Lukisan Wanita Sunda 1907 |
Oleh Aditia Gunawan
Diraksukan kabaya
Nambihan cahayana
Dangdosan sederhana
Mojang priangan
Koninklijk Instituut voor de Taal-, Land-, en Volkenkunde (KITLV), lembaga pengkaji bahasa dan budaya dari Belanda, mempunyai sejumlah dokumentasi berbentukfoto yang menggambarkan perempuan Sunda. Dari foto tersebut terlihat wanita Sunda berkulit agak kekuningan, hidungnya agak mancung, dan perawakannya cukup lenjang. Yang cukup menciptakan kita terkejut, yaitu busana yang dikenakannya. Wanita tersebut dibalut kain samping batik, tetapi, balutan kain itu tidak menutup bagian dadanya (no bra).
Patut dicatat bahwa potret itu merupakan hasil jepretan juru potret kolonial, dan terjadi pada awal kala ke-20 atau kurun kolonial juga. Bagaimana dengan potret wanita Sunda kemudian berdasarkan kesaksian pribumi? Menyangkut pertanyaan tersebut, goresan pena ini menjajal menampilkan potret wanita Sunda pada masa kemudian berdasarkan kesaksian pribumi sebagaimana terlihat dalam teks-teks Sunda Kuna.
Fisik dan Penampilan
Secara fisik, wanita Sunda dianggap elok jikalau hidungnya menyerupai pala kurung (mirip labu), matanya bening seperti beling dari Cina, bulu matanya lentik, ketiaknya berwarna kehijauan alasannya adalah higienis tanpa bulu, dan badannya berbulu halus. Tengkuknya keras (bungkul) dan tegak sehingga kalau berjalan .. tok-tok-tok, terlihat elok. Bahunya rata dan sebanding menyerupai timbangan jawa (taraju jawaeun), perutnya agak sintal berisi (kambuy beuteung), jemarinya lentik taréros, kulitnya kuning langsat, dan rambutnya tumbuh subur hitam seperti kain celupan (Carita Ratu Pakuan).
Untuk menutupi bab tubuhnya, wanita Sunda pada era lalu memakai kain yang ditenun sendiri oleh kaum perempuan. Dalam téks Carita Radén Jayakeling (Kropak 407), Sakéan Adi Larangan dinaséhati biar beliau selalu menutupi payudaranya dengan aben yang kiranya mempunyai fungsi yang sama dengan bra “pinareup mangka abenan, mulah dimangka cugenang” (buah dada tutuplah dengan aben, jangan dibiarkan menyembul). Dalam dongeng Sri Ajnyana kain mengkremasi tersebut bermotif gula manikem (yang berarti ‘gula permata’) yang memperbesar sari kecantikannya.
Kain bawahannya ada dua jenis, kain dalam dan kain luar. Bawahan bagian dalam diikat dengan bentén, yakni ikat pinggang dari logam mulia (emas atau perak) yang disambung- sambung. Jika tidak memakai bentén, alternatif yang bisa diseleksi yakni kain putih (lungsir putih). Adapun kain luarnya bercorak giringsing wayang yang jikalau tertiup angin kelembutan bahannya menyibakkan betis kuning yang tersembunyi di baliknya. Saat ini mampu kita ketahui, bahwa menciptakan kain bermotif giringsing wayang(bali : gringsing wayang) cukup susah, mampu menghabiskan waktu 2-5 tahun. Sebagai suplemen, bagian bahu terjuntai selendang sutra Cina selaku jaminan mutu.
Sejak jaman baheula, rambut yaitu mahkota perempuan. Tidak boleh sehelaipun dibiarkan tergerai “mulah dimangka ngarunday” (Carita Radén Jayakeling). Rambutnya yang hitam terawat karena sering keramas senantiasa menggunakan sanggul model sri téja purana windu, model sanggul leluhurnya (Séwaka Darma). Diatas mahkota alami itu dihiasi lagi oleh mahkota produksi, yakni siger yang melingkar di kepala dan tapok gelung selaku epilog sanggul yang memperbesar aura raut tampang yang bercahaya (Ratu Pakuan).
