Fatwa Gerakan Nasional Literasi Bangsa (Gnlb)

Pengertian Definisi Arti – Pedoman Pelaksanaan Gerakan Nasional Literasi Bangsa (GNLB) yaitu tema “menciptakan ekosistem sekolah dan penduduk berbudaya baca-tulis serta cinta sastra” dan dengan moto “mari menjadi bangsa pembaca”  yang dikutip berdasarkan Bidang Pembelajaran Pusat Pembinaan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayan 2016.

Dibawah Anda akan mendapatkan:

KATA PENGANTAR

SEKAPUR SIRIH

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Landasan Hukum
1.3 Tujuan
1.4 Ruang Lingkup
1.5 Manfaat

BAB II KONSEP DAN PENDEKATAN
2.1 Literasi
2.1.1 Literasi Sekolah
2.1.2 Literasi Masyarakat
2.2 Pendekatan
2.2.1 Metode
2.2.2 Media

BAB III PETA JALAN LITERASI
3.1 Pelibatan Publik
3.2 Pemodelan, Peluasan, dan Penguatan
3.3 Evaluasi

BAB IV BAHAN LITERASI
4.1 Penyediaan Bahan Literasi
4.2.1 Jenis
4.2.2 Isi
4.2.3 Reproduksi Teks
4.2 Kriteria Bahan Literasi
4.2.4 Jenjang Pendidikan
4.2.5 Materi Bacaan
4.3 Penyusunan Bahan Literasi
4.4 Pengalihmediaan Bahan Literasi

BAB V PELATIH FASILITATOR DAN FASILITATOR LITERASI
5.1 Pelatih Fasilitator
5.2 Fasilitator Literasi
5.3 Mekanisme Penyeleksian Fasilitator Literasi
5.4 Model Pelatihan Fasilitator

BAB VI PEMBELAJARAN LITERASI
6.1 Pembelajaran Literasi
6.1.1 Pelatihan Fasilitator Literasi
6.1.2 Pembelajaran Literasi
6.1.2.1 Pembelajaran Literasi di Sekolah Model
6.1.2.2 Pembelajaran Literasi di Komunitas Model
6.2 Olimpiade Literasi Nasional
6.2.1 Lomba Membaca Naratif
6.2.2 Lomba Meringkas Teks
6.2.3 Lomba Konversi Teks
6.2.4 LombaBermainPeran
6.2.5 Klinik Literasi

BAB VII PENUTUP

Gambar Maskot Gerakan Literasi Nasional (GLN) Kemendikbud “Cerdas Berliterasi”

DAFTAR PUSTAKA


Kata Pengantar Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa

Sejarah peradaban umat insan menawarkan bahwa bangsa yang maju bukan cuma dibangun dengan mengandalkan kekayaan alam yang melimpah dan pengelolaan negara yang bagus, melainkan juga dengan mengandalkan pembudayaan membaca dan menulis yang mampu menjembatani peradaban dari generasi terdahulu ke generasi berikutnya. Untuk menumbuhkan budaya baca-tulis itu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sudah mencanangkan Gerakan Literasi Sekolah pada tahun 2015 yang merupakan implementasi dari Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2015 wacana Penumbuhan Budi Pekerti. Gerakan yang mengambil tema “Bahasa Penumbuh Budi Pekerti” itu tentu harus disokong oleh kegiatan lain yang sejalan semoga cita-cita untuk mewujudkan masyarakat berbudaya baca-tulis secepatnya mampu tercapai.

Dalam kerangka itu pula, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa melalui Pusat Pembinaan mendesain aktivitas yang bertajuk “Gerakan Nasional Literasi Bangsa (GNLB)”. Gerakan yang dimulai tahun 2016 dan akan terus dikuatkan serta dikembangkan sampai tahun 2019 ini tidak hanya bermaksud untuk menumbuhkan kebijaksanaan pekerti, tetapi juga untuk membuat ekosistem sekolah dan penduduk berbudaya baca-tulis serta cinta sastra. GNLB dilakukan menurut pemahaman bahwa berguru itu tidak cuma dikerjakan di sekolah, namun juga di masyarakat, yang diimplementasikan dalam bentuk kegiatan literasi sekolah dan literasi penduduk . Dengan dasar itulah, GNLB menjangkau sasaran bukan hanya siswa dan guru di sekolah, melainkan juga anak- anak dan pegiat komunitas baca di masyarakat.

Untuk menopang pelaksanaan GNLB, disusunlah Buku Pedoman Pelaksanaan Gerakan Nasional Literasi Bangsa yang dapat menjadi rambu- rambu atau tuntunan bagi pelaksana kegiatan ini utamanya dan pegiat literasi umumnya untuk melakukan GNLB pada era sekarang dan mendatang. Dalam penerapannya, buku aliran ini mampu diadaptasi dengan kebutuhan dan kondisi tempat GNLB itu dilaksakan.

Untuk itu, kami memberikan penghargaan dan ucapan terima kasih terhadap tim penyusun yang telah menyelesaikan buku anutan ini dengan baik. Mudah- mudahan buku pemikiran ini bermanfaat bagi pelaksanaan gerakan literasi untuk mewujudkan ekosistem sekolah dan masyarakat berbudaya baca- tulis serta cinta sastra.

Jakarta, 11 Februari 2016. Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa,
Dadang Sunendar
NIP 196310241988031003
 Pedoman Pelaksanaan Gerakan Nasional Literasi Bangsa  PEDOMAN GERAKAN NASIONAL LITERASI BANGSA (GNLB)
Gambar Logo Gerakan Literasi Nasional (GLN) Kemendikbud


Sekapur Sirih Kepala Pusat Pembinaan

Hasil survei Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS) perihal budaya literasi siswa sekolah dasar kelas IV di 45 negara menempatkan Indonesia pada peringkat ke-41 dari 45 negara penerima. Tahun 1992, Association for the Educational Achievement (IAEA) mencatat bahwa Finlandia dan Jepang sudah tergolong negara dengan tingkat membaca tertinggi di dunia dari 30 negara yang disurvei. Dalam survei ini, Indonesia berada pada peringkat dua terbawah, artinya pada posisi peringkat ke-28.

Di tahun 1997, Program for International Students Assessment (PISA) menyebutkan bahwa Indonesia yang untuk pertama kalinya ikutserta dalam survei ihwal budaya literasi menempati peringkat ke-40 dari 41 negara. Selanjutnya dalam survei yang sama pada tahun 2000, Indonesia menempati peringkat ke-64 dari 65 negara partisipan. Dalam survei tentang budaya literasi di negara-negara ASEAN, peringkat Indonesia bahkan berada di bawah Vietnam, negara yang jauh lebih muda dibandingkan Indonesia.

Empat hasil surveidi atas sudah cukup memberi gambaran mengenai rendahnya budaya literasi anak sekolah di Indonesia; belum dewasa yang kelak tidak saja akan menjadi pemimpin, namun juga menjadi anak bangsa yang berpengaruh dalam sumber daya manusianya.

