Kriiinnnggg!” Jam wekker di samping kepalaku berbunyi nyaring. Reflek kugerakkan tanganku memencet tombolnya. Hmmm, jam 4.45. Kulihat Aa sudah tak ada di sampingku, gue bergerak menyalakan heater & bergerak menuju ruang sebelah. Di sana kulihat Aa tertidur dgn pulasnya. Dengan jaket tebal & sarungnya. Posisinya melingkar menciptakan tubuh Aa yg jangkung terlihat mengecil. Aku tersenyum. Rupanya Aa shalat malam tanpa membangunkan aku.Terlihat terjemahan Al quran yg masih terbuka di samping kepala Aa. Kututup perlahan terjemahan itu. Kuberjongkok di samping tubuh Aa, tersenyum memandangi wajah Aa yg terlihat hening sekali.
Subuh itu seperti umumkami selesai shalat berjamaah kami tinggalkan dgn tilawah Al Alquran & doa Matsurat. Dan mirip lazimnya tilawah Aa lebih panjang dr pada lama tilawahku. Aku beranjak menuju dapur untuk menyiapkan sarapan pagi & mencuci busana. Tatkala gue memasukkan baju-baju kotor ke mesin cuci, ku dengar suara Aa. “De..! Sudah nggak papa perutnya..? Katanya mulas habis dr Rumah sakit kemarin..” “Nggak, udah nggak papa, kok, “sahutku.
Kemarin memang hari di mana gue harus pergi ke ahli kandungan untuk memeriksakan diri dengan-cara rutin tiap bulan. Sebelum memasukkan alat itu ke dlm tubuhku, dokter wanita yg ramah itu mengingatkanku, bahwa pengobatan mirip ini memang menyakitkan. Makara gue bisa menolaknya kalau tak tahan. Tapi kupikir-pikir toh sama saja sakit kini atau nanti. Maka kubilang pada dokter tersebut. “iie. Daijoubu desu. Yatte kudasai, onegaishimasu.(tidak apa-apa. Tolong laksanakan saja…)” Dokter Abe tertawa. “Gaman site, ne…(bersabar ya, kalau sakit..)” Dan benar saja. Perutku terasa diperas-peras, kepalaku gelap. Aku hampir terjatuh tatkala berdiri dr kawasan tidur. “Sebentar akan saya telfonkan taksi untuk mengantar Anda pulang ke tempat tinggal!” Kata dokter Abe bergegas keluar. Aku berterimakasih padanya sambil menahan rasa mual yg tak mampu kuceritakan rasanya.
Sampai di rumah gue tak besar lengan berkuasa bangun lagi. Sehabis Ashar gue tak sempat lagi membuat makan malam buat Aa. Tatkala Aa pulang, & mendapatkanku sedang tidur Aa sendiri yg mengolah makanan makan malam. Alhamdulillah, Aa memang mengerti keadaanku, meskipun sebetulnya tak mengenali peristiwa yg sesungguhnya. Tapi beliau tak marah karena tak ditemuinya makan malam di meja makan, malah ia memiliki gagasan sendiri untuk memasaknya. Ya Allah terimakasih sebab sudah Kau berikan seorang suami seperti Aa, kataku bersyuku dlm hati.
“Hei! Kok, termangu !” Aa mencolek bahuku. Aku terkejut, agak malu tertangkap tangan dlm kondisi melongo. “Masak apa, De..? Mi goreng sajalah ya. Kan mi goreng buatan Aa jaminan kualitas..” Aa bergerak menuju wastafel dapur & mulai membuka-buka kulkas. Aku mengangguk saja. Mi goreng yakni kuliner kebisaan Aa. Dan harus diakui adakala rasanya jauh lebih enak dr buatanku. Pagi itu kami sarapan pagi dgn mi goreng & sup miso ala Aa. Sedap karena Aa memperbesar rasanya dgn keikhlasan… Dan mirip biasa kami berpisah di akrab stasiun. Aku ke kiri menuju kampusku yg sudah berdiri di sana, sedang Aa ke kanan, ke arah stasiun lantaran Aa mesti ke kampus dgn kereta listrik. “Nggak papa, De..? Kuat kuliah..?“tanya Aa lagi sebelum berpisah. “Insya Allah nggak papa…Lagian cuma sebentar hari ini, pelatihan saja. Kan giliran Dede yg mesti presentasi..”jawabku berupaya menetralisir kegelisahan Aa. “Yah, sudah kalau nggak papa. Hati-hati, ya..Assalamu’alaikum!” Aku mencium tangan Aa & membalas salamnya. Kutunggu hingga tubuh jangkung Aa hilang di pintu stasiun.
