Penggali Liang Lahat | Cerpen Zainul Muttaqin


Oleh: Zainul Muttaqin


Tak ada keahlian apa pun yg dimiliki Darso kecuali menggali liang lahat. Pada hari kematian seorang warga di akrab rumahnya. Ia tiba cuma membawa cangkul disanggulkan di pundak. Tubuhnya ringkih, membawa langkahnya terpincang-pincang, tetapi tenaganya berlipat ganda tatkala ia mulai mencangkuli tanah, menggali lubang sedalam dua meter bagi yg meninggal.

Ia menolak seseorang yg bermaksud menolong pekerjaannya. Mulanya warga menduga pria yg rambutnya dipenuhi uban itu tak akan sanggup menggali tanah, tetapi mereka sungguh tercengang saat Darso menyelesaikan galian liang lahat dlm kurun waktu yg bisa dikatakan cepat untuk ukuran lelaki serenta dia.

Laki-laki berusia uzur itu memang datang tanpa diminta oleh keluarga yg berduka. Asal telinganya mendengar di mana ada orang meninggal, ia akan tiba tertatih-tatih dr rumah berupa gubuk yg ditinggali di bawah bukit. Tidak hanya itu, kedatangannya sama sekali tak pernah menyulitkan kerabat almarhum. Malah ia tiba untuk mengendorkan, menolong menggalikan liang lahat dengan-cara cuma-cuma.

Tak pernah mendapatkan setiap kali salah seorang keluarga almarhum bersalaman, menyelipkan selembar duit pada tangan keriputnya. Serta merta ia bilang, “Kebaikan saya tak untuk dijual, mudah-mudahan saja menjadi bekal alam baka. Dan berharap ada seseorang yg mau menggalikan kubur saya kelak ketika meninggal, sebab hidup sebatang kara,” katanya sembari menahan batuk yg bergetar-getar di dada ringkihnya.

*****


Tidak ada yg tahu betul riwayat hidup Darso. Dan tak banyak orang pula ambil pusing soal dirinya. Hanya sebagian orang yg mau menelusuri, mengenang-ingat siapa sesungguhnya lelaki kurus kering itu. Ingatan orang-orang ini baru sadar, ternyata Darso dulunya gemar mabuk, bikin gaduh kampung, & sempat dipenjara gara-gara tertangkap mencuri seekor sapi milik salah seorang warga di desa sebelah.

Tinggal di penjara berpuluh tahun menciptakan sebagian orang susah mengenang siapa Darso. Wajahnya tak mirip dahulu.Garis-garis keriput membentang terombang-ambing. Jenggotnya tak dicukur sampai lebat, serupa sarang penyamun. Tepat tatkala dirinya gres tiga tahun berada di penjara, istrinya meninggal serentak dgn suara azan Subuh, & langit sedang menurunkan gerimis. Sungguh ia terpukul sebab tak mendapat izin pulang. Ia meronta-ronta, mengumpati penjaga tahanan, “Kalian betul-betul tak memiliki nurani!” Sebenarnya pantang baginya menangis selama ini, tetapi saat itu air matanya tak kuat dibendung.

Ia pun tak pintar berdoa, lebih tepatnya tak tahu tata cara berdoa. Darso tak sembahyang semenjak berumur lima belas tahun. Ia terjatuh ke lubang gelap yg mempertemukan dirinya dgn iblis. Kegemarannya mencuri yg tak bisa ia hentikan hingga cukup umur memang dimulai semenjak usianya gres busuk kencur. Tentu waktu itu, ia sekadar mengambil barang-barang yg berdasarkan dirinya—tetapi berbeda menurut si pemilik barang—adalah benda-benda kecil tak berharga.

  Pulang Cerpen OJ Hara

Darso senantiasa bungkam jika ditanya, bagaimana dirinya bisa memikat Simar, gadis kembang desa kala itu yg balasannya dipersunting jadi istri. Dari pernikahannya bareng Simar, Darso tak memperoleh keturunan. Meskipun demikian, lelaki bermata sipit ini tak pernah merobek hati istrinya. Ia berani bertaruh nyawa demi perempuan yg sungguh dicintainya itu. Simar pun sama sekali tak pernah berkata lantang pada suaminya.