Sementara itu, dalam pendidikan modern dan tantangan kala global kini, keberliterasian bukan lagi sekadar persoalan bagaimana suatu bangsa bebas dari buta karakter, tetapi telah menjadi syarat kecakapan hidup dan kemampuan berkompetisi satu negara dalam persaingan pasar kerja. Survei sudah mengambarkan, negara-negara yang budaya literasinya tinggi berbanding lurus dengan kesanggupan bangsa tersebut memenangi persaingan global, utamanya dalam penguasaan ilmu dan teknologi, kedahsyatan ekonomi, serta sukses dalam persaingan pasar kerja.

Kalau begitu, bila bangsa Indonesia bisa merebut kemenangan dalam persaingan antarbangsa, yang makin sengit dalam perebutan pasar kerja, mau tak mau mesti mendesain pendidikan yang bisa mengoptimalkan indeks literasi. Salah satu cara memaksimalkan indeks literasi suatu bangsa yaitu melaksanakan aktivitas pembelajaran yang membiasakan anak-anak Indonesia punya kebiasaan membaca dan menulis; dan selaku suatu gerakan kebangsaan, penyesuaian ini haruslah dimulai dari jenjang sekolah dasar.

Makna adaptasi membaca di sekolah dasar juga menjadi bab penting dalam kerangka penumbuhan budi pekerti melalui penumbuhan kecakapan berbahasa. Penumbuhan budaya literasi harus dimulai dari upaya pembiasaan gemar membaca menulis selaku “langkah awal” dalam satu periode pembentukan budaya literasi untuk meraih “puncak” dari ketinggian peradaban bangsa.

Dalam kerangka itu pulalah, pada tanggal 18 Agustus 2015, pemerintah lewat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2015 meluncurkan suatu gerakan penumbuhan budaya baca-tulis yang bertajuk “Gerakan Literasi Sekolah” dengan tema “Bahasa Penumbuh Budi Pekerti”.

Langkah, cara, dan strategi penting untuk penumbuhan budaya baca tersebut kemudian dituangkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2015.Permendikbud yang menginisiasi acara membaca limabelas menit bagi siswa sebelum masuk ke kelas mata pelajaran yaitu bagian penting dari pemulaan penumbuhan budaya literasi bangsa. Langkah yang sungguh strategis dan penting dalam penumbuhan akal pekerti lewat bahasa yakni dengan membiasakan anak sekolah membaca buku- buku naratif yang memberi ilham dan semangat.

Dalam kerangka inilah, Pusat Pembinaan, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa mengambil langkah strategis melalui program Gerakan Nasional Literasi Bangsa (GNLB) dengan target anak sekolah dasar dan belum dewasa seusia anak sekolah dasar di komunitas pegiat baca. Agar membaca dalam GNLB bukan sekadar membaca, maka inisiasi adaptasi membaca perlu didorong melalui satu taktik membaca produktif, yaitu membaca tidak cuma untuk membaca, tetapi membaca untuk menciptakan goresan pena; dan inilah hakikat dari (budaya) literasi. Dengan cara ini, GNLB yang dirancang dan dijalankan dalam abad waktu empat tahun (2016 – 2019) oleh Pusat Pembinaan, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, bareng Balai dan Kantor Bahasa di 30 provinsi di seluruh Indonesia, ialah melatih anak sekolah dan anak seusia sekolah dasar di komunitas pegiat baca membaca dongeng naratif dan kemudian meringkaskan hasil bacaan dalam bentuk tulisan pendek yang sederhana.

Dengan adaptasi membaca buku-buku naratif dan meringkas (kembali) narasi bacaannya, anak sekolah dasar dan belum dewasa seusia sekolah dasar di komunitas baca, ada tiga mantaat penting yang bisa dicapai GNLB: (1) pembentukan kebiasaan membaca semenjak usia dini, (2) kenaikan pemerolehan kosa kata selaku bab penting dari kenaikan kacakapan berbahasa (Indonesia), dan (3) pengasahan logika pada anak semenjak dini. Tiga capaian penting ini berhubungan akrab dengan penumbuhan akal pekerti melalui “bahasa penumbuh kecerdikan pekerti”.

Dengan begitu, aktivitas membaca produktif diperlukan akan menjadi bab penting dari upaya memaksimalkan budaya literasi sebagai tanda utama perabadan kecerdasan bangsa. Anak-anak Indonesia yang berbudaya literasi (tinggi) pada periode kemajuan kecerdasannya juga akan bisa berkompetisi dalam pasar kerja antarbangsa yang kini sudah menjadi tantangan (dan bahaya) faktual bagi semua bangsa.

Pedoman yang disusun oleh Subbidang Modul dan Bahan Ajar, Bidang Pembelajaran, Pusat Pembinaan ini dibutuhkan menjadi bekal, rambu-rambu, atau tuntunan bagi pelaksanaan GNLB 2016 – 2019.

Jakarta, 11 Februari 2016. Kepala Pusat Pembinaan,
Gufran Ali Ibrahim
NIP 196309282001121001


BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada tahun 2015, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mencanangkan sebuah gerakan besar, ialah Gerakan Literasi Sekolah. Gerakan ini ialah implementasi dari Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2015 perihal Penumbuhan Budi Pekerti. Pemerintah menyadari bahwa setiap sekolah semestinya menjadi daerah yang tenteram bagi siswa dan guru. Sekolah menjadi kawasan nyaman jikalau siswa, guru, dan tenaga kependidikan di sekolah membiasakan perilaku dan sikap aktual selaku cerminan manusia Pancasila yang berbudi pekerti luhur. Demikian juga halnya dengan lingkungan penduduk . Pemerintah yang menjadi bagian dalam pendidikan huruf bangsa merasa harus ikut ambil bab dalam gerakan ini bersama-sama dengan masyarakat menciptakan ekosistem pendidikan dan kebudayaan yang berorientasi penumbuhan kebijaksanaan pekerti.

  Jika seseorang guru bergabung dengan partai politik dan terpilih menjadi anggota legislatif,

Budi pekerti ditumbuhkan dengan penyesuaian menerapkan nilai-nilai dasar kebangsaan dan kemanusiaan. Pembiasaan hal-hal baik yang ingin ditumbuhkan antara lain (1) internalisasi perilaku budpekerti dan spiritual dengan bisa menghayati relasi spiritual dengan Tuhan Yang Maha Esa yang diwujudkan dengan perilaku sopan santun untuk menghormati sesama makhluk hidup dan alam sekitar, (2) keteguhan menjaga semangat kebangsaan dan kebinekaan, dan (3) penghargaan kepada keunikan peluangsiswa untuk dikembangkan dengan mendorong siswa gemar membaca dan menyebarkan minat yang cocok dengan peluangdan bakatnya untuk memperluas cakrawala wawasan di dalam mengembangkan dirinya sendiri.

Sejalan dengan itu, jauh sebelum Permendikbud Nomor 23 Tahun 2015 ditetapkan, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 4 (5) pun sudah menyatakankan bahwa mencerdaskan bangsa dikerjakan lewat pengembangan budaya baca, tulis, dan hitung bagi segenap warga penduduk .

