Puisi tentang penyesalan anak durhaka terhadap orang tua

Puisi tentang penyesalan anak durhaka terhadap orang bau tanah ialah rangkaian kata-kata puisi anak durhaka pada ibu bapa & syair anak durhaka, menjelaskan kata kata wacana anak durhaka pada orang renta

Apakah yg dimaksud dgn durhaka pada kedua orang bau tanah, Pengertian durhaka pada orang renta ialah berbuat jelek pada mereka tak menaatinya, mengucapkan perkataan atau melakukan perbuatan yg menjadikan orang tua bersedih hati, memutuskan relasi dgn keduanya, menyia-nyiakan hak mereka & lain-lain sikap yg tak baik terhadap kedua orang tua.

Dalam agama islam segala bentuk kedurhakaan seorang anak pada orang tuanya merupakan dosa besar maka kita selaku anak bila tak sanggup menjadi anak yg sholeh, maka jangan sampai menjadi anak yg durhaka.

Begitulah sekilah mengenai anak durhaka tema puisi tentang anak durhaka yg dipublikasikan berkas puisi kali ini dgn judul puisi perihal penyesalan anak durhaka kepada orang renta.

Bagimana kisah puisi durhaka pada orang tua dlm bait puisi penyesalan anak durhaka yg diterbitkan wargamasyarakat.org apakah puisi tentang durhaka pada orang bau tanah bercerita mirip puisi perihal anak durhaka atau puisi ibu untuk anak durhaka ataukah berkisah mirip puisi perpisahan orang renta.

Untuk lebih jelasnya puisi wacana penyesalan seorang anak pada ibunya atau puisi penyesalan anak durhaka disimak saja puisi berjudul kidung sesal seorang anak durhaka dibawah ini di kutip dr komposiana dr halaman Hamdi Akhsan dlm bentuk puisi panjang.

KIDUNG SESAL SEORANG ANAK DURHAKA

I
Nafas tersengal memandang langit,
sekujur tubuh terasa sakit,
membiru daging berbalut kulit,
lisan terkunci sulit menjerit.

Terasa dada dihimpit bukit,
tarik nafaspun begitu sulit,
hingga matapun harus terjelit,
tiada jeda walau sedikit.

  Puisi Malam Merindu - Oleh Hermin Veronika

sudah berbulan terkapar sakit,
segala sudah habis walau diirit,
yang tinggal hanya potongan jarit,
sungguh diakhir begitu pahit.

II
Tuhan…
Hamba-Mu ini sudah terkulai,
rindukan ibu mau membelai,
menyesal daku kenapa ceroboh,
ayah & bunda sering diabai.

Malaikat kematian-Mu sekarang sudah sampai,
menenteng gada membawa rantai,
acung padaku untuk dipakai,
sebagai balas dosa sesuai.

Terbayang kelak usus terburai,
rambut yg rontok berhelai-helai,
daging & tulang tercerai berai,
karena buruknya amal dinilai,

III
Ibu…
Betapa diri ingin tiarap,
maaf & ampun sangat kuharap,
sakiti kamu-sekalian dlm bersikap,
tak tunduk hati dlm memandang.

dihari ini daku meratap,
abadi azab pastilah tetap,
tak mungkin lagi kudapat maaf,
ibu sudah ada dikubur gelap.

Terbayang saat tubuhku tegap,
jabatan ada hartapun mantap,
kendaraan beroda empat yg manis indah mengkilap,
ternyata buat diriku silap.

IV
Ibu dikampung tinggal sendiri,
sesudah ayah hadap Ilahi,
semua dikerja seorang diri,
tanpa mengeluh saban hari.

Setiap ananda ingin menjemput,
senantiasa kerja banyak menuntut,
fikiran ananda yg carut marut,
niat menjemput tak terwujud.

Terhadap itu ibunda diam,
perih di hati begitu dalam,
menangis sendiri ditengah malam,
serahkan diri ke Penguasa Alam.

V
Ternyata semua berbuah sesal,
memang terjadi semua bakal,
bunda dikampung sudah meninggal,
menangis diri kolam hilang akal.

Teringat kecil tabiat yg nakal,
menciptakan hati ibunda kesal,
absen sekolah dengan-cara massal,
dikala kuliah minta tambah bekal.

Ketika honor sudah setimpal,
uangpun ada selaku modal,
ingin berkirim seringlah batal,
sebab niat lemah diawal.

