“Ompu Gabe?” sergap seorang anak muda pada sebuah petang yg berair. Belum tepat angguk Ompu Gabe, anak muda itu sudah mengeluarkan sebilah perintah & gumaman gila, “…ke lapo tuak terdekat! Mmh, gue suka naik becak siantar….”
Meski dilanda kecengangan, Ompu Gabe mengengkol sepeda motor peninggalan Perang Dunia II itu. Lantas dgn suara yg gederubum tak ubah letupan meriam, Ompu Gabe mengantar penumpangnya dgn becak khas kota Siantar kepunyaannya. Tapi rupanya kecengangan lain menyongsong. Tiba di tujuan, anak muda itu memang bergegas turun. Tapi ia tak memberikan biaya, hanya menjulurkan tangan, “Marihot….” katanya sambil menggeser senyum ke pipi kiri.
Ompu Gabe terkesima, lidahnya terkepang. Pun tatkala anak muda bernama Marihot itu mengajaknya minum, ia patuh. Ompu Gabe begitu saja menerima dirinya menghadap formasi botol tuak. Lalu, tanpa basa-basi. Marihot leluasa saja merubuhkan kekalutan—entah kegeraman? Dan tatkala Ompu Gabe masih dijerat peranjat, tiba-tiba Marihot membentangkan impian dgn ungkapan—yang kedengaran asing bagi Ompu Gabe: Revitalisasi Opera Batak!
Marihot tertantang untuk menggempitakan kembali kesenian leluhurnya, opera batak. Bukankah sudah bertahun-tahun ia terlibat pertunjukan teater di Medan, bahkan keliling Sumatera & Jawa? Maka, dgn air wajah yg berkeciak, Marihot membeberkan liuk-lekuk planning. Ia hendak mengawinkan keluguan opera dgn kilau pertunjukan terbaru. Marihot pula hendak mendaur torsa-torsa (dongeng), turi-turian (legenda), serta mitos- mitos batak menjadi naskah-naskah yg mujarab untuk ditampilkan. Maklum, opera batak tempo dulu cuma mengandalkan kekuatan bertutur & improvisasi.
Maka, sudah semenjak lama ia, katanya, mencicil semangat, merajut tumpuan, pula menggalah tunjangan—motivasi & tentu materi. Lantas, tatkala seluruhnya rangkum, ia pun mengokang tekad: ini saatnya! Pusat Pengembangan Opera Batak layak deklarasi. Maka, Marihot mendesak Ompu Gabe pulang ke tahun-tahun lampau. Dengan harapan Ompu Gabe terlibat, tentu. Tapi, meski takjub, Ompu Gabe mengelak, tidak! Ia mengaku sudah usang menebas segala kenangan tentang opera batak.
Namun, Marihot terus menggeledah, mengintai, menarik hati, & menyodokkan pertanyaan yg mesti dijawab Ompu Gabe: ya. Marihot berpekik, opera batak jangan mati, tak boleh jadi mumi! Bah, luar biasa gairah anak muda ini, puji Ompu Gabe di sudut hati.
Demi Tuhan, ia pun pernah ditabuh gairah semacam itu, mungkin jauh lebih dahsyat. Aku akan bermain opera hingga batas napas, begitu ia pernah bersumpah. Tatkala itu, siapa yg sanggup meninggalkan gelora opera? Ou, dahulu, opera batak yaitu primadona, senantiasa ditunggu-tunggu. Maklum, jangankan tivi, listrik pun masih langka. Selain pasar malam, hiburan warga, ya, opera batak yg tur dr kampung ke kampung. Mereka bertahan di sebuah kampung berhari-hari, bahkan dlm hitungan minggu.
Eit, jangan cemas jikalau tak ada uang. Tiket bisa dibeli dgn beras atau hasil ladang. Monis pe dijalo do (beras yg terbuang dr hasil menampih pun diterima), seloroh orang kampung. Maka, orang-orang berbondong menonton ke tanah lapang sambil margobar, berselubung selimut tebal. Tentu demi mematahkan angin yg mencengkeram tulang. Tapi iyalah, kelebat tepukan & jengking siutan pun cukup ampuh menjerang badan.
Mmh, darah Ompu Gabe kerap bergeriap setiap melawat kemeriahan opera. Maklum, semenjak usia 18 tahun ia sudah menunggang panggung; berlakon, menari, memainkan musik, & bernyanyi. Ia pemain opera yg dielu-elukan penonton. Puja-puji terlebih yg tak digemuruhkan ke telinganya. Ia jaya, ternama! Meski pada suatu peluang tur, ia pernah kehilangan daya. Diam- membisu, seorang penonton setia selalu membikin dadanya berdegup. Setiap malam hadir & tak segan menonton di barisan depan.
Oi, merupakan gadis berjulukan Teresia. Katakan, lelaki mana yg tak hendak meminang pucuk bunga pesohor kampung? Maka tiada yg mampu menghadang kibasan bendera cinta. Pun tatkala mereka saling bersulang kasih sayang. Maka, pada kesempatan tur yg ke sekian kali, mereka sepakat berangkat ke pelaminan. Menjadi suami istri muda!