Untuk menumbuhkan kecerdikan pekerti dan untuk melakukan amanat mencerdaskan bangsa, pada tanggal 18 Agustus 2015, pemerintah Republik Indonesia lewat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan meluncurkan Gerakan Literasi Sekolah. Gerakan ini mengambil tema “Bahasa Penumbuh Budi Pekerti”. Untuk mewujudnyatakan gerakan pemerintah ini, diharapkan banyak perlindungan dalam bentuk aktivitas senada. Oleh sebab itu, dalam kaitan dengan peran bahasa selaku penumbuh akal pekerti, Pusat Pembinaan, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa melakukan Gerakan Nasional Literasi Bangsa (selanjutnya disingkat GNLB) dengan tema “menciptakan ekosistem sekolah dan penduduk berbudaya baca-tulis serta cinta sastra” dan dengan moto “mari menjadi bangsa pembaca” Gerakan ini dilakukan menurut pengertian bahwa mencar ilmu tidak cuma dikerjakan di sekolah.

Dengan dasar inilah kegiatan ini meraih tidak cuma siswa dan guru di sekolah, tetapi juga anak-anak dan pegiat di komunitas baca. Selain itu, GNLB ini juga didasari kesadaran untuk meningkatkan indeks literasi sekolah anak Indonesia dan mengakibatkan bangsa Indonesia sebagai bangsa pembaca.

1.2 Landasan Hukum

Landasan hukum yang mendasari acara ini ialah sebagai berikut.

  1. Undang-Undang Dasar 1945 amendemen Bab XV Pasal 36 perihal kedudukan bahasa Indonesia
  2. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 ihwal Sistem Pendidikan Nasional
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 wacana Standar Nasional Pendidikan
  4. UU Nomor 24 Tahun 2010 perihal Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan
  5. Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2014 ihwal Pengembangan, Pembinaan, dan Pelindungan Bahasa dan Sastra, serta Peningkatan Fungsi Bahasa Indonesia
  6. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2015 wacana Penumbuhan Budi Pekerti

1.3 Tujuan

Berdasarkan latar belakang tersebut, tujuan aktivitas GNLB dibagi ke dalam tujuan umum dan tujuan khusus.

Tujuan Umum

Secara biasa kegiatan ini bermaksud membuat ekosistem sekolah dan masyarakat yang berbudaya baca-tulis serta cinta sastra.

Tujuan Khusus

Kegiatan yang melibatkan sekolah dan komunitas baca ini bertujuan khusus menciptakan budaya literasi di sekolah dan budaya literasi masyarakat. Literasi sekolah bertujuan membuat ekosistem sekolah yang berbudaya baca-tulis. Literasi penduduk bertujuan membuat lingkungan penduduk yang berbudaya baca-tulis.

1.4 Ruang Lingkup

Kegiatan GNLB pada tahun 2016 ini dilakukan di 34 provinsi di Indonesia bagi siswa kelas IV, V, dan VI pada sekolah dasar versi dan juga bagi bawah umur berusia 10 – 12 tahun yang tergabung dalam golongan baca versi.

Dalam kegiatan ini peran serta guru sungguh diperlukan untuk mengondisikan siswa tenteram dan senang membaca dongeng bermuatan kebijaksanaan pekerti sebelum kelas dimulai. Di samping itu, peran serta orang renta, penggerak kalangan baca, pegiat literasi, atau fasilitator juga diharapkan untuk mengarahkan anak- anak membaca kisah bermuatan akal pekerti.

1.5 Manfaat

Kegiatan ini diperlukan tidak cuma memberi manfaat pada penyesuaian hal-hal yang hendak menyebabkan sekolah dan masyarakat menjadi sekolah literasi dan penduduk literasi namun juga pada penumbuhan budaya baca tulis. Manfaat ini akan terlihat dalam beberapa hal berikut:

  • tersedianya bahan literasi yang bersumber dari kearifan bangsa, ialah bahan literasi yang bersumber dari kisah rakyat di semua kawasan Indonesia;
  • semakin banyak anak dengan akal pekerti yang terus tumbuh dengan tingkat literasi tinggi;
  • semakin banyak guru/pengajar yang mampu menumbuhkan akal pekerti siswa/akseptor didiknya alasannya tingkat literasinya pun mengalami peningkatkan;
  • adanya sekolah dengan ekosistem literasi yang dapat menjadi model bagi sekolah lainnya;
  • adanya komunitas baca di masyarakat yang membangun budaya literasi sehingga komunitas baca itu menjadi versi bagi komunitas baca lain dan masyarakat di kawasan komunitas itu ada menjadi penduduk yang berbudaya literasi; dan
  • adanya acara yang membantu siswa, anak-anak, guru, dan pegiat komunitas baca untuk menyebarkan pengalaman terbaik semoga bangsa Indonesia menjadi bangsa yang tinggi Literasinya.

BAB II KONSEP DAN PENDEKATAN

2.1 Konsep

2.1.1 Literasi

Secara lazim, literasi dapat diartikan selaku keberaksaraan, yaitu kesanggupan seseorang membaca dan menulis. Seseorang dikatakan literate kalau dia memiliki pengetahuan dalam setiap aktivitas yang menuntut fungsi literasi secara efektif dalam penduduk . Pengetahuan yang diperoleh melalui membaca dan menulis mampu dimanfaatkan bagi diri sendiri dan pertumbuhan bangsa.

Budaya literasi merupakan kebiasaan berpikir yang dibarengi oleh suatu proses membaca-menulis yang pada akibatnya akan mengarah kepada cara berpikir kritis, cara pemecahan problem, pengembangan ilmu pengetahuan, dan penciptaan suatu karya. Budaya literasi dapat berkembang alasannya di dalam kegiatan pembelajaran siswa diajak untuk menulis apa yang beliau lihat, dengar, dan pikirkan sehingga timbul ilham-ide yang berikutnya mampu dikembangkan menjadi bentuk literasi yang lebih tinggi.

Untuk menolong pengembangan literasi, ada tiga unsur yang beraksi secara dinamis dan berkelanjutan, ialah motivasi, pembelajaran membaca- menulis, dan membaca-menulis berdikari. Tanpa adanya motivasi, pembelajaran membaca-menulis dan membaca-menulis mandiri terasa tidak berjiwa alasannya adalah tidak ada pendorong atau penyemangat seseorang dalam menyebarkan literasinya. Begitu pula, tanpa pembelajaran membaca-menulis, motivasi dan membaca-menulis mampu berdiri diatas kaki sendiri tidak akan terarah dengan baik.

2.1.2 Literasi Sekolah

Sekolah intinya merupakan daerah individu belajar dalam ranah formal. Oleh alasannya adalah itu, proses Literasi melalui aktivitas belajar-mengajar bergotong-royong telah terjadi di Sekolah. Literasi sekolah dalam kaitannya dengan GNLB membutuhkan suasana yang dirancang dan dikondisikan.

Tumbuhnya kebijaksanaan pekerti dalam diri siswa di sekolah mampu terjadi jikalau mereka menerima teladan dari berbagai sumber yang mampu menjadi idolanya. Idola yang akan mereka teladani itu bisa guru/tenaga pendidik/orang remaja yang ada di sekeliling mereka. Idola atau tokoh yang mereka teladani itu juga bisa berbentuktokoh di dalam kisah rakyat.

Siswa atau belum dewasa yang telah mengikuti gerakan literasi melalui adaptasi membaca buku bacaan selain materi pelajaran selama lima belas menit sebelum pelajaran dimulai juga mampu menjadi contoh dan idola bagi siswa dan bawah umur yang lain. Siswa dan bawah umur yang menjadi idola atau acuan tersebut yakni siswa dan bawah umur yang berada di dalam lingkungan yang nyata dan terliterasi. Sekolah Literasi dibutuhkan menjadi tempat konkret yang menciptakan generasi penerus yang berbudi pekerti luhur.

