Di Sebuah Toko Buku
Rahasia Membutuhkan Kata. Itu judul buku yg beberapa tahun lalu kudapati teronggok di sebuah rak toko buku di kotaku.
Sebenarnya bukan alasannya gue betul-betul pecinta buku, apalagi buku sastra, jikalau gue karenanya berbelanja buku itu. Bukan, sama sekali bukan. Karena kalau gue seorang penyuka buku, sikapku niscaya tak instrumentalistik hanya membeli buku yg kuanggap mempunyai nilai mudah. Jika gue pecinta sastra, pastinya bukan buku telaah sastra itu yg gue beli; namun justru buku sastra.
Aku pasti akan berbelanja buku-buku puisi Sapardi atau Sutardji. Aku akan membeli buku-buku prosa Seno Gumira, Budi Darma, Remy Sylado atau Umar Kayam—nama-nama pengarang dgn reputasi menjulang tapi hanya satu-dua buku karya mereka yg terselip di rak bukuku.
Apalagi, menurut seorang kawanku yg menyayangi karya sastra melampaui cintanya pada suami & anak-anaknya, bukan tak kerap para kritikus itu sesungguhnya hanya mengganggu & menghalangi kemandirian para pembaca dlm menikmati karya sastra. Nasihat berharga yg anehnya hingga hari ini masih enggan kuhiraukan.
Terus terang, gue memang mempunyai watak buruk dlm membaca karya sastra—dan inilah yg memunculkan sikap tahu diriku untuk tak cukup mempunyai nyali memaklumkan diri di paras umum selaku pecinta sastra. Sebab, gue hanya membaca karya sastra setelah kritikus Fulan atau Fulanah memuji-mujinya & menawarkan mutu literer yg dikandungnya.
Alasanku sederhana saja: tidak mau mengambil risiko berbelanja atau membaca karya sastra jelek; yg mempunyai arti menyia-nyiakan energi, duit, & waktuku. Sementara masih ada setumpuk buku lain yg belum lagi kurampungkan membacanya. Masih banyak kebutuhan lain yg menuntut pengeluaran dr uangku yg jumlahnya begitu terbatas.
Dengan alasan itu pula gue begitu sungkan melirik buku-buku sastra karya para pengarang yg namanya belum dierek tinggi-tinggi dlm belantara perbincangan sastra di event-event atau koran-koran besar ibukota.
Betapa naifnya, memang, pikiranku itu. Tapi begitulah jika gue boleh jujur; & bila kejujuran masih mampu dihargai sebagai sebuah kebajikan yg belum lekang. Kupikir itu lebih baik dibandingkan dengan bersikap sok tahu & tak tahu diri.
Kaprikornus, sekali lagi, kalau gue menyebut-nyebut buku, penyebabnya sama sekali bukan sebab gue seorang pecandu sastra; seorang kutu buku yg saban hari menghabiskan waktu beberapa jam memelototi segala jenis buku; atau, terlebih, berani sesumbar mengikuti Sartre—bahwa “kehidupanku sudah kuawali mirip rupanya gue akan menutupnya: di tengah buku-buku”.
Penyebabnya akan semakin terperinci sesudah gue merampungkan patahan-patahan kisah yg segera kurawikan berikut ini.
Tentang Aku
Aku hanyalah seorang gadis biasa: 168/45, berkulit sawo matang; tak anggun, meskipun tak bisa dikatakan buruk rupa. Pernah kuliah meski tanpa sungguh-sungguh menyayangi buku, terlebih buku-buku sastra, & jadi sarjana empat tahun sesudah Orde Baru tumbang. Hanya sekali-sekali saja jalan-jalan di mal; menyaksikan-lihat foster film modern di gedung bioskop meski tak selalu menontonnya; menyaksikan beragam kontes menyanyi di TV (kegiatan inilah sesungguhnya yg paling kerap kulakukan) atau menikmati tayangan sinetron yg daftar jam tayangnya lebih panjang dr kereta api itu.
Selain seabrek aktivitas kurang berkualitas itu, hingga sekarang gue lebih sibuk mengakali waktu-waktu luang agar tak terlalu kentara selaku pengangguran kerah-putih. Agar tak mengecewakan cita-cita kedua orangtuaku yg menguras habis harta kekayaannya untuk membiayai kuliahku, semenjak tamat kuliah gue pun mengelabui mereka dgn memilih tinggal menjauh dr kampung halaman.
Dengan alasan yg baru kusebut itulah gue merasa bisa sedikit menghibur diri. Saat rasa jenuh betul-betul mulai mendera, barulah gue membolak-balik halaman beberapa novel & kumpulan cerpen yg sebagian besar perlindungan mantan pacarku.
