Kira-kira sepuluh hari sebelum Lebaran tiba, gerobak-gerobak berwarna putih itu akan timbul di berbagai sudut kota kami, mirip selalu terjadi dlm bulan ampunan tahun-tahun akhir-akhir ini. Gerobak itu tak ada bedanya dgn gerobak pemulung, atau bahkan gerobak sampah yang lain, dgn roda karet & pegangan kayu untuk dihela kedua lengan di depan. Hanya saja gerobak ini ternyata berisi insan. Dari balik dinding gerobak berwarna putih itu akan tampak sejumlah kepala yg menumpang gerobak tersebut, lazimnya seorang ibu dgn dua atau tiga anak yg masih kecil, dgn seorang bapak bertenaga berpengaruh yg menjadi penghela gerobak tersebut.
Karena tak pernah betul-betul memperhatikan, gue hanya melihat gerobak-gerobak itu selintas pintas, tatkala sedang berlangsung merayapi berbagai sudut kota. Dari mana & mau ke mana? Aku tak pernah berada di batas kota & menyaksikan gerobak-gerobak itu masuk kota. Mereka mirip tiba-tiba saja sudah berada di dlm kota, kadang terlihat berhenti di aneka macam tanah lapang, memasang tenda plastik, menggelar tikar, & tidur-tiduran dgn kalem. Tidak ketinggalan menanak air dgn kayu bakar & masak seperlunya. Apabila tanah lapang sudah penuh, mereka menginap di kaki lima, dgn plastik menutup gerobak & mereka tidur di dalamnya. Tidak jarang mereka memasang pula tenda di depan rumah-rumah gedung bertingkat. Salah satu dr gerobak itu berhenti pula di depan rumah gedung kakekku.
“Kakek, siapakah orang-orang yg datang dgn gerobak itu Kek? Dari manakah mereka tiba?”
Kakek menjawab sambil menghela napas.
“Oh, mereka selalu tiba selama bulan ampunan, & nanti menghilang sehabis Idulfitri. Mereka tiba dr Negeri Kemiskinan.”
“Negeri Kemiskinan?”
“Ya, mereka datang untuk mengemis.”
Aku tak mengajukan pertanyaan lebih lanjut, sebab kakekku ialah orang yg sibuk. Di samping menjadi pejabat tinggi, perusahaannya pun banyak sekali, & Kakek tak pernah membagi pekerjaannya yg berat itu dgn orang lain. Semuanya ia tangani sendiri. Dari jendela loteng, kuamati orang-orang di dlm gerobak itu. Anak-anak kecil itu sepertinya seusiaku. Namun kalau gue saban hari disibukkan oleh tugas-peran sekolah, belum dewasa itu pekerjaannya hanya bermain-main saja. Kadang-kadang gue ingin sekali ikut bermain dgn anak-anak itu, namun Kakek tentu saja melarangku.
“Jangan sekali-sekali mendekati kere-kere itu,” kata Kakek, “kita tak pernah tahu apa yg mereka fikirkan wacana kita.”
“Apa yg mereka pikirkan Kek?”
“Coba saja ananda setiap hari hidup di dlm gerobak di luar sana. Apa yg akan ananda pikir kalau dr kegelapan melihat lampu-lampu kristal di balik jendela, dlm kerumunan nyamuk yg berdenging-denging menyaksikan anak kecil berbaju bersih makan es buah & pudding warna-warni waktu berbuka puasa?”
Aku tertegun. Apa maksud Kakek? Apakah mereka akan menculik aku? Ataukah setidaknya mereka akan melompat masuk jendela & merampas masakan lezat-enak untuk berbuka puasa ini? Aku memang senantiasa mendapat peringatan dr orangtuaku untuk hati-hati, bahkan sebaiknya menjauhi orang yg tak diketahui . Memang mereka tak pernah menyebutkan kata-kata semacam, “Hati-hati terhadap orang miskin,” atau “Orang miskin itu jahat,” tetapi kewaspadaan Ibu memang akan senantiasa meningkat & segera menggandeng tanganku erat-erat apabila didekati orang-orang yg berbaju compang-camping & sudah tak jelas warnanya lagi. Dari balik topi tikar pandan mereka yg sudah jebol tepinya, memang senantiasa kulihat mata yg memandang, tetapi tak bisa kuketahui apa yg dikatakan mata itu.