VI
Setelah bunda telah tiada,
menangis daku tak reda-reda,
dipacu tinggi kepercayaan didada,
tapi semua sebentar saja.

  Prota PJOK Kelas 6 SD/MI

Kembali diri ke tengah kota,
sibuklah diri kerja ditata,
waktu berlalu terus ternyata,
digapai sangat apa dicita.

Iman yg naik kembali rendah,
semua berjalan begitu mudah,
ternyata hidup bagaikan roda,
segala sudah catatkan qadha.

VII
Ketika umur makin bertambah,
Jalannya hidup mulai berganti,
resahlah diri tak bisa cegah,
perlahan-lahan dicabut berkah.

Anak dirumah sesuka-suka,
kata yg timbul menjinjing luka,
masih didunia sudah berduka,
itu jawaban anak durhaka.

Menyesal diri tak ajak bunda,
dalam mendidik menggunakan dada,
kata yg lembut bagaikan nada,
menciptakan sejuk hati ananda.

VIII
Karena sering menahan hati,
badanpun sakit tak diketahui,
uangpun habis tuk mengobati,
hartapun habis tiada memiliki arti.

Kini jasad menjelang mati,
berbulan sudah kolam dipahati,
sakitnya sungguh ke ulu hati,
bagai ditikam pisau belati.

Duduk menunggu anak & istri,
tak tahu cara menolong beri,
berjalan terus berpuluh hari,
betapa berat sakit & nyeri.

IX
Tuhan…
Malaikat kematian menciptakan kecut,
muka seramnya menciptakan takut,
tetapi kenapa tak mau cabut,
tulang dagingku sudah mengkerut.

Terbayang bunda dahulu ingin ikut,
namun daku tak sempat jemput,
ternyata sampai hadirnya ajal,
luka hatinya tiada tertaut.

Yang telah hilang tak bisa rebut,
tak guna sesal dihati sudut,
atau menangis berlarut-larut,
tak sempat kata maaf disebut.

X
Tuhan…
Betapa malang diriku ini,
jasad sekarat tak mati-mati,
bagai ditusuk seluruh hati,
didunia saja ini mirip.

Kalaulah boleh menangis darah,
supaya Engkau tak lagi murka,
walau harus seberangi maritim merah,
kan kukerjakan tanpa menyerah.

Tapi semua telah berlalu,
tinggallah sesal sambil tersedu,
didalam kubur sengsara tentu,
dalam neraka dihimpit watu.

XI
Disaat nyawa terus meregang,
berkelejat jasad lemah & tegang,
Nyawa tubuhku hampir terbang,
dengarlah anjuran akhir hayat menjelang.

  [Puisi Guru] Doaku Buat Pak Guru - Oleh Rustiani Widiasih

Anakku…
Walau bundamu tak berpendidikan,
tak bisa pula beperhiasan,
bahasanyapun tak tertatakan,
namun baktimu diutamakan.

Hidup yg berkah alasannya bakti,
mengurus bunda sepenuh hati,
jangan dibentuk pengasuh nanti,
alasannya adalah bekerja suami istri.

XII
Takala tubuhnya makin renta,
berhati-hati dlm berkata,
alasannya adalah sering bersalah sangka,
membuat hatinya kan menderita.

Kalaulah sempat haturkan maaf,
ridhokan air susu dihisap,
letihnya berdiri ditidur lelap,
diamkan tangismu yg terkesiap.

Alangkah indah kalaulah mungkin,
ketika meninggal pasangkan kain,
sebelum itu haruslah yakin,
maaf diberi ridho dipimpin.

XIII
Anakku…
Diriku sudah makin sekarat,
dalam waktu dekat nyawaku lenyap,
tak mampu lagi daku meratap.
cuma ampunan yg daku harap.

deritaku sekarang telah lengkap,
Pandanganku sekarang mulai gelap,
malaikat mencabut bagaikan kalap,
wahai diri…tak guna lagi kau-sekalian meratap.
Naudzubillahi mind dzalik.

al Faqir

Demikianlah Puisi wacana penyesalan anak durhaka kepada orang bau tanah, baca pula puisi anak durhaka & puisi dosa terhadap ibu dihalaman lain wargamasyarakat.org

Semoga tema puisi penyesalan anak durhaka diatas mampu memberi gagasan untuk menulis puisi anak durhaka pada ibunya atau puisi untuk anak durhaka.