Buku & Rahasia
Secrets Need Words. Begitulah judul edisi orisinil yg pula tertera di serpihan bawah sampul depan buku ihwal puisi-puisi Indonesia periode 1966-1998 itu. Buku yg sebenarnya tak begitu menyenangkan untuk dinikmati. Mungkin karena saya, seperti gres kukatakan, bukan seorang pembaca yg baik. Atau, boleh jadi, alasannya gue hanyalah wanita biasa yg berupaya menyembunyikan kesepian & kegundahan dgn mencari-cari kesibukan.
Namun, sekali lagi mesti kukatakan, buku itu tetap menggodaku. Bukan alasannya adalah karya orang asing, tentu. Karena, seperti pernah kudengar dlm wejangan seorang mitra yg senantiasa bersemangat tiap kali membicarakan buku-buku yg dibacanya, kebetulan gue pun percaya bahwa tak pernah ada jaminan buku-buku karya orang asing itu pasti berkualitas bagus. Tak pernah ada jaminan bahwa kejernihan & kebeningan telaah pasti bergelimang dlm tiap karya mereka.
Persoalannya sebenarnya sederhana saja: kata “diam-diam” dlm judul buku itu mengingatkanku pada almarhumah ibu. Sungguh, sepotong kata dgn tujuh abjad itulah yg menarik hati & memaksaku dgn sembunyi-sembunyi merobek paksa plastik pembungkusnya tanpa sepengetahuan penjaga toko, sebelum membelinya.
Ya, hingga bertahun-tahun berlalu & tiap kali gue membuatkan kisah tentang almarhumah ibu & buku itu, kata “belakang layar” itu pula bergotong-royong yg mendorong-dorongku untuk melakukannya. Kini, kata “diam-diam” itu kian lekat di benakku tiap kali gue mengenang ibu. Mengingat kisahnya. Menghikmati deritanya.
Tapi, berlainan dgn judul buku karya penulis asing yg banyak menerjemahkan karya para sastrawan nusantara itu, bagi ibuku diam-diam justru tak memerlukan kata. Sebab, baginya, bungkam justru jalan paling tepat untuk merawatnya. (Aku jadi teringat kawanku yg mengasihi buku-bukunya melebihi cintanya pada suami itu. Dalam sebuah SMS yg kata ia dikutipnya dr Wittgenstein, ia menulis: “apa yg tidak mungkin kita katakan mesti kita lalui dlm membisu”. Ah, kebijakan yg ibu tawarkan ternyata seluhur pesan seorang, yg konon, filsuf bahasa itu).
Bagi ibuku, diam-diam memang justru mesti dijauhkan dr kata. Dengan merawat dusta, tentu saja. Dusta yg ternyata tak selamanya tercela—setidaknya tatkala dikerjakan oleh ibu & untuk pertama kali sepanjang hidupku gue menganggapnya justru selaku sebuah kebajikan.
Ini tentu saja cuma kesimpulan subyektif yg kuambil dr kenangan paling membekas sepanjang hidupku & alasannya itu memaksaku berbelanja buku yg kuceritakan.
Kabar dr Rumah
Sepanjang hidup di luar kota sejak masa sekolah menengah hingga masa kuliah, gue bergotong-royong tak pernah pulang kampung kecuali pada hari-hari liburan panjang. Aku bertekad terus melazimkan kebiasaan itu selepas tamat kuliah. Pikirku, sesudah pekerjaanku betul-betul terang & penghasilanku mampu dianggap cukup, barulah gue akan sering balik kampung mengunjungi orangtua.
Tapi planning tinggal planning. Baru tiga bulan selepas wisuda, kakak perempuanku yg tinggal di kota B & adik laki-lakiku yg tengah melakukan penelitian di kota P berkali-kali menyuruhku pulang. Demi menenggang mereka yg sudah pulang lebih dulu, gue pun hasilnya mengiyakan & menyusul mereka dgn berat hati.
Pulang: Akhir Rahasia
Jalanan perkampungan menuju rumah yg kulewati, sesudah hampir sehari semalam naik bus antarprovinsi, masih seperti jalan yg kulewati tiap hari di masa kecil. Belum dilalui kendaraan-kendaraan besar mirip di kota tempatku kini tinggal. Meski tak serimbun dikala gue tinggal di kampung halaman, bebukitan di kanan kiri jalan pun masih tetap hijau. Punggung jalan di sana sini pula masih dipenuhi lobang yg lebih menyerupai daerah air menggenang ketika isu terkini penghujan tiba.