Sekarang gue tahu gerobak-gerobak berwarna putih itu datang dr Negeri Kemiskinan. Di mana tempatnya, Kakek tak pernah menerangkan, namun kurasa tentunya bersahabat-bersahabat saja, sebab bukankah gerobak itu dihela oleh orang yg berlangsung kaki? Demikianlah gerobak-gerobak itu dr hari ke hari makin banyak saja sepertinya. Benarkah, seperti kata Kakek, mereka tiba untuk mengemis? Aku tak pernah menyaksikan mereka mengulurkan tangan di depan rumah- rumah orang untuk mengemis. Juga tak kulihat mereka menengadahkan tangan di tepi jalan dgn batok kelapa atau piring seng di depannya. Jadi kapan mereka mengemis?
Ternyata mereka memang tak perlu mengemis untuk mendapat sedekah. Nenek misalnya selalu mengantarkan makanan yg berlimpah-limpah pada gerobak yg menggelar tenda di depan rumah. Tatkala kemudian gerobak-gerobak itu makin banyak saja berjajar-jajar di depan rumah, gerobak-gerobak yg lain itu pula mendapat limpahan masakan pula. Tampaknya orang-orang yg dianggap berkelebihan diandaikan dgn sendirinya harus tahu, bahwa manusia-manusia dlm gerobak itu perlu mendapat sedekah. Demikian pula insan-manusia dlm gerobak itu tampaknya merasa, sudah semestinyalah mereka mendapat limpahan tunjangan sebanyak-banyaknya tanpa harus mengemis lagi. Mereka cukup cuma harus hadir di kota kami & mereka akan menemukan sedekah yg tampaknya mereka anggap selaku hak mereka.
Begitulah dr hari ke hari gerobak-gerobak putih itu memenuhi kota kami, bahkan mobil Kakek hingga susah sekali keluar masuk rumah sebab gerobak yg berderet-deret di depan pagar. Di jalan-jalan gerobak itu bikin macet, & di tepi jalan keluarga gerobak yg memasang tenda-tenda plastik mirip berpiknik itu sudah sungguh mengusik pemandangan. Manusia-insan gerobak ini seperti bersikap dunia ialah milik mereka sendiri. Sepanjang hari mereka cuma bergolek-golek di atas tikar, tidur-tiduran memandang langit dgn santai, & mereka seperti merasa mesti mendapat masakan sempurna pada waktunya. Pernah pembantu rumah tangga di rumah Kakek yg terlambat sedikit mengantar kolak untuk berbuka puasa, karena tentu mendahulukan Kakek, mendapat omelan panjang & pendek. Tetangga-tetangga pula sudah mulai jengkel.
“Tenang saja,” kata Kakek, “sehabis Idulfitri mereka akan menghilang, biasanya kan begitu.”
“Tapi kali ini banyak sekali, mereka seperti mengalir tak ada habisnya.”
“Ya, namun kapan mereka tak kembali ke kawasan asal mereka? Mereka selalu menghilang sehabis Idulfitri, pulang ke Negeri Kemiskinan.”
Para tetangga tak membantah. Mereka pula berharap begitu. Setiap tahun menjelang hari Lebaran gerobak-gerobak memenuhi kota, tetapi setiap tahun itu pula mereka akan selalu menghilang kembali.
