduk Amerika yang materialistis, mengukur segala sesuatu dari materi, dan individualis sangat mendukung keberhasilan feminisme. Wanita-wanita tergiring keluar rumah, berkarier dengan bebas dan tidak tergantung lagi pada laki-laki.
Akar teori ini bertumpu pada keleluasaan dan kesetaraaan rasionalitas. Perempuan adalah makhluk rasional, kemampuannya sama dengan laki-laki, sehingga harus diberi hak yang serupa juga dengan pria. Permasalahannya terletak pada produk kebijakan negara yang bias gender. Oleh alasannya itu, pada era 18 sering muncul permintaan supaya prempuan mendapat pendidikan yang sama, di abad 19 banyak upaya memperjuangkan peluang hak sipil dan ekonomi bagi perempuan, dan di periode 20 organisasi-organisasi wanita mulai dibentuk untuk menentang diskriminasi seksual di bidang politik, sosial, ekonomi, maupun personal. Dalam konteks Indonesia, reformasi aturan yang berprerspektif keadilan lewat desakan 30% kuota bagi perempuan dalam parlemen yakni bantuan dari pengalaman feminis liberal.
2.    Feminisme Radikal, yang mengacu pada desain biological essentialism (perbedaan esensi biologis). Pendekatannya adalah apa saja yang bekerjasama dengan makhluk laki laki ialah negatif dan menindas. Penganut anutan ini juga menolak adanya institusi keluarga, baik secara teoritis maupun mudah. Trend ini timbul semenjak pertengahan tahun 1970-an di mana aliran ini menawarkan ideologi “usaha separatisme wanita”. Pada sejarahnya, pemikiran ini timbul sebagai reaksi atas kultur seksisme atau dominasi sosial berdasar jenis kelamin di Barat pada tahun 1960-an, khususnya melawan kekerasan seksual dan industri pornografi. Pemahaman penindasan laki-laki kepada wanita yakni satu fakta dalam sistem penduduk yang kini ada. Dan gerakan ini yaitu sesuai namanya yang “radikal”.
Feminis Liberal memilki persepsi mengenai negara selaku penguasa yang tidak memihak antara kepentingan kelompok yang berlainan yang berasl dari teori pluralisme negara. Mereka menyadari bahwa negara itu didominasi oleh kaum Pria, yang terlefleksikan menjadi kepentingan yang bersifat “maskulin”, tetapi mereka juga menilai bahwa negara dapat didominasi kuat oleh kepentiangan dan imbas kaum laki-laki tadi. Singkatnya, negara yakni cerminan dari kalangan kepentingan yang memeng mempunyai kendali atas negara tersebut. Untuk pada umumnya kaum Liberal Feminis, wanita cendrung berada “didalam” negara cuma sebatas warga negara bukannya sebagai pembuat kebijakan. Sehingga dalam hal ini ada ketidaksetaraan perempuan dalam politik atau bernegara. Pun dalam pertumbuhan selanjutnya, persepsi dari kaum Feminist Liberal mengenai “kesetaraan” setidaknya memiliki pengaruhnya tersendiri kepada perkembangan “imbas dan kesetaraan perempuan untuk melakukan acara politik seperti menciptakan kebijakan di sebuah negara”.
Aliran ini bertumpu pada pandangan bahwa penindasan terhadap perempuan terjadi akibat metode patriarki. Tubuh wanita ialah objek utama penindasan oleh kekuasaan pria. Oleh karena itu, feminisme radikal mempermasalahkan antara lain badan serta hak-hak reproduksi, seksualitas (tergolong lesbianisme), seksisme, hubungan kuasa perempuan dan pria, dan dikotomi privat-publik. “The personal is political” menjadi ide anyar yang mampu menjangkau masalah prempuan hingga ranah privat, persoalan yang dianggap paling tabu untuk diangkat ke permukaan. Informasi atau persepsi jelek (black propaganda) banyak ditujukan terhadap feminis radikal. Padahal, alasannya pengalamannya membongkar masalah-masalah privat inilah Indonesia ketika ini memiliki Undang Undang RI no. 23 wacana Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT)
3.    Feminisme Post Modern, Ide Posmo – berdasarkan fikiran mereka – ialah ide yang anti absolut dan anti otoritas, gagalnya modernitas dan pemilahan secara berlainan-beda tiap fenomena sosial karena penentangannya pada penguniversalan pengetahuan ilmiah dan sejarah. Mereka berpendapat bahwa gender tidak berarti identitas atau struktur sosial.