Tapi hujan kelihatannya belum lagi rutin turun. Hanya sesekali. Sepanjang hari matahari tampaknya masih tetap ingin bertengger di atas kepala & enggan disaput awan. Air hujan pun turun tersendat-sendat beberapa dikala & dgn secepatnya tetasannya diserap bentangan tanah kering sepanjang jalan. Jejalanan yg kulalui pun kembali berdebu.
Aroma tanah kering yg baru disiram hujan menyengat hidung. Lahan-lahan sawah di kanan-kiri jalan belum lagi ditanami & hanya dipenuhi tumpukan jerami yg sebagiannya mulai mengabu & meninggalkan onggokan berwarna hitam karena pembakaran yg tidak boleh guyuran hujan yg singkat. Pemandangan tak berubah hingga gue hingga di halaman rumahku yg tampak lengang.
Karena tak seorang pun terlihat di beranda rumah tempatku biasa menghabiskan petang di masa kanak-kanakku, makin erat jarak pintu rumah yg akan segera kumasuki makin deras rasanya rasa was-wasku. Aku semakin diliputi tanya ihwal apa yg bantu-membantu terjadi. Sebab, selain konon ada hal penting, dlm beberapa kali percakapan telepon dgn kakak maupun adikku, tak pernah diterangkan kenapa gue harus pulang.
Hanya abang yg menggendong anak bungsunya & adikku yg secepatnya kulihat ketika, tanpa menunggu dibukakan pintu, gue eksklusif masuk menyerbu rumah. Mengikuti keduanya yg tak menjawab apa-apa dikala kubertanya tentang ayah & ibu, gue eksklusif masuk kamar di mana kulihat ibu tergolek lemah.
Cuma dingin yg terasa dr tubuh pucatnya yg kupeluk erat. Ia memang berupaya menyunggingkan senyum meski terlihat kesulitan. Tak ada lagi kata, terlebih canda, seperti biasanya dahulu senantiasa ia lakukan.
Tiga bulan sudah ibu sakit, begitu adikku bilang. Ia eksklusif sakit tak usang sehabis menghadiri wisudaku. Mungkin karena tak sudah biasa naik kendaraan dgn jarak yg terlalu jauh, pikirku. Karena, setahuku, itu pula alasan ibu kenapa ia dahulu nyaris saja membatalkan niat ibadah haji. Meskipun untuk soal yg satu ini, banyak keajaiban yg terjadi. Sebab, bukan saja apa yg dikhawatirkannya itu tak terjadi sama sekali, ibu malah mencicipi ibadah warisan Ibrahim itu selaku perjalanan paling mengesankan yg pernah ia rasakan. Tak ada mabuk kendaraan mirip ia alami dikala menghadiri wisudaku. Tak ada sakit dlm perjalanan jauh itu. Tak ada jet lag. Begitu ia kerap berkisah pada kami dgn wajah ceria.
Tapi sakit ibu semakin parah tatkala sebulan sebelumnya, begitu abang & adikku bercerita dgn bunyi terbata, ayah mengalami kecelakaan parah dlm perjalanan pulang dr kota T. Pekat malam & kelokan jalan yg tajam malam itu menghalangi persepsi ayah dr lubang besar yg melemparkan mobil yg dikemudikannya dr ruas jalan aspal & balasannya memerosokkannya ke dlm jurang yg cukup dalam.
Tanpa menunggu pertanyaanku tentang eksistensi & keadaan ayah, kakakku bilang kalau ia selamat, meski dgn tulang pinggang pula tangan kiri yg patah, & sekarang masih dlm pemulihan. Ayah dirawat dgn baik di rumahnya yg kedua, oleh istri kedua & empat orang anak-anaknya, katanya menyertakan dgn suara setengah tertahan—juga tanpa lebih dahulu memberi waktu kepadaku untuk mengajukan pertanyaan atau menyela.
Wajah ibu semakin layu. Kedua matanya lebih banyak terpejam. Sekira sejam kemudian, perlahan tetapi niscaya kedua matanya tetap terkatup. Tak ada lagi denyut dlm nadi yg kupeganginya.
Setelah itu, selain aroma akhir hayat, tak ada lagi yg mampu kuingat. Segalanya gelap. Pekat.
Aku, pula abang & adikku, gres sadar bila mendiang ibu ternyata menyembunyikan diam-diam selama ribuan hari. Ibu menyimpan rapat-rapat segalanya. Ibu menyembunyikan luka yg dirasakannya dgn terus berdusta kepadaku, pula abang & adikku, dgn berpura-pura selalu senang. Ia rupanya ingin luka yg dirasakannya tak dialami oleh ketiga anaknya.
Tapi, kami risikonya tahu pula rahasia itu. Tahu ngilunya sembilu di hati ibu. Bagi almarhumah ibu, tak mirip judul buku itu, rahasia memang tak memerlukan kata… (*)