Pada hari Lebaran, gerobak-gerobak itu ternyata tak makin menyusut. Meskipun kota kami senantiasa menjadi sunyi & sepi setiap kali Idulfitri tiba, kali ini kota kami penuh sesak dgn gerobak yg rupanya setiap hari bertambah dgn kelipatan berganda. Gerobak-gerobak itu masih saja berisi anak-anak kecil & perempuan dekil, dihela seorang lelaki berpengaruh yg melangkah keliling kota. Mereka berkemah di depan rumah-rumah gedung, mereka tidur-tiduran sambil memandang rumah-rumah gedung yg indah, kuat, besar lengan berkuasa, asri, & mewah dr luar pagar tembok. Pada hari Idulfitri, penghuni rumah-rumah gedung itu banyak yg balik kampung, meninggalkan rumah yg adakala dijaga satpam, dititipkan pada tetangga, atau ditinggal & dikunci begitu saja.
Lebih dr separuh warga kota pulang kampung ke kampungnya masing-masing pada hari Idulfitri, pada saat yg sama gerobak-gerobak masuk kota entah dr mana, pasti tak lewat jalan tol, entah dr mana, mirip hadir begitu saja di dlm kota. Apabila kemudian warga kota kembali dr kampung, kali ini gerobak-gerobak itu masih tetap di sana. Berkemah & menggelar tikar di sembarang tempat, bahkan sebagian telah pula masuk, merayapi tembok, melompati pagar, & hidup di dlm rumah- rumah gedung itu.
Warga kota yg memasuki kembali rumah-rumah mereka terkejut, orang-orang yg tiba bareng gerobak itu telah menduduki rumah tersebut, makan di meja makan mereka, tidur di daerah tidur mereka, mandi di kamar mandi mereka, & berenang di kolam renang mereka. Apakah mereka maunya hidup di dlm rumah-rumah gedung yg senantiasa mereka tatap dr luar pagar dgn pikiran entah apa & meninggalkan gerobak mereka untuk selama-lamanya?
“Mereka masih di sini Kek, padahal hari Lebaran sudah berlalu,” kataku pada Kakek.
Lagi-lagi Kakek menghela napas.
“Mereka memang tak bisa pulang ke mana-mana lagi sekarang.”
“Bukankah mereka bisa pulang kembali ke Negeri Kemiskinan?”
“Ya, namun Negeri Kemiskinan sudah terendam lumpur sekarang, & tak ada kepastian kapan banjir lumpur itu akan simpulan.”
Sekarang gue mengetahui kenapa orang-orang itu terlihat sangat amat dekil. Rupa-rupanya seluruh tubuh mereka seperti terbalut lumpur, sehingga kadang kala mereka tampak seperti patung yg mampu hidup & bergerak-gerak. Baru kusadari betapa manusia-manusia gerobak ini memang sangat jarang berkata-kata. Seperti mereka betul-betul hanyalah patung & cuma mata mereka akan menatapmu dgn seribu satu makna yg terpancar dr sana.
Mereka yg tiada punya rumah di atas bumi, di manakah mereka mesti tinggal selain tetap di bumi?
Kakek merasa gusar dgn perkembangan ini.
“Bagaimana nasib cucu-cucu kita nanti,” katanya pada Nenek, “apakah mereka harus mengembangkan tempat tinggal dgn kere unyik itu?”
“Siapa pula suruh merendam negeri mereka dgn lumpur,” sahut Nenek, “kita harus menerima segala akhir perbuatan kita. Heran, kenapa insan tak pernah cukup puas dgn apa yg sudah mereka miliki.”
Aku tak terlalu paham bagaimana lumpur mampu merendam Negeri Kemiskinan. Apakah tujuannya lumpur kemiskinan? Aku cuma tahu, sesudah hari Idulfitri berlalu, gerobak-gerobak putih sama sekali tak pernah berkurang. Sebaliknya semakin lama kian banyak, muncul di berbagai sudut kota entah dr mana, menduduki setiap tanah yg kosong, bahkan merayapi tembok, melompati pagar, memasuki rumah-rumah gedung bertingkat, tak mampu diusir & tak mampu dibunuh, tinggal di sana entah hingga kapan. Barangkali saja untuk selama-lamanya.