Kehadiran Teresia kian membongkahkan tekad Ompu Gabe untuk tetap berlakon di panggung. Di mana dongeng digelar, di situ Teresia bersandar. Ia senantiasa mendampingi, menyemangati—juga memberi dua anak laki-laki untuk Ompu Gabe. Teresia yaitu mata air kekuatan & kesabaran. Suatu waktu, tatkala zaman berubah gaun & penduduk halal menukar selera, grup-grup opera memilih tumbang, termasuk grup daerah Ompu Gabe bernaung. Pemilik opera angkat tangan, gulung tikar & bubar! Awak grup tercecer.
Ompu Gabe meronta: opera tak boleh mati di tanah Toba! Lalu, Teresia tak tega. Ia pun berjuang keras menimba semangat Ompu Gabe yg amblas ke lubang yg gulita. Ia himpun serpihan kepercayaan Ompu Gabe yg berantakan. Dan ya, sukses. Ompu Gabe perlahan bangkit, membentuk grup gres, serta menampung kembali pemain & pemusik grup lama. Tur opera pun kembali berdebur, mengedar lakon demi lakon. Iya, kian berkelang memang jejeran penonton. Pun hasil laba dangkal & keruh. Tapi Teresia menolak beranjak dr gebyar panggung.
Tentu, Ompu Gabe bangga pada istrinya. Teresia bahkan pernah didaulat pahlawan oleh awak grup. Saat itu, seorang pemain, tokoh inang, secara tiba-tiba sakit. Lantas penonton hampir mengamuk sebab pertunjukan lalai dimulai. “Aku yg main!” Teresia menghadap suaminya, kemudian secepatnya mendaki panggung. Ia sukses mengupas rasa canggung sekaligus menghipnotis penonton. Hasilnya? Lumayan, sanjung Ompu Gabe.
Maka, tidak heran bila Teresia menjadi daya tarik gres. Dari opera ke opera, ia memikat hati penonton—juga mendulang pujian dr awak grup. Tapi sumpah, Ompu Gabe tak pernah menghasut Teresia memikat hati siapa saja di luar lakon. Terlebih itu lelaki, terlebih lelaki itu yaitu lawan main Teresia di panggung? Dasar tak beradat! Semula, baginya Teresia yaitu kebahagian tepat! Tapi kebahagiaan apa lahir yg dr suatu pengkhianatan? Togu, teman dekat Ompu Gabe, bermain opera semenjak belia bersekutu cinta dgn Teresia. Mereka raib meninggalkan sekerat surat. Hanya sembilan tahunkah usia kesetiaan? Ompu Gabe pun bersemak isak sembari mendekap kedua anaknya: ah, sudah berumur tujuh & lima tahun. Ompu Gabe berkubang luka!
Puih!
Tapi terlebih, selain pasrah? Siapa hendak memuat lampiasan amuk? Lagi pula, Ompu Gabe tak berniat mengampuni pengkhianat. Luka memang berkibar, dendam, ya, menggelepar. Namun tak untuk menagih Teresia dr pangkuan Togu. Iya, asumsi Ompu Gabe lintang-pukang. Ia bubarkan grup. Tak ada opera, tiada lagi tur. Ia lipat kehendak untuk mengusung panggung ke kampung-kampung. Sambil menangkis tangis, Ompu Gabe pun memasarkan seluruh perangkat musik & segala aset opera. Lalu, akad pun ditancapkannya ke udara: tak untuk opera & tak untuk wanita!
Nah, tatkala sebagian sobat— mantan pemain opera—masih tetap berkesenian meski berprofesi pengamen, Ompu Gabe malah membelot menjadi penarik becak siantar. Entahlah, ia harmonis sebagai penarik becak kuno itu. Kalau tidak, mana mungkin Ompu Gabe setia menawan becak hingga 22 tahun lebih. Ia bahkan sudah bercucu. Tapi belum bisa pula menumpas masa lalu? Kemudian, seorang anak muda berjulukan Marihot tiba-tiba mengelebatkan hujan cuka, tepat ke ladang luka.
Ah, tidak! Sebelum Marihot tiba, Ompu Gabe sudah semenjak lama gagal menjemur luka & membunuh sisa cinta kepada Teresia & opera? Ia pun bantu-membantu paham jika Marihot tak berniat mencongkel bekas luka. Memang, Marihot piawai menjangkau geriak kehidupan Ompu Gabe yg hanyut ke muara waktu. Benar, Marihot lihai menyeret Ompu Gabe menelusuri kembali ladang kenangan: riang-gempita & luka-cita! Tapi ia tak layak menuding Marihot sebagai pengobrak lemari kenangannya—bukankah sejak lalu tak terkunci?