Aku & Aa bertikai dua tahun. Kami menikah tatkala gue tahun ketiga, & Aa sedang dlm proses menuntaskan skripsinya. Kami berada di fakultas yg sama, FMIPA, walau berlainan jurusan. Aku kimia, sedang Aa fisika. Alhamdulillah, Allah menjawab doa-doa kami, dgn menawarkan cinta & kasih sayangNya pada hati-hati kami. Walau kami tak berpacaran mirip yg biasa dilaksanakan orang-orang pada umunya, ternyata kami bisa cocok & saling memahami hingga usia perkawinan kami menjelang tahun ke enam sekarang, tak ada percecokan yg sampai mengguncang bahtera yg kami layari. Kalaupun ada mungkin harapan kami untuk mempunyai anak.Tidak, itu tak pernah mengguncangkan perahu. Bahkan boleh dikatakan memperkuat ikatan tali hati kami. Tatkala sehabis dua tahun menikah Allah belum pula mempercayakan amanah itu pada kami, gue sendiri masih tenang-tenang saja. Aku memang tak memiliki siklus bulanan yg teratur sebagaimana wanita normal. Tetapi menyaksikan keturunan dr ibu & bapak, keluargaku tergolong”subur”. Demikian pula Aa. Sampai akhir nya Aa pergi mencar ilmu ke Jepang diperintahkan lembaga yg selama ini memberi Aa beasiswa, & gue menyusulnya satu tahun kemudian untuk mengawalAa sehabis skripsiku yg sedikit berlarut-larut karena gue mesti membagi waktuku selaku seorang istri & mahasiswi, selesai disidangkan.
Atas keinginanku yg disetujui oleh Aa, akibatnya kami berdua berkonsultasi pada dokter andal kandungan yg kini ini. Kebetulan & alhamdulillah sekali dia perempuan.. Dan sehabis diteliti, ternyata benar dugaanku. Aa wajar , akulah yg sakit. Sehingga sejak satu setengah tahun lalu gue berobat dengan-cara intensif. Walaupun belum terlihat hasilnya hingga kini. Namun atas dorongan semangat Aa, gue bisa terus sabar berupaya hingga kini. Dan gue tahu, Aa pula menunjangnya dgn doa-doa di sujudnya yg usang setelah shalat, sebagaimana yg pula gue kerjakan.
Kesepian menunggu hadirnya amanah itu bukannya tak pernah kami rasakan, utamanya saya. Tanpa gue katakan pada Aa apa yg gue rasakan, Aa seakan mengerti. Sehingga tatkala hari tahun aliran gres universitas dimulai, Aa menyarankan semoga gue melanjutkan sekolah saja. Di rumah sendiri bukannya tak ada pekerjaan. Pekerjaan menterjemahkan dengan-cara bebas artikel-artikel bahasa Inggris & kukirim ke redaksi-redaksi majalah, adalah pekerjaan yg sudah kumulai sejak gue masuk universitas. Lalu kursus Bahasa Arab gratis dgn beberapa sahabat, ibu-ibu dr Mesir seminggu sekali. Dan pelajaran bahasa Jepang dengan-cara autodidak yg gue kerjakan lewat TV & majalah berbahasa Inggris-Jepang. Belum lagi pekerjaan rumah tangga, yg meskipun sebagian besar serba otomatis tetapi membutuhkan keteguhan untuk melawan kebosanan itu, pula menanti. Tetapi waktuku yg banyak sendirian di rumah kadang-kadang menciptakan gue tak kuat melawan sepi. Dan Aa mengerti benar kecenderunganku tersebut.