Untuk mewujudkan hal itu, diperlukan kolaborasi beberapa pihak, seperti kepala sekolah, guru, siswa, bahkan orang renta. Alokasi waktu untuk membaca lima belas menit sebelum kelas dimulai disosialisasikan oleh kepala sekolah. Sosialisasi tidak hanya terhadap guru dan siswa, tetapi juga kepada orang renta siswa. Pada pelaksanaannya, guru bertindak sebagai pendamping dan pengarah siswa, sedangkan orang tua sebagai pendukung dan penggeraknya.

2.1.3 Literasi Masyarakat

Untuk mewadahi belum dewasa yang tidak bisa bersekolah biar tetap mampu menjadi generasi terliterasi, aktivitas GNLB menjangkau pula ranah luar sekolah, yaitu komunitas baca. Sebagaimana di sekolah, tumbuhnya kebijaksanaan pekerti dalam diri anak-anak di komunitas baca juga dapat terjadi jika mereka menerima teladan dari aneka macam sumber yang mampu menjadi idola bagi mereka. Tenaga pendidik, orang remaja yang ada di sekeliling mereka, atau tokoh di dalam kisah rakyat dibangun menjadi idola mereka melalui acara ini.

Anak-anak yang sudah mengikuti gerakan literasi ini akan menjadi contoh bagi bawah umur yang lain. Mereka diharapkan mampu menularkan hal-hal nyata yang diperolehnya dari proses literasi tersebut kepada anak- anak lain di sekitarnya. Untuk itu, perlu peran aktif banyak sekali pihak, mirip tokoh/pejabat setempat, pegiat atau pelopor kelompok baca, dan bawah umur anggota kalangan baca, serta orang bau tanah mereka. Tokoh atau pejabat berwenang lokal menyosialisasikan acara literasi ini dan pelopor kelompok baca mendampingi bawah umur anggota kelompoknya untuk menjalani proses literasi ini. Sementara itu, orang tua atau keluarga dari belum dewasa tersebut mendukungnya.

2.2 Pendekatan

GNLB menerapkan aktivitas utama, ialah praktik membaca dan mengambil amanat abjad dan kebijaksanaan pekerti dari bacaan tersebut untuk diresapi dan diejawantahkan dalam kehidupan sehari-hari. Untuk merealisasikan hal itu, dilakukanlah pendekatan proses, ialah bagaimana siswa di sekolah atau bawah umur di komunitas baca mampu mengambil sari dari bacaan yang dibacanya sampai tumbuh aksara berbudi pekerti luhur pada diri mereka.

Di dalam acara utama GNLB terdapat pula tahapan pendekatan andragogi, yaitu pendekatan pendidikan, pembinaan, dan panduan sehingga iklim belajar yang dibangun memikirkan rancangan diri dan pengalaman belajar siswa/anak. Tahapan ini dilaksanakan dalam acara pelatihan fasilitator literasi. Tujuannya adalah semoga peserta pelatihan yang ialah guru sekolah dasar dan penggagas literasi dari komunitas baca mampu membelajarkan literasi yang tepat terhadap siswa di sekolah dan bawah umur di komunitas baca mereka.

2.2.1 Metode

Sebagaimana tujuan kegiatan ini, tantangan terkait literasi sekolah dan masyarakat ialah bagaimana mewujudkan sekolah dan penduduk sebagai sebuah ekosistem yang berbudaya baca-tulis dan cinta sastra. Budaya baca-tulis dan cinta sastra yang identik dengan mata pelajaran bahasa Indonesia, melalui acara ini “dilepaskan” dari konteks itu dan dibiasakan dalam acara sehari-hari mereka, bagi siswa di sekolah dijalankan lewat membaca lima belas menit sebelum kelas dimulai, sedangkan bagi bawah umur di golongan baca dilakukan dalam waktu yang lebih fleksibel.

Dengan menggunakan buku materi asuh literasi yang sudah disiapkan, guru atau aktivis kalangan baca melaksanakan pendampingan dan pengarahan kepada siswa/anak dengan aktivitas utama dalam hal ini adalah merangsang kemauan membaca.

Membaca naratif merupakan salah satu kegiatan dalam kerangka GNLB ini. Membaca naratif dapat dilaksanakan dengan beberapa bentuk praktik membaca mirip membaca lantang (reading aloud), membaca senyap (sustained silent reading), membaca bareng (shared reading), membaca terpandu (guided reading), dan membaca berdikari (independent reading).

Literasi juga menyangkut pada acara menulis. Pada kegiatan ini, acara meringkas teks dan mengonversi teks dilakukan tidak lepas dari buku bahan ajar literasi yang menjadi pegangan utama. Meringkas teks dan mengonversi teks mampu diwujudkan dengan menulis terpandu (guided writing). Dalam pengembangan ini diharapkan siswa/anak telah bisa memberi pola yang bermuatan kecerdikan pekerti luhur dari dongeng-dongeng rakyat dalam bahan latih literasi yang dibacanya tersebut.

  [ Puisi ] Perjuangan yang Sia-sia

2.2.2 Media

Kemajuan dalam teknologi informasi dan komunikasi membuat lebih mudah orang di mana pun dalam mengakses informasi dan berkomunikasi. Kemajuan ini juga dimanfaatkan dalam kegiatan GNLB.

Bahan literasi yang digunakan pada umumnya ialah buku cetak. Selain memakai buku cetak, GNLB juga akan memanfaatkan media digital untuk penyebarluasan bahan literasi. Media digital digunakan supaya gampang dalam menyebarluaskan bahan literasi. Namun, media literasi dalam format digital masih sangat terbatas.

Keterbatasan materi literasi dalam bentuk digital perlu ditindaklanjuti dengan mengalihmediakan buku- buku cetak yang tersedia ke dalam bentuk digital. Selain itu, semoga buku cetak (yang umumnya berupa cerita rakyat itu) dapat dipakai sebagai media pembelajaran, pengerjaan media pembelajaran berdasarkan buku-buku tersebut perlu dijalankan, antara lain dalam bentuk video pembelajaran dan aplikasi android. Video pembelajaran akan menolong guru dan juga siswa untuk lebih memahami manfaat cerita rakyat dalam menumbuhkan budi pekerti. Aplikasi android akan membuat siswa atau belum dewasa lebih tertarik untuk terus membaca buku juga menulis selaku tindak lanjutnya.

BAB III PETA JALAN LITERASI

3.1 Pelibatan Publik

Rendahnya indeks literasi (budaya baca-tulis) siswa Indonesia sebagaimana yang dilansir aneka macam lembaga survei internasional yakni dilema bangsa. Oleh alasannya adalah itu, ikhtiar menaikkan indeks literasi bangsa Indonesia, bukan cuma permasalahan orang perorangan atau institusi tertentu. Diperlukan sebuah gerakan masif yang melibatkan banyak sekali pihak yang berkepentingan dengan dunia pendidikan dalam upaya membangun budaya baca tulis. Oleh alasannya itu, GNLB tidak mampu cuma dijalankan oleh Pusat Pembinaan, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Pihak lain, baik individual maupun forum harus menjadi pelibat, seperti sekolah, dinas pendidikan di kawasan, komunitas pegiat baca, perguruan tinggi tinggi, akademisi, sastrawan, dan duta bahasa. Pelibatan publik penting, tidak cuma untuk menyebabkan GNLB sebagai sebuah gerakan, namun juga membuat gerakan penumbuhan budaya baca-tulis (budaya literasi) ini menjadi kesibukan dan perhatian berbagai komponen bangsa.

