Suasana di Stasion Kereta Api Bandung Jaman Dulu |
Masih ingat tersimpan dalam ingatan para sesepuh, bayangan kenangan tempo dahulu :
Malam cuek di Kota Bandung
Sunyi sepi hening terganggu
Dipecah suara, plak plik plok,
Gaung hentak kaki kuda.
Ditingkah gemerincing nyaring, cring cring cring,
Diseling suara, ting-neng ting neng,
menggema jauh-menjauh
Lalu sunyi-sepi kembali.
Setelah pedati kerbau menghilang dari dalam kota, berapa tipe kereta berkuda muncul di Kota Bandung. Ada salah satu tipe kereta kuda yang dinamakan Dos a Dos (ungkapan Perancis). Penumpang dan kusir duduk bertentangan arah, duduk saling belakang-membelakangi. Bila penumpang asyik ngobrol, sedangkan kuda nyeleweng menyesatkan arah perjalanan, penumpang tidak segera tahu. Habis lihat belakang melulu.
Model kereta kuda lainnya yang diketahui di kota ini adalah Bendi, Sado, Delman, Dokar dan Keretek. Bendi yang dihias dengan indah, sarat umbul-umbul, bahkan kalau pemiliknya Menak Bandung sering dilengkapi payung, berkapasitas duduk untuk dua orang.
Selain pernak-pernik dari perak atau kuningan yang melilit sang kuda, tak pernah lupa krincingan atau genta kecil mengalungi lehernya. Tentu saja sepasang lentera yang sekarang dianggap Antik itu, dipasang kiri-kanan kendaraan.
Perlengkapan yang lain yang khas yakni bel yang diinjak kaki ting neng, ting neng !!! Bendi yang tergolong lux, jaman baheula bisa dibeli pada Firma Hallermann di Jl. Braga. atau menyewanya pada Bang Naripan, orang kaya asal Betawi tempo dahulu yang namanya diadopsi menjadi suatu nama jalan di Bandung kini.
Selain pernak-pernik dari perak atau kuningan yang melilit sang kuda, tak pernah lupa krincingan atau genta kecil mengalungi lehernya. Tentu saja sepasang lentera yang sekarang dianggap Antik itu, dipasang kiri-kanan kendaraan.
Perlengkapan yang lain yang khas yakni bel yang diinjak kaki ting neng, ting neng !!! Bendi yang tergolong lux, jaman baheula bisa dibeli pada Firma Hallermann di Jl. Braga. atau menyewanya pada Bang Naripan, orang kaya asal Betawi tempo dahulu yang namanya diadopsi menjadi suatu nama jalan di Bandung kini.
Bendi ialah kendaraan tunggangan para Menak Bandung, Orang Kaya kalangan Pasar dan para Preangerplanter : yang kemudian-lalang makan angin di Malam Minggunya Parijs van Java. Asyik, riang meriah dan gemerlapan.
Dalam perjalanan sejarahnya yang lebih dari satu setengah masa, kereta kuda beroda dua masih tetap bertahan dibeberapa kota di Pulau Jawa dan Sumatra. Meskipun kendaraan bermotor yang lebih modern sudah datang mendesaknya. Hanya kota-kota besar, kereta kuda semacam itu telah mulai jarang terlihat.
Kota-kota kecil di Priangan yang masih banyak memeliki Delman, Dokar atau keretek yaitu Banjaran. Ciparay, Majalaya dan Singaparna. Dengan nama, model dan modifikasi yang agak berlawanan kita temukan Celebek di Plered, Andong di Yogyakarta, Per di Kota pantai Jawa Tengah, Mayor di kota Jawa Timur, Ben Hur di Manado dll.
Kota-kota kecil di Priangan yang masih banyak memeliki Delman, Dokar atau keretek yaitu Banjaran. Ciparay, Majalaya dan Singaparna. Dengan nama, model dan modifikasi yang agak berlawanan kita temukan Celebek di Plered, Andong di Yogyakarta, Per di Kota pantai Jawa Tengah, Mayor di kota Jawa Timur, Ben Hur di Manado dll.
Menjalani debutnya selama lebih dari satu setengah masa. Kereta berkuda tidak hanya beroperasi di dalam kota. Tapi sanggup jadi alat trasportasi antar kota dan tempat.
Setelah diceritakan oleh Tuan Forbes, pada tahun 1885 ia menyelenggarakan perjalanan dari Bogor (Buitenzorg) ke Bandung. Jarak 80 Mil ditempuh dalam 13 jam. Dengan ongkos yang cukup mahal buat ukuran jaman baheula. Yaitu 20 sen tiap Mil.
Makara ongkos Bogor-Bandung, dibayar oleh seorang penumpang sebanyak 18 gulden. Wah mahal pisan, namun gak apa-apa kok, kata Tuan Forbes, alasannya adalah panorama Priangan nan indah jelita, sepanjang perjalanan, cukuplah mencukupi dengan ongkos yang dikeluarkan. Syukurlah bila begitu Mister. You memang termasuk Lucky man. Nggak sempat disruduk warak diperjalanan. Yes Very Lucky man Indeed !!
Makara ongkos Bogor-Bandung, dibayar oleh seorang penumpang sebanyak 18 gulden. Wah mahal pisan, namun gak apa-apa kok, kata Tuan Forbes, alasannya adalah panorama Priangan nan indah jelita, sepanjang perjalanan, cukuplah mencukupi dengan ongkos yang dikeluarkan. Syukurlah bila begitu Mister. You memang termasuk Lucky man. Nggak sempat disruduk warak diperjalanan. Yes Very Lucky man Indeed !!
Dalam masa ekonomis energi sekarang, rasa-rasanya masih pantas riding and rolling di jalanan. Meski orang modernis yang mengejar efisiensi tinggi, mungkin tidak menyepakati pertimbangan ini.
Bunyi pluk-plik-plok plik-pluk dan ting neng ting neng, yakni suara khas Bandung baheula. Terkadang suara itu diselingi bunyi, dodolit-dodoli-bret yang berasal dari tuter kendaraan beroda empat antik yang berkeliaran. Sumber: Wajah Bandung Tempo Doeloe.1984. Haryoto Kunto.