Tak sempat melihat istrinya dibaringkan di liang lahat, apalagi menggalikan kubur bagi perempuan yg selama empat puluh tahun mengawalgetir hidupnya. Darso mengutuk diri di balik jeruji, mengumpati dirinya, & sungguh-sungguh merasa ingin ketika itu pula tubuhnya disandingkan di lubang kubur bersama istrinya. Itulah kenapa sejak keluar dr tahanan dirinya kerap ingin berbuat baik, tetapi yg ia bisa kerjakan cuma dgn cara jadi tukang gali kubur.

Darso pula bisa lebih mengenang maut kala dirinya menggalikan liang lahat. Ia pula tak tahu, & tak sungguh-sungguh berharap dosanya yg bergelantungan pada masa silam bisa ditebus dgn menggalikan liang kubur bagi orang-orang yg meninggal. Keringatnya jatuh di atas tanah. Cangkulnya terus-menerus menghantam tanah berbatu. Tak terlihat kelelahan dr raut mukanya yg kini kulit-kulitnya keriput digerus usia.

*****

Istirahat saja dahulu, Kek,” seorang kerabat almarhum membawakan masakan, ditaruh di akrab lelaki setengah masa itu.

Saya selesaikan saja dulu. Tinggal sebentar.” Darso berkata tanpa menoleh ke arah lelaki muda yg menghampirinya.

Apa Kakek tak letih? Sebaiknya saya panggilkan penggali yg lain saja.” Sarkab, keponakan dr almarhum, duduk di dekatnya.

Adakah yg lebih letih dr menanggung dosa?” Pertanyaan Darso tak dijawab oleh Sarkab. Ia tercekat pada perkataan ini. Dilihatnya Darso, mirip mencari-cari sesuatu yg ganjil darinya. Namun ia tak menemukan apa-apa, kecuali lenguh napas Darso yg naik turun.

Apa yg Kakek maksudkan?” Sarkab mengernyitkan dahinya dgn verbal setengah terbuka. Matanya mengarah tepat pada pria ringkih di hadapannya.

Dulu, mungkin semua orang takut padaku. Tak ada yg berani melawanku. Satu-satunya laki-laki hero di kampung ini cuma aku. Tapi sayang, tenaga & kekuatan yg kumiliki digunakan untuk menindas, mencuri dr rumah ke tempat tinggal.” Darso mulai membuka ceritanya. Ia duduk di akrab cangkulnya. Tinggal sedikit lagi galian liang lahat selesai. Sarkab mendengarkannya khusyuk. Darso mengatur napasnya terlebih dahulu sebelum kembali mengurai insiden-peristiwa kelam dlm hidupnya.

  Menunggu | Cerpen Seno Gumira Ajidarma

Apalah guna gue kini ini? Aku hanya seorang lelaki tua, renta, & anyir tanah yg mungkin sebentar lagi Izrail menjemputku. Sia-sia sudah hidupku. Dulu, gue bisa berbangga-gembira dgn semua yg kumiliki. Lalu apa yg harus gue banggakan sekarang ini, kecuali dosa yg menumpuk.” Darso menghela napas panjang. Matanya menampung berjuta air yg siap-siap pecah.

Apa kamu menggalikan kubur dengan-cara cuma-cuma untuk menebus dosa-dosamu?” Mendengar pertanyaan itu, Darso tersenyum memandangi Sarkab.

Apakah dosaku yg melampaui luasnya laut bisa terhapus cuma dgn menjadi tukang gali kubur dengan-cara cuma-cuma?” Darso balik bertanya. Sarkab tak tahu mesti menjawab apa. Mata mereka bertautan di antara ukiran pohon yg mengusik di erat kuburan.

Aku tak sedang mencari penebusan atas dosa-dosaku. Aku sedang berusaha menjadi manusia memiliki kegunaan bagi yg lain. Perkara dosa & pahala itu problem Allah. Soal gue masuk surga & neraka itu pun hak Allah. Aku tidak mau pamrih pada Allah atas apa yg kulakukan gres-baru ini.

Darso mengatakannya dgn nada bergetar-getar. Akhirnya, gerimis merembes dr matanya. Sarkab tersengat sekaligus terhenyak mendengar dgn telinganya sendiri apa yg dikatakan Darso. Daun kemboja jatuh digoyang angin.