3.2 Pemodelan, Penguatan, dan Peluasan

GNLB dijalankan Pusat Pembinaan bersama 30 Balai dan Kantor Bahasa, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa dalam kurun waktu empat tahun, 2016 – 2019. Tahun 2016 ialah tahun pemodelan dengan mengambil satu sekolah dasar dan satu komunitas pegiat baca di 34 provinsi di Indonesia sebagai percontohan. Di simpulan tahun 2016, GNLB dievaluasi untuk kebutuhan penguatan dan peluasan dalam jangka waktu 2017 – 2019.

Secara skematis, empat tahun pelaksanan GNLB selaku gerakan penumbuhan budaya literasi di sekolah dan masyarakat dengan fokus sekolah dasar dan komunitas pegiat baca, dapat dibaca pada ragaan 1 berikut.

 Pedoman Pelaksanaan Gerakan Nasional Literasi Bangsa  PEDOMAN GERAKAN NASIONAL LITERASI BANGSA (GNLB)
Gambar Ragaan 1. Peta Jalan Pedoman pelaksanaan GLNB 2016-2019
sumber: gln.kemdikbud.go.id

Ragaan 1 ihwal peta jalan di atas menawarkan bahwa GNLB mengikuti tiga tahap dan empat langkah. Langkah penyediaan bahan literasi dan pembinaan fasilitator ialah langkah awal dan kedua, sedangkan pembelajaran literasi ialah langkah ketiga dan ialah tahap pelaksanaan. Selanjutnya, olimpiade literasi nasional sebagai langkah keempat adalah tahap evaluasi dan tindak lanjut.

Hasil evaluasi GNLB tahun 2016 memberi catatan bagi penguatan dan peluasan yang hendak dikerjakan pada tahun 2017 – 2019. Target-target penguatan dan peluasannya digambarkan dalam ragaan 2 berikut.

 Pedoman Pelaksanaan Gerakan Nasional Literasi Bangsa  PEDOMAN GERAKAN NASIONAL LITERASI BANGSA (GNLB)
Gambar Ragaan 2. Target pengutan dan perluasan Pedoman pelaksanaan GLNB 2016-2019
sumber: gln.kemdikbud.go.id

3.3 Evaluasi

Setelah olimpiade literasi nasional yang mengambil tajuk ‘kampung literasi’ dijalankan, evaluasi atas pelaksanaan GNLB tahun 2016 dikerjakan. Evaluasi dimaksud mencakup (1) pernyiapan bahan dan fasilitator literasi, (2) keefektifan model pelatihan calon fasilitator literasi, (3) pelaksanan pembelajaran literasi, (4) pelaksanaan olimpiade literasi nasional, (5) sinergi dalam pelibatan publik,dan (6) kemedaian pendanaan.

Hasil evaluasi atas enam unsur dimaksud akan memberi masukan penting bagi penguatan dan peluasan penyelenggaran GNLB di tahun 2017 untuk dilanjutkan tahun 2018 dan tahun 2019.

BAB IV BAHAN LITERASI

4.1 Penyediaan Bahan Literasi

Penyediaan materi literasi merupakan bab tidak mampu dipisahkan dari GNLB. Dalam hal penumbuhan kecerdikan pekerti, adaptasi yang dikerjakan untuk peluangdiri siswa/penerima didik secara utuh dengan pewajiban menggunakan lima belas menit sebelum acara mencar ilmu dimulai untuk membaca buku selain buku pelajaran. Bahan bacaan yang tersedia ada banyak dan sangat bermacam-macam. Namun, tidak semua materi bacaan yang tersedia di toko buku atau yang telah dimiliki oleh siswa itu sejalan dengan tujuan gerakan literasi yang mengacu pada semangat penumbuhan kebijaksanaan pekerti. Agar sejalan dengan tujuan gerakan penumbuhan kebijaksanaan pekerti, bahan bacaan selain buku pelajaran tersebut perlu ditawarkan.

Penyediaan bahan literasi yang akan dipakai untuk membuat budaya literasi di sekolah dan di masyarakat dapat dilakukan dengan beberapa cara. Cara tersebut antara lain yakni:

  • pemilihan materi bacaan yang tepat dengan tujuan gerakan berdasarkan buku yang kini ada di sekolah dan di penduduk ;
  • penyelarasan buku berupa dongeng rakyat yang sekarang ada di sekolah dan penduduk dengan tujuan penumbuhan akal pekerti; untuk itu diadakan penulisan ulang buku yang bersumber dari dongeng rakyat; dan
  • penulisan kisah rakyat yang merefleksikan nilai-nilai kasatmata sehingga dapat mendukung dan menyukseskan GNLB untuk menumbuhkan akal pekerti.

Penyediaan bahan literasi ini akan menghasilkan teladan/model bahan bacaan. Bahan bacaan itu akan sampai terhadap pembaca atau penggunanya dalam media buku dan media lain yang mempergunakan teknologi informasi dan komunikasi.

4.1.1 Jenis

Secara biasa , dalam imbauan membaca lima belas menit sebelum kelas dimulai terdapat ketentuan buku yang dipakai ialah buku nonpelajaran yang bermuatan aktual. Buku-buku itu mampu berupa majalah, buku kisah, komik, novel, dan sebagainya.

Pada kegiatan GNLB tahun 2016, jenis buku yang dijadikan materi literasi ialah buku kisah rakyat. Buku- buku tersebut diterbitkan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

4.1.2 Isi

Gerakan Literasi Sekolah didasari semangat penumbuhan kebijaksanaan pekerti. Bahan literasi yang disusun akan disebarluaskan terhadap masyarakat lewat sekolah dan komunitas baca. Bahan literasi tersebut haruslah berisi hal faktual atau hal yang menjadikan pembacanya positif sehingga budi pekerti terus tumbuh. Dengan demikian, bahan literasi yang tersedia hendaknya berisi hal yang sejalan dengan landasan GNLB, ialah penumbuhan kecerdikan pekerti.

Budi pekerti adalah tingkah laris atau perangai yang nyata yang membawa kebaikan dalam kehidupan. Budi pekerti ini menjadi dasar dalam adat, tata krama, sikap dalam berhubungan dengan sesama manusia, belajar, dan dalam bekerja. Berdasarkan asal katanya, kecerdikan pekerti dimaknai selaku tindakan atau tingkah laris yang didasari anggapan yang baik. Makara, secara lazim, segala hal yang berkaitan dengan perbuatan atau tingkah laris yang didasari fatwa yang bagus harus menjadi isi materi literasi.