4.    Feminism Anarkis, lebih bersifat selaku sebuah paham politik yang mencita-citakan masyarakat sosialis dan menganggap negara dan tata cara patriaki-dominasi lelaki yakni sumber persoalan yang sesegera mungkin mesti dihancurkan
5.    Feminisme Marxis Tradisional, yang mendasarkan pada marxisme. Para penganutnya memperjuangkan perlawanan terhadap metode sosial ekonomi yang eksploitatif terhadap wanita. Penindasan terhadap wanita ialah bagian dari penindasan kelas dalam tata cara produksi. Seiring dengan revolusi proletar yang meruntuhkan tata cara kelas, maka penindasan terhadap wanita juga akan hilang. Aliran ini memandang dilema perempuan dalam kerangka kritik kapitalisme. Asumsinya sumber penindasan perempuan berasal dari eksploitasi kelas dan cara bikinan. Teori Friedrich Engels dikembangkan menjadi landasan fatwa ini—status perempuan jatuh alasannya adalah adanya rancangan kekayaaan eksklusif (private property). Kegiatan buatan yang semula bermaksud untuk menyanggupi keperluan sendri berubah menjadi kebutuhan pertukaran (exchange). Laki-laki mengatur produksi untuk exchange dan sebagai konsekuensinya mereka mendominasi hubungan sosial. Sedangkan perempuan direduksi menjadi bagian dari property. Sistem buatan yang berorientasi pada laba mengakibatkan terbentuknya kelas dalam penduduk —borjuis dan proletar. Jika kapitalisme tumbang maka struktur penduduk dapat diperbaiki dan penindasan terhadap perempuan dihapus.
Kaum Feminis Marxis, menilai bahwa negara bersifat kapitalis yaitu menilai bahwa negara bukan hanya sekadar institusi namun juga perwujudan dari interaksi atau kekerabatan sosial. Kaum Marxis beropini bahwa negara memiliki kesanggupan untuk memelihara kesejahteraan, namun disisi lain, negara bersifat kapitalisme yang menggunakan sistem perbudakan kaum perempuan selaku pekerja.
6.    Feminisme Sosialis, yang merupakan sintesa dari gerakan feminis radikal dan marxis. Mereka berpendapat, perempuan terekploitasi oleh dua hal, yakni sistem patriarkhi dan kapitalis. Sebuah faham yang beropini “Tak Ada Sosialisme tanpa Pembebasan Perempuan. Tak Ada Pembebasan Perempuan tanpa Sosialisme”. Feminisme sosialis berjuang untuk menghapuskan tata cara pemilikan. Lembaga perkawinan yang melegalisir pemilikan laki-laki atas harta dan pemilikan suami atas istri dihapuskan mirip inspirasi Marx yang menginginkan sebuah penduduk tanpa kelas, tanpa pembedaan gender.
Feminisme sosialis timbul selaku kritik terhadap feminisme Marxis. Aliran ini menyampaikan bahwa patriarki sudah timbul sebelum kapitalisme dan tetap tidak akan berganti bila kapitalisme runtuh. Kritik kapitalisme harus diikuti dengan kritik dominasi atas perempuan. Feminisme sosialis menggunakan analisis kelas dan gender untuk mengetahui penindasan perempuan. Ia sepaham dengan feminisme marxis bahwa kapitalisme ialah sumber penindasan perempuan. Akan namun, pemikiran feminis sosialis ini juga setuju dengan feminisme radikal yang menilai patriarkilah sumber penindasan itu. Kapitalisme dan patriarki ialah dua kekuatan yang saling mendukung. Seperti dicontohkan oleh Nancy Fraser di Amerika Serikat keluarga inti dikepalai oleh pria dan ekonomi resmi dikepalai oleh negara sebab peran warga negara dan pekerja ialah peran maskulin, sedangkan peran selaku konsumen dan pengasuh anak adalah tugas feminin. Agenda perjuagan untuk memeranginya adalah menghapuskan kapitalisme dan sistem patriarki. Dalam konteks Indonesia, analisis ini berfaedah untuk menyaksikan dilema-duduk perkara kemiskinan yang menjadi beban perempuan
7.    Feminisme Post Kolonial, Dasar pandangan ini berakar di penolakan universalitas pengalaman wanita. Pengalaman wanita yang hidup di negara dunia ketiga (koloni/bekas koloni) berbeda dengan prempuan berlatar belakang dunia pertama. Perempuan dunia ketiga menanggung beban penindasan lebih berat alasannya adalah selain mengalami pendindasan berbasis gender, mereka juga mengalami penindasan antar bangsa, suku, ras, dan agama. Dimensi kolonialisme menjadi fokus utama feminisme poskolonial yang pada intinya menggugat penjajahan, baik fisik, pengetahuan, nilai-nilai, cara pandang, maupun mentalitas masyarakat. Beverley Lindsay dalam bukunya Comparative Perspectives on Third World Women: The Impact of Race, Sex, and Class menyatakan, “korelasi ketergantungan yang didasarkan atas ras, jenis kelamin, dan kelas sedang dikekalkan oleh institusi-institusi ekonomi, sosial, dan pendidikan.
8.    Feminisme Noordic, Kaum Feminis Nordic dalam menganalisis sebuah negara sungguh berlainan dengan pandangan Feminis Marxis maupun Radikal.Nordic yang lebih menganalisis Feminisme bernegara atau politik dari praktek-praktek yeng bersifat mikro. Kaum ini menganggap bahwa kaum perempuan “harus berteman dengan negara” karena kekuatan atau hak politik dan sosial perempuan terjadi lewat negara yang didukung oleh kebijakan sosial negara
9.    Kofeminis yang lebih memfokuskan pandangannya pada analisis kualitas feminin. Mereka mengkritik tajam pemikiran feminisme terbaru lain (liberal, radikal, marxis, dan sosialis), dengan menyampaikan ketidakadilan gender bukan semata disebabkan konstruksi sosial budaya, melainkan juga oleh aspek intrinsik