Dan risikonya gue menentukan masuk fakultas pendidikan, & mengambil spesialisai psikologi pendidikan. Karena gue menyaksikan Jepang mapan dlm pendidikan dasarnya. Sedari dulu gue tergelitik untuk mengenali “resep”nya. Tanpa pikir dua kali gue menyambut rekomendasi Aa. Dan jadilah setahun yg lalu gue mahasiswi graduate di universitas yg sama dgn kawasan Aa kini. Walaupun satu universitas daerah kami berjauhan. Dan kami memutuskan untuk pindah ke daerah yg sekarang.
Hari-hari hanya berdua saja dgn Aa dr sisi lain kurasakan pula selaku anugerah Allah pada kami. Karena belum disibukkan oleh anak, membuat gue lebih punya banyak waktu mengamati Aa, berdiskusi banyak hal dgn Aa, & lain-lain yg kurasakan sangat mendekatkan gue dgn Aa. Jalan-jalan pagi atau sore sepanjang sungai kerap kami kerjakan. Dan tatkala kami bertemu dgn pasangan suami istri yg berjalan-jalan bersama buah hati mereka, tanpa sadar jasus kami memandang pada si kecil yg yang memandangiku dgn lucunya. Dan seperti biasa, kalau tak gue atau Aa akan berguman. “lucunya..” “A, nanti anak kita lucu atau nggak, ya..?” Atau: “De, mudah-mudahan anak kita pula lucunya kayak gitu..” Yang kuaminkan dlm diam. Dan lazimnya kami akan saling memandang & tersenyum bareng . Walau bagaimanapun kami merindukan kedatangan amanah itu, ya Allah..
Dan tibalah keajaiban itu, tepat empat bulan sesudah itu, hawa hambar sisa-sisa demam isu masbodoh masih tertinggal. Bulan Februari final, beberapa hari sebelum Ramadhan. Aku menemui Dokter Abe seperti biasa. Kali ini sambil menenteng buku catatan suhuku yg kuukur saban hari. Ada debar-debar harap karena kulihat grafik suhu tersebut tak menurun. Tapi gue tidak mau terlalu berharap. Karena takut kecewa yg berlebihan, bila bukan info baik yg kudapat. Dan dgn perasaan sedikit tak tenang kutunggu hasil pemeriksaan urine. Dan kudengar namaku dipanggil. “Aya-san!” Kudapati dokter Abe dgn ekpresi ramah seperti biasa. “Duduklah,”katanya. Aku duduk dihadapannya sambil harap-harap cemas. Dan..”Omedetou gozaimasu..!(selamat..)” gue mendengar kata-kata itu dgn kelegaan yg luar biasa, tetapi pula diiringi dgn tangis haruku yg naik ke kerongkongan.”Positif..,”kata dokter Abe melanjutkan. Alhamdulillah, Alhamdulillahrabbil’alamin..Subhanallah…Ya Allah, Maha Besar Engkau yg telah mengabulkan undangan & perjuangan hamba-hambaNya. Aku bertasbih & bertahmid dlm hati, air mata senang yg kurasakan hangat keluar tanpa mampu kutahan lagi. Dokter Abe memandangku dgn senyumnya, & gue tahu dimatanya yg tersembunyi oleh kacamata itu ku dapati pula beling-beling. “Domou arigatou gozaimasu..” kataku berterimakasih padaNya. ia menggeleng. “Bukan saya yg menjadikannya demikian, namun Kamisama (Tuhan) lah yg memberikannya. Bukan begitu Aya-san?” Aku mengangguk. Alhamdulillah, Segala puji bagi Engkau…
Sesampainya di rumah, gue seperti mempunyai komplemen energi gres. Aku masak soto ayam kesukaan Aa, kali ini tanpa pelit dgn daun sereh & daun jeruk, biar sedikit istimewa. Juga acar, sambel kecap, serta perkedel jagung. Tatkala dering telpon berbunyi, gue segera berlari mengangkatnya. Pasti itu Aa. Benar saja…Sehabis menjawab salam Aa, tanpa memberi kesempatan Aa mengatakan gue berkata:”A, cepet pulang!...”