Secara khusus, berdasarkan Permendikbud perihal Penumbuhan Budi Pekerti, materi literasi harus berisi nilai-nilai dasar kebangsaan dan kemanusiaan. Isi tersebut memampukan siswa/anak-anak memiliki/bertindak untuk:

  • internalisasi perilaku etika dan spiritual, yaitu mampu menghayati korelasi spiritual dengan Sang Pencipta yang diwujudkan dengan sikap budpekerti untuk menghormati sesama mahluk hidup dan alam sekitar;
  • keteguhan mempertahankan semangat kebangsaan dan kebhinnekaan untuk merekatkan persatuan bangsa, ialah mampu terbuka terhadap perbedaan bahasa, suku bangsa, agama, dan kalangan, dipersatukan oleh keterhubungan untuk mewujudkan langkah-langkah bareng sebagai satu bangsa, satu tanah air dan berbahasa bareng bahasa Indonesia;
  • interaksi sosial positif antara peserta didik dengan figur orang cukup umur di lingkungan sekolah dan rumah, ialah bisa dan mau menghormati guru, kepala sekolah, tenaga kependidikan, warga penduduk di lingkungan sekolah, dan orang renta;
  • interaksi sosial faktual antarpeserta asuh, ialah kepedulian kepada kondisi fisik dan psikologis antarteman sebaya, adik kelas, dan kakak kelas;
  • memelihara lingkungan sekolah, yakni melaksanakan gotong-royong untuk menjaga keselamatan, ketertiban, kenyamanan, dan kebersihan lingkungan sekolah;
  • penghargaan terhadap keunikan potensi akseptor ajar untuk dikembangkan, ialah mendorong peserta ajar gemar membaca dan membuatkan minat yang sesuai dengan potensi bakatnya untuk memperluas cakrawala kehidupan di dalam menyebarkan dirinya sendiri; dan
  • penguatan tugas orang tua dan bagian masyarakat yang terkait, ialah melibatkan tugas aktif orang renta dan komponen masyarakat untuk ikut bertanggung jawab mengawal kegiatan pembiasaan perilaku dan sikap aktual di sekolah.

4.1.3 Reproduksi Teks

Cerita yang dimiliki oleh rakyat Indonesia yang diturunkan secara lisan secara turun-temurun sudah menjadi salah satu media yang dipakai oleh nenek moyang kita untuk menanam dan menumbuhkan kecerdikan pekerti kepada anak-cucunya. Cerita rakyat itu sebagian telah dituliskan, sebagian lagi masih berkembang secara lisan di masyarakat dan belum dituliskan dan dibukukan.

Upaya menuliskan cerita verbal menjadi salah satu langkah yang dilakukan Pusat Pembinaan, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa dalam aktivitas GNLB ini. Di samping itu, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (sejak berjulukan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, kemudian Pusat Bahasa) sudah menghasilkan ratusan buku kisah rakyat. Tidak semua kisah rakyat ditulis dengan target pembaca yang khusus dan dengan tujuan khusus tertentu. Oleh alasannya itu, diperlukan penelaahan untuk mengetahui kesesuaian cerita rakyat itu dengan tujuan GNLB ini. Ketidaksesuaian cerita rakyat yang ada dengan penumbuhan budi pekerti ditindaklanjuti dengan penulisan ulang atau reproduksi cerita rakyat. Penulisan ulang utamanya dilakukan oleh penulis yang sama, tetapi dengan standar yang tepat dengan pembiasaan positif dalam penumbuhan kebijaksanaan pekerti.

4.2 Kriteria Bahan Literasi

Bahan literasi berupa kisah rakyat yang digunakan dalam kegiatan GNLB ini memiliki patokan tertentu. Kriteria tersebut diadaptasi dengan tujuan pelaksanaan kegiatan ini. Hal itu diuraikan pada subbab berikut.

4.2.1 Jenjang Pendidikan

Bahan literasi berupa buku cerita rakyat disusun berdasarkan jenjang pendidikan Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, dan Sekolah Menengan Atas. Perbedaan antara ketiganya yaitu pada muatan isi dan jumlah halaman. Muatan isi dalam hal ini disesuaikan dengan pertumbuhan jiwa siswa atau anak seusia SD, Sekolah Menengah Pertama, dan SMA. Adapun jumlah halaman buku dongeng rakyat untuk Sekolah Dasar yakni 30 halaman, untuk Sekolah Menengah Pertama adalah 45 halaman, dan untuk SMA yaitu 60 halaman.

4.2.2 Materi Bacaan

Cerita rakyat yang merupakan bahan bacaan dalam aktivitas GNLB ini mengandung aksara dan kecerdikan pekerti tokoh-tokohnya. Hal itu diharapkan bisa memengaruhi pembacanya sehingga terbentuk pula aksara dan akal pekerti yang baik pada mereka.

Dalam buku-buku tersebut juga terkandung salah satu dari empat tema utama, yakni tokoh, sejarah, daerah, dan alam. Tema tokoh, misalnya Malin Kundang; tema sejarah, contohnya Sejarah Klenteng Ancol; tema daerah, contohnya Keajaiban Sumur Tujuh; dan tema alam, contohnya Asal-Usul Pohon Kayu di Bali.

  Identifikasikan kegiatan yang perlu dilakukan agar kegiatan pemantauan pemberdayaan

4.3 Penyusunan Bahan Ajar Literasi

Dalam kaitannya dengan implementasi Permendikbud Nomor 23 Tahun 2015, kegiatan membaca lima belas menit oleh siswa di sekolah atau anak-anak di komunitas baca memerlukan pendampingan. Pendampingan tersebut dilakukan oleh guru dan atau penggerak golongan baca. Oleh alasannya itu, diperlukan bahan khusus, yaitu berupa materi latih literasi. Bahan tersebut dimanfaatkan agar tujuan kegiatan membaca lima belas menit sebelum kelas dimaulai itu mampu tercapai.

Adapun bentuk-bentuk materi ajar literasi ialah selaku berikut.

1. Buku dongeng rakyat yang dilampiri dengan lampiran yang menyatu dengan buku cerita rakyat pada halaman belakang. Lampiran tersebut berisi tiga butir pertanyaan yang membangkitkan siswa/anak untuk mendapatkan huruf dan akal pekerti yang dibangun dalam dongeng.

2. Buku hasil kerja siswa/anak yang menawarkan rekaman kegiatan membaca siswa/anak dari hari ke hari.

4.4 Pengalihmediaan Bahan Literasi

Teknologi yang kian meningkat memungkinkan dibuatnya bermacam-macam media literasi. Bahan cerita rakyat tidak saja dicetak dalam bentuk buku, tetapi juga dapat dialihmediakan ke dalam bentuk lain, ialah buku elektro dalam aplikasi android serta video animasi (tanpa narasi dan percakapan) untuk pembelajaran membaca dan menulis.

BAB V PELATIH FASILITATOR DAN FASILITATOR LITERASI

5.1 Pelatih Fasilitator

Pelatih fasilitator berasal dari dosen yang berlatar belakang pembelajaran bahasa atau pembelajaran sastra dan sastrawan yang mempunyai pengalaman dalam training menulis. Pemilihan atau penetapan pelatih fasilitator menurut curriculum vitae atau riwayat keminatan akademik dan pengalaman dalam pelatihan atau pendampingan aktivitas yang berhubungan dengan proses inovatif membaca dan menulis.