Pameunteung beuheung melingkar di lehernya. Lengan kanan bagian atas dihiasi oleh kilatbahu yang berkilauan, sementara pada pergelangan tangan kiri melingkar gelang kancana (Ratu Pakuan). Subang kecil yang menempel di pendengaran berkilauan seperti bintang yang mengambang di angkasa (Séwaka Darma).
Prilaku
Pesona keelokan perempuan Sunda pada masa lalu juga nampak dari prilakunya. Ketika menunduk tampak bagai dewata yang sedang berkaca di air telaga, sedangkan saat menengadah terlihat seperti orang yang sedang membentangkan panah atau bahkan mirip orang yang memohon belas kasihan déwata karena tindakan dosanya (Ratu Pakuan).
Agar dicintai dan disayangi oleh suami “kacigeuy tuang caroge“, dua keahlian wajib dimiliki perempuan, ialah menenun dan mengolah masakan. Di depan rumah para wanita menenun kain untuk dipakai keluarganya. Bahkan perempuan dianggap motékar bila mampu menenun dan menganji pada waktu gelap malam. Motif yang biasa ditenun yakni kembang kapuk dan kembang gadung. Keterampilan mengolah makanan juga diutamakan. Memasak sayur, merebus lalapan, mengolah ikan dan ayam. Tidak semudah yang dikira, alasannya setiap ikan atau ayam dimasak menurut jenisnya. Ikan paray dikembang lopang sedang udang lezatnya dikembang dadap. Ikan lendi dipepes sedikit asam, sedang lele dicobek. Demikian juga memasak ayam. Ayam danten baiknya dibuat pecel ‘dipepecel‘, sedang ayam bikang (betina) yummy dipanggang (Sanghyang Swawarcinta). Itulah keistimewaan kaum wanita.
Lain dengan kini, pada jaman dahulu perempuan lah yang melamar pria. Taan Ajung Larang melamar Bujangga Manik dengan cara mengantarbenda-benda bersiloka berkaitan dengan perasaan cinta yang akan diutarakannya. Sirih diikat dengan benang, kemudian ditambah kapur karang dan susuh dari Kawarang dan Melayu, serta pinang tiwi yang berair. Semua ditata dalam baki dan ditutupi dengan saputangan. Tak cukup dengan semua itu, demi mendapatkan hati sang pujaan, berbagai parfum, kain dan sabuk opsi, serta senjata keris maléla dipersembahkan. Sirih-pinang ialah seupaheun pananya tineung, simbol pernyataan sekaligus pertanyaan cinta (Bujangga Manik).
Dalam teks-teks Sunda Kuna, peran pria lebih mencolokdibanding perempuan. Tokoh utama yang sering timbul dalam teks ialah lelaki. Sri Ajnyana, Bujangga Manik, Manabaya, Purnawijaya, Jayakeling, Manarah, seluruhnya laki-laki. Mungkin pengarang teks-teks Sunda Kuna didominasi kaum adam. Meski demikian, banyak pula figur-figur wanita dalam NSK, yang mempunyai peran penting. Salah satunya Deuwi Sita. Walau menghadapi aneka macam fitnah dan ujian, ia tetap bertahan, bahkan bisa membesarkan kedua anaknya (Bujanggalawa dan Puspalawa). Single parent. Tanpa perlindungan Ramadéwa, sang suami tersayang yang mengahanyutkannya ke sungai (Kisah Putera Rama dan Rawana).
Wanita yang telah menjadi ibu menerima daerah istimewa pada masyarakat Sunda Kuna. Ambu yakni sosok yang selalu disebut diawal disusul ayah dan pangguruan. Seorang pertapa yang aben dupa berharap asapnya yang membumbung ke angkasa dapat tercium oleh Sunan Ambu di Kahiangan (Swawarcinta). Manondari, ibu dari anak Rawana, pun mendapat daerah yang sungguh layak di surga (Séwaka Darma).
Seperti itulah potret perempuan Sunda yang tercatat dalam teks-teks Sunda Kuna jauh sebelum kedatangan Belanda di Tatar Sunda dan Nusantara.