Dan hari-hari selanjutnya kurasakan lebih garang lagi. Walau janin di perutku gres dua bulan, namun gue yakin ia sudah mencicipi apa yg gue rasakan. Buku-buku ihwal pendidikan janin dlm rahim, cara merawat bayi,hingga majalah tentang permasalahan bayi, yg dulu sempat kuletakkan jauh-jauh dr penglihatanku kupindahkan bersahabat rak buku-buku kuliahku. Uang tabungan yg kusisihkan dr uang belanja kubelikan walkman. Juga tak lupa gue rajin menggaris-garis buku pedoman pendidikan anak dlm Islam & kuingat-ingat potongan yg pentingnya. Kini hari-hari ku tak pernah kulewatkan tanpa walkman yg memutar ayat-ayat Al-Quran. Juga hari-hari di rumah gue lewatkan dgn “berbincang-bincang” dgn janinku. Sampai Aa iri, lantaran gue bisa mencicipi kehadiran si kecil lewat tubuhku, sedang Aa tidak. Alhamdulillah, gue tak banyak mengidam & merasakan mual. Padahal gue khawatir juga, karena hingga sekarang gue masih kuliah seperti biasa. Hanya saja waktu membacaku kuhabiskan sebagian besar di rumah, bukan di perpustakaan mirip biasanya. Karena di rumah gue lebih punya waktu & lebih bebas “bicara” dgn si kecil.
Sampai dikala itu…
Kali itu investigasi kandunganku yg keenam. Menurut hitungan ia sudah 10 pekan usianya. Hari itu kuajak Aa juga. Karena kata Dokter Abe kandungan ku mungkin sudah bisa dideteksi oleh USG, maka dia mengundang Aa pula untuk ikut menyaksikannya. Akan tetapi, takdir Allah menentukan lain… “Aya -san, terakhir memeriksakan kandungan tiga ahad yg kemudian, ya..?” Dokter Abe mengajukan pertanyaan memastikan setelah selesai memeriksaku. “Iya, sensei..”Aku mulai merasakan hal yg tak yummy menjalari hatiku. “Heemm, bisa tolong panggil suami Anda..?“
Dan gue berupaya sabar tatkala mendengar penjelasan itu. Janinku tak berkembang! Penyebabnya sendiri belum dimengerti dengan-cara persis. Karena pada investigasi terakhir ia masih “hidup“. Aku mesti mengeluarkannya biar tak meracuni rahimku.Aa menggegam tanganku erat. Kurasakan tubuhku bergetar menahan tangis. Ya Allah. Kutunggu kedatangannya selama 5 tahun lebih. Mengapa ia Kau panggil tanpa sempat kulihat wajah lucunya? Kenapa Kau panggil ia tanpa sempat gue rasakan lembut kulitnya, indah bening matanya, & tangisan rewelnya. Aa menggegam tanganku lebih erat lagi sambil berucap pelan, “Istighfar, Dede..Istighfar..” Ya, seakan mengerti apa yg bergalau di hatiku.
Aku beristighfar dlm hati menjajal menghilangkan rasa penyesalanku atas taqdir Allah. Tidak, gue tak boleh menyalahkan Allah atas cobaanNya, seru sebuah serpihan hatiku. Tetapi kenapa ia panggil anakku yg sudah begitu usang kunantikan, tanpa memberiku kesempatan untuk jangankan membelainya, bahkan merasakannya untuk lebih usang berdiam dlm perutku? Seru kepingan hatiku yg lain. Ya Allah, ampuni aku. Ya Allah, ampuni aku.Akhirnya bagian hatiku yg higienis menyapu pecahan hatiku yg kotor. Dan kutemukan diriku dlm keadaan tenang kembali. Ku dengar Aa berucap pelan “Innalillaahi wa inna ilaihi Raaji’uun..” Dan dgn tenang menandatangani formulir operasi buatku.