5.2 Fasilitator Literasi

Fasilitator literasi ialah guru di sekolah dasar, guru di komunitas pegiat baca, dan duta bahasa yang dihasilkan oleh Badan Bahasa.

5.3 Mekanisme Penyeleksian Fasilitator Literasi

Fasilitator literasi direkrut dari guru sekolah dan guru komunitas pegiat baca kawasan aktivitas pembelajaran literasi serta duta bahasa dari provinsi. Mekanisme penerimaannya yaitu (1) meminta kepala sekolah dan komunitas pegiat baca mengusulkan satu guru yang dinilai kompeten, (2) kepala balai/kantor lokal memilih dua duta bahasa yang pernah mewakili provinsi dan menetapkan satu guru komunitas baca, (3) pernyataan kesediaan dan janji calon fasilitator (guru di sekolah, guru di komunitas baca, dan duta bahasa) dalam bentuk tertulis dalam melaksanakan peran-tugas sebagai fasilitator dalam GNLB.

5.4 Model Pelatihan Fasilitator

Oleh sebab fasilitator literasi ialah orang remaja, pelatihan ini mengadopsi pembelajaran andragogi. Tiga ciri penting pembelajaran andragogi, ialah (1) semua akseptor pembinaan ialah pembelajar, (2) pelatih yakni fasilitator yang memfasilitasi, dan (3) training adalah “proses mengalami bareng ” pengalaman, pengetahuan, dan kemampuan gres.

Metodenya ialah sistem diskusi dan curah gagasan (brain storming), dengan teknik-teknik training yang dilakukan secara sekuensis (urut- waktu) selaku berikut: (1) pengenalan teori wacana literasi dan orientasi teks materi didik; (2) perlindungan peran membaca teks (narasi) dengan cara meringkas, mengkonversi dan mengkonstrusi ulang; (3) memperlihatkan hasil dalam diskusi bareng peserta fasilitas untuk perbaikan dan pematangan hasil; dan (4) penyusunan bahan literasi secara bareng bagi pelaksanaan pembelajaran literasi di sekolah dan komunitas.

Secara sekuensi, model pelatihan digambarkan dalam ragaan 3 berikut.

 Pedoman Pelaksanaan Gerakan Nasional Literasi Bangsa  PEDOMAN GERAKAN NASIONAL LITERASI BANGSA (GNLB)
Gambar Ragaan 3. Sekuensi training kandidat fasilitator literasi
sumber: gln.kemdikbud.go.id

BAB VI MEKANISME PELAKSANAAN

6.1 Pembelajaran Literasi

Setelah bahan didik literasi final disusun, pembelajaran literasi siap dikerjakan. Namun, sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa untuk melaksanakan aktivitas lima belas menit membaca buku non-pelajaran sebelum kelas dimulai, diperlukan pendamping dari unsur guru atau penggerak kelompok baca. Untuk itu, perlu dijalankan serangkaian kegiatan yang mendukung pembelajaran literasi, yang diawali dengan pembinaan fasilitator literasi supaya mereka mempunyai pengertian yang serupa kepada pembelajaran literasi.

6.1.1 Pelatihan Fasilitator Literasi

Pelatihan fasilitator literasi yang dimaksud adalah pembinaan kepada guru atau pencetus golongan baca. Pelatihan ini bermaksud memahamkan mereka bagaimana penerapan GNLB ini di sekolah dan komunitas baca. Peserta pada pelatihan ini terdiri atas guru, penggerak kalangan baca, dan duta bahasa yang berasal dari 34 provinsi di Indonesia.

Materi yang diberikan pada training ini mencakup materi membaca naratif, meringkas teks, konversi teks, dan bermain tugas. Materi tersebut diberikan oleh pakar dari universitas, sastrawan, dan narasumber dari Badan Bahasa.

6.1.2 Pembelajaran Literasi

Pembelajaran literasi mengandung materi membaca naratif, meringkas teks, konversi teks, dan bermain peran. Membaca naratif, mirip telah dikemukakan di atas, dapat menggunakan beberapa teknik. Pertama, membaca lantang. Dalam hal ini fasilitator literasi dapat memakai bacaan yang terdapat dalam buku tersebut dan membacakannya dengan bunyi keras dan intonasi yang benar sehingga setiap siswa dapat menyimak dan menikmati ceritanya.

Kedua, membaca senyap. Pada membaca senyap, fasilitator literasi memperlihatkan kebebasan kepada siswa untuk menentukan materi bacaan yang sesuai dengan kesanggupan mereka sendiri sehingga mereka mampu menuntaskan membaca bacaan tersebut. Kemudian, fasilitator literasi memberi contoh sikap membaca dalam hati yang bagus sehingga siswa/anak mampu meningkatkan kesanggupan membaca dalam hati untuk waktu yang cukup lama. Ketiga, membaca bareng . Pada membaca bareng , terdapat tiga hal yang mampu dilakukan. Pertama, fasilitator literasi mampu membaca dan siswa/anak mengikutinya. Kedua, fasilitator literasi membaca dan siswa/anak mendengarkansambil melihat bacaan yang tertera pada buku. Ketiga, siswa/anak membaca bergiliran. Sementara itu, pada membaca terpandu, semua siswa membaca dan mendiskusikan buku yang serupa. Fasilitator literasi memberikan pertanyaan yang juga telah ada dalam buku materi asuh literasi itu dan meminta siswa/anak menjawabnya.

Terakhir, membaca mandiri. Pada membaca mandiri, siswa/anak bertanggung jawab terhadap bacaan yang dipilihnya sehingga tugas fasilitator literasi sekarang menjadi seorang pengamat, fasilator, dan pemberi respon.

Di samping membaca naratif, diberikan pula teknik konversi teks dan meringkas teks. Kedua hal itu termasuk ke dalam menulis terpandu, peran fasilitator literasi yakni selaku fasilator yang menolong siswa/anak menemukan apa yang ingin ditulisnya dari buku dongeng yang dibacanya dan bagaimana menuliskannya kembali dengan terperinci, sistematis, dan mempesona. Fasilitator literasi bertindak selaku pendorong dan pemberi rekomendasi.

Pembelajaran bermain peran dikerjakan dalam rangka mempraktikkan apa yang ada dalam kisah rakyat itu ke dalam pentaspanggung sandiwara. Fasilitator literasi mengarahkan siswa/anak untuk membentuk golongan dan berlatih memerankan tokoh-tokoh dan memainkan cerita rakyat tersebut dalam pementasan. Dari situ diharapkan siswa/anak kian mengetahui muatan kecerdikan pekerti dalam sebuah dongeng.

6.1.2.1 Pembelajaran Literasi di Sekolah Model
Sekolah model adalah sekolah yang dibina untuk melaksanakan pembelajaran literasi. Dari sekolah versi ini diperlukan pada kurun mendatang dapat pula terlaksana kegiatan serupa di sekolah-sekolah lain. Komponen yang terlibat di sini ialah kepala sekolah, guru, siswa, dan orang tua dengan tugas masing-masing.

Pembelajaran literasi yang dikerjakan di sekolah model, sebagaimana diterangkan di atas, berisi bahan membaca, menulis, dan bermain peran. Materi itu disampaikan oleh guru dengan cara pendampingan kepada siswa. Pada kesannya dibutuhkan berkembang kebiasaan membaca yang mau memajukan potensi diri dan akan menumbuhkan akal pekerti pada diri siswa.