*****

Hampir satu jam Darso bercerita. Kemudian ia meneguk segelas air putih & melanjutkan pekerjaannya. Terdengar cangkul memukul tanah, yg sesekali tentang kerikil menyebabkan bunyi desing di indera pendengaran. Sarkab minta pamit pulang. Matahari sudah mulai condong ke arah barat. Ia harus menuntaskan tugasnya sebelum langit berwana kemerah-merahan. Jenazah akan dikebumikan bakda Maghrib.

Gelap lambat laun menyungkup kuburan. Darso pulang tak bilang begitu liang lahat bagi almarhum selesai dijalankan. Orang-orang kadang tak paham dgn tingkah polah Darso yg tiba-tiba saja menghilang.

Tiba di rumahnya, ia membaringkan tubuhnya di atas ranjang yg terbuat dr rakitan bambu. Bayangan tubuhnya dipantulkan lampu teplok bersandar di dinding yg terbuat dr anyaman bambu pula. Darso tak lagi mempunyai rumah berbentukgedung bertingkat yg dulu pernah ditinggali bareng istrinya.

Matanya menggantung di langit-langit rumah. Ingatannya masih tepat untuk menelusuri bagaimana rumah mewah, yg bahu-membahu dibangun dr uang hasil mencuri terpaksa dijual demi kebutuhan istrinya & hidup dirinya selama di penjara.

  Mencari Imam Mushola | Cerpen Makanudin

Betapa sesungguhnya semudah membalik telapak tangan bagi Allah untuk mengubah segalanya,” kata Darso sendiri yg tak lebih suaranya lebih ibarat desis. Walau begitu, Darso merasa bersyukur tak ada orang-orang di kampungnya mengutuk dirinya, terlebih menolak kedatangannya selepas keluar penjara.

Tak layak kita mengutuk, maupun menolak seseorang yg mau berubah jadi baik.” 


Kata-kata ini diucapkan oleh salah seorang warga yg mengenal persis siapa Darso. Meskipun orang ini dulunya dibentak, dicaci maki habis-habisan oleh Darso. Karena ini pula Darso senantiasa memperbaiki diri. Tak lagi marah-murka, terlebih mengumpat meski dikala ini ada saja orang yg mengusik dirinya, memakinya tak terkira.

Bagaimana kau mau masuk surga? Sembahyang saja tak bisa. Waktu muda gemar mencuri. Bagaimana kau bisa menebus dosa? Sementara doa saja tak tahu caranya.” 


Kalimat ini pernah dilontarkan seseorang padanya, tepat tatkala berpapasan di ujung jalan waktu itu. Darso membisu. Ia melempar segaris senyum. Orang itu menatap bengis melihat reaksi Darso yg sama sekali tak memberikan gelagat akan murka.

Mengapa kau sibuk mengurusi nerakaku? Karena surga saja belum pasti milikmu.” Darso hanya mengatakan ini, selebihnya ia diam & tak lagi menggubris orang itu ngomel-ngomel tak terang.

*****


Darso mendengar gerimis pelan-pelan mengetuk genting, dikala hendak memejamkan matanya di atas lincak. Lampu teplok bergoyang dihantam angin dr celah jendela. Bersamaan dgn angin mati di ujung daun, hujan berderai dr langit berwarna gelap, Darso terpejam.

Besoknya, ia tak bangkit lagi. Ia sudah meninggalkan raganya tengah malam. Sementara pengeras bunyi dr mesjid gres menginformasikan kematian Pak Lurah. Liang lahat untuk pemakaman Pak Lurah belum digali. Seseorang diutus ke rumah Darso untuk memutuskan apakah lelaki setengah era itu ada di rumahnya. “Darso sudah tiada, Darso meninggal,” kata orang itu, lari terengah-engah dr rumah Darso. Para pelayat terpana, & hari itu pula mereka menggali dua liang lahat sekaligus. (*)

Pulau Garam, Januari 2016

Zainul Muttaqin Lahir di Garincang, Batang-batang Laok. Batang-Batang, Sumenep Madura 18 November 1991. Alumnus Pondok Pesantren Annuqayah, Guluk-guluk Sumenep Madura. Cerpen & puisinya tersiar di sejumlah media nasional & lokal. Salah satu penulis dlm antologi cerpen; Dari Jendela yg Terbuka (2013), Perempuan & Bunga-bunga (2014).