Empat hari gue di rumah sakit. Aku tak merasakan perubahan yg berarti pada tubuhku. Tapi tak demikian pada hatiku. Aku merasakan kesendirian tatkala kusadari “anakku” tak ada lagi dlm diriku. Aa sendiri tak banyak berbicara tentang persoalan itu. Aa tampak berupaya bersikap biasa. Namun gue tahu Aa menanggung kesedihan yg sama mirip yg kurasakan.
Maghrib itu kami berjamaah seperti biasa. Yang tak lazimhanyalah itu pertama kali kami shalat berjamaah sejak gue mengungsi di rumah sakit. Pada rakaat yg kedua Aa membaca surat Al Baqoroh dr ayat 153. Dan bunyi Aa bergetar tatkala mencapai: …. Walanabluwannakum bisyayi im minal khaufi wal juu’i wanaqshim minal amwaali wal anfusi watstsamaraat. Wabasyiri shabiriin Alladziina idzaa ashabathum mushibah, qoluu inna lillaahi wa inna ilaihi raji’uun.Ulaika alaihim shalawaatum mir rabbihim warahmah. Wa ulaaika humul muhtadun… …
(… Dan sungguh akan kami berikan ujian pada mu, dgn sedikit cemas, kelaparan, kelemahan harta, jiwa, & buah-buahan. Dan berikanlah gosip bangga pada orang-orang yg sabar, yaitu orang-orang yg apabila ditimpa musibah mereka berucap: Innalillaahi wainna ilaihi raaji’unn. mereka itulah yg menerima keberkatan yg tepat & rahmat dr RabbNya, & mereka itulah orang-orang yg menerima petunjuk …)
Aku terisak di belakang Aa, mendengar teguran Allah yg lembut itu. Betapaku rasakan Allah eksklusif menegur sekaligus menghiburku lewat ayat-ayat tersebut. Selesai shalat, seperti lazimnya Aa shalat rawatib ba’da maghrib , lalu berdzikir sebentar. Tak usang kemudian membalikkan badannya ke arahku. Aku memandang Aa. Kutemui mata yg cekung & kurang tidur, lantaran beberapa hari ini Aa mesti menjalani hidup antara rumah, rumah sakit, & kampus. Kucium punggung tangan Aa mirip lazimnya . Aa tersenyum bijak & mengelus kepalaku dgn tangan kirinya. “Innallaaha ma’ashshabiriin, De..” katanya serak. Aa bukanlah tipe orang yg mudah mengekspresikan emosinya lewat titik air mata. Tapi kali ini, kulihat mata cekung Aa dipenuhi oleh kaca-beling. Aku mengangguk pelan. Kurasakan mataku memanas lagi, & kurasakan pandanganku kabur karena genangan air mata. Aa tak melepaskan genggaman tanganku, digenggamnya erat-erat seolah ingin berbagi kekuatan dgn ku.
Ya Allah, kalau Engkau masukkan kami ke dlm kelompok orang-orang yg Engkau berkati & rahmati lantaran keteguhan kami menanggung cobaan, ujian yg tak seberat yg dialami saudara-saudara seiman kami yg harus hidup dlm ketakutan, kehilangan harta, bahkan nyawa dlm mempertahankan tanah air Islam, maka bimbinglah kami terus untuk mampu terus menganyam benang-benang kesabaran kami, agar menjadi berpengaruh & kokh sehingga mampu menanggung ujian yg lebih berat lagi.(is95)
Keterangan:
- Aa: bahasa sunda artinya sama dgn panggilan Mas(untuk orang Jawa), atau Abang (untuk orang Betawi)
- Dede: bahasa Sunda, artinya sama dgn adi, jeng (atau apalah panggilan sayang buat istri)
- Miso semacam tauco Indonesia terbuat dr beras, kedelai, & garam
- Domou arigatou gozaimasu: terimakasih banyak
- San: cara orang Jepang memanggil musuh bicaranya.