6.1.2.2 Pembelajaran Literasi di Komunitas Model
Komunitas baca versi yaitu komunitas baca yang dibina untuk melakukan pembelajaran literasi di penduduk . Komunitas baca versi ini diharapkan mencetak anak-anak berkarakter budi pekerti luhur dengan kebiasaan membaca. Sejalan dengan pembelajaran literasi sekolah model, Pembelajaran literasi yang dilakukan di komunitas baca model, juga berisi materi membaca, menulis, dan bermain peran. Materi itu disampaikan oleh pencetus komunitas baca dan duta bahasa dengan cara pendampingan kepada anak-anak.

6.2 Olimpiade Literasi Nasional

Olimpiade dimaknai dengan pertandingan. Awalnya, olimpiade dijalankan sebatas pada olahraga, namun penggunaannya kemudian meluas. Muncullah olimpiade sains, olimpiade fisika, olimpiade matematika, olimpiade geografi, dan sebagainya. Pada tahapan puncak kegiatan GNLB, diadakan acara Olimpiade Literasi Nasional di suatu Kampung Literasi.

Olimpiade literasi ini bersifat nasional sebab diikuti oleh wakil dari 34 provinsi di seluruh Indonesia. Wakil- wakil tersebut yaitu guru dan siswa`yang berasal dari 34 sekolah dasar model serta pelopor baca dan seorang anak usia 10—12 tahun yang berasal dari 34 komunitas baca versi. Selain peserta dan panitia, unsur yang terlibat dalam olimpiade ini mencakup narasumber dari unsur pendidik, sastrawan, seniman seni tugas, dan dari Badan Bahasa.

Ada beberapa kegiatan dalam Olimpiade Literasi Nasional ini, yakni kontes membaca naratif, kontes meringkas teks, lomba mengonversi teks, lomba bermain peran, dan ada pula klnik literasi.

6.2.1 Lomba Membaca Naratif

Lomba membaca naratif dalam hal ini yakni kontes membaca dongeng. Peserta diminta tampil membaca dongeng dengan sumber dongeng rakyat dari derah masing- masing. Jika ada, akseptor boleh menjinjing kelengkapan yang disediakan oleh masing-masing penerima untuk mendukung pembacaan ceritanya itu.

Lomba membaca naratif ini diadakan khusus untuk siswa/anak.

Bagan Penilaian Lomba Membaca Naratif
 Pedoman Pelaksanaan Gerakan Nasional Literasi Bangsa  PEDOMAN GERAKAN NASIONAL LITERASI BANGSA (GNLB)
Gambar Bagan penilaian kontes membaca
Sumber: gln.kemdikbud.go.id

6.2.2 Lomba Meringkas Teks

Yang dijalankan dalam lomba meringkas teks yaitu menulis ulang suatu dongeng dengan lebih ringkas. Tentu hal ini diawali dengan membaca dan memahami isinya, lalu menuangkannya kembali dengan bahasa sendiri dan dalam jumlah kata yang jauh lebih sedikit dari aslinya.

Pada kegiatan ini, akseptor diberi buku yang berbeda dari tempat asalnya, lalu diberi waktu untuk membaca, dan dilanjutkan dengan menciptakan ringkasan. Kegiatan ini disertai oleh guru, pencetus kelompok baca dan juga siswa/anggota kalangan baca.

Bagan Penilaian Lomba Meringkas Teks
 Pedoman Pelaksanaan Gerakan Nasional Literasi Bangsa  PEDOMAN GERAKAN NASIONAL LITERASI BANGSA (GNLB)
Gambar Bagan evaluasi meringkas teks
Sumber: gln.kemdikbud.go.id

6.2.3 Lomba Konversi Teks

Lomba lainnya yang digelar pada Olimpiade Literasi Nasional yakni konversi teks. Para penerima diminta membaca suatu buku kisah untuk lalu menciptakan teks gres dengan cara merekonstruksi dan mengonversi teks kisah rakyat menjadi teks gres dengan genre yang berlainan. Lomba konversi teks ini cuma dibarengi oleh guru, aktivis golongan baca, dan duta bahasa.

Bagan Penilaian Konversi Teks

 Pedoman Pelaksanaan Gerakan Nasional Literasi Bangsa  PEDOMAN GERAKAN NASIONAL LITERASI BANGSA (GNLB)
Gambar Bagan evaluasi konversi teks
sumber: gln.kemdikbud.go.id

6.2.4 Lomba Bermain Peran

Bermain tugas atau sandiwara merupakan salah satu kegiatan yang dilombakan dalam Olimpiade Literasi nasional ini. Pada kontes ini, akseptor dikelompokkan menjadi enam kalangan, yaitu dua kalangan mewakili wilayah Indonesia bagian Barat, dua kalangan mewakili daerah Indonesia bagian Tengah, dan dua golongan mewakili kawasan Indonesia bab Timur. Tiap-tiap kalangan terdiri atas guru, pelopor golongan baca, siswa, dan bawah umur dari kalangan baca. Tiap-tiap kalangan itu dilatih untuk memainkan sandiwara yang mengangkat kisah dari tiga kawasan Indonesia tersebut. Cerita telah ditentukan sebelumnya oleh panitia.

Bagan Penilaian Lomba Bermain Peran
 Pedoman Pelaksanaan Gerakan Nasional Literasi Bangsa  PEDOMAN GERAKAN NASIONAL LITERASI BANGSA (GNLB)
Gambar Bagan penilaian Lomba Bermain Peran

sumber: gln.kemdikbud.go.id

6.2.5 Klinik Literasi

Klinik literasi merupakan sebuah “anjungan” bahasa dan sastra yang di dalamnya terdapat tim andal bahasa dan sastra dari Badan Bahasa. Peserta Olimpiade Literasi Nasional berkesempatan mendatangi klinik literasi ini pada dikala-ketika tertentu, misalnya untuk menanyakan hal-hal yang berhubungan dengan GNLB, kebahasaan, dan kesastraan yang ditugaskan oleh narasumber, atau untuk kepentingan memperbesar wawasan pribadi.

BAB VII PENUTUP

Kegiatan GNLB yang diawali tahun 2016 ini diperlukan dapat menjadi versi bagi pelaksanaan gerakan literasi dari tahun ke tahun sehingga benar- benar tercipta ekosistem sekolah dan penduduk berbudaya baca-tulis serta cinta sastra. Dengan demikian, pembangunan aksara dan penumbuhan akal pekerti siswa dan anak-anak Indonesia mampu mewujud aktual. Hasil pelaksanaan GNLB 2016 akan dievaluasi untuk dijadikan materi bagi penguatan dan peluasan pelaksanaan GNLB tahun 2017 sampai 2019.

DAFTAR PUSTAKA

Untuk Artikel Pedoman Pelaksanaan GNLB – Gerakan Nasional Literasi Bangsa diatas Anda mampu download dengan format pdf di situs resmi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia di http://118.98.227.114/glnsite/wp-content/uploads/2017/09/Pedoman-GLNB-2016-2019.pdf

Demikian aliran gerakan nasional literasi bangsa (GNLB) untuk dunia pendidikan di Indonesia, biar berguna!!