Lagi pula, Ompu Gabe pun sadar atas kegagalannya menggenapkan kesumat. Bayangan Teresia sering timbul karam di maritim lamunannya. Lalu, ke mana pun angannya berpaling, terperosok pula ke semarak opera; lakon, musik, nyanyian, & hiruk penonton. Tengoklah, di bawah jok becak tersimpan hasapi. Iseng Ompu Gabe membelinya, tetapi rajin memainkannya, bersanding lagu-lagu sampai teledor waktu. Pernah, tatkala Marihot menjumpai Ompu Gabe pada potensi yg lain, mereka menempuh malam sambil menenggak tuak, bercerita, & bernyanyi sampai serak.
“He, jariku masih piawai memetik senarnya,” Ompu Gabe mengumbang diri.
“Lebih paten kalau dipetik di panggung,” Marihot berdesis. Lalu kembali meniup sulim.
“Mmh, tidak…” Ompu Gabe menggeleng, tapi matanya ragu-ragu.
Marihot memang anak muda yg gigih. Sabar & akil. Apalagi tatkala mengenali pendirian Ompu Gabe mulai oleng. Ia belum mau menyerah. Apalah sulitnya menggedor pintu yg mulai goyah? Maka, pada malam yg lebih menggigilkan, Ompu Gabe akhirnya kehilangan kekuatan.
“Baiklah. Aku bersedia, Marihot…” Teriak Ompu Gabe menaklukkan suara mesin becak. Saat itu Ompu Gabe & Marihot sedang berputar-putar di kota Siantar, “Aku pula akan membujuk kawan-mitra untuk berlatih & main.” Marihot menyelidik wajah Ompu Gabe. O, mata Ompu Gabe berkilau, memendar buncahan gairah.
Mantap!
“Tapi ada syaratnya, Marihot…” sesabit senyum mengait di bibir Ompu Gabe. Pangkal hidung Marihot mengerucut, “Aku yg menjadi anak mudanya, heh!” Ompu Gabe mengerling, Marihot terbahak sambil menahan kencing.
Malam ini penampilan perdana: Lakon Guru Saman! Penonton tak melimpah dlm gedung. Mungkin pekan depan lebih meriah dikala mereka tampil di Lapangan Sisingamangaraja, Balige. Menurut planning, lakon Sipurba Goringgoring yg digelar di sana. Tapi Ompu Gabe tak peduli dgn jumlah hadirin. Ia cuma menanti kedatangan seseorang untuk menyaksikan kehebatannya tatkala berlakon. Ia kembali merasa muda. Matanya menyala.
Ompu Gabe berperan selaku Guru Saman, satria asal Lau Balang-Tanah Karo. Berilmu kebal & lihai main silat. Nah, kisah punya dongeng, tokoh ini membunuh seorang hamba Tuhan— vorhanger, pula istri korban yg sedang hamil. Memang, Guru Saman mendapat ilmu dr seorang guru yg membolehkannya membunuh, namun ibu hamil jangan! Tapi, petuah itu sudah dilanggar Guru Saman. Kesudahannya, Guru Saman berhasil ditangkap komandan kepetangan. Lalu, ya, dieksekusi gantung….
Ompu Gabe bergelimang peluh. Ia sibuk memompa napas ke dada. Sesekali, Ompu Gabe membidikkan persepsi ke jantung panggung. Hujan cahaya. Tortor Sawan, selingan sekaligus penggalan pertunjukan sedang berlangsung. Para penari bersimbah aksi. Musik bertabur, saling menyalip. Suara taganing berkulitak-dung, bunyi garantung bergedatuk- tang. Meski masih berada di luar panggung—wing kanan, Ompu Gabe turut dirasuk musik. Tapi ia masih harus kembali ke panggung. Adegan penangkapan Guru Saman menunggunya.
“Lihat, gue masih bermain mantap. Tapi di mana kamu…?” Ompu Gabe bergumam. Dari tadi, dlm kekhusyukan berlakon, sungguh, sepasang mata Ompu Gabe begitu telaten mengedar pandangan ke barisan penonton. Tempias cahaya panggung memang samar,namun cukuplah untuk menyenter wajah hadirin di barisan depan. “Biasanya kamu duduk di depan itu….” Namun ia tak menemukan sosok yg diharapkannya. Ia pastikan berkali-kali. Hasilnya serupa, “Mmh, kamu tak tiba…?” bisiknya ke indera pendengaran sendiri. Harapannya terjungkal!
Adegan pengujung lakon Guru Saman tetap berlanjut. Ompu Gabe sedang tertunduk ditodong tiang gantungan. Ia tegak ditopang bangku kayu. Alunan sarune menyayat, sesaat. Lantas, sesudah pembacaan pledoi sanksi, adegan hukuman pun dimulai. Lengkung tali dikalungkan ke leher Guru Saman. Algojo hukuman bersiap menebas bangku tumpuan Guru Saman berdiri. Lampu panggung pun seketika padam diiringi jerembab dingklik & bunyi derak tali. Nyawa Guru Saman tamat. Lantas tetabuhan meletup, susul-menyusul. Suara sarune meliuk, mengoyak.
Penonton bertepuk merayakan akhir pertunjukan. Riuh sorak- sorai. Tak ada yg tahu maut sudah tercerabut dr mulut yg berceracau:
“Ah, di mana kau, Teresia? Di mana? Mampuslah…!”