Menderita di Mata Manusia, Bisa Jadi Lebih Dahulu Mencium Aroma Surga

Siang itu ketika aku se&g istirahat siang, tiba-datang ada SMS yg masuk. Namun sengaja tak segera kubuka alasannya adalah SMS tiba dari nomor yg tak kukenal. Setelah menuntaskan pekerjaaan yg menumpuk,baru kuambil Hpku. Tiba-datang air mata ini deras mengalir membasahi pipi ketika kubaca satu persatu kalimat SMS itu.

Saking kerasnya tangisku, suami hingga kaget, sambil mengajukan pertanyaan “Ada info apa? Dari siapa? Mengapa menangis?” Karena tak sanggup bercerita, maka suami membiarkan kesedihanku mendera untuk beberapa dikala. Terbayg insiden beberapa tahun yg lalu ketika aku masih menjadi mahasiswa acara pendidikan dokter spesialis.

“Visite“ pasien-pasien di ruang bangsal setiap pagi adalah pekerjaan rutin seorang dokter yg se&g menempuh acara pendidikan spesialis. Begitu juga dgnku. Sambil menyelidiki penyakit pasien yg se&g ku-”visite”, aku senantiasa tergerak untuk juga mengenal keluarga penderita lebih jauh.

Ada satu pasien yg mencuri perhatianku, sebut saja Nabila, seorang gadis kecil cantik berumur tiga tahunan dgn rambut keriting, bulu mata lentik yg hampir tiap hari kuperhatikan. Bukan saja sebab dia seusia anakku tetapi keceriaan anak tersebut & keluarga yg sederhana itu yg membuatku takjub. Tidak mirip kebanyakan pasien bangsal yg rata-rata dari keluarga dgn sosial ekonomi yg kurang itu, seringkali pasien kurang tabah dlm menjalani perawatan di RS apalagi dlm rentang waktu yg lama. Nabila yaitu anak tunggal dari seorang ibu bermuka ayu berkerudung, santun , lembut & murah senyum. Selama beberapa hari di bangsal, tak sekalipun ibu Nabila tampakmengeluh ataupun berkata bergairah kepada anaknya. Satu poin yg berhasil kucatat alasannya adalah tak semua orangtua mampu melakukan itu dlm keadaan yg serba “susah” ini. Nabila juga ditemani ayahnya yg tak kalah sabarnya dgn sang ibu. Walaupun ayah ini tak sempurna fisiknya, salah satu kakinya mengecil, tak sekalipun bapak ini meninggalkan keharusan shalat lima waktunya.

Rasa empatiku yg tinggi pada Nabila & kedua orangtuanya menciptakan aku tak tega melaksanakan tugasku untuk mengoperasi mengangkat bola mata Nabila yg terjangkit kanker ganas. Malam hari sebelum peran itu, saya bingung & sulit sekali untuk memejamkan mata, saya tak tega sesudah operasi nanti, pasti Nabila akan kehilangan bola matanya, niscaya akan kehilangan penglihatan, pasti akan kesakitan, pasti akan dilajutkan dgn terapi pemanis untuk mematikan semua sel ganasnya, pasti akan lebih panjang lagi penderitaannya. Tak sanggup membaygkannya andai saja itu menimpa anakku.

Tidak seperti yg kubaygkan, Nabila ternyata gadis kecil yg sungguh berpengaruh. Setelah dipindah ke ruang bangsal usai operasi, sekitar kurang lebih 4 hari saja Nabila rewel minta digendong sambil menenteng boneka kecilnya yg telah tak bisa dilihat lagi, alasannya adalah bola matanya telah dioperasi sementara mata yg satunya sudah tak berfungsi juga. Ayah & ibunya tetap saja selalu sabar menghadapinya. Setelah beberapa minggu melalui serangkaian terapi, risikonya Nabila diperbolehkan pulang karena kanker sudah menyebar ke bab tubuh lainnya, yg artinya Nabila diterapi untuk meminimalkan rasa nyerinya saja.

Sampai beberapa bulan lalu masuklah SMS dari nomor yg tak kukenal itu. Ternyata dari ayah Nabila yg mengabarkan jika Nabila sudah diun&g oleh Yang Maha Pengasih. Saat tangisku mereda, saya bercerita pada suami, saya duka & kasihan pada Nabila & keluarganya yg sudah sabar tetapi masih ditambah ujian yg lebih berat lagi. Tapi kata suamiku ”Bisa jadi keluarga Nabila mencium aroma surga lebih dahulu ketimbang kita sebab kesabarannya merawat Nabila meskipun nampaknya mereka menderita, sementara kita belum tentu bisa seperti keluarga Nabila” [DwiKap]

  Dampak Modernisasi & Globalisasi Dalam Kehidupan Sosial